Minggu, 04 Agustus 2019

Objektivikasi Islam dalam Kemajemukan Umat

Review bab-bab awal buku “Kekerasan dan Identitas” dan “Identitas Politik Umat Islam”


Abad 17 dan 18 menjadi era munculnya sekulerisme yang memandang agama sebagai masalah individu dan seharusnya dipisahkan dari persoalan negara. Paham sekulerisme lahir dari pengalaman sejarah Barat yang menemukan ketidaksesuaian antara doktrin agama yang diatur gereja-gereja Eropa dengan penemuan-penemuan sains dan perkembangan logika masyarakatnya. Doktrin agama dianggap usang, tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan justru menghambat ilmu pengetahuan. Konflik bermunculan bersamaan menguatnya dukungan dan tuntutan atas penghargaan hak-hak individu atas kebebasan yang sebelumnya dibatasi oleh otoritas keagamaan yang kuat pengaruhnya dalam tata pemerintahan. Kritik-kritik yang dilontarkan pendukung sekulerisme memaksa otoritas keagamaan untuk menyerahkan wewenang mereka di ruang publik dan mundur ke ruang-ruang privat yang mengurusi sebatas individu dan komunitas kecil.

Sekulerisme kemudian menyebar seiring kolonialisme dan berkembang di negara-negara Timur dan dunia Islam. Penekanan sekulerisme pada pemisahan agama dari ruang publik menjadi ancaman nyata bagi agama manapun, khususnya Kristen, Katholik, dan Islam yang dalam sejarah menggunakan kekuasaan negara untuk mengukuhkan doktrin keagamaan. Dalam perjalanannya, Kristen dan Katholik telah perlahan mundur dan menyisakan Islam sebagai agama yang masih memperjuangkan otoritasnya di ruang publik, atau pada konteks tulisan ini adalah urusan politik. Perdebatannya dalam Islam sendiri pun cukup keras sampai memunculkan istilah-istilah pengelompokan fundamentalis, moderat, dan liberal.

Islam memang tidak mengenal sekulerisme karena sejak awal ajarannya melibatkan kehidupan sosial berjamaah (berkelompok) dan membutuhkan pengorganisasian dalam pelaksanaan muamalah (hubungan antarmanusia). Misalnya dalam melaksanakan kewajiban zakat yang, idealnya, memerlukan alat-alat negara untuk mengelolanya (mengidentifikasi warga mana yang sudah terkena wajib zakat, mana yang berhak menerima zakat, pengumpulan dan distribusi zakat, dan sebagainya). Islam memiliki pedoman dalam mengatur hubungan antarmanusia dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik. Karenanya disebut ajaran Islam sebagai ajaran yang kaffah (menyeluruh) dan membutuhkan kehadiran negara sebagai otoritas kekuasaan yang diakui untuk menjalankan ajaran-ajarannya.

Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kaffah menimbulkan celah bagi sekulerisme untuk berkembang. Sangat wajar kiranya jika muncul kekhawatiran atas dominasi Islam baik secara jumlah maupun pengaruh dalam sistem kenegaraan di wilayah yang masyarakatnya plural, heterogen, baik dari segi agama, etnis, budaya, dan sistem kemasyarakatan. Tantangan bagi kaum muslim sendiri adalah menanggapi kekhawatiran tersebut dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana menjadi plural tanpa menjadi sekuler?”

Kemajemukan Umat

Tidak ada identitas tunggal, demikian kata Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas. Secara pribadi, kata Sen, kita semua terkait dengan berbagai macam identitas dalam konteksnya yang berlainan dalam hidup kita masing-masing, terkait dengan latar belakang, lingkungan pertemanan, atau kegiatan sosial kita. Seseorang bisa saja pada saat yang sama adalah, misalnya, seorang warga Indonesia, seorang muslim, seorang pengacara, seorang mahasiswa doktoral, seorang ibu tunggal, seorang anggota komunitas sastra, seorang perempuan berbadan besar yang memakai ukuran XXXL, seorang keturunan Jawa-Bugis, seorang pengidap asma, seorang aktivis pembela hak-hak LGBT, seorang yang alregi debu, dan seorang vegetarian.

Identitas-identitas melekat sebagai ciri bersamaan dengan terbentuknya afiliasi seseorang terhadap suatu kelompok. Masing-masing identitas saling bertukar posisi di tempat yang lebih dominan bergantung pada situasi yang dihadapi orang tersebut, baik disadari atau tidak. Di depan hakim, identitasnya sebagai pengacara akan lebih dominan dibandingkan identitas-identitas lain tanpa menghilangkan pengaruhnya sama sekali. Saat mengambil rapor anaknya di sekolah ia adalah seorang ibu, dan ketika berada di restoran ada bagian identitasnya yang menonjol sebagai seorang vegetarian.

Konteks tersebut berubah-ubah dan setiap identitas yang melekat pada afiliasi selalu memiliki kepentingan yang perlu diakomodasi. Kepentingan inilah yang bisa jadi beririsan dengan identitas lain. Identitas yang sifatnya minor bisa menjadi dominan dan mendorong kohesi homogen jika terdapat hal yang diperjuangkan atau muncul tujuan bersama. Sehari-hari, orang dengan ukuran baju XXXL tidak terhubung satu sama lain. Namun ketika suatu waktu terdapat kebijakan resmi dinaikannya ongkos angkutan umum dan tiket kereta bagi orang-orang berbadan besar, solidaritas antar orang-orang yang merasa berbadan besar akan muncul dan menguat karena ada kepentingan bersama.

Populasi umat Islam sendiri semakin majemuk dalam berbagai bentuk baik vertikal maupun horisontal. Mobilisasi sosial terus berlangsung dan mengubah berbagai macam keadaan yang harus diakomodasi oleh kebijakan. Misalnya meskipun secara angka kesejahteraan meningkat, tetapi ada perubahan dalam mobilisasi sosial. Ada petani-petani muslim yang tidak lagi memiliki lahan, kelas menengah muslim meningkat, pejabat-pejabat muslim naik pangkat ke tingkat pengambil keputusan, ada umat muslim Jawa yang menikah dengan umat muslim Bali dan membangun keluarga dengan etnis berlainan, ada umat muslim yang menjadi dokter, masinis, polisi, tentara, guru, dan sebagainya. Umat muslim ada yang di atas dan ada yang di bawah secara ekonomi dan afiliasi horisontal pun berkembang. Semua bagian umat tersebut berhak atas pelayanan publik dan pelayanan politik yang layak.

Melihat banyaknya afiliasi yang dimiliki individu, ketika isu agama digunakan dalam politik merebak, sangat wajar jika dalam masyarakat reaksinya beragam, bahkan dari kelompok pemeluk agama yang sama. Keragaman reaksi menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat apalagi jika sampai timbul dikotomi dalam keberpihakan politik. Ketika rasa tidak nyaman merebak sampai menimbulkan konflik, agama yang dianggap sebagai sumbernya didorong untuk menyingkir dari dunia politik. 

Objektivikasi Islam

Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa di era demokrasi, Islam membutuhkan “jurus baru” untuk bisa menjalankan ajaran-ajarannya secara menyeluruh. Jurus baru tersebut adalah mengubah pandangan Islam yang ideologis menjadi ilmu, yang sifatnya subjektif menjadi objektif. Ideologi-ideologi menurut Kuntowijoyo terlalu kaku dalam menghadapi kenyataan (realitas objektif). Marhaenisme mengalami kesulitan dalam menghadapi tumbuhnya kelas menengah dan kelas atas. Komunisme tidak mampu menanggulangi ambruknya sistem ekonomi komando. Islam pun terus-menerus ditantang oleh kenyataan atas kemajemukan umat.

Umat yang majemuk beserta masing-masing afiliasinya menciptakan kepentingan yang berbeda sehingga perlu diakomodasi dengan cara yang berbeda pula.  Umat yang berada di golongan ekonomi menengah ke atas dan mendapatkan kesempatan atas pendidikan yang tinggi barangkali bisa dirangkul dengan pendekatan isu-isu yang substansial (politics of the abstract) seperti hukum dan akhlak. Namun bagi kelompok umat yang berada di bawah akan lebih tertarik pada hal-hal yang konkret (politics of the concretes) seperti isu pembangunan.

Hal-hal yang konkret inilah yang menjadi common interest tidak hanya di dalam umat Islam, tetapi juga nonmuslim, karena lebih bersifat objektif. Kemiskinan, misalnya, bagi golongan manapun adalah sebuah permasalahan. Demikian juga banjir, kemacetan, akses pendidikan, dan hal-hal lain yang langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Islam harus bisa menangkap kebutuhan-kebutuhan bersama (common needs) yang timbul dari permasalahan dengan menghadirkan solusi. Namun sayangnya Islam selalu ketinggalan dalam menangani masalah golongan bawah.

Berkaitan dengan realitas objektif inilah, keberadaan Islam sebagai ilmu lebih dibutuhkan daripada keberadaan Islam sebagai ideologi. Islam sebagai ilmu artinya menggunakan pendekatan yang objektif, melihat kenyataan tidak sebagai kebenaran, melainkan kenyataan itu sendiri. Apa yang terlihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh kulit, dan dicium oleh hidung, itulah kenyataan dan terpisah dari asumsi individu pemilik indera. Kemiskinan dan banjir dalam cara pandang subjektif bisa jadi merupakan ujian kesabaran namun itu adalah pandangan pada level individu. Pada level umat, permasalahan kolektif kemiskinan dan banjir adalah sebuah realitas objektif yang harus diselesaikan dengan segera.

Pergeseran Islam dari ideologi ke ilmu mewajibkan perubahan cara pandang dari subjektif ke objektif. Pandangan subjektif hanya berlaku di level individu dan komunitas yang homogen. Untuk bisa mengakomodasi hak-hak publik dan hak politik masyarakat yang heterogen, pandangan objektif perlu diterapkan secara kolektif. Pergeseran cara pandang subjektif ke objektif itu berupa menghilangkan egosentrisme umat, pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme agama.

Pluralisme agama adalah yang paling mudah dirumuskan namun paling sulit dilakukan, demikian Kuntowijoyo menulis dalam bukunya. Pluralisme agama tidak berarti mengakui kebenaran dari semua agama. Ketika kebenaran semua agama diakui, mengapa harus memilih salah satu? Ketika semua agama adalah benar, apakah berarti yang tidak beragama itu salah? Pandangan liberal semacam itu memicu perdebatan yang tidak akan ada habisnya dan sangat tidak produktif. Menurut Kuntowijoyo, kebenaran suatu agama adalah realitas subjektif masing-masing pemeluknya dan tidak bergantung pada pengakuan atau pandangan subjektif dari pemeluk agama lain untuk bisa berfungsi.

Pluralisme yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengakuan secara objektif bahwa setiap dianutnya suatu agama membawa konsekuensi lahirnya kepentingan. Dan kepentingan tersebut dalam konteks warga negara perlu diakomodasi dan dilindungi. Ketika negara memiliki lembaga khusus untuk mengurusi persoalan keagamaan, kita harus melihatnya sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan warga yang membutuhkan negara sebagai alat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam ajarannya. Sekulerisme dalam masyarakat yang beragama justru mencabut hak-hak atas pelayanan negara.

Dengan cara pandang yang objektif dan mengkaji Islam sebagai ilmu, Islam tidak perlu mundur ke ranah privat. Konsekuensinya ketika enggan beranjak dari ruang publik adalah kemauan dan kemampuan umat Islam untuk secara objektif mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang beragam di masyarakat yang plural dengan banyaknya afiliasi-afiliasi yang berbeda. Umat Islam harus membuktikan dan menunjukkan bahwa ajarannya bukanlah ancaman. Langkah pertama tentu saja memahami dan menerima fakta bahwa umat Islam tidaklah hidup sendirian.


Gombong, 5 Agustus 2019

Identitas Buku:

1.     Kekerasan dan Identitas
Amartya Sen, 2006
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Arif Susanto
Edisi kedua, Februari 2016
Penerbit Marjin Kiri



2.     Identitas Politik Umat Islam
Prof. Dr. Kuntowijoyo
Catakan pertama Maret 2018
Penerbit DIVAPress


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...