Senin, 30 September 2019

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih sederhana jika dituangkan dalam tulisan. Tetapi semakin mempelajari isu, semakin mencoba melihat dari berbagai sudut pandang melalui diskusi-diskusi dengan kawan-kawan, semakin tidak layak rasanya jika semua dimampatkan dalam tulisan dua-tiga halaman.

Selagi saya gundah memikirkan angle tulisan sambil mencari hiburan, cuplikan drama Korea lawas Queen Seondeok muncul di halaman rekomendasi Youtube. Cuplikan itu mengingatkan saya pada pertarungan dua perempuan paling tangguh dan cerdas sejagat drama Korea: Deokman si Putri Mahkota dan Mishil sang ketua partai oposisi.

Keduanya sama-sama ingin menjadi ratu negeri Shilla dan memiliki cita-cita atas negerinya. Putri Deokman yang baru saja dengan cerdik mengklaim posisinya sebagai Putri Mahkota berhadapan dengan Mishil, yang sudah puluhan tahun berpengalaman menjadi negarawan dan politisi ulung Shilla. Pendekatan keduanya atas hubungan pemerintah dan rakyat jauh berbeda. Mishil mencemooh program kerja pertama Deokman sebagai Putri Mahkota yang hendak membangun sebuah observatorium untuk dikelola secara independen oleh ilmuwan dan bisa digunakan oleh masyarakat umum.

Menurut Mishil, memberikan pengetahuan tentang almanak pada masyarakat tidak akan ada gunanya. 
Pemerintahlah, melalui Pendeta Agung, yang bertugas memberi tahu masyarakat tentang informasi dari bintang-bintang. Pemerintah yang menentukan kapan waktu menanam, kapan waktu panen, melaut, dan sebagainya. Di sisi lain, masyarakat bergantung pada pemerintah untuk hal-hal yang mereka pikir berada di luar kendali mereka seperti mendatangkan hujan, mengobati penyakit, dan sebagainya. Masyarakat cukup tahu dan percaya bahwa pemerintah sedang bekerja keras untuk mereka. Masyarakat belum siap mengelola pengetahuan itu, kata Mishil. Dan ingat, mereka juga punya tendensi untuk menimbulkan kekacauan jika mereka diberi kesempatan. Mereka bisa dikendalikan dengan ilusi bahwa pemerintah (bahasa di drama: penguasa) adalah satu-satunya yang punya akses terhadap hukum dari langit.

Deokman berpikir lain. Masyarakat berhak atas informasi. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak mau tahu tentang mengapa hujan turun, tetapi dengan informasi mereka bisa menentukan sendiri kapan waktu menanam dan bagaimana memprediksi kekeringan tanpa bergantung pada upacara meminta hujan yang dilakukan pemerintah lewat doa-doa Pendeta Agung dan pelayan-pelayannya. Bahwa kerajaan adalah satu-satunya yang memiliki hak istimewa untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa di langit (divine right) adalah ilusi yang dipelihara untuk kepentingan politik, kata Deokman.


Pendeta Agung ini langsung mengingatkan saya pada elit-elit politik yang terlibat dalam perancangan undang-undang. Saya tidak bisa merangkum dengan baik peristiwa aksi mahasiswa dengan tujuh tuntutannya. Peserta aksi dan masyarakat yang mendukungnya memiliki alasan yang berbeda-beda, sesuai informasi yang berhasil masing-masing cerna. Saya kira itu adalah hal yang wajar, karena sepaham saya sebuah gerakan memang tidak dibangun hanya dari satu alasan.

Wajar juga jika tidak semua peserta aksi membaca RUU yang pasal-pasalnya mereka protes. Dan tidak adil jika menganggap bahwa jika sudah membaca RUU, maka kemungkinan tidak akan ikut aksi. Dan lebih tidak adil lagi, menganggap bahwa mereka yang tidak ikut aksi adalah sudah memahami RUU dan memutuskan untuk setuju.

Pemerintah, yang terdiri dari individu-individu yang menjalankan tupoksinya di dalam lembaga masing-masing, punya kewajiban untuk membuka akses informasi terkait peraturan. Akses informasi yang dimaksud tidak terbatas melalui diskusi-diskusi di kampus, tapi pada masyarakat yang berpotensi terdampak. Justru pihak-pihak lain yang memberi informasi tentang kajian RUU seperti Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengemasnya dengan bahasa sederhana dan menyebarluaskannya melalui media-media dan contoh penerapan hukumnya mendapat perhatian lebih besar daripada RUU itu sendiri.

Saya sepakat dengan pernyataan Haris Azhar yang dilontarkan pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC), bahwa permasalahan di Indonesia terkait hukum adalah pada komunikasi. Ada gap, jarak/selisih pengetahuan antara orang-orang yang terlibat dengan perancangan hukum, penegak hukum, dan masyarakat terdampak. Kasus-kasus yang dijadikan contoh oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kanal mereka, reformasikuhp.org, adalah bukti tidak berhasilnya penyampaian kodifikasi hukum ke tataran akar rumput. Sehingga natural saja munculnya reaksi balik dari hendak disahkannya RUU yang problematik.  Jangankan soal substansi, redaksionalnya saja bisa menimbulkan multitafsir. Dalam situasi dimana kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun, kegagalan pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan publik atas komunikasi mendorong terjadinya demonstrasi.

Kanal-kanal komunikasi tentang peraturan perundang-undangan harus dibuka di banyak tempat dan digunakan sebaik mungkin untuk mengedukasi masyarakat tentang hukum. Mungkin benar jika mengikuti kata Mishil bahwa masyarakat tidak peduli dengan pengetahuan-pengetahuan itu sepanjang pemerintah memenuhi kebutuhan mereka di dalam ilusi yang pemerintah ciptakan. Masyarakat mungkin merasa tidak perlu tahu bagaimana RUU dirumuskan, berapa orang yang hadir dalam perumusan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, atau bahkan kenapa rumusan itu diperlukan. Namun masyarakat perlu tahu kewajiban dan hak mereka di ranah hukum. Masyarakat perlu tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membela diri sendiri ketika suatu hari mereka diperkarakan di depan hukum atas hal-hal yang tidak mereka pahami. Apalagi jika sebagian besar masyarakat tidak punya cukup sumber daya untuk mengakses keadilan: menghubungi lembaga bantuan hukum atau menyewa jasa pengacara, misalnya.


Aksi mahasiswa membuka mata banyak orang tentang proses perumusan dan isi perundang-undangan di Indonesia. Saya salah satu dari sekian banyak orang yang terpaksa membaca teks panjang berisi ratusan pasal yang sebagian besarnya baru saya ketahui. Misalnya ada pasal yang mengatur tentang kerumuman dan ancaman pidana jika tidak membubarkan diri dalam tiga kali peringatan. Makanya ketika hendak mengadakan acara ramai-ramai apapun harus minta izin polisi setempat, selain untuk menertibkan juga agar tidak kena pasal. Demikian juga pasal tentang gelandangan dan dukun santet yang menjadi sorotan banyak orang.

Semakin penting juga bagi masyarakat untuk tidak asal menyoblos kertas suara di pemilihan umum. Yang penting bukan hanya memilih presiden saja, tapi mengenal calon perwakilan di DPR dan DPD berikut kepentingan yang dibawanya sama krusialnya. Saya sendiri sudah lupa di kertas suara DPR pada pemilu 2014 pilih siapa dan bertanya-tanya apakah ia juga salah satu yang terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan kontroversial yang didemo sekarang. Demikian juga pada Pemilu 2019, saya menyesal sudah memilih asal-asalan.

Bahwa orang-orang yang kita pilih untuk mewakili kita di pemerintahan akan berjuang demi semata-mata kepentingan kita adalah sebuah ilusi. Demikian juga ilusi bahwa pembangunan infrastruktur oleh negara adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Kebakaran hutan dan lahan serta konflik di Papua buktinya. Ilusi dibangun atas kepercayaan dan ketidaktahuan. Ketika kepercayaan terhadap wakil-wakil rakyat merapuh, jalanan adalah tempat lampu merah dinyalakan. Aksi mahasiswa adalah peluit peringatan. Kran-kran pengetahuan dibuka ke jalan-jalan.

Mishil bilang, you can’t reign without illusion. Pengetahuan yang diberikan pada rakyat yang tidak siap hanya akan menimbulkan kekacauan. Tapi mereka akan belajar, kata Deokman. Saya belajar.  Democracy is indeed noisy. And the march is never for nothing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...