Kamis, 14 September 2017

Rohingya: Persoalan Etnis atau Agama?

Krisis rasial yang dialami etnis Rohingya berawal dari pencabutan identitas kewarganegaraan mereka oleh pemerintah Myanmar pada 1982. Setelahnya selama tiga dekade etnis Rohingya selalu menjadi objek marginalisasi, khususnya oleh junta militer yang berkuasa. Hak-hak mereka tidak diakui karena dianggap bukan penduduk asli, walaupun mereka telah mendiami Rakhine cukup lama.

Persoalan Rohingya dibicarakan di kedai kopi, di pasar, di warung kelontong. Pemberitaan yang besar-besaran di televisi dan (utamanya) di media sosial membuat isu Rohingya tidak hanya milik elitis dan golongan intelektual. Ibu saya yang jualan telur asin di pasar pagi pun bisa bicara soal Rohingya dengan temannya di lapak sebelah yang jualan ayam potong dan nasi kuning. Di berbagai grup Whatsapp dan jejaring sosial, saya menerima broadcast seruan aksi solidaritas berkaitan dengan isu Rohingya di Myanmar. Bentuk seruan aksi solidaritas berbagai macam, dari yang simpel penggalangan dana bantuan, pembuatan kaos untuk donasi, hingga pengajuan petisi. Bahkan di jejaring yang lebih privat ada aksi pengiriman sukarelawan ke lokasi konflik.

Menyenangkan untuk mengetahui kita semua sepakat tentang perlunya bantuan kemanusiaan dikirim ke Rakhine. Akan tetapi maraknya aksi solidaritas pun diwarnai dengan adu narasi tentang akar persoalan Rohingya. Sebagian pihak membuat narasi yang menggiring konflik Rohingya sebagai konflik agama. Ini bisa dimengerti, mengingat mayoritas Rohingya adalah penganut agama Islam dan trigger dari persoalan berlarut-larut ini memang penyerangan brutal teroris Buddhist terhadap muslim Rohingya pada 2012. Pihak lain, mengikuti narasi “formal” dari Duta Besar Indonesia di Myanmar, akar konflik adalah perbedaan etnis di negara berkembang yang tengah belajar berdemokrasi.

Narasi formal pemerintah menghimbau agar persoalan Rohingya tidak dibawa ke ranah agama karena ada keterlibatan pihak pemerintah lokal, yang dalam hal ini masih dipengaruhi militer, yang terlibat. Penyelesaian konflik juga dianggap akan lebih mudah jika isu agama tidak menambah runyam konflik yang ada. Namun di sisi lain, pihak pemerintah Myanmar pun tidak menyangkal adanya Islamfobia dalam konflik Rohingya. Ditambah lagi ketika yang menjadi trigger adalah teror dari penganut agama lain dan wawancara Suu Kyi dengan BBC yang mengindikasikan adanya negative judgement terhadap satu pihak.


Ketika keduanya begitu beririsan di Rohingya, bagaimana kita bisa membedakan antara konflik etnis dengan agama?

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...