Abaikan judul
artikel yang kedengarannya cukup berat. Sebetulnya saya hanya mau bercerita
sedikit tentang pengalaman liburan di Seoul, ibukota Korea Selatan pada awal
Maret lalu yang selalu tertunda. Pasalnya waktu menulis cerita perjalanan, saya
kesusahan merangkup sembilan hari petualangan ke dalam satu artikel. Alhasil
saya mencoba memecahnya menjadi beberapa tulisan. Salah satunya artikel ini
yang saya tulis setelah mengikuti diskusi pariwisata di Roemah Martha Tilaar
tentang sudut pandang konsumen terhadap wisata Kebumen.
Saya teringat pengalaman menjadi konsumen di Seoul, sebuah kota yang pariwisatanya sudah dikelola dengan baik dan menjadi salah satu pilar ekonomi nasional. Rasanya agak ajaib juga. Tanpa pemandu, tanpa tujuan yang jelas (itinerary) yang telah disusun
sebelumnya, saya dan dua teman saya bisa sangat menikmati seisi kotanya. Saya ingin secara bertahap berbagi cerita tentang pengalaman menjadi turis (boleh kan, sekali-kali lah). Di kesempatan pertama ini, tentang bagaimana kota Seoul mengelola “ruang”. Seringkali ketika berwisata, kita fokus pada objek wisata yang akan dikunjungi, sehingga jika berwisata mandiri (tanpa pemandu atau agen travel wisata) di luar objek wisata, kita (khususnya saya) merasa bingung harus kemana. Di tulisan ini secuplik kisah tentang Seoul yang berhasil membuat pengunjung-pengunjungnya tak perlu merasa seperti anak hilang karena tidak punya tempat khusus yang dituju.
Siapa tau bisa jadi inspirasi untuk mengolah daerah sendiri, ya kan, hehehe.
1. Transportasi
publik yang murah dan terintegrasi
Bagi anak muda
yang (masih) misqueen kaya kami ini,
liburan dengan ikut paket tur lengkap dengan pemandu dan fasilitas transportasi
jelas di luar pilihan. Mahal, Bu. Ngeteng
alias backpacker adalah satu-satunya
cara yang memungkinkan untuk jalan-jalan, baik di dalam maupun luar negeri. Nah
di Seoul, kami tak perlu khawatir. Ada dua transportasi utama yang digunakan warga
Seoul untuk wara-wiri di dalam kota: subway dan bus. Subway adalah kereta
listrik yang punya jaringan rumit di bawah tanah yang menghubungkan
stasiun-stasiun yang ada hampir di (mungkin istilah di Indonesia) setiap persimpangan
jalan besar. Misalnya di SGB Gombong, perempatan Secata, Jl. Potongan dekat
pasar, pertigaan Sangkal Putung, dll yang jaraknya masih sangat berdekatan
(kira-kira jarak 1-2 menit perjalanan kereta). Stasiun subway bisa terdiri dari
banyak pintu dan beberapa lantai ke bawah tanah, tergantung banyaknya lintasan
yang dilewati. Di Seoul Station yang dilewati semua jalur subway, misalnya,
kalau tidak salah sampai lima atau enam lantai ke bawah tanah. Jaringan subway
di Seoul adalah jaringan subway paling rumit ke tiga setelah London dan New
York.
![]() |
Gwangheungchang Subway Station |
Eits jangan takut hilang. Kami hanya perlu install Naver Maps dan Kakao Metro
yang lengkap memberikan informasi tentang transportasi umum di Seoul. Kedua
aplikasi tersebut bisa memberitahu kami berada di titik mana dan harus naik apa
saja (termasuk berapa stasiun/halte yang harus dilewati) untuk ke mana.
![]() |
Saya paling suka naik bus. Bisa lihat-lihat pemandangan sekitar dan mengamati orang-orang di pinggir jalan (bukan intel kok) |
Tak jauh dari
stasiun subway (di permukaan tanah), pasti ada halte bus. Nah halte bus ini
punya papan informasi jalur bus berikut petunjuk transit jika ingin pindah ke
jalur lain. Papan informasinya juga mencantumkan waktu kedatangan bus dan nomor
busnya. Bagian dalamnya mirip TransJakarta. Tak perlu takut salah naik karena
meskipun orang Korea banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris dan kesulitan baca
alfabet, semua informasi umum di Seoul ditulis bilingual Korea dan Inggris. Biayanya
transportasinya juga murah. Subway kalau tidak salah ingat 1.500 Won dan bus
antara 800 sampai 1.200 Won tergantung jaraknya. Bayarnya pakai T-Money
(semacam e-money card) untuk digunakan di semua alat transportasi termasuk
taksi. Kita tinggal top-up di minimarket atau di ATM yang ada di hampir setiap
gang. Ramah turis (misqueen) banget!
![]() |
Rest area sekaligus photobooth di salah satu pojok stasiun bawah tanah (subway) |
2. Ruang
terbuka di tengah kota
Ini yang paling
bikin betah di Seoul meski kocek kami cekak. Objek wisata di Seoul ada banyak,
mulai dari istana-istana yang dibangun di periode Shilla sampai Joseon (yang
suka drama saeguk pasti tau dong),
museum, Namsan Tower (Monasnya orang Korea), dan lain-lain. Beberapa tempat tiket
masuknya tidak murah, hiks. Karena isi dompet minim, kami harus puas dengan
rencana jalan-jalan sebatas keliling kota. Tapi ternyata sepanjang jalan pun
sudah sangat layak disebut wisata! Trotoarnya cantik-cantik, rapi, dan lebar ramah pejalan kaki. Ada taman-taman kota seperti Haneul Park
(Sky Park) yang biasa jadi tempat hiking
ringan untuk manula dan keluarga. Di musim semi, Haneul Park sangat indah
dengan banyak bunga-bunga warna-warni di puncak bukitnya. Sayang kami ke sana
saat perbatasan akhir musim dingin dengan awal musim semi. Tidak berkesempatan
melihat salju dan bahkan dedaunan pun belum trubus,
jadi hanya dapat dinginnya thok
(maklum, tiket pesawatnya kan modal promo hehe).
![]() |
Duduk-duduk di Haneul Park setelah naik ratusan tangga untuk ke puncak bukit |
Di sepanjang
pinggiran Sungai Han yang membelah Kota Seoul, terdapat banyak spot untuk
olahraga. Tahu kan, seperti alat-alat outbond
yang sering kita lihat di halaman Taman Kanak-Kanak. Perosotan, jungkat-jungkit,
tangga rintangan, alat aerobik juga ada. Tapi bedanya ini untuk orang dewasa
(yang anak-anak juga ada sih). Semua orang boleh pakai dan ada kran air minum
juga di dekatnya. Di beberapa titik ada minimarket yang bisa kita mampir untuk
sekadar beli cup ramyeon lalu makan
sambil duduk-duduk di tangga pinggir sungai sampai bosan. Kami sempat menilik
Chonggyecheon Stream, yaitu sungai kecil di pusat kota yang katanya adalah
sungai cikal-bakal kota Seoul jaman dulu. Di musim panas, masyarakat membuat
festival lampion di tepi aliran sungai yang super jernih dan jadi atraksi
wisata juga. Meski tanpa itinerary
yang jelas, akhirnya kami bebas saja mengikuti langkah kaki jalan keliling kota
tanpa merasa bingung harus melakukan apa.
3. Pameran
seni dimana-mana
Di atas sudah
disinggung tentang kami yang tidak banyak persiapan dalam berwisata (karena
lebih sibuk open jastip sih, wkwk). Tapi tanpa perlu ke museum atau
tempat-tempat khusus yang tiketnya mahal pun, kami sudah bisa menikmati seni
budaya Seoul. Tadi sudah diceritakan tentang transportasi umum di Seoul. Di beberapa
titik utama stasiun subway, jarak antar pintu keluar yang dituju bisa jadi
sangat jauh (bisa sampai 1 km di stasiun yang melayani banyak jalur). Kebayang
nggak sih bosannya seperti apa menelusuri lorong-lorong menuju pintu keluar?
Mengatasi hal ini, lorong-lorong itu disulap menjadi galeri seni yang memajang
berbagai hal. Ada lorong yang temanya lukisan seniman-seniman lokal, ada yang
foto-foto pembangunan Seoul yang bersejarah, ada narasi tentang
peristiwa-peristiwa penting sejak zaman Joseon hingga Perang Korea, dan di
sejumlah titik juga dijadikan photobooth.
Ketika memperhatikan dengan seksama, kami tahu lebih banyak tentang Korea
Selatan melalui instalasi-instalasi semacam ini yang tersebar di berbagai
tempat umum. Papan-papan iklan juga ada dimana-mana. Kebanyakan tulisannya
pakai hangul jadi kami tidak bisa
baca. Tapi jangan salah desain iklannya unik-unik dan (tentu saja ini yang kami
lihat) model iklannya oppa-oppa Korea ganteng yang sering kami lihat di
drama-drama. Kyaa, ngga pernah sebahagia ini lihat iklan! >.<
![]() |
Kapan lagi bisa foto sama Chanyeol ~~ |
4. Optimalisasi
pusat informasi turis
Pernah di salah
satu hari kami nyasar karena salah ambil pintu keluar stasiun subway, tepatnya
di daerah Sinchon, dekat Ewha Woman University. Seharusnya Exit 1 tapi kami
keluar di Exit 2 atau 3 yang jaraknya lumayan, harus menyeberang jalan besar
yang ramai dan zebra crossnya juga jauh. Karena baru pertama kali, begitu kami
keluar di Exit yang salah, petunjuk di Naver Maps langsung berubah karena
deteksi otomatis. Nah bingung dong yang tadinya hanya perlu jalan 100 meter
jadi empat sampai lima kali lipatnya. Untunglah kami menemukan Touris Center di
dekat stasiun. Unnie (mbak-mbak) yang jaga di sana seolah radarnya kenceng
banget sampai bisa mendeteksi kami yang sedang bingung. Dengan Bahasa Inggris yang
logatnya Korea banget, si Unnie ini menuntun kami ke kantornya yang kecil tapi
super cozy. Di sepanjang sisi dinding
kantor ada pajangan pigura-pigura yang bercerita tentang peristiwa sejarah yang
pernah terjadi di Sinchon, bersebelahan dengan rak panjang berisi barisan brosur
wisata dari semua distrik di Korea Selatan. Setiap distrik menyediakan setidaknya
lima bahasa untuk masing-masing brosur: Korea, Inggris, China, Jepang, Arab, bahkan
ada juga beberapa yang tersedia dalam bahasa Perancis, Jerman, dan Indonesia!
![]() |
Pojokan ruang tamu Sinchon Tourist Center |
Pusat informasi
turis tidak hanya di pusat atraksi wisata yang banyak didatangi seperti
Myeongdong, tetapi juga tersebar di banyak tempat yang lebih kecil.
Persamaannya adalah letaknya selalu dekat dengan stasiun subway. Fasilitas yang
biasa ditemukan adalah ratusan brosur dan peta detail area tempat kantor pusat
informasi berada, rest area, toilet, dan beberapa menyediakan prayer room (untuk semua kepercayaan, dan
tidak ada mukena atau sajadah apalagi sarung). Sambil menunggu giliran shalat (yang wudhunya harus di toilet stasiun),
kami dipersilakan duduk di kursi-kursi di dalam kantor. Di atas meja di depan
kami, tersedia beberapa tumpuk benda yang awalnya saya kira semacam snack
karena bungkusnya lucu banget. Eh ternyata tisu basah. Unnie penjaga kantor
menjelaskan kepada kami seputar wilayah Sinchon dengan bantuan brosur Distrik
Sinchon. Setelahnya kami pamitan dan si Unnie memberi banyak tisu basah. Untuk
suvenir, begitu katanya. Nggak apa nggak ditawarin minum tapi dapat sangu tisu
basah buat oleh-oleh Emak di rumah, batinku.
