Ini pertama kalinya saya menghadiri kajian pra nikah yang
tidak menganjurkan para pesertanya untuk “menyegerakan”.
Tidak Wajib
Sejauh yang saya pahami dan yakini, tidak ada ayat Al-Quran
yang mewajibkan seseorang untuk menikah.
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nuur: 32)
Dari redaksinya, berarti perintahnya bukan perintah menikah, tetapi menikahkan. Menikahkan siapa? Putra-putri kita dan orang-orang sekitar yang dianggap sudah memenuhi syarat. Berarti, (1) yang punya kewajiban adalah orang tua kita untuk menikahkan anak-anaknya dan (2) ketika seseorang hendak menikahi orang lain, temuilah orang tua atau walinya, bukan orang yang akan dinikahi.
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nuur: 32)
Dari redaksinya, berarti perintahnya bukan perintah menikah, tetapi menikahkan. Menikahkan siapa? Putra-putri kita dan orang-orang sekitar yang dianggap sudah memenuhi syarat. Berarti, (1) yang punya kewajiban adalah orang tua kita untuk menikahkan anak-anaknya dan (2) ketika seseorang hendak menikahi orang lain, temuilah orang tua atau walinya, bukan orang yang akan dinikahi.
Hukum yang saya pahami soal menikah adalah sunnah muakkad, karena Rasulullah melakukannya dan menganjurkannya. Barangsiapa benci sunnahku, maka ia bukanlah umatku. Perkara menikah kemudian menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram bisa berganti-ganti sesuai dengan kaidah fiqih yang berlaku.
Menjadi aneh ketika muda-mudi Muslim sekarang ini begitu
bersemangat bicara soal menikah dan terkesan terburu-buru ingin mendapatkan
pasangan. Hal ini mengesankan seolah menikah adalah perkara wajib dan
menimbulkan dosa jika tidak segera dilaksanakan. Padahal tidak ada ayat yang secara langsung mewajibkan seseorang untuk menikah. Meskipun tidak mengapa jika
seseorang memang memiliki kondisi sedemikian rupa sehingga jatuh hukum wajib
baginya untuk menikah, yang berarti hukumnya kondisional.
Ada Kewajiban yang Lebih Tinggi
Tergesa-gesa dalam euforia menikah membuat kita melupakan yang wajib, yakni jihad fii sabilillah. Kita lupa bahwa
hakikatnya setiap orang mengemban amanah dakwah di pundaknya masing-masing.
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imran: 104)
"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu sampai kepadamu. Dan serulah mereka ke jalan Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya." (Al-Qasas: 87)
"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu sampai kepadamu. Dan serulah mereka ke jalan Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya." (Al-Qasas: 87)
Lulus kuliah bukannya memikirkan cara untuk terjun dan
bergerak di masyarakat, malah kita sibuk galau memikirkan urusan cinta.
Ditambah banyak teman-teman kita yang menikah muda, semakin galau kita
memikirkan jawaban pertanyaan, “Kapan nyusul?” di setiap reuni atau kondangan
pernikahan teman.
Kita pun sibuk menyusun kriteria suami/istri idaman: seorang
ikhwan/akhwat, imannya kuat, sayang keluarga, mapan, cerdas, tampan/cantik, dan
sebagainya. Lalu kita seolah sibuk berlindung di balik frasa “memperbaiki
diri”. Yang laki-laki mendadak menumbuhkan jenggot, perempuan memakai hijab
lebar, memanggil satu sama lain dengan sebutan akhi/ukhti. Berdebat soal fiqih
dan syariat di persoalan Islam yang cabang. Tapi tak ada obrolan tentang visi
dakwah dan masyarakat yang perlu diperbaiki!
Berapa orang yang sedang kita bina? Ladang dakwah mana yang
sedang kita garap? Terlebih, berada di prioritas nomor berapa dakwah dalam hidup
kita?
Dakwah adalah menyeru kepada kebaikan, kepada keselamatan
yang kita yakini ada dalam Islam. Ada banyak cara pelaksanaannya, banyak ladang
juangnya karena dakwah bermakna luas. Tapi jangan dipersempit hanya dengan
sekadar berbuat baik kepada sesama manusia dan berdakwah dalam keluarga. Itu
bagian dari dakwah, tapi ranah dakwah bukan hanya itu!
Amanah Dakwah di Pundak Kita
Mengapa banyak orang yang sentimen terhadap dakwah? Karena
dakwah menyeru kepada ketaatan ketika kita semua terlanjur mengagungkan
kebebasan. Untuk mencapai keselamatan, ada pedoman yang mesti dipatuhi:
Al-Qur’an dan sunnah. Padahal selama ini kita bersyahadat hanya di mulut saja.
Kita berislam karena orang tua kita Islam. Karena istri/suami kita Islam.
Karena kita tidak pernah memilih. Tapi benarkah kita tak diberi kesempatan
memilih?
Setiap pagi ketika mata kita terbuka, kita dihadapkan pada
pilihan-pilihan. Bagi mereka yang sadar, setiap pagi adalah kesempatan untuk
memilih hal baru. Jika ada orang yang merasa bahwa mereka Islam karena tak
punya pilihan, maka mereka adalah orang-orang yang sungguh bodoh dan rugi.
Saya pernah mengalami masa di SMP ketika menjejakkan kaki di gereja dan ingin masuk Kristen saja. Lalu di masa kuliah ketika pada satu titik saya merasa bahwa semua agama adalah konstruksi sosial dan lebih baik tidak usah punya agama. Ditambah lagi dengan kekecewaan pelihat gerakan dakwah kampus yang tidak mencapai titik ideal yang saya ekspektasikan. Lalu kenapa saya tetap Islam? Karena saya secara sadar sudah memilih! Dan sejak saya memilih atas dasar pengetahuan dan bukan ikut serta orang tua belaka, setiap harinya adalah perjuangan mempertahankan keyakinan yang sudah saya tetapkan. Tiap harinya adalah perjuangan!
Saya pernah mengalami masa di SMP ketika menjejakkan kaki di gereja dan ingin masuk Kristen saja. Lalu di masa kuliah ketika pada satu titik saya merasa bahwa semua agama adalah konstruksi sosial dan lebih baik tidak usah punya agama. Ditambah lagi dengan kekecewaan pelihat gerakan dakwah kampus yang tidak mencapai titik ideal yang saya ekspektasikan. Lalu kenapa saya tetap Islam? Karena saya secara sadar sudah memilih! Dan sejak saya memilih atas dasar pengetahuan dan bukan ikut serta orang tua belaka, setiap harinya adalah perjuangan mempertahankan keyakinan yang sudah saya tetapkan. Tiap harinya adalah perjuangan!
Saya bukan satu-satunya yang akhirnya menetapkan pilihan.
Lalu bagaimana dengan orang lain yang masih berada dalam pusaran kebingungan?
Arus pluralisme dan sekulerisme demikian hebatnya hingga yang hitam dan putih
sudah tak bisa dibedakan. Teman-teman kita barangkali juga banyak yang sulit
membedakan. Berbekal akidah yang seadanya, muak dan lelah dengan perdebatan
kelompok-kelompok Islam di tataran syariah, dan tergiur propaganda sekuler yang melemahkan akidah.
Pertanyaan yang kemudian menusuk kita yang merasa sadar adalah, di mana wujud
dakwah kita?
Menjadi seorang dai tak berarti harus menyeru dari corong
masjid-masjid, mengisi acara pengajian di televisi, menulis artikel Islami di
media, dan berbagai pemahaman atas dai lainnya. Menjadi dai berarti membuat
perubahan positif yang sejalan dengan aturan Allah di lingkungan atau ladang
dakwah masing-masing. Ada kebutuhan untuk menyeru, menyampaikan, dan utamanya
menjadi teladan.
Mari kita ke pertanyaan selanjutnya: apa yang sudah kita
sampaikan di lingkungan tempat kita sehari-hari menghabiskan waktu? Jika tidak
ada, bagaimana kita bertanggung jawab atas ayatNya yang sudah sampai kepada
kita?
Menikah Bagian dari Dakwah
Jalan dakwah itu sedih, sakit, dan sulit. Teman-teman yang
pernah secara aktif terlibat di rohis sekolah atau kampus pasti mengerti. Maka
banyak yang berguguran sebelum usia sampai pada ujungnya, sebelum organisasi
sampai pada purnanya. Banyak yang menyerah dan kalah. Banyak yang kecewa karena
objek dakwah tak kunjung terlihat perubahannya. Padahal bukan itu! Kita tak
diperintahkan untuk mengislamkan seseorang atau membuat seorang yang jahat
menjadi baik. Perintah yang sampai kepada Muhammad dan kita umatnya adalah
perintah untuk menyampaikan, menyeru. Soal hidayah itu urusanNya. Dan Ia
menyiapkan pahala dan hadiah yang besar bagi mereka yang istiqamah.
Karena sedih, sakit, dan sulit jalannya untuk ditempuh, maka
Allah siapkan untuk kita pasangan sebagai teman hidup. Dari kita akan lahir
generasi yang melanjutkan estafet dakwah yang belum selesai. Dari pasangan itu
muncul motivasi yang baru, semangat yang baru untuk istiqamah pada apa yang
telah kita pilih. Ketika lunglai bahu kita, tersengal napas kita, lemas kaki
kita setelah seharian menunaikan kewajiban ibadah dan dakwah, telah Allah siapkan istri
dan suami serta anak-anak yang menjadi tempat berbagi dan sumber kebahagiaan.
Ketika hati kita goyah atas terpaan kenyataan di lapangan, membuat hati menciut
dan kecewa merambat, keluarga hadir sebagai tempat pulang yang menguatkan.
Maka dari itu, menjadi salah ketika baik perempuan maupun
laki-laki, setelah menikah malah berkurang aktivitas dakwahnya. Ketika sebelum
menikah sang istri rajin mengisi halaqah, ta’lim, dan aktif di masyarakat,
sungguh menyedihkan jika setelah menikah ia justru hanya sibuk di rumah.
Demikian dengan laki-laki. Bukankah menikah adalah memenuhi separuh agama? Maka
jangan sampai karena menikah, ada kewajiban agama di separuh yang lain jadi
ditinggalkan.
Suami dan istri harus bisa menjaga keseimbangan rumah
tangga, dalam hal yang sifatnya dakwah di masyarakat dan di keluarga. Jangan
sampai suami dan istri sibuk mengurusi dakwah dalam keluarga dan melupakan
bahwa ada yang perlu diperbaiki di lingkungan mereka. Sebaliknya, jangan sampai
terlalu sibuk di luar rumah sehingga lupa ada keluarga yang butuh mereka
dakwahi pula.
Persiapannya Tidak Main-Main
Di detik kita berpikir untuk memilih menjalankan menikah
sebagai sunnah, saat itu juga harus kita pahami bahwa menikah bukan sekedar
perkara suka sama suka. Ketika menikah ditujukan sebagai salah satu agenda
dakwah, ada ilmu yang wajib kita kuasai sebelum memulai mempersiapkan yang
lain: Tarbiyatul Aulawiyat atau Fiqih Prioritas. Kita wajib mengerti prioritas
utama kita sebagai Muslim. Setelahnya, insya Allah apa-apa yang kita canangkan
sebagai kriteria akan sesuai dengan akidah dan syariatNya. Ilmu akidah sudah
jelas menjadi kewajiban utama.
Kita pun mesti memahami ilmu parenting. Menjadi orang tua Muslim bukan hanya membesarkan anak
sebagai pribadi yang pintar dan baik. Lebih dari itu, bagaimana membentuk
pribadi yang akidahnya kuat dan logikanya sehat. Pertanyaan yang diajukan
kepada saya oleh Ustadzah sangat menohok.
“Coba, Mbak Nisa. Jika Mbak Nisa jadi orang tua, bagaimana
caranya Mbak Nisa bisa menjamin bahwa putra-putri Mbak Nisa akan tetap Islam,
bahkan jika mereka Mbak Nisa bebaskan untuk memilih agama?”
Sekilas jawabannya sungguh sederhana: bekali dengan akidah
yang baik.
Tapi sungguh, saat itu saya tak bisa menjawab. Saya sudah
merasakan sendiri proses pencarian hidayah ketika saat itu saya pun sudah
berstatus Islam. Saya ingat bagaimana saya berpindah dari satu lingkaran kajian
kelompok Islam ke lingkaran kelompok lain. Saat itu masih SMP, bahkan saya
begitu penasarannya mengapa orang tua mengatakan bahwa agama lain itu tidak
akan masuk surga dan memutuskan datang sendiri ke gereja sebelum akhirnya
ketahuan dan diseret pulang oleh Bapak. Bertahun-tahun saya mencari jawaban-jawaban
yang Bapak dan Umi tak bisa membuat saya puas dan mengangguk. Sampai Allah mempertemukan
saya dengan Ustadzah Yani yang mengajarkan saya tentang akidah dan Kak Risa
yang menunjukkan pada saya bagaimana implementasinya sebagai seorang perempuan
Muslim.
Bagaimana jika anak-anak saya nanti menemui kebimbangan hal yang sama?
Beruntung jika seperti saya yang dipertemukan dengan orang-orang yang lurus.
Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika saya sebagai orang tua tak mampu
menyediakan jawaban yang dicari anak-anak saya dan mereka memutuskan pilihan
lain sebelum melakukan pencarian seperti yang saya lakukan? Iman tak dapat diwariskan!
Kemudian di mata saya menikah menjadi hal yang menakutkan
jika tak dipersiapkan dengan matang. Ada tanggung jawab besar yang harus siap
diemban. Belum lagi bicara tentang tanggung jawab di lingkungan masyarakat.
Jika memikirkan hal-hal tersebut, saya tak habis pikir, teman-teman yang berani
memutuskan untuk menikah pastilah memiliki kekuatan mental yang besar, dan
semoga bukan karena kekurangpahaman. Untuk mereka yang berani mengambil
tanggung jawab di usia muda, hormat saya pun tak ada tapi-tapinya.
Maka mari kita berdoa agar Ia jauhkan perkara-perkara yang
kita belum siap menghadapinya dan agar Ia sampaikan hal-hal yang baik dengan cara yang
baik pula. Semoga Allah mudahkan proses kita dalam perbaikan diri, bukan karena
agar dipertemukan dengan orang yang baik, melainkan karena perbaikan diri
adalah sebuah kewajiban sepanjang hidup. Dan ketika kita menikah untuk memenuhi sunnah, semoga itu menjadi jalan untuk melangkah lebih dekat pada RidhaNya. Jika Allah yang jadi pangkal dan ujungnya, maka perkara rumah tangga hanya kerikil dalam pendakian.
Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik.
Gombong, 5 Juni 2016.
Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik.
Gombong, 5 Juni 2016.