Krisis rasial yang dialami etnis Rohingya berawal dari
pencabutan identitas kewarganegaraan mereka oleh pemerintah Myanmar pada 1982.
Setelahnya selama tiga dekade etnis Rohingya selalu menjadi objek
marginalisasi, khususnya oleh junta militer yang berkuasa. Hak-hak mereka tidak
diakui karena dianggap bukan penduduk asli, walaupun mereka telah mendiami Rakhine
cukup lama.
Persoalan Rohingya dibicarakan di kedai kopi, di pasar, di
warung kelontong. Pemberitaan yang besar-besaran di televisi dan (utamanya) di
media sosial membuat isu Rohingya tidak hanya milik elitis dan golongan
intelektual. Ibu saya yang jualan telur asin di pasar pagi pun bisa bicara soal
Rohingya dengan temannya di lapak sebelah yang jualan ayam potong dan nasi
kuning. Di berbagai grup Whatsapp dan jejaring sosial, saya menerima broadcast
seruan aksi solidaritas berkaitan dengan isu Rohingya di Myanmar. Bentuk seruan
aksi solidaritas berbagai macam, dari yang simpel penggalangan dana bantuan,
pembuatan kaos untuk donasi, hingga pengajuan petisi. Bahkan di jejaring yang
lebih privat ada aksi pengiriman sukarelawan ke lokasi konflik.
Menyenangkan untuk mengetahui kita semua sepakat tentang
perlunya bantuan kemanusiaan dikirim ke Rakhine. Akan tetapi maraknya aksi
solidaritas pun diwarnai dengan adu narasi tentang akar persoalan Rohingya.
Sebagian pihak membuat narasi yang menggiring konflik Rohingya sebagai konflik
agama. Ini bisa dimengerti, mengingat mayoritas Rohingya adalah penganut agama
Islam dan trigger dari persoalan
berlarut-larut ini memang penyerangan brutal teroris Buddhist terhadap muslim
Rohingya pada 2012. Pihak lain, mengikuti narasi “formal” dari Duta Besar
Indonesia di Myanmar, akar konflik adalah perbedaan etnis di negara berkembang
yang tengah belajar berdemokrasi.
Narasi formal pemerintah menghimbau agar persoalan Rohingya
tidak dibawa ke ranah agama karena ada keterlibatan pihak pemerintah lokal,
yang dalam hal ini masih dipengaruhi militer, yang terlibat. Penyelesaian
konflik juga dianggap akan lebih mudah jika isu agama tidak menambah runyam
konflik yang ada. Namun di sisi lain, pihak pemerintah Myanmar pun tidak
menyangkal adanya Islamfobia dalam konflik Rohingya. Ditambah lagi ketika yang
menjadi trigger adalah teror dari penganut agama lain dan wawancara Suu Kyi
dengan BBC yang mengindikasikan adanya negative
judgement terhadap satu pihak.
Ketika keduanya begitu beririsan di Rohingya, bagaimana kita
bisa membedakan antara konflik etnis dengan agama?