Rumah-Rumah
Para Nasionalis
Nasionalisme (nasionalism) dapat dikatakan sebagai
suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan
kebudayaan serta wilayah, cita-cita, dan tujuan. Menurut Boyd C. Shafer, nasionalisme mengacu
pada kesatuan, keseragaman, keserasian, kemandirian, dan agresivitas. Pada
intinya nasionalisme berarti rasa ikatan seseorang terhadap bangsanya.
Semakin
bertambah umur bumi, definisi dari nasionalisme pun semakin berkembang sesuai
dengan zamannya. Bisa jadi orang-orang generasi sebelumnya memahami
nasionalisme secara berbeda dari pemahaman yang sekarang berkembang. Ketika
dahulu pada masa kemerdekaan nasionalisme diartikan sebagai perjuangan melawan
penjajah, kini mungkin nasionalisme lebih dekat pada keinginan untuk menjadikan
bangsa Indonesia menjadi lebih maju. Pun berbeda ketika kita menanyakan arti
nasionalisme kepada seorang petani penggarap. Mungkin ia akan menjawab bahwa
nasionalisme adalah menjadikan produksi padinya mampu memenuhi kebutuhan beras
penduduk Indonesia. Pelajar bisa lain lagi jawabannya. Pendidikan
kewarganegaraan yang diajarkan sejak Sekolah Dasar mungkin akan membuatnya
menjawab bahwa nasionalisme adalah berkorban jiwa dan raga untuk membangun
Indonesia menjadi bangsa yang mampu bersaing dengan negeri-negeri lain di luar
sana. Atau mari kita tanyakan pada pejabat-pejabat berdasi. Kemungkinan
jawabannya akan berbeda lagi. Sekalipun demikian, semua pendapat mengenai
nasionalisme selalu dikaitkan dengan satu hal, yaitu ikatan kebangsaan. Saya
dan banyak orang lain di negeri Indonesia ini sadar maupun tidak terikat dengan
satu konsepsi tentang tanah air dan apa saja kewajiban kami terhadapnya,
sekalipun pemahaman yang berbeda tentang nasionalisme sebanyak manusia yang
mencoba memahaminya. Faktor geografis, ekonomi, politik, dan sosial-budaya
membentuk pola pikir nasionalis masing-masing orang.
Dalam
memahami konsep tentang nasionalisme, saya membaginya menjadi tiga sikap sesuai
dengan peran saya dalam kehidupan bernegara. Ketiga peran tersebut adalah peran
sebagai seorang pelajar, sebagai rakyat, dan sebagai seorang muslim. Yang pertama
sebagai seorang pelajar, tentu saja kewajibannya adalah belajar. Belajar dalam
segala hal tanpa perlu dibatasi. Pembatasan adalah kewajiban akhlak dan nurani,
yang membuat kita mampu menilai suatu ilmu apakah layak direalisasikan atau
tidak. Indonesia tidak akan maju tanpa ilmu, semua orang tahu itu. Karenanya,
nasionalisme sebagai seorang pelajar adalah bagaimana menyerap ilmu sebanyak
mungkin dan mengolahnya menjadi kemampuan mengelola bangsa dan negara beserta
segala permasalahannya. Bersikap bijak dan adil dimulai sejak dalam pikiran,
mampu melihat lebih dalam dari yang terdalam, dan mengayomi segenap masyarakat
dengan berbagai program penelitian serta diwujudkan dengan pengabdian.
Nasionalisme dalam peran yang kedua, yaitu sebagai rakyat, adalah menjadi
pendukung utama pemerintah atau pemimpin dalam menciptakan kebijakan bagi
masyarakat. Melakukan fungsi kontrol sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara dan penjamin utama eksistensi suatu bangsa di hadapan dunia menurut saya
adalah tugas pokok sebagai rakyat dalam kaitannya dengan nasionalisme. Dan yang
terakhir dan terpenting adalah nasionalisme dalam peran saya sebagi seorang
muslim untuk tidak membiarkan bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang tidak
beradab dan jauh dari moral dan nilai-nilai agama. Nasionalisme sebagai seorang
muslim tidak berarti harus menjadikan Indonesia sebagai negara Islam secara absolut,
namun bagaimana seorang muslim mampu menanamkan nilai-nilai luhur ajaran Islam
ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti layaknya nasionalisme Ummar
bin Khattab, Ustman bin Affan, maupun ‘Ali bin Abi Thalib yang berjuang
menjadikan Madinah sebagai negeri yang makmur dan terbuka bagi segala lapisan
dan golongan masyarakat dan menjadikan pemerintahannya sebagai fondasi kejayaan
Islam di masa-masa berikutnya. Ketika masa kejayaannya kekhalifahan Islam
menjadi sumber ilmu dan pengajaran bagi masyarakat dunia. Tidak ada perbedaan
perlakuan bagi mereka yang bermaksud menuntut ilmu sekalipun tidak beragama
Islam. Akan tetapi dalam praktiknya nilai-nilai Islam diterapkan sebagai ideologi
dan konstitusi dalam bernegara.
Menjadi
nasionalis tidak berarti harus menghormat kepada merah putih, menjalani upacara
bendera, dan memperingati setiap hari besar kenegaraan. Bentuk-bentuk semacam
itu hanya sebagai simbol permukaan. Masing-masing orang punya caranya sendiri
dalam mengungkapkan nasionaisme dalam diri mereka dan tidak bisa dipaksa untuk
sama. Mewakili Indonesia dalam ajang pertandingan internasionalisme adalah cara
menunjukkan nasionalisme bagi mereka yang memiliki kemampuan akademis maupun olah
raga. Bagi seorang pejabat, dapat ditunjukkan melalui pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Bagi saya, menghimpun
banyak ilmu baik organisasi, akademik, dan berusaha mengembangkan diri
merupakan wujud nasionalisme yang paling nyata.
Indonesia
adalah tanah. Nasionalisme adalah fondasi. Wujud nyatanya adalah rumah. Fondasi
nasionalisme semuanya dibangun berlandaskan tanah air Indonesia. Setiap bentuk
fondasi akan menghasilkan rumah yang berbeda pula bentuk atau model
arsitekturnya. Sekalipun demikian, setiap rumah akan tetap mengandung tanah
yang sama, nilai-nilai luhur yang sama. Indonesia tercinta.
Annisa Haq Nur Qur'ani
FISIP/Ilmu Komunikasi
Peserta UI Student Development Program 2012
"pelajar, rakyat, dan muslim".. Kombinasi peran yang unik untuk sebuah tema nasionalisme.
BalasHapusTapi yang perlu di cetak tebal adalah nasionalisme sebagai seorang muslim tidak terbatas oleh wilayah sebuah negara. Bukan islam yang digunakan untuk membangun fondasi suatu negara, tetapi negaralah yang seharusnya dijadikan alat untuk untuk menegakkan ideologi islam. Kemakmuran yang dicapai madinah pada era Khulaafaur'rasyidin adalah buah dari implementasi syariat yang nyaris sempurna terhadap sistem pemerintahan. Begitu juga dengan ekspansi2 wilayah kekuasaan islam pada masa itu. Agak aneh jika menyebut motif orang2 sekaliber Ummar bin Khattab, Ustman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib hanya karena nasionalisme terhadap tanah madinah.
Misi utama meraka adalah untuk melayani agama Allah.
Tapi secara umum saya setuju dengan pernyataan anda bahwa peran kita sebagai seorang muslim adalah untuk mencegah bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang tidak beradab dan semakin jauh dari moral dan nilai-nilai agama.
"Seperti layaknya nasionalisme Ummar bin Khattab, Ustman bin Affan, maupun ‘Ali bin Abi Thalib yang berjuang menjadikan Madinah sebagai negeri yang makmur dan terbuka bagi segala lapisan dan golongan masyarakat dan menjadikan pemerintahannya sebagai fondasi kejayaan Islam di masa-masa berikutnya". Mereka menjadikan Madinah sbg basis utama pergerakan Islam untuk menyebar ke seluruh dunia. Abu Bakr hanya memerintah sebentar dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mempertahankqan fondasi ummat sepeninggal Rasulullah. Ummar berupaya keras mempertahankan kemurnian syari'at dan membangun fondasi besar kekhalifahan. Ustman, demikian juga 'Ali, memperluas wilayah kekhalifahan sekaligus menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Ketika masa itu, berdirinya kekhalifahan adalah mutlak sebagai bagian dari pelaksanaan syari'at. Sekarang ketika kekhalifahan telah runtuh, untuk membangunnya kembali kita harus mulai dari awal: menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan bangsa dan negara seperti Rasulullah dan shahabat lakukan dulu di Makkah maupun Madinah. setelah tertanam kuat nilai2 Islam, berdirinya kekhalifahan akan lebih mudah. karena kita bicara dalam konteks Indonesia, maka saya pikir harus dimulai dari Indonesia. Menjadikan Indonesia sebagai fondasi bagi kejayaan Islam di masa selanjutnya. Apalagi Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar.
BalasHapusTerima kasih banyak atas komentar Anda, komentar Anda membawa pemahaman baru akan kemungkinan kesalahan dalam tulisan saya. Ditunggu komentar selanjutnya :)