![]() |
Barisan kedai lukis on the spot di pelataran Namsan Tower. Per orang/wajah harga jasa lukisnya sekitar 5.000 Won |
5. Museum
dan atraksi wisata gratis tis
Sepanjang
perjalanan kami menggelandang (eh jalan-jalan), selain kebutuhan konsumsi dan
transportasi, kami hanya mengeluarkan uang untuk sewa hanbok (baju tradisional
Korea) seharga 10.000 Won untuk sewa sejam. Perlu diketahui, jika kita masuk ke
Istana Gyeongbukgung dengan memakai hanbok, tiket masuknya gratis. Tapi kalau
tidak pakai hanbok bayar tiket masuk 3.000 Won. Oh iya 1 Won saat kami ke sana
nilainya sekitar 12 sampai 13 Rupiah. Hitung sendiri ya perkiraan harga dalam rupiahnya.
Selain itu, kami hanya mengunjungi objek wisata yang gratisan. Eh jangan salah,
banyak banget tempat wisata yang gratisan di Seoul, terutama museum-museum dan
tempat wisata yang dikelola pemerintah kota dan negara.
![]() |
Pakai hanbok free entry ke Istana Gyeongbuk. Tersedia banyak penyewaan kostum tradisional di sekitar lokasi istana. Harga sewa 10.000 sampai 20.000 Won per jam |
Kami berkunjung
ke Jogyesa Temple. Pas sekali saat itu bertepatan dengan (di Indonesia) Hari
Raya Nyepi. Banyak sekali orang datang ke kuil yang bangunannya khas bangunan
Korea (mirip seperti Jepang sih) dengan dipasangi banyak sekali lampion kertas
bertuliskan aksara China. Karena takut mengganggu orang berdoa, kami hanya
sebantar di sana dan mlipir ke
seberang jalan. Eh ternyata ada museum di bagian basement sebuah gedung tinggi. Iseng-iseng kami ke sana, bertanya
ke petugas yang pakai jas berdasi dan ganteng pula, “Pak, ini beneran museum?
Bisa beli tiket dimana?” pake Inggris. Agak lama sampai ahjusshi (Bapak/Om)nya paham kami nanya apa, sampai akhirnya dia
menggeleng-geleng dan bilang “Come in, come in, it’s free.” Bagian dalamnya,
waah, daebak! Kami berjalan di atas
lapisan kaca dan di bawah kami tampak artefak pondasi bangunan jadul yang telah
direkonstruksi. Dengan konten yang sekeren ini, tiket masuknya gratisan euy. Ada yang mau berkunjung aja udah
seneng, gitu kali ya pikir mereka. Wkwk. Enggak deng. Pemerintah Kota Seoul
memang sangat perhatian ke bidang pariwisata sehingga mereka membangun banyak
tempat umum yang bisa dikunjungi pelancong meskipun hanya sekedar lewat.
![]() |
Ewha Woman University yang kampusnya super cantik dengan gedung-gedung bergaya Eropa. Bagian depan univ ada gedung khusus untuk temporary art exhibition |
Museum-museum yang
bisa dikunjungi gratisan dan sudah kami kunjungi adalah Gongpyeong Historical Site (yang saya
ceritakan di atas), Museum Sejarah Nasional di halaman Istana Gyeongbukgung, Museum
di Istana Deoksugung, Museum War Memorial, SMTown Museum (bagian area pamer depan
gratis, tapi ke area pameran di dalam bayar cukup mahal), dan Temporary Exhibition Museum di Ewha Woman University.
Di Namsan Tower katanya ada museum juga di bagian observatorium tempat kita
bisa naik cable car, tapi kami tidak
ke sana karena tiketnya lumayan, 9.000 Won hanya naik sampai ke observatorium
saja, belum naik cable car. Jadi kami
nrimo hanya duduk-duduk di pelataran
Namsan Tower saja. Itu juga sudah bagus kok, sudah bisa lihat pemandangan Kota
Seoul dari atas bukit. Kejutannya, ternyata setiap jam 10.00 waktu setempat, di
halaman Namsan Tower selalu ada pertunjukan.
Kali ini kami kebetulan dapat atraksi pedang panjang, tarian pedang, dan parodi lawak tradisional (tolong jangan tanya bahasa lokalnya apa, saya lupa). Yang menari pedang ternyata laki-laki pakai pakaian tradisional Korea untuk perempuan (semacam lengger cowok, mungkin?). Gemulai banget tapiii, yaampun cantik! Kami kira setelahnya akan ada semacam topi atau kotak amal, eh, kotak sumbangan yang beredar sebagai ganti menonton penampilan mereka. Tapi ternyata sampai akhir mereka bubar ya bubar saja. Gratis tis tis, untuk tontonan sebagus dan se-menghibur itu. Ah maafkan kami yang terlanjur suuzhon...
Kali ini kami kebetulan dapat atraksi pedang panjang, tarian pedang, dan parodi lawak tradisional (tolong jangan tanya bahasa lokalnya apa, saya lupa). Yang menari pedang ternyata laki-laki pakai pakaian tradisional Korea untuk perempuan (semacam lengger cowok, mungkin?). Gemulai banget tapiii, yaampun cantik! Kami kira setelahnya akan ada semacam topi atau kotak amal, eh, kotak sumbangan yang beredar sebagai ganti menonton penampilan mereka. Tapi ternyata sampai akhir mereka bubar ya bubar saja. Gratis tis tis, untuk tontonan sebagus dan se-menghibur itu. Ah maafkan kami yang terlanjur suuzhon...
![]() |
Pertunjukan tari pedang tradisional oleh komunitas/klub seni lokal yang difasilitasi pengelola Namsan Tower. Ada pertunjukan setiap harinya pukul 10.00 dan 15.00 waktu setempat |
Selama seminggu
kami hanya bolak-balik saja di Seoul sambil belanja titipan orang. Kalau ada
teman yang tanya habis berapa jalan-jalan ke Korea, saya jawabnya agak bingung.
Pasalnya liburan kami bukan liburan biasa. Kami hanya sekedar menclok di satu tempat lalu eksplor wilayah
sekitarnya. Kalau gratis kami masuk, kalau bayar, mikir dulu, lalu seringnya skip pergi ke tempat lain. Kami hanya
ingin lihat Seoul aslinya seperti apa. Dan ternyata mungkin beginilah rasanya
liburan ke sebuah tempat untuk berwisata: ingin merasakan suasana dan denyut
masyarakat setempat: berdesakan di subway, mampir ke pasar tradisional (yang ini saya tidak merasakan, hiks), gonta-ganti naik bus, nongkrong di tepi sungai, duduk-duduk di taman, dan sebagainya. Tanpa harus secara khusus ke lokasi tertentu untuk
melakukan kegiatan tertentu, tanpa merasa cemas karena tidak membuat itinerary yang layak.
Banyaknya ruang publik yang bisa diakses semua orang, informasi yang ramah pelancong, fasilitas umum yang tersedia di seantero kota, membuat kami benar-benar seperti menjadi bagian dari kota tersebut meskipun hanya beberapa hari saja. Seoul bisa kami rasakan di mana saja. Kami tidak banyak spending untuk objek wisata, tapi dana kami alihkan untuk konsumsi, beli banyak oleh-oleh, dan membuka jasa titip produk-produk khas yang hanya ada di Korea (jadi sama saja kan, intinya kami tetap banyak spending buat jajan). Dan jika ditanya apakah ingin kembali ke sana? Dengan lantang kami bisa menjawab, YA!
Banyaknya ruang publik yang bisa diakses semua orang, informasi yang ramah pelancong, fasilitas umum yang tersedia di seantero kota, membuat kami benar-benar seperti menjadi bagian dari kota tersebut meskipun hanya beberapa hari saja. Seoul bisa kami rasakan di mana saja. Kami tidak banyak spending untuk objek wisata, tapi dana kami alihkan untuk konsumsi, beli banyak oleh-oleh, dan membuka jasa titip produk-produk khas yang hanya ada di Korea (jadi sama saja kan, intinya kami tetap banyak spending buat jajan). Dan jika ditanya apakah ingin kembali ke sana? Dengan lantang kami bisa menjawab, YA!
Annisa Qurani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar