Selasa, 29 November 2016

Melangkah ke Arena

Dunia pendidikan sebetulnya tidak asing. Sebagai objek kita sudah merasakannya sejak lahir. Sebagai subjek aku sendiri baru merasakannya baru-baru ini saja, selepas SMA dan memasuki masa kuliah. Dari posisi objek yang hanya menerima ilmu dari sana-sini, kemudian mulai tahu ilmu apa yang ingin dimiliki dan melangkahkan kaki mencarinya.

Dunia pendidikan sebetulnya memang tidak asing. Hanya jauh saja. Buktinya sampai saat ini aku tidak juga menjadi subjek: yang memberikan, yang mengajarkan ilmu. Apa karena bukan lulusan guru jadi merasa tidak punya kewajiban? Apa karena tidak suka terlalu dekat dengan anak-anak, makanya selalu cari alasan menghindar? Aku yang sengaja tidak mendekat.

Masalahnya, Allah selalu punya rencana rahasia. Kegiatan-kegiatan yang kuikuti entah bagaimana ada saja hubungannya dengan pendidikan. Bimbel Perhimak, Desa Binaan Situ Pladen, Taman Baca Etos, Yayasan Bina Insani, bahkan sekarang tempatku bekerja adalah tempat guru mengajar dan anak-anak belajar. Apa Allah sedang bercanda?

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak." (Al-Baqarah: 216)

Kuberi tahu, banyak kegiatan tidak selalu membuatmu menjadi baik. Ketidakmampuanku menolak membawa efek yang menyeramkan: tidak ada yang fokus kulakukan. Setiap harinya ada rasa bersalah karena belum melaksanakan tugas ini untuk kegiatan itu dan membaca grup chat seperti mendengar bunyi gong yang memekakkan telinga. Pikiran "aku punya waktu dan bisa melakukan sesuatu yang baik di sini" ke depannya harus bisa kukendalikan.

Namun demikian ada efek lain: aku menjadi terbiasa terlibat di dunia pendidikan. Teman-teman baru, tema film baru, dan obrolan baruku banyak meliputi pendidikan. Rasanya marah saat mendengar isu tentang full day school, rasanya kagum melihat orang tua yang berani memutuskan anaknya homeschool saja, rasanya iri melihat guru yang disayang muridnya, rasanya sedih melihat ada anak dianggap bodoh oleh lingkungannya... Padahal sebelumnya semua itu terlihat biasa dan terkesan mengada-ada. 

Allah memang tampaknya sudah menyiapkan semuanya. Giliranku tiba juga. Salah satu ustadzah di TPQ datang ke rumah dan memintaku mengisi materi lanjutan untuk anak-anak yang sudah khatam Al-Qur'an. Aku bisa apa? Aku ingat dulu Bapak mengajarkan ilmu hadist dan aqidah-akhlak kepadaku dan teman-teman seangkatan selepas khatam Al-Qur'an. Materi lanjutan itu berhenti sejak Bapak tidak ada dan tak ada yang bisa meneruskan. Beliau pergi terlalu cepat sebelum sempat mewariskan ilmu-ilmunya lebih banyak.

"Membina itu wajib bagi setiap dari kita, Dek," kata Kak Ica. "Ilmu hadist, sirah, dan fikih bisa sambil jalan dipelajari. Tapi aqidah-akhlak itu pondasi. Fikrah itu harus diwariskan."

Membina itu wajib, sebagaimana dakwah menjadi konsekuensi bagi setiap kita yang memutuskan bersyahadat. Berbeda dengan ilmu akademik, pembahasan aqidah-akhlak akan mental sempurna tanpa diimbangi dengan contoh nyata. Artinya sebelum mengajarkan, aku sudah harus lebih dulu paham dan mempraktekkan. Apakah bisa meyakinkan seorang anak untuk beriman ketika diri sendiri masih dipenuhi keraguan?

Aku perlu mengais kembali catatan-catatan lama dan mengingat-ingat kembali bagaimana dulu Ustadzah bisa membuatku tertarik selalu datang setiap minggu. Aku bukan guru, tetapi aku hendak menyampaikan sesuatu, jadi harus kupastikan yang kusampaikan itu didengar.

Hari pertama menghadapi anak-anak SMP itu tidak mudah. Mereka antara tidak mengerti atau mengerti dan bosan atas apa yang kusampaikan. Mereka sering bicara sendiri atau menimpali penjelasanku dengan guyonan. Guyonanku justru garing. Intonasiku mengintimidasi. Ketidaksukaanku dikelilingi anak-anak sulit disembunyikan. Sukar sekali memasang ekspresi menyenangkan dan agar terlihat tulus. Default wajah, terutama mataku, tidak mendukung. Setelah satu jam berakhir dan doa penutup dibaca, yang kukhawatirkan justru bukan apakah mereka mengerti. Apakah mereka minggu depan akan datang lagi?

Aku pernah sekali gagal menjadi murabbi. Aku menyerah karena anak-anak bimbinganku tidak antusias mengikuti sesi mingguan yang paling hanya setengah sampai satu jam. Kusalahkan mereka, "siapa pula yang butuh?" padahal salahkulah yang begitu bodoh dalam menyampaikan dan bersimpati. Di benakku seharusnya ketika sudah memutuskan mau mengaji, ya mengaji, jangan banyak alasan. Seperti robot saja. Ada pendekatan personal yang kuabaikan.

TPQ ini tidak besar. Muridku hanya 9 orang. sampai suatu hari mereka akan menganggap kelasku sebagai sebuah kebutuhan, sepertinya tidak buruk juga untuk sengaja menceburkan diri di dunia pendidikan. Jika sebelumnya hanya didorong-dorong untuk masuk ke arena, kali ini di usiaku yang 23, di TPQ ini, aku ingin melangkahkan kakiku sendiri ke dalamnya.



Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...