Sabtu, 20 Oktober 2012

Pada Reformasi, Episode 1


Pada Reformasi, Episode 1
Oleh Annisa Qur’ani

Ref, gue disorientasi. Gue udah memajang diri di depan laptop sejak hampir dua jam yang lalu, tapi nggak mengasilkan apa-apa. Tangan gue selalu otomatis memasang modem dan mengetik situs “F” atau “T” di tab browser gue. Ngegosipin banyak hal nggak jelas sama teman-teman yang online, buat status-status nggak jelas. Dan parahnya, gue mikir, Ref! Gue mikir berat waktu mau buat status itu! Padahal gue aja nggak mikir belajar buat UTS besok.
Sori, Ref. Lo pasti kaget karena gue tiba-tiba ngomong kaya begini. Lo lagi belajar buat UTS besok Senin Ref? Sori banget, gue cuma mau ganggu dikit aja kok. Lo bacanya scanning aja, yang penting dibaca. Komentar urusan belakangan.
Awalnya Ref, gue duduk di depan layar laptop gue buat nerusin esai yang mau gue ikutin ke lomba esai nasional. Beh, keren abis. Temanya pengabdian masyarakat, Ref. Ada pilihan tema lain sih, yaitu mahasiswa menghadapi realita pragmatisme. Yang terakhir itu gue nggak ngerti. Bahasanya langit banget. Lo tahu sendiri otak gue nggak nyampe buat mikir hal berat kaya begitu. Barangkali lo yang lebih cocok. Atau jangan-jangan lo udah bikin esainya dan udah dikirim? Kalau iya, sialan lo Ref, nusuk gue dari belakang. Haha. Sori, bercanda Ref. Intinya, gue mau ikut lomba esai itu. Dan sekarang gue tertumbuk dengan satu problem klise: otak gue macet (Please jangan nyuruh gue nyiram otak pake minyak jelantah).
Kenapa gue akhirnya memutuskan cerita hal nggak penting ini ke elo? Karena gue berharap dengan otak encer lo, lo bisa bantu gue.
Jadi begini. Konsep awal gue adalah tindakan konkrit mahasiswa dalam pengabdian masyarakat. Caranya dengan menggalakkan yang namanya paguyuban mahasiswa asal daerah. Latar belakangnya, yah, lo tahu sendiri daerah itu minim sumber daya manusia yang unggul. Maksud gue, putra-putra daerah yang pinter-pinter, sukses, dan punya pemikiran-pemikiran cerdas pada akhirnya jarang kembali ke kampung mereka, ke daerah. Mereka ya kerja di ibukota, di perusahaan-perusahaan besar di kota-kota, bahkan luar negeri. Kalau semua begitu, daerah bakal dapat apa?
Alibi yang sering digaungkan oleh orang-orang ini biasanya terkait kesempatan kerja yang jarang muncul, keterbatasan buat bisa berkembang di daerah, di daerah sudah ada yang mengurus, kerja di luar tapi berkontribusi untuk daerah (yang ini mendingan), dan sebagainya. Oke, di sini gue dalam posisi nuduh. Gue nggak punya bukti statistik mengenai jumlah orang-orang macam itu. Gini aja deh. Lo tanya sama diri sendiri. Mau nggak lo balik ke daerah dan membangun tanah kelahiran lo? Tiga detik. Kalo lo langsung jawab iya, gue nggak perlu nerusin esai ini. Alhamdulillah banget kalo gitu, berarti setidaknya sebagian putra daerah masih peduli dengan daerah asal mereka. Ini memang terlalu menggeneralisasi, Ref. Sekali lagi, karena gue nggak punya bukti konkritnya. Makanya lo bantu gue, biar esai ini nggak jadi fitnah.
Ref, gue miris melihat temen-temen gue di kampus, khususnya yang dari daerah, berubah menjadi egois. Lagi-lagi ini penilaian subyektif gue, mereka seakan lupa sama asalnya. Kacang lupa kulit? Boleh juga pepatah itu. Gue tahu, nggak semua mahasiswa atau putra daerah itu berangkat dengan tujuan memajukan daerahnya. Ada yang memang murni belajar buat cari kerja besoknya setelah lulus, ada yang cuma karena prestise, ada juga yang alasannya macem-macem. Apa itu salah? Menurut gue nggak. Tenang, begini-begini gue masih menghargai pendapat dan kecenderungan individu. Maksud gue di sini adalah, ayo dong, kita ajak mereka untuk sesampainya di sini, mereka masih menyisakan sekotak pikiran mereka untuk memberikan sesuatu bagi daerah asal. Karena lo tahu juga Ref, Indonesia ini terlalu luas. Terlalu luas untuk bisa diurus semuanya oleh pemerintah pusat. Bahkan daerah yang udah diberi hak otonom nyatanya masih belum mampu mengolahnya dengan maksimal. Apa solusinya? Ya dengan kita membantu pemerintah daerah untuk mengelolanya.
Menurut gue lagi nih, Ref, kita mahasiswa seharusnya punya kapasitas lebih. Apa yang telah kita dapatkan di kampus? Nggak cuma ilmu di kelas-kelas perkuliahan kan? Kita dapet kenalan banyak orang, link, pengalaman, wawasan, dan revolusi pola pikir yang jelas berbeda dengan temen-temen kita yang nggak sempat mencicipi bangku kuliah. Seberapa banyakkah mereka? Banyak buanget. Bukannya gue lebay, tapi kerena memang banyak sekali temen-temen kita yang kurang beruntung dalam hal pendidikan tinggi. Kita jadi mahasiswa toh asalnya juga dari mengalahkan mereka semua. Seleksi alam, kata Darwin. Tapi nggak cuma alam yang menyeleksi, banyak faktor. Dan hasilnya kita-kita ini sekarang. Jadi kita punya kewajiban buat berbuat lebih.
Gue, Ref. waktu gue diterima di universitas, tetangga sekampung datang ke rumah ngasih selamat ke orang tua gue. Mereka menyampaikan harapan-harapan mereka ke gue. “Yang pinter ya, biar besok bisa bantu Ratna—anaknya—buat nyari kerja”, “Sukses di rantau, pulang membahagiakan orang tua dan bantu-bantu ngurus kampung”, “Sehat-sehat di sana, kuliah yang baik, biar negara ini bangga”, “Kami berharap besar sama kamu…” gue inget satu-persatu pesan mereka waktu itu. Bukan karena mereka ngomong itu sambil ngasih uang saku ke gue Ref, tapi sumpah gue beneran terharu sekaligus nyeri dengernya. Gue baru mau berangkat, dan udah disuruh bawa beban seberat itu!
Ada satu quote yang bikin gue merinding. Seorang putra daerah yang menuntut ilmu, dia membawa serta seluruh harapan tetangganya di kampung. Semua, di pundaknya. Serem kan, Ref? Apa itu hanya untuk anak asal daerah? Gue yakin nggak. Cuma waktu si pembicara ngomong itu, konteksnya sedang ada di pertemuan paguyuban nusantara. Sebenarnya nggak cuma putra daerah, tapi semua mahasiswa, semua pemuda harapan bangsa. Lo tahu Ref? Ketika gue tanya ke beberapa temen tentang persoalan daerah ini, beberapa bilang nggak ingin kembali ke daerah. Kenapa? Karena mereka merasa nggak ada manfaatnya. Pemerintah daerah pun nggak membutuhkan mereka. Buktinya, susah payah mereka masuk perguruan tinggi, apa apresiasi dari pemda? Apa bentuk dukungan dari pemda terhadap mereka yang berhasil? Nggak ada, ref. sekedar ucapan selamat formal pun nggak ada! Sibuk mungkin, kalau gue berusaha berkhusnuzon. Gue pikir, mereka nggak salah mengira demikian. Orang yang sejak awal berjuang sendiri, darimana mereka akan punya niat untuk minimal membalas budi?
Karena itulah pada akhirnya gue mengangkat fokus esai gue ke paguyuban mahasiswa. Gue rasa, bentuk yang paling konkrit sebagai wadah control dan pemersatu mahasiswa, khusunya putra daerah. Bukan masalah nantinya akan menimbulkan perpecahan dan primordialisme terhadap daerah asal seperti yang salah satu dosen gue bilang di kelas minggu lalu, tapi gimana caranya paguyuban itu bisa jadi tempat koordinasi mahasiswa asal daerah untuk memberikan sumbangan bagi daerahnya. Contohnya, Ref, ada beberapa paguyuban yang gue nilai bagus dalam hal kaderisasi dan ikatan alumninya. Yah nggak perlu gue sebut nama paguyubannya (lo bisa liat esai gue besok kalau udah jadi tentang paguyuban ini). Intinya, mereka, anggota paguyuban ini memberikan advokasi menyeluruh terhadap siswa-siswa SMA yang meneruskan ke perguruan tinggi. Mulai dari bantuan belajar, bantuan pendaftaran, pinjaman finansial, dan bantuan mengurus administrasi awal kampus. Hasilnya? Sembilan puluh persen dari mahasiswa yang diadvokasi memiliki ikatan kuat terhadap daerahnya. Ada rasa ingin memberi untuk daerahnya, minimal membalas budi dengan mengadvokasi adik-adik mereka kelak, seperti yang sudah mereka dapatkan sebelumnya.
Sebenarnya bentuk kontribusi mahasiswa yang bisa dilakukan melalui paguyuban tidak hanya itu. Melalui paguyuban, kita bisa menghimpun orang-orang sukses yang berasal dari daerah. Kita menyediakan sarana bagi mereka untuk ikut berkontribusi buat tanah kelahiran. Wujudnya? Donatur bisa, sumbang pemikiran bisa, dan pembentukan jaringan warga asal daerah. Itu yang terpenting. Bisa jadi kan, Ref? Barangkali mereka ingin berkontribusi untuk daerah, tapi tidak tahu lewat mana. Apalagi jika mereka sudah tidak percaya pada pemerintah daerah. Paguyuban mahasiswa bisa jadi sarana yang efektif. Yah, pakailah stereotip mahasiswa yang terkenal masih idealis. Gimana, ref? Nggak terlalu maksa kan konsep esai gue? Gue yakin banget, apa yang udah gue sebutkan cuma manfaat kecilnya aja. Otak gue kan kecil juga, jadi ya mikirnya gitu-gitu aja. Makin banyak otak yang ikutan mikir, makin cihuy manfaat yang bisa kita temukan.
Lebih jauh lagi, Ref, kalau pemda peduli, pemda bisa memanfaatkan adanya paguyuban ini. Misalnya dengan membentuk kerja sama dalam hal advokasi siswa-siswa SMA yang mau meneruskan ke perguruan tinggi, menyediakan tempat untuk paguyuban bisa bergerak bebas menjalankan program-program pengabdian masyarakatnya di daerah, dan menjaring mahasiswa-mahasiswa potensial sebagai penerus yang kelak bisa ditempatkan di posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Bagi pemda, seharusnya keberadaan paguyuban ini menjadi solusi jangka panjang dalam menyelesaikan masalah pengelolaan sumber daya manusia. Paguyuban baiknya digalakkan di semua daerah, dirawat, dikontrol, dan didukung agar keberadaannya bisa memberi manfaat maksimal bagi pertumbuhan daerah. Yah, hitung-hitung membantu pemerintah pusat dan daerah khususnya dalam masalah pendidikan warganya.
Begitu, Ref. Sekarang yang menghambat esai gue adalah, gue sulit mengimpun data. Yah itu bisa diusahakan lah. Cincai. Masalah yang lebih berat adalah, apakah gue dan teman-teman yang sepakat sama gue siap menjadi motor penggeraknya? Mengubah paradigma mahasiswa itu sulit, Ref. Lo tahu sendiri lah, pengalaman lo banyak. Kebanyakan mahasiswa sekarang cita-citanya tinggi banget, beberapa malah gue anggap utopis dan nggak sadar diri. Beberapa hanya membayangkan yang besar-besar, hebat-hebat, tapi lupa atau malah menutup mata sama problem yang ada di hadapan. Haha. Gue fitnah lagi ya Ref? Yah, inilah gue, terlalu subyektif. Karenanya gue butuh elo sebagai penyeimbang. Bantu gue ya, Ref, untuk memulai langkah ini. Semoga gue tetap bisa istiqamah dengan pemikiran gue sekarang. Gue nggak sendiri, gue yakin itu. Makanya, dengan ini, dengan esai gue, gue ingin mengajak sebanyak-banyaknya mahasiswa yang sepaham untuk bergerak bareng mewujudkannya. Biar nggak cuma omong doang, biar nggak cuma ngatung di awang-awang.
Doakan gue, Ref, gue mau nulis lagi. Bismillah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...