Untuk Indonesia, Kita Bercita-Cita
Oleh
Annisa Haq Nur Qur’ani, Beastudi Etos Jakarta 2011
Anak-anak
usia sekolah dasar memiliki jawaban rata-rata jika mereka ditanya mengenai
cita-cita. Sejumlah profesi yang umum disebutkan biasanya dokter, polisi,
astronot, guru, dan pemain bola. Profesi-profesi itu merupakan profesi-profesi
yang biasa mereka lihat, baca di buku-buku pegangan sekolah, atau dengar dari
orang lain. Jarang ditemukan anak yang memiliki cita-cita berbeda. Cita-cita
mulai berubah ketika mereka beranjak dewasa dan melihat lebih banyak hal di
sekitar mereka. Mereka menyadari bahwa cita-cita tidak terbatas pada apa yang
mereka telah sebutkan di masa kanak-kanak mereka. Selain itu, perubahan
cita-cita juga disebabkan adanya masukan-masukan dari eksternal berupa
larangan, sugesti, dan dorongan sehingga mereka memiliki perspektif yang lain
dan pemahaman mereka berkembang tentang apa yang mereka cita-citakan
sebelumnya. Namun saya tidak ingin menggeneralisasi semuanya, mengingat selalu
ada yang bisa mempertahankan cita-cita masa kecilnya dan berhasil
mewujudkannya.
Memiliki
cita-cita seperti yang kita disebutkan di masa kanak-kanak bukanlah suatu hal
yang salah. Itulah tanda bahwa anak-anak hanyalah anak-anak, yang wawasannya
masih terbatas pada lingkungan tempatnya hidup. Itulah awal munculnya keinginan
kita terhadap sesuatu yang ada di luar diri kita dan kita menjadi terpacu
semangatnya. Keinginan atau cita-cita adalah bentuk motivasi yang menggerakkan
setiap manusia untuk berbuat, mengubah, meraih, atau mempertahankan sesuatu.
Bicara
mengenai cita-cita berkaitan erat dengan keinginan kita untuk melakukan dan
mendapatkan sesuatu. Cita-cita tidak bisa didefinisikan hanya yang bentuknya
profesi atau pekerjaan. Dalam skala terkecil, harapan kita akan sesuatu bisa
juga disebut cita-cita. Apa yang ingin kita lakukan dan dapatkan berhak
dimiliki oleh semua orang, tanpa batas usia dan golongan. Dan sama halnya
harta, cita-cita dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain,
seperti para pendiri negara ini yang cita-citanya terus tumbuh dalam benak
penerus-penerusnya.
Awal
negara ini berdiri para pendirinya memiliki cita-cita besar yang terangkum
dalam falsafah-falsafah negara. Falsafah-falsafah itu mengakar menjadi pondasi
setiap tata aturan dan pembangunan yang berlangsung di atas tanah pertiwi,
kemudian menjadi kebiasaan yang bersifat tradisionil. Cita-cita besar itu
mengalir dalam setiap jiwa anak bangsa, terlihat maupun tidak, terwujud maupun
tidak. Tapi kita tahu bahwa setiap orang di negara ini menginginkan kemakmuran
seperti halnya yang diinginkan generasi pendahulu. Kader-kader bangsa terus
dibina melalui pendidikan baik formal maupun informal, lisan dan tertulis,
melalui perantara guru, media, dan obrolan-obrolan orang di warung kopi yang membahas
isu terkini di suratkabar. Pada tataran inti, setiap orang Indonesia memiliki
harapan yang sama atas negaranya.
Sebagai
generasi muda, kita berkewajiban untuk menjadi wadah selanjutnya bagi aliran
cita-cita yang terus mengalir deras dalam semangat orang-orang yang peduli
terhadap kelanjutan pembangunan bangsa. Kita hendaknya juga menjadi pelurus
ketika cita-cita itu mulai bergeser atau siap merubahnya ketika cita-cita itu
telah salah sejak awal penerapannya. Cita-cita besar bangsa ini ibarat sebuah batang
utama sebuah pohon (main stem) dan
cita-cita orang-orang di dalamnya adalah ranting-ranting yang dedaunnya
diwujudkan dengan semangat untuk meningkatkan kemampuan diri. Usia bukan batas
ukuran besar kontribusi yang dapat diberikan oleh masing-masing orang. Setiap
kapasitas memiliki peran sesuai besar kapabilitas yang dimiliki. Apapun
bentuknya, bagaimanapun caranya berkontribusi, setiap ranting terhubung dan
diberi suplai makanan oleh batang utama. Harapannya, hasil yang ranum tidak
berbuah hanya di satu musim, tapi terus menerus dapat dipetik di semua musim.
Menjadi
dokter, polisi, astronot, guru, dan pemain bola adalah bentuk kontribusi.
Pengusaha, pejabat, programmer,
seniman, petani, supir angkot, nelayan, penarik becak, dan semua pekerjaan dan
kegiatan yang dilakukan memiliki nilai-nilai kontribusi sendiri. Saya rasa
tidak ada yang benar-benar tidak peduli pada nasib bangsa Indonesia, karena
ukuran besar kontribusi selalu bergantung pada darimana subyek memandang.
Karena itulah setiap orang adalah negarawan.
Indonesia
tidaklah miskin cita-cita. Indonesia juga tidak miskin orang-orang yang peduli.
Jika saat ini Indonesia tidak dalam keadaan yang baik, maka yang diperlukan
adalah persatuan orang-orang yang memiliki harapan yang sama dan itu berarti seluruh
rakyat Indonesia untuk tidak saling bertengkar sendiri, tidak saling
menghakimi, dan tidak saling menyalahkan. Kedengarannya memang normatif dan
sulit diwujudkan dalam tataran teknis, tapi saya rasa memang itulah yang
diperlukan. Itulah cita-cita besar Indonesia di era pembangunan saat ini.
Semangat yang dibawa haruslah terus menerus diregenerasi dan dipupuk dengan
bayangan akan terwujudnya Indonesia yang ideal adanya, yang bernafaskan
nilai-nilai moral dan agama Islam sebagai rujukan utama bagi setiap aturan dan
hukum.
Seorang
negarawan tidak hanya bergerak di dalam otaknya (prinsipil), tapi diturunkan
dalam gerak anggota tubuh (teknis) yang memicu pergerakan lingkungan
sekitarnya. Dan kita sebagai mahasiswa, sangat wajar jika kita menepati setiap
poin yang terangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Itulah bentuk
senyata-nyatanya kontribusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar