Senin, 06 Juni 2016

Mabit 05062016

Ini pertama kalinya saya menghadiri kajian pra nikah yang tidak menganjurkan para pesertanya untuk “menyegerakan”.

Tidak Wajib

Sejauh yang saya pahami dan yakini, tidak ada ayat Al-Quran yang mewajibkan seseorang untuk menikah.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nuur: 32)

Dari redaksinya, berarti perintahnya bukan perintah menikah, tetapi menikahkan. Menikahkan siapa? Putra-putri kita dan orang-orang sekitar yang dianggap sudah memenuhi syarat. Berarti, (1) yang punya kewajiban adalah orang tua kita untuk menikahkan anak-anaknya dan (2) ketika seseorang hendak menikahi orang lain, temuilah orang tua atau walinya, bukan orang yang akan dinikahi.

Hukum yang saya pahami soal menikah adalah sunnah muakkad, karena Rasulullah melakukannya dan menganjurkannya. Barangsiapa benci sunnahku, maka ia bukanlah umatku. Perkara menikah kemudian menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram bisa berganti-ganti sesuai dengan kaidah fiqih yang berlaku.

Menjadi aneh ketika muda-mudi Muslim sekarang ini begitu bersemangat bicara soal menikah dan terkesan terburu-buru ingin mendapatkan pasangan. Hal ini mengesankan seolah menikah adalah perkara wajib dan menimbulkan dosa jika tidak segera dilaksanakan. Padahal tidak ada ayat yang secara langsung mewajibkan seseorang untuk menikah. Meskipun tidak mengapa jika seseorang memang memiliki kondisi sedemikian rupa sehingga jatuh hukum wajib baginya untuk menikah, yang berarti hukumnya kondisional.

Ada Kewajiban yang Lebih Tinggi

Tergesa-gesa dalam euforia menikah membuat kita melupakan yang wajib, yakni jihad fii sabilillah. Kita lupa bahwa hakikatnya setiap orang mengemban amanah dakwah di pundaknya masing-masing.

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imran: 104)

"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu sampai kepadamu. Dan serulah mereka ke jalan Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya." (Al-Qasas: 87)

Lulus kuliah bukannya memikirkan cara untuk terjun dan bergerak di masyarakat, malah kita sibuk galau memikirkan urusan cinta. Ditambah banyak teman-teman kita yang menikah muda, semakin galau kita memikirkan jawaban pertanyaan, “Kapan nyusul?” di setiap reuni atau kondangan pernikahan teman.

Kita pun sibuk menyusun kriteria suami/istri idaman: seorang ikhwan/akhwat, imannya kuat, sayang keluarga, mapan, cerdas, tampan/cantik, dan sebagainya. Lalu kita seolah sibuk berlindung di balik frasa “memperbaiki diri”. Yang laki-laki mendadak menumbuhkan jenggot, perempuan memakai hijab lebar, memanggil satu sama lain dengan sebutan akhi/ukhti. Berdebat soal fiqih dan syariat di persoalan Islam yang cabang. Tapi tak ada obrolan tentang visi dakwah dan masyarakat yang perlu diperbaiki!

Berapa orang yang sedang kita bina? Ladang dakwah mana yang sedang kita garap? Terlebih, berada di prioritas nomor berapa dakwah dalam hidup kita?

Dakwah adalah menyeru kepada kebaikan, kepada keselamatan yang kita yakini ada dalam Islam. Ada banyak cara pelaksanaannya, banyak ladang juangnya karena dakwah bermakna luas. Tapi jangan dipersempit hanya dengan sekadar berbuat baik kepada sesama manusia dan berdakwah dalam keluarga. Itu bagian dari dakwah, tapi ranah dakwah bukan hanya itu!

Amanah Dakwah di Pundak Kita

Mengapa banyak orang yang sentimen terhadap dakwah? Karena dakwah menyeru kepada ketaatan ketika kita semua terlanjur mengagungkan kebebasan. Untuk mencapai keselamatan, ada pedoman yang mesti dipatuhi: Al-Qur’an dan sunnah. Padahal selama ini kita bersyahadat hanya di mulut saja. Kita berislam karena orang tua kita Islam. Karena istri/suami kita Islam. Karena kita tidak pernah memilih. Tapi benarkah kita tak diberi kesempatan memilih?

Setiap pagi ketika mata kita terbuka, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Bagi mereka yang sadar, setiap pagi adalah kesempatan untuk memilih hal baru. Jika ada orang yang merasa bahwa mereka Islam karena tak punya pilihan, maka mereka adalah orang-orang yang sungguh bodoh dan rugi.

Saya pernah mengalami masa di SMP ketika menjejakkan kaki di gereja dan ingin masuk Kristen saja. Lalu di masa kuliah ketika pada satu titik saya merasa bahwa semua agama adalah konstruksi sosial dan lebih baik tidak usah punya agama. Ditambah lagi dengan kekecewaan pelihat gerakan dakwah kampus yang tidak mencapai titik ideal yang saya ekspektasikan. Lalu kenapa saya tetap Islam? Karena saya secara sadar sudah memilih! Dan sejak saya memilih atas dasar pengetahuan dan bukan ikut serta orang tua belaka, setiap harinya adalah perjuangan mempertahankan keyakinan yang sudah saya tetapkan. Tiap harinya adalah perjuangan!

Saya bukan satu-satunya yang akhirnya menetapkan pilihan. Lalu bagaimana dengan orang lain yang masih berada dalam pusaran kebingungan? Arus pluralisme dan sekulerisme demikian hebatnya hingga yang hitam dan putih sudah tak bisa dibedakan. Teman-teman kita barangkali juga banyak yang sulit membedakan. Berbekal akidah yang seadanya, muak dan lelah dengan perdebatan kelompok-kelompok Islam di tataran syariah, dan tergiur propaganda sekuler yang melemahkan akidah. Pertanyaan yang kemudian menusuk kita yang merasa sadar adalah, di mana wujud dakwah kita?

Menjadi seorang dai tak berarti harus menyeru dari corong masjid-masjid, mengisi acara pengajian di televisi, menulis artikel Islami di media, dan berbagai pemahaman atas dai lainnya. Menjadi dai berarti membuat perubahan positif yang sejalan dengan aturan Allah di lingkungan atau ladang dakwah masing-masing. Ada kebutuhan untuk menyeru, menyampaikan, dan utamanya menjadi teladan.

Mari kita ke pertanyaan selanjutnya: apa yang sudah kita sampaikan di lingkungan tempat kita sehari-hari menghabiskan waktu? Jika tidak ada, bagaimana kita bertanggung jawab atas ayatNya yang sudah sampai kepada kita?

Menikah Bagian dari Dakwah

Jalan dakwah itu sedih, sakit, dan sulit. Teman-teman yang pernah secara aktif terlibat di rohis sekolah atau kampus pasti mengerti. Maka banyak yang berguguran sebelum usia sampai pada ujungnya, sebelum organisasi sampai pada purnanya. Banyak yang menyerah dan kalah. Banyak yang kecewa karena objek dakwah tak kunjung terlihat perubahannya. Padahal bukan itu! Kita tak diperintahkan untuk mengislamkan seseorang atau membuat seorang yang jahat menjadi baik. Perintah yang sampai kepada Muhammad dan kita umatnya adalah perintah untuk menyampaikan, menyeru. Soal hidayah itu urusanNya. Dan Ia menyiapkan pahala dan hadiah yang besar bagi mereka yang istiqamah.

Karena sedih, sakit, dan sulit jalannya untuk ditempuh, maka Allah siapkan untuk kita pasangan sebagai teman hidup. Dari kita akan lahir generasi yang melanjutkan estafet dakwah yang belum selesai. Dari pasangan itu muncul motivasi yang baru, semangat yang baru untuk istiqamah pada apa yang telah kita pilih. Ketika lunglai bahu kita, tersengal napas kita, lemas kaki kita setelah seharian menunaikan kewajiban ibadah dan dakwah, telah Allah siapkan istri dan suami serta anak-anak yang menjadi tempat berbagi dan sumber kebahagiaan. Ketika hati kita goyah atas terpaan kenyataan di lapangan, membuat hati menciut dan kecewa merambat, keluarga hadir sebagai tempat pulang yang menguatkan.

Maka dari itu, menjadi salah ketika baik perempuan maupun laki-laki, setelah menikah malah berkurang aktivitas dakwahnya. Ketika sebelum menikah sang istri rajin mengisi halaqah, ta’lim, dan aktif di masyarakat, sungguh menyedihkan jika setelah menikah ia justru hanya sibuk di rumah. Demikian dengan laki-laki. Bukankah menikah adalah memenuhi separuh agama? Maka jangan sampai karena menikah, ada kewajiban agama di separuh yang lain jadi ditinggalkan.

Suami dan istri harus bisa menjaga keseimbangan rumah tangga, dalam hal yang sifatnya dakwah di masyarakat dan di keluarga. Jangan sampai suami dan istri sibuk mengurusi dakwah dalam keluarga dan melupakan bahwa ada yang perlu diperbaiki di lingkungan mereka. Sebaliknya, jangan sampai terlalu sibuk di luar rumah sehingga lupa ada keluarga yang butuh mereka dakwahi pula.

Persiapannya Tidak Main-Main

Di detik kita berpikir untuk memilih menjalankan menikah sebagai sunnah, saat itu juga harus kita pahami bahwa menikah bukan sekedar perkara suka sama suka. Ketika menikah ditujukan sebagai salah satu agenda dakwah, ada ilmu yang wajib kita kuasai sebelum memulai mempersiapkan yang lain: Tarbiyatul Aulawiyat atau Fiqih Prioritas. Kita wajib mengerti prioritas utama kita sebagai Muslim. Setelahnya, insya Allah apa-apa yang kita canangkan sebagai kriteria akan sesuai dengan akidah dan syariatNya. Ilmu akidah sudah jelas menjadi kewajiban utama.

Kita pun mesti memahami ilmu parenting. Menjadi orang tua Muslim bukan hanya membesarkan anak sebagai pribadi yang pintar dan baik. Lebih dari itu, bagaimana membentuk pribadi yang akidahnya kuat dan logikanya sehat. Pertanyaan yang diajukan kepada saya oleh Ustadzah sangat menohok.

“Coba, Mbak Nisa. Jika Mbak Nisa jadi orang tua, bagaimana caranya Mbak Nisa bisa menjamin bahwa putra-putri Mbak Nisa akan tetap Islam, bahkan jika mereka Mbak Nisa bebaskan untuk memilih agama?”

Sekilas jawabannya sungguh sederhana: bekali dengan akidah yang baik.

Tapi sungguh, saat itu saya tak bisa menjawab. Saya sudah merasakan sendiri proses pencarian hidayah ketika saat itu saya pun sudah berstatus Islam. Saya ingat bagaimana saya berpindah dari satu lingkaran kajian kelompok Islam ke lingkaran kelompok lain. Saat itu masih SMP, bahkan saya begitu penasarannya mengapa orang tua mengatakan bahwa agama lain itu tidak akan masuk surga dan memutuskan datang sendiri ke gereja sebelum akhirnya ketahuan dan diseret pulang oleh Bapak. Bertahun-tahun saya mencari jawaban-jawaban yang Bapak dan Umi tak bisa membuat saya puas dan mengangguk. Sampai Allah mempertemukan saya dengan Ustadzah Yani yang mengajarkan saya tentang akidah dan Kak Risa yang menunjukkan pada saya bagaimana implementasinya sebagai seorang perempuan Muslim.

Bagaimana jika anak-anak saya nanti menemui kebimbangan hal yang sama? Beruntung jika seperti saya yang dipertemukan dengan orang-orang yang lurus. Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika saya sebagai orang tua tak mampu menyediakan jawaban yang dicari anak-anak saya dan mereka memutuskan pilihan lain sebelum melakukan pencarian seperti yang saya lakukan? Iman tak dapat diwariskan!

Kemudian di mata saya menikah menjadi hal yang menakutkan jika tak dipersiapkan dengan matang. Ada tanggung jawab besar yang harus siap diemban. Belum lagi bicara tentang tanggung jawab di lingkungan masyarakat. Jika memikirkan hal-hal tersebut, saya tak habis pikir, teman-teman yang berani memutuskan untuk menikah pastilah memiliki kekuatan mental yang besar, dan semoga bukan karena kekurangpahaman. Untuk mereka yang berani mengambil tanggung jawab di usia muda, hormat saya pun tak ada tapi-tapinya.

Maka mari kita berdoa agar Ia jauhkan perkara-perkara yang kita belum siap menghadapinya dan agar Ia sampaikan hal-hal yang baik dengan cara yang baik pula. Semoga Allah mudahkan proses kita dalam perbaikan diri, bukan karena agar dipertemukan dengan orang yang baik, melainkan karena perbaikan diri adalah sebuah kewajiban sepanjang hidup. Dan ketika kita menikah untuk memenuhi sunnah, semoga itu menjadi jalan untuk melangkah lebih dekat pada RidhaNya. Jika Allah yang jadi pangkal dan ujungnya, maka perkara rumah tangga hanya kerikil dalam pendakian.

Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik.



Gombong, 5 Juni 2016.

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...