Jumat, 21 September 2012

Untuk Indonesia, Kita Bercita-Cita


Untuk Indonesia, Kita Bercita-Cita
Oleh Annisa Haq Nur Qur’ani, Beastudi Etos Jakarta 2011

Anak-anak usia sekolah dasar memiliki jawaban rata-rata jika mereka ditanya mengenai cita-cita. Sejumlah profesi yang umum disebutkan biasanya dokter, polisi, astronot, guru, dan pemain bola. Profesi-profesi itu merupakan profesi-profesi yang biasa mereka lihat, baca di buku-buku pegangan sekolah, atau dengar dari orang lain. Jarang ditemukan anak yang memiliki cita-cita berbeda. Cita-cita mulai berubah ketika mereka beranjak dewasa dan melihat lebih banyak hal di sekitar mereka. Mereka menyadari bahwa cita-cita tidak terbatas pada apa yang mereka telah sebutkan di masa kanak-kanak mereka. Selain itu, perubahan cita-cita juga disebabkan adanya masukan-masukan dari eksternal berupa larangan, sugesti, dan dorongan sehingga mereka memiliki perspektif yang lain dan pemahaman mereka berkembang tentang apa yang mereka cita-citakan sebelumnya. Namun saya tidak ingin menggeneralisasi semuanya, mengingat selalu ada yang bisa mempertahankan cita-cita masa kecilnya dan berhasil mewujudkannya.
Memiliki cita-cita seperti yang kita disebutkan di masa kanak-kanak bukanlah suatu hal yang salah. Itulah tanda bahwa anak-anak hanyalah anak-anak, yang wawasannya masih terbatas pada lingkungan tempatnya hidup. Itulah awal munculnya keinginan kita terhadap sesuatu yang ada di luar diri kita dan kita menjadi terpacu semangatnya. Keinginan atau cita-cita adalah bentuk motivasi yang menggerakkan setiap manusia untuk berbuat, mengubah, meraih, atau mempertahankan sesuatu.
Bicara mengenai cita-cita berkaitan erat dengan keinginan kita untuk melakukan dan mendapatkan sesuatu. Cita-cita tidak bisa didefinisikan hanya yang bentuknya profesi atau pekerjaan. Dalam skala terkecil, harapan kita akan sesuatu bisa juga disebut cita-cita. Apa yang ingin kita lakukan dan dapatkan berhak dimiliki oleh semua orang, tanpa batas usia dan golongan. Dan sama halnya harta, cita-cita dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain, seperti para pendiri negara ini yang cita-citanya terus tumbuh dalam benak penerus-penerusnya.
Awal negara ini berdiri para pendirinya memiliki cita-cita besar yang terangkum dalam falsafah-falsafah negara. Falsafah-falsafah itu mengakar menjadi pondasi setiap tata aturan dan pembangunan yang berlangsung di atas tanah pertiwi, kemudian menjadi kebiasaan yang bersifat tradisionil. Cita-cita besar itu mengalir dalam setiap jiwa anak bangsa, terlihat maupun tidak, terwujud maupun tidak. Tapi kita tahu bahwa setiap orang di negara ini menginginkan kemakmuran seperti halnya yang diinginkan generasi pendahulu. Kader-kader bangsa terus dibina melalui pendidikan baik formal maupun informal, lisan dan tertulis, melalui perantara guru, media, dan obrolan-obrolan orang di warung kopi yang membahas isu terkini di suratkabar. Pada tataran inti, setiap orang Indonesia memiliki harapan yang sama atas negaranya.
Sebagai generasi muda, kita berkewajiban untuk menjadi wadah selanjutnya bagi aliran cita-cita yang terus mengalir deras dalam semangat orang-orang yang peduli terhadap kelanjutan pembangunan bangsa. Kita hendaknya juga menjadi pelurus ketika cita-cita itu mulai bergeser atau siap merubahnya ketika cita-cita itu telah salah sejak awal penerapannya. Cita-cita besar bangsa ini ibarat sebuah batang utama sebuah pohon (main stem) dan cita-cita orang-orang di dalamnya adalah ranting-ranting yang dedaunnya diwujudkan dengan semangat untuk meningkatkan kemampuan diri. Usia bukan batas ukuran besar kontribusi yang dapat diberikan oleh masing-masing orang. Setiap kapasitas memiliki peran sesuai besar kapabilitas yang dimiliki. Apapun bentuknya, bagaimanapun caranya berkontribusi, setiap ranting terhubung dan diberi suplai makanan oleh batang utama. Harapannya, hasil yang ranum tidak berbuah hanya di satu musim, tapi terus menerus dapat dipetik di semua musim.
Menjadi dokter, polisi, astronot, guru, dan pemain bola adalah bentuk kontribusi. Pengusaha, pejabat, programmer, seniman, petani, supir angkot, nelayan, penarik becak, dan semua pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan memiliki nilai-nilai kontribusi sendiri. Saya rasa tidak ada yang benar-benar tidak peduli pada nasib bangsa Indonesia, karena ukuran besar kontribusi selalu bergantung pada darimana subyek memandang. Karena itulah setiap orang adalah negarawan.
Indonesia tidaklah miskin cita-cita. Indonesia juga tidak miskin orang-orang yang peduli. Jika saat ini Indonesia tidak dalam keadaan yang baik, maka yang diperlukan adalah persatuan orang-orang yang memiliki harapan yang sama dan itu berarti seluruh rakyat Indonesia untuk tidak saling bertengkar sendiri, tidak saling menghakimi, dan tidak saling menyalahkan. Kedengarannya memang normatif dan sulit diwujudkan dalam tataran teknis, tapi saya rasa memang itulah yang diperlukan. Itulah cita-cita besar Indonesia di era pembangunan saat ini. Semangat yang dibawa haruslah terus menerus diregenerasi dan dipupuk dengan bayangan akan terwujudnya Indonesia yang ideal adanya, yang bernafaskan nilai-nilai moral dan agama Islam sebagai rujukan utama bagi setiap aturan dan hukum.
Seorang negarawan tidak hanya bergerak di dalam otaknya (prinsipil), tapi diturunkan dalam gerak anggota tubuh (teknis) yang memicu pergerakan lingkungan sekitarnya. Dan kita sebagai mahasiswa, sangat wajar jika kita menepati setiap poin yang terangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Itulah bentuk senyata-nyatanya kontribusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...