Pada Reformasi, Episode 1
Oleh
Annisa Qur’ani
Ref,
gue disorientasi. Gue udah memajang diri di depan laptop sejak hampir dua jam
yang lalu, tapi nggak mengasilkan apa-apa. Tangan gue selalu otomatis memasang
modem dan mengetik situs “F” atau “T” di tab browser gue. Ngegosipin banyak hal
nggak jelas sama teman-teman yang online, buat status-status nggak jelas. Dan
parahnya, gue mikir, Ref! Gue mikir berat waktu mau buat status itu! Padahal
gue aja nggak mikir belajar buat UTS besok.
Sori,
Ref. Lo pasti kaget karena gue tiba-tiba ngomong kaya begini. Lo lagi belajar
buat UTS besok Senin Ref? Sori banget, gue cuma mau ganggu dikit aja kok. Lo
bacanya scanning aja, yang penting
dibaca. Komentar urusan belakangan.
Awalnya
Ref, gue duduk di depan layar laptop gue buat nerusin esai yang mau gue ikutin
ke lomba esai nasional. Beh, keren abis. Temanya pengabdian masyarakat, Ref.
Ada pilihan tema lain sih, yaitu mahasiswa menghadapi realita pragmatisme. Yang
terakhir itu gue nggak ngerti. Bahasanya langit banget. Lo tahu sendiri otak
gue nggak nyampe buat mikir hal berat kaya begitu. Barangkali lo yang lebih
cocok. Atau jangan-jangan lo udah bikin esainya dan udah dikirim? Kalau iya,
sialan lo Ref, nusuk gue dari belakang. Haha. Sori, bercanda Ref. Intinya, gue
mau ikut lomba esai itu. Dan sekarang gue tertumbuk dengan satu problem klise:
otak gue macet (Please jangan nyuruh
gue nyiram otak pake minyak jelantah).
Kenapa
gue akhirnya memutuskan cerita hal nggak penting ini ke elo? Karena gue
berharap dengan otak encer lo, lo bisa bantu gue.
Jadi
begini. Konsep awal gue adalah tindakan konkrit mahasiswa dalam pengabdian
masyarakat. Caranya dengan menggalakkan yang namanya paguyuban mahasiswa asal
daerah. Latar belakangnya, yah, lo tahu sendiri daerah itu minim sumber daya
manusia yang unggul. Maksud gue, putra-putra daerah yang pinter-pinter, sukses,
dan punya pemikiran-pemikiran cerdas pada akhirnya jarang kembali ke kampung
mereka, ke daerah. Mereka ya kerja di ibukota, di perusahaan-perusahaan besar
di kota-kota, bahkan luar negeri. Kalau semua begitu, daerah bakal dapat apa?
Alibi
yang sering digaungkan oleh orang-orang ini biasanya terkait kesempatan kerja
yang jarang muncul, keterbatasan buat bisa berkembang di daerah, di daerah
sudah ada yang mengurus, kerja di luar tapi berkontribusi untuk daerah (yang
ini mendingan), dan sebagainya. Oke, di sini gue dalam posisi nuduh. Gue nggak
punya bukti statistik mengenai jumlah orang-orang macam itu. Gini aja deh. Lo
tanya sama diri sendiri. Mau nggak lo balik ke daerah dan membangun tanah
kelahiran lo? Tiga detik. Kalo lo langsung jawab iya, gue nggak perlu nerusin
esai ini. Alhamdulillah banget kalo
gitu, berarti setidaknya sebagian putra daerah masih peduli dengan daerah asal
mereka. Ini memang terlalu menggeneralisasi, Ref. Sekali lagi, karena gue nggak
punya bukti konkritnya. Makanya lo bantu gue, biar esai ini nggak jadi fitnah.
Ref,
gue miris melihat temen-temen gue di kampus, khususnya yang dari daerah,
berubah menjadi egois. Lagi-lagi ini penilaian subyektif gue, mereka seakan
lupa sama asalnya. Kacang lupa kulit? Boleh juga pepatah itu. Gue tahu, nggak
semua mahasiswa atau putra daerah itu berangkat dengan tujuan memajukan
daerahnya. Ada yang memang murni belajar buat cari kerja besoknya setelah
lulus, ada yang cuma karena prestise,
ada juga yang alasannya macem-macem. Apa itu salah? Menurut gue nggak. Tenang,
begini-begini gue masih menghargai pendapat dan kecenderungan individu. Maksud
gue di sini adalah, ayo dong, kita ajak mereka untuk sesampainya di sini,
mereka masih menyisakan sekotak pikiran mereka untuk memberikan sesuatu bagi
daerah asal. Karena lo tahu juga Ref, Indonesia ini terlalu luas. Terlalu luas
untuk bisa diurus semuanya oleh pemerintah pusat. Bahkan daerah yang udah
diberi hak otonom nyatanya masih belum mampu mengolahnya dengan maksimal. Apa
solusinya? Ya dengan kita membantu pemerintah daerah untuk mengelolanya.
Menurut
gue lagi nih, Ref, kita mahasiswa seharusnya punya kapasitas lebih. Apa yang
telah kita dapatkan di kampus? Nggak cuma ilmu di kelas-kelas perkuliahan kan?
Kita dapet kenalan banyak orang, link,
pengalaman, wawasan, dan revolusi pola pikir yang jelas berbeda dengan
temen-temen kita yang nggak sempat mencicipi bangku kuliah. Seberapa banyakkah
mereka? Banyak buanget. Bukannya gue lebay,
tapi kerena memang banyak sekali temen-temen kita yang kurang beruntung dalam
hal pendidikan tinggi. Kita jadi mahasiswa toh asalnya juga dari mengalahkan
mereka semua. Seleksi alam, kata Darwin. Tapi nggak cuma alam yang menyeleksi, banyak
faktor. Dan hasilnya kita-kita ini sekarang. Jadi kita punya kewajiban buat
berbuat lebih.
Gue,
Ref. waktu gue diterima di universitas, tetangga sekampung datang ke rumah
ngasih selamat ke orang tua gue. Mereka menyampaikan harapan-harapan mereka ke
gue. “Yang pinter ya, biar besok bisa
bantu Ratna—anaknya—buat nyari
kerja”, “Sukses di rantau, pulang membahagiakan orang tua dan bantu-bantu
ngurus kampung”, “Sehat-sehat di sana, kuliah yang baik, biar negara ini
bangga”, “Kami berharap besar sama kamu…” gue inget satu-persatu pesan
mereka waktu itu. Bukan karena mereka ngomong itu sambil ngasih uang saku ke
gue Ref, tapi sumpah gue beneran terharu sekaligus nyeri dengernya. Gue baru
mau berangkat, dan udah disuruh bawa beban seberat itu!
Ada
satu quote yang bikin gue merinding. Seorang putra daerah yang menuntut ilmu, dia
membawa serta seluruh harapan tetangganya di kampung. Semua, di pundaknya.
Serem kan, Ref? Apa itu hanya untuk anak asal daerah? Gue yakin nggak. Cuma
waktu si pembicara ngomong itu, konteksnya sedang ada di pertemuan paguyuban
nusantara. Sebenarnya nggak cuma putra daerah, tapi semua mahasiswa, semua
pemuda harapan bangsa. Lo tahu Ref? Ketika gue tanya ke beberapa temen tentang
persoalan daerah ini, beberapa bilang nggak ingin kembali ke daerah. Kenapa?
Karena mereka merasa nggak ada manfaatnya. Pemerintah daerah pun nggak
membutuhkan mereka. Buktinya, susah payah mereka masuk perguruan tinggi, apa
apresiasi dari pemda? Apa bentuk dukungan dari pemda terhadap mereka yang
berhasil? Nggak ada, ref. sekedar ucapan selamat formal pun nggak ada! Sibuk
mungkin, kalau gue berusaha berkhusnuzon.
Gue pikir, mereka nggak salah mengira demikian. Orang yang sejak awal berjuang
sendiri, darimana mereka akan punya niat untuk minimal membalas budi?
Karena
itulah pada akhirnya gue mengangkat fokus esai gue ke paguyuban mahasiswa. Gue
rasa, bentuk yang paling konkrit sebagai wadah control dan pemersatu mahasiswa,
khusunya putra daerah. Bukan masalah nantinya akan menimbulkan perpecahan dan
primordialisme terhadap daerah asal seperti yang salah satu dosen gue bilang di
kelas minggu lalu, tapi gimana caranya paguyuban itu bisa jadi tempat
koordinasi mahasiswa asal daerah untuk memberikan sumbangan bagi daerahnya.
Contohnya, Ref, ada beberapa paguyuban yang gue nilai bagus dalam hal
kaderisasi dan ikatan alumninya. Yah nggak perlu gue sebut nama paguyubannya
(lo bisa liat esai gue besok kalau udah jadi tentang paguyuban ini). Intinya,
mereka, anggota paguyuban ini memberikan advokasi menyeluruh terhadap
siswa-siswa SMA yang meneruskan ke perguruan tinggi. Mulai dari bantuan
belajar, bantuan pendaftaran, pinjaman finansial, dan bantuan mengurus
administrasi awal kampus. Hasilnya? Sembilan puluh persen dari mahasiswa yang
diadvokasi memiliki ikatan kuat terhadap daerahnya. Ada rasa ingin memberi
untuk daerahnya, minimal membalas budi dengan mengadvokasi adik-adik mereka
kelak, seperti yang sudah mereka dapatkan sebelumnya.
Sebenarnya
bentuk kontribusi mahasiswa yang bisa dilakukan melalui paguyuban tidak hanya
itu. Melalui paguyuban, kita bisa menghimpun orang-orang sukses yang berasal dari
daerah. Kita menyediakan sarana bagi mereka untuk ikut berkontribusi buat tanah
kelahiran. Wujudnya? Donatur bisa, sumbang pemikiran bisa, dan pembentukan
jaringan warga asal daerah. Itu yang terpenting. Bisa jadi kan, Ref? Barangkali
mereka ingin berkontribusi untuk daerah, tapi tidak tahu lewat mana. Apalagi
jika mereka sudah tidak percaya pada pemerintah daerah. Paguyuban mahasiswa
bisa jadi sarana yang efektif. Yah, pakailah stereotip mahasiswa yang terkenal
masih idealis. Gimana, ref? Nggak terlalu maksa kan konsep esai gue? Gue yakin
banget, apa yang udah gue sebutkan cuma manfaat kecilnya aja. Otak gue kan
kecil juga, jadi ya mikirnya gitu-gitu aja. Makin banyak otak yang ikutan
mikir, makin cihuy manfaat yang bisa kita temukan.
Lebih
jauh lagi, Ref, kalau pemda peduli, pemda bisa memanfaatkan adanya paguyuban
ini. Misalnya dengan membentuk kerja sama dalam hal advokasi siswa-siswa SMA
yang mau meneruskan ke perguruan tinggi, menyediakan tempat untuk paguyuban
bisa bergerak bebas menjalankan program-program pengabdian masyarakatnya di daerah,
dan menjaring mahasiswa-mahasiswa potensial sebagai penerus yang kelak bisa
ditempatkan di posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Bagi pemda,
seharusnya keberadaan paguyuban ini menjadi solusi jangka panjang dalam
menyelesaikan masalah pengelolaan sumber daya manusia. Paguyuban baiknya
digalakkan di semua daerah, dirawat, dikontrol, dan didukung agar keberadaannya
bisa memberi manfaat maksimal bagi pertumbuhan daerah. Yah, hitung-hitung
membantu pemerintah pusat dan daerah khususnya dalam masalah pendidikan
warganya.
Begitu,
Ref. Sekarang yang menghambat esai gue adalah, gue sulit mengimpun data. Yah
itu bisa diusahakan lah. Cincai.
Masalah yang lebih berat adalah, apakah gue dan teman-teman yang sepakat sama
gue siap menjadi motor penggeraknya? Mengubah paradigma mahasiswa itu sulit,
Ref. Lo tahu sendiri lah, pengalaman lo banyak. Kebanyakan mahasiswa sekarang
cita-citanya tinggi banget, beberapa malah gue anggap utopis dan nggak sadar
diri. Beberapa hanya membayangkan yang besar-besar, hebat-hebat, tapi lupa atau
malah menutup mata sama problem yang ada di hadapan. Haha. Gue fitnah lagi ya
Ref? Yah, inilah gue, terlalu subyektif. Karenanya gue butuh elo sebagai
penyeimbang. Bantu gue ya, Ref, untuk memulai langkah ini. Semoga gue tetap
bisa istiqamah dengan pemikiran gue
sekarang. Gue nggak sendiri, gue yakin itu. Makanya, dengan ini, dengan esai
gue, gue ingin mengajak sebanyak-banyaknya mahasiswa yang sepaham untuk
bergerak bareng mewujudkannya. Biar nggak cuma omong doang, biar nggak cuma ngatung di awang-awang.
Doakan
gue, Ref, gue mau nulis lagi. Bismillah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar