(Resume oleh Annisa Qurani, Roemah Martha Tilaar)
"Pengembangan
komunitas (community development)
adalah aksi kolektif untuk sebuah hasil (result)
dan dampak (output) berupa keberdayaan
dari sebuah komunitas."
Ada dua unsur
penting yang ditekankan pada kalimat di atas. Yang pertama adalah aksi kolekif,
artinya menekankan pada kelompok, bukan bersifat individual. Yang kedua adalah berdaya,
sebuah kondisi dimana komunitas memahami kondisinya sendiri, mampu membaca
masalah, dan mencapai konsensus tentang permasalahan atau kebutuhan bersama.
Penekanan tujuan
terbentuknya kemandirian kelompok didorong oleh asumsi bahwa dalam kehidupan
sosial atau ruang publik tidak bisa diselesaikan di level individu. Pembentukan
kemandirian penting agar kelompok yang bersangkutan tidak bergantung pada pihak
lain di luar kelompok untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Berangkat dari
asumsi tersebut, prinsip paling penting dalam kegiatan atau program pengembangan
komunitas adalah keyakinan bahwa kelompok atau masyarakat memiliki kemampuan
untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Tugas pelaku program
pengembangan komunitas atau pemberdayaan masyarakat yang utama adalah membantu
masyarakat untuk mengenali kondisinya sendiri, baik dari segi permasalahan
maupun potensi-potensi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pendekatan Partisipatif
Dengan percaya
bahwa masyarakat mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri, tugas pelaku
pengembangan komunitas secara otomatis sebenarnya dibatasi hanya sampai pada
proses fasilitasi. Menjadi fasilitator berarti menjadi pihak yang membantu
proses penyadaran masyarakat atas lingkungan di sekitarnya sampai teridentifikasinya
kebutuhan bersama (common needs) dan
inisiatif untuk melakukan aksi. Dalam menjalankan tugasnya, fasilitator perlu
terlebih dulu memahami pendekatan partisipatif.
Secara garis
besar partisipatif bisa dipahami sebagai tiga hal: sebagai pendekatan, metode,
dan teknik. Partisipatif sebagai pendekatan bersifat konseptual atau prinsipal
dan harus menjadi cara berpikir (mindset)
fasilitator bahkan sebelum ia turun ke lapangan. Pendekatan partisipatif menjadi
oposisi bagi pendekatan top-down yang
seringkali tidak bertahan lama dan sifatnya sentralistik karena cenderung tidak
melibatkan target program dalam pengambilan keputusan. Common problems dan common
needs dinilai dari pandangan luar atau atas sehingga kerap tidak sesuai
dengan kondisi nyata yang berlangsung di dalam kelompok masyarakat. Sebaliknya,
pendekatan partisipatif mendorong pendekatan yang sifatnya bottom-up, dari bawah ke atas. Masyarakat didorong untuk
mengidentifikasi sendiri permasalahan dan kebutuhan mereka, baru kemudian
menyampaikan aspirasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
Metode
partisipatif dipahami sebagai tahapan atau prosedur yang harus dilakukan dalam
melaksanakan pendekatan partisipatif. Metode ini kemudian diturunkan ke dalam
teknik partisipatif yang merupakan bentuk implementasi di lapangan. Teknik
partisipatif meliputi tools yang
digunakan untuk mendapatkan hasil (result)
dari pendekatan partisipatif.
Pendekatan
partisipatif didalamnya ada proses-proses untuk (1) mengorganisasi, (2)
mendampingi, (3) menguatkan, dan (4) memberdayakan. Keempatnya sangat penting
untuk dilakukan karena dalam pendekatan partisipatif, masyarakat ditempatkan
sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Masyarakat sendirilah yang harus bergerak
mengubah keadaan, bukan pihak lain. Agar kemandirian itu dapat terwujud, harus
ada redisribution of power, pembagian
kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya dibagi di dalam pihak-pihak elit dalam masyarakat
seperti pejabat, tokoh politik, tokoh agama, maupun ketua-ketua organisasi.
Kekuasaan harus dibagikan termasuk kepada kelompok-kelompok marginal dengan
cara melibatkan mereka, mendorong keaktifan mereka di ruang-ruang publik tempat
terbentuknya konsensus. Konsekuensi adanya redistribution
of power adalah perlunya peningkatan kapasitas sampai pada level mikro agar
pihak-pihak yang terlibat memiliki kemampuan yang cukup untuk bertanggung jawab
terhadap kekuasaan yang dimiliki.
Metode RRA dalam Pendekatan Partisipatif
RRA atau Rapid Rural Appraisal adalah metode
penelitian atau penilaian desa secara cepat dan tepat. Observasi yang dilakukan
menggunakan kelima panca indera. Fasilitator harus menekankan ketidaktahuan
optimal dalam melakukan penelitian, artinya datang ke lokasi dengan tangan
kosong dan tanpa asumsi apapun. Penelitian dimulai dengan mengenali lingkungan
target, misalnya dengan obrolan-obrolan santai di warung bersama penjual dan
pembeli atau di tempat-tempat berkumpul lain. Informasi yang perlu digali
fasilitator dalam tahapan ini didapatkan melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar
5W + 1H.
Tujuan utama RRA
adalah mendapatkan informasi mengenai target program yang meliputi:
- 1 Sumber Daya Alam (SDA)
- 2. Sumber Daya Manusia (SDM)
- 3. Sumber Daya Finansial (SDF)
- 4. Sumber Daya Sosial, (SDS) dan
- 5. Sumber Daya Buatan atau Infrastruktur (SDB/I)
Kelima informasi
tersebut didapatkan dari observasi yang telah disebutkan di atas dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan 5W + 1H. Namun sebenarnya observasi dasar itu juga
bertujuan untuk pendekatan awal kepada masyarakat target. Fasilitator datang
sebagai dirinya sendiri (bukan utusan pemerintah, lembaga, dan sebagainya)
tanpa cara yang intimidatif, apalagi birokratis. Masyarakat cenderung
menyeleksi informasi yang mereka berikan ketika mengetahui bahwa si fasilitator
adalah perwakilan dari suatu pihak tertentu dan hal itu sangat bertentangan
dengan prinsip partisipatif.
Informasi yang lebih dalam didapat dengan melakukan live in atau tinggal bersama. Tahapan live in sangat penting karena dengan tinggal selama beberapa waktu bersama masyarakat dan ikut terlibat dalam keseharian mereka akan membangun kepercayaan dan ikatan antara peneliti dan masyarakat target. Observasi lebih dalam juga bisa dilakukan karena hal-hal yang sebelumnya tidak disampaikan dalam wawancara atau obrolan santai bisa ditemukan dalam proses keseharian masyarakat. Dalam proses ini fasilitator harus peka dalam membaca kondisi sosial yang berlangsung, termasuk membaca sensitivitas hubungan antarmasyarakat. Lamanya live in tidak bisa ditentukan karena tantangan yang dihadapi ketika tinggal bersama bisa berbeda-beda. Live in diakhiri jika informasi yang didapatkan dianggap sudah mencukupi. Artinya, live in bisa berlangsung dari hanya beberapa hari sampai hitungan bulan.
Informasi yang lebih dalam didapat dengan melakukan live in atau tinggal bersama. Tahapan live in sangat penting karena dengan tinggal selama beberapa waktu bersama masyarakat dan ikut terlibat dalam keseharian mereka akan membangun kepercayaan dan ikatan antara peneliti dan masyarakat target. Observasi lebih dalam juga bisa dilakukan karena hal-hal yang sebelumnya tidak disampaikan dalam wawancara atau obrolan santai bisa ditemukan dalam proses keseharian masyarakat. Dalam proses ini fasilitator harus peka dalam membaca kondisi sosial yang berlangsung, termasuk membaca sensitivitas hubungan antarmasyarakat. Lamanya live in tidak bisa ditentukan karena tantangan yang dihadapi ketika tinggal bersama bisa berbeda-beda. Live in diakhiri jika informasi yang didapatkan dianggap sudah mencukupi. Artinya, live in bisa berlangsung dari hanya beberapa hari sampai hitungan bulan.
Pada intinya RRA
dilakukan untuk mendapatkan gambaran awal tentang permasalahan dan potensi yang
dimiliki masyarakat target dan lingkungan yang melingkupinya serta mendapatkan
kepercayaan dari mereka. Tahapan RRA akan dilanjutkan dengan PRA atau Participatory Rural Appraisal. Namun
sebelum menuju PRA, terdapat tahapan prakondisi yang perlu dilakukan saat RRA:
- 1. Sosialisasi kegiatan secara intensif hingga level mikro agar tidak ada bagian masyarakat yang tidak terlibat atau tidak terjaring informasinya
- 2. Identifikasi dan membangun kontak dengan tokoh kunci (key persons)
- 3. Membentuk tim dengan tokoh kunci (key persons)
- 4. Membuat kegiatan stimulan-stimulan kecil untuk memancing keterlibatan dan kolektivitas
Adapun output yang dituju dari RRA dalam
poin-poin adalah (1) pembangunan kepercayaan, (2) pemahaman tentang kondisi
yang didampingi, (3) kontak dengan key
persons, (4) terbangun kesadaran isu bersama dalam masyarakat, dan (5) terbentuknya
inisiatif untuk berkumpul.
Tahapan PRA (Participatory
Rural Appraisal)
Pada tahapan ini,
berbeda dengan di RRA yang cenderung menjadi peneliti, pada PRA fasilitator
benar-benar menjalankan fungsi fasilitasi. PRA adalah metode pelibatan masyarakat
dalam proses kajian kebutuhan kolektif dan inisiasi langkah aksi.
Tahap-tahap
fasilitasi bisa diurai dalam poin-poin berikut:
- 1. Merumuskan mimpi atau visi
- 2. Identifikasi sumber daya desa
- 3. Identifikasi dan analisa masalah
- 4. Merumuskan tindakan: prioritas, pertahapan kegiatan, indikator, linimasa
- 5. Penyusunan anggaran
- 6. Tindak lanjut perencanaan
Keenam tahapan
dilakukan melalui proses RRA (dilakukan oleh peneliti/fasilitator di awal
sebagai prakondisi), pendataan partisipatif, FGD, dan dokumentasi proses dan
hasil. Pada pendataan partisipatif dan FGD diperlukan teknik partisipatif untuk
membantu masyarakat mengidentifikasi lingkungannya. Teknik-tenik pengkajian
wilayah yang bisa digunakan antara lain:
(materi lengkap untuk RRA dan tools PRA bisa diunduh di https://bit.ly/2ZvNPyA oleh Febri Sastiviani Putri Cantika)
- 1. Transek
Pemetaan wilayah
untuk menggambarkan potensi suatu wilayah lengkap dengan ekosistemnya dengan
cara membelah wilayah. Penarikan garis belah pada wilayah tertentu dilakukan
dengan memperhatikan topografi dan keseragaman pola-pola demografis serta
geografis untuk diidentifikasi potensi masing-masing belahan wilayah dengan
menuangkannya ke dalam bagan.
- 2. Penelusuran Sejarah
Alat bantu yang
bisa digunakan untuk mengetahui asal-usul terbentuknya desa atau tempat
tertentu. Caranya dengan mengumpulkan orang-orang dari berbagai kelompok usia,
termasuk menghadirkan yang paling tua untuk menjadi narasumber. Tantangan dalam
proses ini adalah bias tahun yang diingat oleh narasumber. Solusinya mengingatkan
kembali peristiwa-peristiwa di dalam desa dengan mengaitkannya pada kejadian-kejadian
besar di level nasional/global seperti zaman Jepang, kemerdekaan, Gestapu, dan
lain sebagainya.
- 3. Tren Perubahan dan Kecenderungan
Tujuan penggunaan
alat ini adalah mengenali dan melacak perubahan-perubahan yang terjadi di desa
berdasarkan kronologi waktu. Tren perubahan dan kecenderungan bisa
diaplikasikan untuk topik-topik spesifik, misalnya penggunaan lahan desa, komoditas
pertanian, irigasi, dan lain sebagainya yang memiliki ukuran/satuan yang sama.
Hasil yang dituangkan dalam matriks kronologis bisa dianalisis dengan cara
membandingkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kurun waktu
tertentu.
- 4. Kalender Musim
Kalender musim
digunakan untuk melihat pengaruh musiman pada sumber daya yang berlangsung
dalam setahun di dalam masyarakat berikut dampaknya. Musim yang dimaksud bukan
hanya tentang musim yang dipengaruhi alam seperti musim tanam, musim panen, dan
musim banjir, tetapi juga agenda-agenda sosial seperti musim hajatan, Ramadhan,
Agustusan, dan sebagainya yang melibatkan banyak anggota masyarakat. Kalender
musim bertujuan membuat skema jadwal tahunan masyarakat sehingga bisa
dianalisis distribusi SDM dan finansial di dalam desa. Lebih baik lagi jika
kalender musim dicobakan pada kelompok masyarakat yang homogen, misalnya
petani, ibu rumah tangga, pelajar, dan sebagainya yang memiliki banyak kesamaan
agar hasil analisisnya lebih spesifik.
- 5. Kalender/Jadwal Harian
Hampir sama
dengan Kalender Musim, namun dalam periode waktu harian yang diukur dengan jam.
Alat ini digunakan untuk memetakan aktivitas sehari-hari khususnya anggota
keluarga (bapak, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, nenek/kakek, dll). Ini
berguna ketika akan melibatkan pihak-pihak tertentu dalam program. Misalnya
jika ingin mengundang kaum perempuan yang sudah berumah tangga, maka bisa
diidentifikasi pada jam berapa kelompok masyarakat tersebut memiliki waktu yang
bisa dialokasikan.
- 6. Alur Keluar-Masuk Barang
Digunakan untuk
mengetahui jenis barang dan jumlah yang keluar dan masuk desa. Teknik ini bisa
menujukkan kemampuan ekonomi masyarakat dan perputaran finansial mereka.
- 7. Peta Sketsa Desa
Mengajak
masyarakat untuk membuat sendiri peta desa mereka membuka kesempatan bagi
mereka untuk memahami desanya sendiri dan membangun keterikatan. Melalui peta
sketsa desa, akan diketahui sebaran potensi yang ada dalam desa. Namun yang
lebih penting teknik ini mendorong partisipasi aktif semua peserta diskusi dan
menciptakan interaksi.
- 8. Diagram Venn
Diagram Venn
digunakan untuk melihat hubungan kelembagaan di dalam desa. Dari diagram ini akan
terpetakan aktor-aktor desa dengan kepentingan masing-masing dan tingkat
pengaruhnya dalam keputusan yang diambil di desa. Masyarakat bisa melihat
keterkaitan antarlembaga dan ketika kelak akan menyampaikan aspirasi, mereka
sudah paham kepada lembaga mana kepentingan mereka saling berkaitan.
- 9. Analisis Pohon Masalah
Analisis Pohon
Masalah bisa mengidentifikasi masalah utama dari pengelolaan potensi wilayah
desa dan mengidentifikasi akar permasalahannya. Masyarakat peserta diskusi
didorong untuk menentukan sendiri hal-hal yang dianggap masalah dan
menempatkannya dalam bagan daun, ranting, batang, dan akar permasalahan. Di
sini keyakinan bahwa masyarakat memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan
sangat ditekankan.
Semua tools di atas bisa dilakukan langsung
dalam satu pertemuan FGD jika pesertanya mencukupi. Peserta dibagi menjadi
kelompok-kelompok kecil dan diberi tugas untuk mengerjakan tools masing-masing satu tool
per kelompok. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan
hasil isian matriks kepada seluruh peserta FGD untuk didiskusikan sampai
menghasilkan konsensus. Akan tetapi tidak semua tools wajib digunakan. Common
problems dan common needs yang
telah teridentifikasi di akhir RRA bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan tools yang digunakan.
Alur pendampingan
dalam rangka pengembangan komunitas sebenarnya tidak hanya RRA dan PRA. Tahap
lanjutannya berupa penguatan kelembagaan, penguatan jejaring, peningkatan
kapasitas, pemberian bantuan stimulan, dan monitoring&evaluasi. Jangka
waktu masing-masing pendampingan berbeda bergantung pada proses partisipatif
yang berlangsung di masyarakat target. Namun secara teknis bisa diukur melalui
pertimbangan finansial dan linimasa yang telah ditentukan lembaga peneliti maupun donor.
Tak kalah penting dalam program pendampingan adalah exit plan, yaitu langkah-langkah yang dilalui agar komunitas dampingan sudah cukup berdaya dan program bisa disudahi. Jika target pendampingan partisipatif adalah masyarakat bisa mandiri/berdaya tanpa ketergantungan pihak lain, maka ketika program selesai mereka seharusnya bisa dianggap mampu menjalankan program-program pengembangan komunitas mereka sendiri berdasarkan kebutuhan yang mereka sendiri telah berhasil identifikasikan.
Gombong, 4 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar