Mengamati lewat
media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya
kegelisahan di kepala bisa terasa lebih sederhana jika dituangkan dalam
tulisan. Tetapi semakin mempelajari isu, semakin mencoba melihat dari berbagai
sudut pandang melalui diskusi-diskusi dengan kawan-kawan, semakin tidak layak
rasanya j ika semua dimampatkan dalam tulisan dua-tiga halaman.
Selagi saya gundah
memikirkan angle tulisan sambil
mencari hiburan, cuplikan drama Korea lawas Queen Seondeok muncul di halaman
rekomendasi Youtube. Cuplikan itu mengingatkan saya pada pertarungan dua
perempuan paling tangguh dan cerdas sejagat drama Korea: Deokman si Putri
Mahkota dan Mishil sang ketua partai oposisi.
Keduanya
sama-sama ingin menjadi ratu negeri Shilla dan memiliki cita-cita atas
negerinya. Putri Deokman yang baru saja dengan cerdik mengklaim posisinya
sebagai Putri Mahkota berhadapan dengan Mishil, yang sudah puluhan tahun
berpengalaman menjadi negarawan dan politisi ulung Shilla. Pendekatan keduanya
atas hubungan pemerintah dan rakyat jauh berbeda. Mishil mencemooh program
kerja pertama Deokman sebagai Putri Mahkota yang hendak membangun sebuah
observatorium untuk dikelola secara independen oleh ilmuwan dan bisa digunakan
oleh masyarakat umum.
Menurut Mishil,
memberikan pengetahuan tentang almanak pada masyarakat tidak akan ada gunanya.
Pemerintahlah,
melalui Pendeta Agung, yang bertugas memberi tahu masyarakat tentang informasi
dari bintang-bintang. Pemerintah yang menentukan kapan waktu menanam, kapan
waktu panen, melaut, dan sebagainya. Di sisi lain, masyarakat bergantung pada
pemerintah untuk hal-hal yang mereka pikir berada di luar kendali mereka
seperti mendatangkan hujan, mengobati penyakit, dan sebagainya. Masyarakat
cukup tahu dan percaya bahwa pemerintah sedang bekerja keras untuk mereka. Masyarakat
belum siap mengelola pengetahuan itu, kata Mishil. Dan ingat, mereka juga punya
tendensi untuk menimbulkan kekacauan jika mereka diberi kesempatan. Mereka bisa
dikendalikan dengan ilusi bahwa pemerintah (bahasa di drama: penguasa) adalah
satu-satunya yang punya akses terhadap hukum dari langit.
Deokman berpikir
lain. Masyarakat berhak atas informasi. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak
mau tahu tentang mengapa hujan turun, tetapi dengan informasi mereka bisa
menentukan sendiri kapan waktu menanam dan bagaimana memprediksi kekeringan tanpa
bergantung pada upacara meminta hujan yang dilakukan pemerintah lewat doa-doa
Pendeta Agung dan pelayan-pelayannya. Bahwa kerajaan adalah satu-satunya yang memiliki
hak istimewa untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa di langit (divine right) adalah ilusi yang
dipelihara untuk kepentingan politik, kata Deokman.
Pendeta Agung ini
langsung mengingatkan saya pada elit-elit politik yang terlibat dalam perancangan
undang-undang. Saya tidak bisa merangkum dengan baik peristiwa aksi mahasiswa
dengan tujuh tuntutannya. Peserta aksi dan masyarakat yang mendukungnya
memiliki alasan yang berbeda-beda, sesuai informasi yang berhasil masing-masing
cerna. Saya kira itu adalah hal yang wajar, karena sepaham saya sebuah gerakan memang
tidak dibangun hanya dari satu alasan.
Wajar juga jika
tidak semua peserta aksi membaca RUU yang pasal-pasalnya mereka protes. Dan
tidak adil jika menganggap bahwa jika sudah membaca RUU, maka kemungkinan tidak
akan ikut aksi. Dan lebih tidak adil lagi, menganggap bahwa mereka yang tidak
ikut aksi adalah sudah memahami RUU dan memutuskan untuk setuju.
Pemerintah, yang
terdiri dari individu-individu yang menjalankan tupoksinya di dalam lembaga
masing-masing, punya kewajiban untuk membuka akses informasi terkait peraturan.
Akses informasi yang dimaksud tidak terbatas melalui diskusi-diskusi di kampus,
tapi pada masyarakat yang berpotensi terdampak. Justru pihak-pihak lain yang
memberi informasi tentang kajian RUU seperti Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengemasnya
dengan bahasa sederhana dan menyebarluaskannya melalui media-media dan contoh
penerapan hukumnya mendapat perhatian lebih besar daripada RUU itu sendiri.
Saya sepakat
dengan pernyataan Haris Azhar yang dilontarkan pada acara Indonesia Lawyer Club
(ILC), bahwa permasalahan di Indonesia terkait hukum adalah pada komunikasi.
Ada gap, jarak/selisih pengetahuan antara
orang-orang yang terlibat dengan perancangan hukum, penegak hukum, dan
masyarakat terdampak. Kasus-kasus yang dijadikan contoh oleh Aliansi Nasional
Reformasi KUHP di kanal mereka, reformasikuhp.org,
adalah bukti tidak berhasilnya penyampaian kodifikasi hukum ke tataran akar
rumput. Sehingga natural saja munculnya reaksi balik dari hendak disahkannya
RUU yang problematik. Jangankan soal
substansi, redaksionalnya saja bisa menimbulkan multitafsir. Dalam situasi
dimana kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun, kegagalan pemerintah
untuk mengakomodasi kebutuhan publik atas komunikasi mendorong terjadinya
demonstrasi.
Kanal-kanal
komunikasi tentang peraturan perundang-undangan harus dibuka di banyak tempat
dan digunakan sebaik mungkin untuk mengedukasi masyarakat tentang hukum.
Mungkin benar jika mengikuti kata Mishil bahwa masyarakat tidak peduli dengan
pengetahuan-pengetahuan itu sepanjang pemerintah memenuhi kebutuhan mereka di
dalam ilusi yang pemerintah ciptakan. Masyarakat mungkin merasa tidak perlu
tahu bagaimana RUU dirumuskan, berapa orang yang hadir dalam perumusan, berapa
lama waktu yang dibutuhkan, atau bahkan kenapa rumusan itu diperlukan. Namun masyarakat
perlu tahu kewajiban dan hak mereka di ranah hukum. Masyarakat perlu tahu apa
yang harus mereka lakukan untuk membela diri sendiri ketika suatu hari mereka diperkarakan
di depan hukum atas hal-hal yang tidak mereka pahami. Apalagi jika sebagian
besar masyarakat tidak punya cukup sumber daya untuk mengakses keadilan: menghubungi
lembaga bantuan hukum atau menyewa jasa pengacara, misalnya.
Aksi mahasiswa
membuka mata banyak orang tentang proses perumusan dan isi perundang-undangan
di Indonesia. Saya salah satu dari sekian banyak orang yang terpaksa membaca
teks panjang berisi ratusan pasal yang sebagian besarnya baru saya ketahui.
Misalnya ada pasal yang mengatur tentang kerumuman dan ancaman pidana jika
tidak membubarkan diri dalam tiga kali peringatan. Makanya ketika hendak mengadakan
acara ramai-ramai apapun harus minta izin polisi setempat, selain untuk menertibkan
juga agar tidak kena pasal. Demikian juga pasal tentang gelandangan dan dukun
santet yang menjadi sorotan banyak orang.
Semakin penting
juga bagi masyarakat untuk tidak asal menyoblos kertas suara di pemilihan umum.
Yang penting bukan hanya memilih presiden saja, tapi mengenal calon perwakilan
di DPR dan DPD berikut kepentingan yang dibawanya sama krusialnya. Saya sendiri
sudah lupa di kertas suara DPR pada pemilu 2014 pilih siapa dan bertanya-tanya apakah
ia juga salah satu yang terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan kontroversial
yang didemo sekarang. Demikian juga pada Pemilu 2019, saya menyesal sudah
memilih asal-asalan.
Bahwa orang-orang
yang kita pilih untuk mewakili kita di pemerintahan akan berjuang demi semata-mata
kepentingan kita adalah sebuah ilusi. Demikian juga ilusi bahwa pembangunan
infrastruktur oleh negara adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Kebakaran
hutan dan lahan serta konflik di Papua buktinya. Ilusi dibangun atas kepercayaan
dan ketidaktahuan. Ketika kepercayaan terhadap wakil-wakil rakyat merapuh, jalanan
adalah tempat lampu merah dinyalakan. Aksi mahasiswa adalah peluit peringatan.
Kran-kran pengetahuan dibuka ke jalan-jalan.
Mishil bilang, you can’t reign without illusion. Pengetahuan
yang diberikan pada rakyat yang tidak siap hanya akan menimbulkan kekacauan. Tapi
mereka akan belajar, kata Deokman. Saya belajar. Democracy
is indeed noisy. And the march is never for nothing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar