Jumat, 04 Mei 2012

Rumah-Rumah Para Nasionalis


Rumah-Rumah Para Nasionalis

Nasionalisme (nasionalism) dapat dikatakan sebagai suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan serta wilayah, cita-cita, dan tujuan. Menurut Boyd C. Shafer, nasionalisme mengacu pada kesatuan, keseragaman, keserasian, kemandirian, dan agresivitas. Pada intinya nasionalisme berarti rasa ikatan seseorang terhadap bangsanya.
Semakin bertambah umur bumi, definisi dari nasionalisme pun semakin berkembang sesuai dengan zamannya. Bisa jadi orang-orang generasi sebelumnya memahami nasionalisme secara berbeda dari pemahaman yang sekarang berkembang. Ketika dahulu pada masa kemerdekaan nasionalisme diartikan sebagai perjuangan melawan penjajah, kini mungkin nasionalisme lebih dekat pada keinginan untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih maju. Pun berbeda ketika kita menanyakan arti nasionalisme kepada seorang petani penggarap. Mungkin ia akan menjawab bahwa nasionalisme adalah menjadikan produksi padinya mampu memenuhi kebutuhan beras penduduk Indonesia. Pelajar bisa lain lagi jawabannya. Pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan sejak Sekolah Dasar mungkin akan membuatnya menjawab bahwa nasionalisme adalah berkorban jiwa dan raga untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang mampu bersaing dengan negeri-negeri lain di luar sana. Atau mari kita tanyakan pada pejabat-pejabat berdasi. Kemungkinan jawabannya akan berbeda lagi. Sekalipun demikian, semua pendapat mengenai nasionalisme selalu dikaitkan dengan satu hal, yaitu ikatan kebangsaan. Saya dan banyak orang lain di negeri Indonesia ini sadar maupun tidak terikat dengan satu konsepsi tentang tanah air dan apa saja kewajiban kami terhadapnya, sekalipun pemahaman yang berbeda tentang nasionalisme sebanyak manusia yang mencoba memahaminya. Faktor geografis, ekonomi, politik, dan sosial-budaya membentuk pola pikir nasionalis masing-masing orang.
Dalam memahami konsep tentang nasionalisme, saya membaginya menjadi tiga sikap sesuai dengan peran saya dalam kehidupan bernegara. Ketiga peran tersebut adalah peran sebagai seorang pelajar, sebagai rakyat, dan sebagai seorang muslim. Yang pertama sebagai seorang pelajar, tentu saja kewajibannya adalah belajar. Belajar dalam segala hal tanpa perlu dibatasi. Pembatasan adalah kewajiban akhlak dan nurani, yang membuat kita mampu menilai suatu ilmu apakah layak direalisasikan atau tidak. Indonesia tidak akan maju tanpa ilmu, semua orang tahu itu. Karenanya, nasionalisme sebagai seorang pelajar adalah bagaimana menyerap ilmu sebanyak mungkin dan mengolahnya menjadi kemampuan mengelola bangsa dan negara beserta segala permasalahannya. Bersikap bijak dan adil dimulai sejak dalam pikiran, mampu melihat lebih dalam dari yang terdalam, dan mengayomi segenap masyarakat dengan berbagai program penelitian serta diwujudkan dengan pengabdian. Nasionalisme dalam peran yang kedua, yaitu sebagai rakyat, adalah menjadi pendukung utama pemerintah atau pemimpin dalam menciptakan kebijakan bagi masyarakat. Melakukan fungsi kontrol sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara dan penjamin utama eksistensi suatu bangsa di hadapan dunia menurut saya adalah tugas pokok sebagai rakyat dalam kaitannya dengan nasionalisme. Dan yang terakhir dan terpenting adalah nasionalisme dalam peran saya sebagi seorang muslim untuk tidak membiarkan bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang tidak beradab dan jauh dari moral dan nilai-nilai agama. Nasionalisme sebagai seorang muslim tidak berarti harus menjadikan Indonesia sebagai negara Islam secara absolut, namun bagaimana seorang muslim mampu menanamkan nilai-nilai luhur ajaran Islam ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti layaknya nasionalisme Ummar bin Khattab, Ustman bin Affan, maupun ‘Ali bin Abi Thalib yang berjuang menjadikan Madinah sebagai negeri yang makmur dan terbuka bagi segala lapisan dan golongan masyarakat dan menjadikan pemerintahannya sebagai fondasi kejayaan Islam di masa-masa berikutnya. Ketika masa kejayaannya kekhalifahan Islam menjadi sumber ilmu dan pengajaran bagi masyarakat dunia. Tidak ada perbedaan perlakuan bagi mereka yang bermaksud menuntut ilmu sekalipun tidak beragama Islam. Akan tetapi dalam praktiknya nilai-nilai Islam diterapkan sebagai ideologi dan konstitusi dalam bernegara.
Menjadi nasionalis tidak berarti harus menghormat kepada merah putih, menjalani upacara bendera, dan memperingati setiap hari besar kenegaraan. Bentuk-bentuk semacam itu hanya sebagai simbol permukaan. Masing-masing orang punya caranya sendiri dalam mengungkapkan nasionaisme dalam diri mereka dan tidak bisa dipaksa untuk sama. Mewakili Indonesia dalam ajang pertandingan internasionalisme adalah cara menunjukkan nasionalisme bagi mereka yang memiliki kemampuan akademis maupun olah raga. Bagi seorang pejabat, dapat ditunjukkan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Bagi saya, menghimpun banyak ilmu baik organisasi, akademik, dan berusaha mengembangkan diri merupakan wujud nasionalisme yang paling nyata.
Indonesia adalah tanah. Nasionalisme adalah fondasi. Wujud nyatanya adalah rumah. Fondasi nasionalisme semuanya dibangun berlandaskan tanah air Indonesia. Setiap bentuk fondasi akan menghasilkan rumah yang berbeda pula bentuk atau model arsitekturnya. Sekalipun demikian, setiap rumah akan tetap mengandung tanah yang sama, nilai-nilai luhur yang sama. Indonesia tercinta.

Annisa Haq Nur Qur'ani
FISIP/Ilmu Komunikasi
Peserta UI Student Development Program 2012

2 komentar:

  1. "pelajar, rakyat, dan muslim".. Kombinasi peran yang unik untuk sebuah tema nasionalisme.

    Tapi yang perlu di cetak tebal adalah nasionalisme sebagai seorang muslim tidak terbatas oleh wilayah sebuah negara. Bukan islam yang digunakan untuk membangun fondasi suatu negara, tetapi negaralah yang seharusnya dijadikan alat untuk untuk menegakkan ideologi islam. Kemakmuran yang dicapai madinah pada era Khulaafaur'rasyidin adalah buah dari implementasi syariat yang nyaris sempurna terhadap sistem pemerintahan. Begitu juga dengan ekspansi2 wilayah kekuasaan islam pada masa itu. Agak aneh jika menyebut motif orang2 sekaliber Ummar bin Khattab, Ustman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib hanya karena nasionalisme terhadap tanah madinah.
    Misi utama meraka adalah untuk melayani agama Allah.

    Tapi secara umum saya setuju dengan pernyataan anda bahwa peran kita sebagai seorang muslim adalah untuk mencegah bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang tidak beradab dan semakin jauh dari moral dan nilai-nilai agama.

    BalasHapus
  2. "Seperti layaknya nasionalisme Ummar bin Khattab, Ustman bin Affan, maupun ‘Ali bin Abi Thalib yang berjuang menjadikan Madinah sebagai negeri yang makmur dan terbuka bagi segala lapisan dan golongan masyarakat dan menjadikan pemerintahannya sebagai fondasi kejayaan Islam di masa-masa berikutnya". Mereka menjadikan Madinah sbg basis utama pergerakan Islam untuk menyebar ke seluruh dunia. Abu Bakr hanya memerintah sebentar dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mempertahankqan fondasi ummat sepeninggal Rasulullah. Ummar berupaya keras mempertahankan kemurnian syari'at dan membangun fondasi besar kekhalifahan. Ustman, demikian juga 'Ali, memperluas wilayah kekhalifahan sekaligus menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Ketika masa itu, berdirinya kekhalifahan adalah mutlak sebagai bagian dari pelaksanaan syari'at. Sekarang ketika kekhalifahan telah runtuh, untuk membangunnya kembali kita harus mulai dari awal: menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan bangsa dan negara seperti Rasulullah dan shahabat lakukan dulu di Makkah maupun Madinah. setelah tertanam kuat nilai2 Islam, berdirinya kekhalifahan akan lebih mudah. karena kita bicara dalam konteks Indonesia, maka saya pikir harus dimulai dari Indonesia. Menjadikan Indonesia sebagai fondasi bagi kejayaan Islam di masa selanjutnya. Apalagi Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar.


    Terima kasih banyak atas komentar Anda, komentar Anda membawa pemahaman baru akan kemungkinan kesalahan dalam tulisan saya. Ditunggu komentar selanjutnya :)

    BalasHapus

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...