Review bab-bab awal buku “Kekerasan dan
Identitas” dan “Identitas Politik Umat Islam”
Abad 17 dan 18
menjadi era munculnya sekulerisme yang memandang agama sebagai masalah individu
dan seharusnya dipisahkan dari persoalan negara. Paham sekulerisme lahir dari
pengalaman sejarah Barat yang menemukan ketidaksesuaian antara doktrin agama
yang diatur gereja-gereja Eropa dengan penemuan-penemuan sains dan perkembangan
logika masyarakatnya. Doktrin agama dianggap usang, tidak
mampu mengikuti perkembangan zaman dan justru menghambat ilmu pengetahuan. Konflik bermunculan bersamaan menguatnya dukungan dan tuntutan atas penghargaan hak-hak individu atas kebebasan yang sebelumnya dibatasi oleh otoritas keagamaan yang kuat pengaruhnya dalam tata pemerintahan. Kritik-kritik yang dilontarkan pendukung sekulerisme memaksa otoritas keagamaan
untuk menyerahkan wewenang mereka di ruang publik dan mundur ke ruang-ruang
privat yang mengurusi sebatas individu dan komunitas kecil.
Sekulerisme
kemudian menyebar seiring kolonialisme dan berkembang di negara-negara Timur
dan dunia Islam. Penekanan sekulerisme pada pemisahan agama dari ruang publik
menjadi ancaman nyata bagi agama manapun, khususnya Kristen, Katholik, dan
Islam yang dalam sejarah menggunakan kekuasaan negara untuk mengukuhkan doktrin
keagamaan. Dalam perjalanannya, Kristen dan Katholik telah perlahan mundur dan
menyisakan Islam sebagai agama yang masih memperjuangkan otoritasnya di ruang
publik, atau pada konteks tulisan ini adalah urusan politik. Perdebatannya dalam
Islam sendiri pun cukup keras sampai memunculkan istilah-istilah pengelompokan
fundamentalis, moderat, dan liberal.
Islam memang
tidak mengenal sekulerisme karena sejak awal ajarannya melibatkan kehidupan
sosial berjamaah (berkelompok) dan membutuhkan pengorganisasian dalam
pelaksanaan muamalah (hubungan
antarmanusia). Misalnya dalam melaksanakan kewajiban zakat yang, idealnya,
memerlukan alat-alat negara untuk mengelolanya (mengidentifikasi warga mana
yang sudah terkena wajib zakat, mana yang berhak menerima zakat, pengumpulan
dan distribusi zakat, dan sebagainya). Islam memiliki pedoman dalam mengatur
hubungan antarmanusia dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik. Karenanya
disebut ajaran Islam sebagai ajaran yang kaffah
(menyeluruh) dan membutuhkan kehadiran negara sebagai otoritas kekuasaan yang diakui
untuk menjalankan ajaran-ajarannya.
Penafsiran yang
berbeda-beda terhadap kaffah menimbulkan celah bagi sekulerisme untuk
berkembang. Sangat wajar kiranya jika muncul kekhawatiran atas dominasi Islam
baik secara jumlah maupun pengaruh dalam sistem kenegaraan di wilayah yang
masyarakatnya plural, heterogen, baik dari segi agama, etnis, budaya, dan sistem
kemasyarakatan. Tantangan bagi kaum muslim sendiri adalah menanggapi
kekhawatiran tersebut dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana menjadi plural
tanpa menjadi sekuler?”
Kemajemukan Umat
Tidak ada
identitas tunggal, demikian kata Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan
Identitas. Secara pribadi, kata Sen, kita semua terkait dengan berbagai macam
identitas dalam konteksnya yang berlainan dalam hidup kita masing-masing,
terkait dengan latar belakang, lingkungan pertemanan, atau kegiatan sosial kita.
Seseorang bisa saja pada saat yang sama adalah, misalnya, seorang warga
Indonesia, seorang muslim, seorang pengacara, seorang mahasiswa doktoral,
seorang ibu tunggal, seorang anggota komunitas sastra, seorang perempuan
berbadan besar yang memakai ukuran XXXL, seorang keturunan Jawa-Bugis, seorang
pengidap asma, seorang aktivis pembela hak-hak LGBT, seorang yang alregi debu, dan
seorang vegetarian.
Identitas-identitas
melekat sebagai ciri bersamaan dengan terbentuknya afiliasi seseorang terhadap
suatu kelompok. Masing-masing identitas saling bertukar posisi di tempat yang
lebih dominan bergantung pada situasi yang dihadapi orang tersebut, baik
disadari atau tidak. Di depan hakim, identitasnya sebagai pengacara akan lebih
dominan dibandingkan identitas-identitas lain tanpa menghilangkan pengaruhnya
sama sekali. Saat mengambil rapor anaknya di sekolah ia adalah seorang ibu, dan
ketika berada di restoran ada bagian identitasnya yang menonjol sebagai seorang
vegetarian.
Konteks tersebut berubah-ubah dan setiap identitas yang melekat pada afiliasi selalu memiliki kepentingan yang perlu diakomodasi. Kepentingan inilah yang bisa jadi beririsan dengan identitas lain. Identitas yang sifatnya minor bisa menjadi dominan dan mendorong kohesi homogen jika terdapat hal yang diperjuangkan atau muncul tujuan bersama. Sehari-hari, orang dengan ukuran baju XXXL tidak terhubung satu sama lain. Namun ketika suatu waktu terdapat kebijakan resmi dinaikannya ongkos angkutan umum dan tiket kereta bagi orang-orang berbadan besar, solidaritas antar orang-orang yang merasa berbadan besar akan muncul dan menguat karena ada kepentingan bersama.
Populasi umat Islam
sendiri semakin majemuk dalam berbagai bentuk baik vertikal maupun horisontal.
Mobilisasi sosial terus berlangsung dan mengubah berbagai macam keadaan yang
harus diakomodasi oleh kebijakan. Misalnya meskipun secara angka kesejahteraan
meningkat, tetapi ada perubahan dalam mobilisasi sosial. Ada petani-petani muslim
yang tidak lagi memiliki lahan, kelas menengah muslim meningkat, pejabat-pejabat
muslim naik pangkat ke tingkat pengambil keputusan, ada umat muslim Jawa yang
menikah dengan umat muslim Bali dan membangun keluarga dengan etnis berlainan,
ada umat muslim yang menjadi dokter, masinis, polisi, tentara, guru, dan
sebagainya. Umat muslim ada yang di atas dan ada yang di bawah secara ekonomi
dan afiliasi horisontal pun berkembang. Semua bagian umat tersebut berhak atas
pelayanan publik dan pelayanan politik yang layak.
Melihat banyaknya afiliasi yang dimiliki individu, ketika isu agama digunakan dalam politik merebak, sangat wajar jika dalam masyarakat reaksinya beragam, bahkan dari kelompok pemeluk agama yang sama. Keragaman reaksi menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat apalagi jika sampai timbul dikotomi dalam keberpihakan politik. Ketika rasa tidak nyaman merebak sampai menimbulkan konflik, agama yang dianggap sebagai sumbernya didorong untuk menyingkir dari dunia politik.
Melihat banyaknya afiliasi yang dimiliki individu, ketika isu agama digunakan dalam politik merebak, sangat wajar jika dalam masyarakat reaksinya beragam, bahkan dari kelompok pemeluk agama yang sama. Keragaman reaksi menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat apalagi jika sampai timbul dikotomi dalam keberpihakan politik. Ketika rasa tidak nyaman merebak sampai menimbulkan konflik, agama yang dianggap sebagai sumbernya didorong untuk menyingkir dari dunia politik.
Objektivikasi Islam
Prof. Dr.
Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa di era
demokrasi, Islam membutuhkan “jurus baru” untuk bisa menjalankan ajaran-ajarannya
secara menyeluruh. Jurus baru tersebut adalah mengubah pandangan Islam yang ideologis
menjadi ilmu, yang sifatnya subjektif menjadi objektif. Ideologi-ideologi
menurut Kuntowijoyo terlalu kaku dalam menghadapi kenyataan (realitas
objektif). Marhaenisme mengalami kesulitan dalam menghadapi tumbuhnya kelas
menengah dan kelas atas. Komunisme tidak mampu menanggulangi ambruknya sistem
ekonomi komando. Islam pun terus-menerus ditantang oleh kenyataan atas
kemajemukan umat.
Umat yang majemuk
beserta masing-masing afiliasinya menciptakan kepentingan yang berbeda sehingga
perlu diakomodasi dengan cara yang berbeda pula. Umat yang berada di golongan ekonomi menengah
ke atas dan mendapatkan kesempatan atas pendidikan yang tinggi barangkali bisa
dirangkul dengan pendekatan isu-isu yang substansial (politics of the abstract) seperti hukum dan akhlak. Namun bagi
kelompok umat yang berada di bawah akan lebih tertarik pada hal-hal yang
konkret (politics of the concretes)
seperti isu pembangunan.
Hal-hal yang
konkret inilah yang menjadi common
interest tidak hanya di dalam umat Islam, tetapi juga nonmuslim, karena lebih
bersifat objektif. Kemiskinan, misalnya, bagi golongan manapun adalah sebuah
permasalahan. Demikian juga banjir, kemacetan, akses pendidikan, dan hal-hal
lain yang langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Islam harus bisa menangkap
kebutuhan-kebutuhan bersama (common needs)
yang timbul dari permasalahan dengan menghadirkan solusi. Namun sayangnya Islam
selalu ketinggalan dalam menangani masalah golongan bawah.
Berkaitan dengan
realitas objektif inilah, keberadaan Islam sebagai ilmu lebih dibutuhkan
daripada keberadaan Islam sebagai ideologi. Islam sebagai ilmu artinya
menggunakan pendekatan yang objektif, melihat kenyataan tidak sebagai
kebenaran, melainkan kenyataan itu sendiri. Apa yang terlihat oleh mata,
didengar oleh telinga, dirasakan oleh kulit, dan dicium oleh hidung, itulah
kenyataan dan terpisah dari asumsi individu pemilik indera. Kemiskinan dan
banjir dalam cara pandang subjektif bisa jadi merupakan ujian kesabaran namun
itu adalah pandangan pada level individu. Pada level umat, permasalahan kolektif
kemiskinan dan banjir adalah sebuah realitas objektif yang harus diselesaikan
dengan segera.
Pergeseran Islam
dari ideologi ke ilmu mewajibkan perubahan cara pandang dari subjektif ke
objektif. Pandangan subjektif hanya berlaku di level individu dan komunitas
yang homogen. Untuk bisa mengakomodasi hak-hak publik dan hak politik
masyarakat yang heterogen, pandangan objektif perlu diterapkan secara kolektif.
Pergeseran cara pandang subjektif ke objektif itu berupa menghilangkan
egosentrisme umat, pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme agama.
Pluralisme agama adalah yang paling mudah dirumuskan namun paling sulit dilakukan, demikian Kuntowijoyo menulis dalam bukunya. Pluralisme agama tidak berarti
mengakui kebenaran dari semua agama. Ketika kebenaran semua agama diakui,
mengapa harus memilih salah satu? Ketika semua agama adalah benar, apakah berarti
yang tidak beragama itu salah? Pandangan liberal semacam itu memicu perdebatan
yang tidak akan ada habisnya dan sangat tidak produktif. Menurut Kuntowijoyo, kebenaran suatu
agama adalah realitas subjektif masing-masing pemeluknya dan tidak bergantung
pada pengakuan atau pandangan subjektif dari pemeluk agama lain untuk bisa
berfungsi.
Pluralisme yang
dimaksud dalam konteks ini adalah pengakuan secara objektif bahwa setiap dianutnya
suatu agama membawa konsekuensi lahirnya kepentingan. Dan kepentingan tersebut
dalam konteks warga negara perlu diakomodasi dan dilindungi. Ketika negara
memiliki lembaga khusus untuk mengurusi persoalan keagamaan, kita harus melihatnya sebagai upaya
untuk mengakomodasi kepentingan warga yang membutuhkan negara sebagai alat
untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam ajarannya. Sekulerisme dalam masyarakat yang beragama justru mencabut hak-hak atas pelayanan negara.
Dengan cara
pandang yang objektif dan mengkaji Islam sebagai ilmu, Islam tidak perlu mundur
ke ranah privat. Konsekuensinya ketika enggan beranjak dari ruang publik adalah
kemauan dan kemampuan umat Islam untuk secara objektif mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang beragam di masyarakat yang plural dengan banyaknya
afiliasi-afiliasi yang berbeda. Umat Islam harus membuktikan dan menunjukkan bahwa ajarannya bukanlah ancaman. Langkah pertama tentu saja memahami dan
menerima fakta bahwa umat Islam tidaklah hidup sendirian.
Gombong, 5
Agustus 2019
Identitas Buku:
1. Kekerasan
dan Identitas
Amartya Sen, 2006
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Arif Susanto
Edisi kedua, Februari 2016
Penerbit Marjin Kiri
2. Identitas
Politik Umat Islam
Prof. Dr. Kuntowijoyo
Catakan pertama Maret 2018
Penerbit
DIVAPress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar