Senin, 30 September 2019

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih sederhana jika dituangkan dalam tulisan. Tetapi semakin mempelajari isu, semakin mencoba melihat dari berbagai sudut pandang melalui diskusi-diskusi dengan kawan-kawan, semakin tidak layak rasanya jika semua dimampatkan dalam tulisan dua-tiga halaman.

Selagi saya gundah memikirkan angle tulisan sambil mencari hiburan, cuplikan drama Korea lawas Queen Seondeok muncul di halaman rekomendasi Youtube. Cuplikan itu mengingatkan saya pada pertarungan dua perempuan paling tangguh dan cerdas sejagat drama Korea: Deokman si Putri Mahkota dan Mishil sang ketua partai oposisi.

Keduanya sama-sama ingin menjadi ratu negeri Shilla dan memiliki cita-cita atas negerinya. Putri Deokman yang baru saja dengan cerdik mengklaim posisinya sebagai Putri Mahkota berhadapan dengan Mishil, yang sudah puluhan tahun berpengalaman menjadi negarawan dan politisi ulung Shilla. Pendekatan keduanya atas hubungan pemerintah dan rakyat jauh berbeda. Mishil mencemooh program kerja pertama Deokman sebagai Putri Mahkota yang hendak membangun sebuah observatorium untuk dikelola secara independen oleh ilmuwan dan bisa digunakan oleh masyarakat umum.

Menurut Mishil, memberikan pengetahuan tentang almanak pada masyarakat tidak akan ada gunanya. 
Pemerintahlah, melalui Pendeta Agung, yang bertugas memberi tahu masyarakat tentang informasi dari bintang-bintang. Pemerintah yang menentukan kapan waktu menanam, kapan waktu panen, melaut, dan sebagainya. Di sisi lain, masyarakat bergantung pada pemerintah untuk hal-hal yang mereka pikir berada di luar kendali mereka seperti mendatangkan hujan, mengobati penyakit, dan sebagainya. Masyarakat cukup tahu dan percaya bahwa pemerintah sedang bekerja keras untuk mereka. Masyarakat belum siap mengelola pengetahuan itu, kata Mishil. Dan ingat, mereka juga punya tendensi untuk menimbulkan kekacauan jika mereka diberi kesempatan. Mereka bisa dikendalikan dengan ilusi bahwa pemerintah (bahasa di drama: penguasa) adalah satu-satunya yang punya akses terhadap hukum dari langit.

Deokman berpikir lain. Masyarakat berhak atas informasi. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak mau tahu tentang mengapa hujan turun, tetapi dengan informasi mereka bisa menentukan sendiri kapan waktu menanam dan bagaimana memprediksi kekeringan tanpa bergantung pada upacara meminta hujan yang dilakukan pemerintah lewat doa-doa Pendeta Agung dan pelayan-pelayannya. Bahwa kerajaan adalah satu-satunya yang memiliki hak istimewa untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa di langit (divine right) adalah ilusi yang dipelihara untuk kepentingan politik, kata Deokman.


Pendeta Agung ini langsung mengingatkan saya pada elit-elit politik yang terlibat dalam perancangan undang-undang. Saya tidak bisa merangkum dengan baik peristiwa aksi mahasiswa dengan tujuh tuntutannya. Peserta aksi dan masyarakat yang mendukungnya memiliki alasan yang berbeda-beda, sesuai informasi yang berhasil masing-masing cerna. Saya kira itu adalah hal yang wajar, karena sepaham saya sebuah gerakan memang tidak dibangun hanya dari satu alasan.

Wajar juga jika tidak semua peserta aksi membaca RUU yang pasal-pasalnya mereka protes. Dan tidak adil jika menganggap bahwa jika sudah membaca RUU, maka kemungkinan tidak akan ikut aksi. Dan lebih tidak adil lagi, menganggap bahwa mereka yang tidak ikut aksi adalah sudah memahami RUU dan memutuskan untuk setuju.

Pemerintah, yang terdiri dari individu-individu yang menjalankan tupoksinya di dalam lembaga masing-masing, punya kewajiban untuk membuka akses informasi terkait peraturan. Akses informasi yang dimaksud tidak terbatas melalui diskusi-diskusi di kampus, tapi pada masyarakat yang berpotensi terdampak. Justru pihak-pihak lain yang memberi informasi tentang kajian RUU seperti Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengemasnya dengan bahasa sederhana dan menyebarluaskannya melalui media-media dan contoh penerapan hukumnya mendapat perhatian lebih besar daripada RUU itu sendiri.

Saya sepakat dengan pernyataan Haris Azhar yang dilontarkan pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC), bahwa permasalahan di Indonesia terkait hukum adalah pada komunikasi. Ada gap, jarak/selisih pengetahuan antara orang-orang yang terlibat dengan perancangan hukum, penegak hukum, dan masyarakat terdampak. Kasus-kasus yang dijadikan contoh oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kanal mereka, reformasikuhp.org, adalah bukti tidak berhasilnya penyampaian kodifikasi hukum ke tataran akar rumput. Sehingga natural saja munculnya reaksi balik dari hendak disahkannya RUU yang problematik.  Jangankan soal substansi, redaksionalnya saja bisa menimbulkan multitafsir. Dalam situasi dimana kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun, kegagalan pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan publik atas komunikasi mendorong terjadinya demonstrasi.

Kanal-kanal komunikasi tentang peraturan perundang-undangan harus dibuka di banyak tempat dan digunakan sebaik mungkin untuk mengedukasi masyarakat tentang hukum. Mungkin benar jika mengikuti kata Mishil bahwa masyarakat tidak peduli dengan pengetahuan-pengetahuan itu sepanjang pemerintah memenuhi kebutuhan mereka di dalam ilusi yang pemerintah ciptakan. Masyarakat mungkin merasa tidak perlu tahu bagaimana RUU dirumuskan, berapa orang yang hadir dalam perumusan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, atau bahkan kenapa rumusan itu diperlukan. Namun masyarakat perlu tahu kewajiban dan hak mereka di ranah hukum. Masyarakat perlu tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membela diri sendiri ketika suatu hari mereka diperkarakan di depan hukum atas hal-hal yang tidak mereka pahami. Apalagi jika sebagian besar masyarakat tidak punya cukup sumber daya untuk mengakses keadilan: menghubungi lembaga bantuan hukum atau menyewa jasa pengacara, misalnya.


Aksi mahasiswa membuka mata banyak orang tentang proses perumusan dan isi perundang-undangan di Indonesia. Saya salah satu dari sekian banyak orang yang terpaksa membaca teks panjang berisi ratusan pasal yang sebagian besarnya baru saya ketahui. Misalnya ada pasal yang mengatur tentang kerumuman dan ancaman pidana jika tidak membubarkan diri dalam tiga kali peringatan. Makanya ketika hendak mengadakan acara ramai-ramai apapun harus minta izin polisi setempat, selain untuk menertibkan juga agar tidak kena pasal. Demikian juga pasal tentang gelandangan dan dukun santet yang menjadi sorotan banyak orang.

Semakin penting juga bagi masyarakat untuk tidak asal menyoblos kertas suara di pemilihan umum. Yang penting bukan hanya memilih presiden saja, tapi mengenal calon perwakilan di DPR dan DPD berikut kepentingan yang dibawanya sama krusialnya. Saya sendiri sudah lupa di kertas suara DPR pada pemilu 2014 pilih siapa dan bertanya-tanya apakah ia juga salah satu yang terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan kontroversial yang didemo sekarang. Demikian juga pada Pemilu 2019, saya menyesal sudah memilih asal-asalan.

Bahwa orang-orang yang kita pilih untuk mewakili kita di pemerintahan akan berjuang demi semata-mata kepentingan kita adalah sebuah ilusi. Demikian juga ilusi bahwa pembangunan infrastruktur oleh negara adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Kebakaran hutan dan lahan serta konflik di Papua buktinya. Ilusi dibangun atas kepercayaan dan ketidaktahuan. Ketika kepercayaan terhadap wakil-wakil rakyat merapuh, jalanan adalah tempat lampu merah dinyalakan. Aksi mahasiswa adalah peluit peringatan. Kran-kran pengetahuan dibuka ke jalan-jalan.

Mishil bilang, you can’t reign without illusion. Pengetahuan yang diberikan pada rakyat yang tidak siap hanya akan menimbulkan kekacauan. Tapi mereka akan belajar, kata Deokman. Saya belajar.  Democracy is indeed noisy. And the march is never for nothing.

Minggu, 08 September 2019

Pemanfaatan Ruang Publik di Wisata Berbasis Wilayah: Pengalaman Melancong di Seoul, Korea Selatan

Abaikan judul artikel yang kedengarannya cukup berat. Sebetulnya saya hanya mau bercerita sedikit tentang pengalaman liburan di Seoul, ibukota Korea Selatan pada awal Maret lalu yang selalu tertunda. Pasalnya waktu menulis cerita perjalanan, saya kesusahan merangkup sembilan hari petualangan ke dalam satu artikel. Alhasil saya mencoba memecahnya menjadi beberapa tulisan. Salah satunya artikel ini yang saya tulis setelah mengikuti diskusi pariwisata di Roemah Martha Tilaar tentang sudut pandang konsumen terhadap wisata Kebumen.

Saya teringat pengalaman menjadi konsumen di Seoul, sebuah kota yang pariwisatanya sudah dikelola dengan baik dan menjadi salah satu pilar ekonomi nasional. Rasanya agak ajaib juga. Tanpa pemandu, tanpa tujuan yang jelas (itinerary) yang telah disusun sebelumnya, saya dan dua teman saya bisa sangat menikmati seisi kotanya. Saya ingin secara bertahap berbagi cerita tentang pengalaman menjadi turis (boleh kan, sekali-kali lah). Di kesempatan pertama ini, tentang bagaimana kota Seoul mengelola “ruang”. Seringkali ketika berwisata, kita fokus pada objek wisata yang akan dikunjungi, sehingga jika berwisata mandiri (tanpa pemandu atau agen travel wisata) di luar objek wisata, kita (khususnya saya) merasa bingung harus kemana. Di tulisan ini secuplik kisah tentang Seoul yang berhasil membuat pengunjung-pengunjungnya tak perlu merasa seperti anak hilang karena tidak punya tempat khusus yang dituju. Siapa tau bisa jadi inspirasi untuk mengolah daerah sendiri, ya kan, hehehe.

Kombinasi anak start-up, anak government, dan anak yayasan berpetualang di negeri orang

1. Transportasi publik yang murah dan terintegrasi

Bagi anak muda yang (masih) misqueen kaya kami ini, liburan dengan ikut paket tur lengkap dengan pemandu dan fasilitas transportasi jelas di luar pilihan. Mahal, Bu. Ngeteng alias backpacker adalah satu-satunya cara yang memungkinkan untuk jalan-jalan, baik di dalam maupun luar negeri. Nah di Seoul, kami tak perlu khawatir. Ada dua transportasi utama yang digunakan warga Seoul untuk wara-wiri di dalam kota: subway dan bus. Subway adalah kereta listrik yang punya jaringan rumit di bawah tanah yang menghubungkan stasiun-stasiun yang ada hampir di (mungkin istilah di Indonesia) setiap persimpangan jalan besar. Misalnya di SGB Gombong, perempatan Secata, Jl. Potongan dekat pasar, pertigaan Sangkal Putung, dll yang jaraknya masih sangat berdekatan (kira-kira jarak 1-2 menit perjalanan kereta). Stasiun subway bisa terdiri dari banyak pintu dan beberapa lantai ke bawah tanah, tergantung banyaknya lintasan yang dilewati. Di Seoul Station yang dilewati semua jalur subway, misalnya, kalau tidak salah sampai lima atau enam lantai ke bawah tanah. Jaringan subway di Seoul adalah jaringan subway paling rumit ke tiga setelah London dan New York.


Gwangheungchang Subway Station


Eits jangan takut hilang. Kami hanya perlu install Naver Maps dan Kakao Metro yang lengkap memberikan informasi tentang transportasi umum di Seoul. Kedua aplikasi tersebut bisa memberitahu kami berada di titik mana dan harus naik apa saja (termasuk berapa stasiun/halte yang harus dilewati) untuk ke mana.


Saya paling suka naik bus. Bisa lihat-lihat pemandangan sekitar dan mengamati orang-orang di pinggir jalan (bukan intel kok)


Tak jauh dari stasiun subway (di permukaan tanah), pasti ada halte bus. Nah halte bus ini punya papan informasi jalur bus berikut petunjuk transit jika ingin pindah ke jalur lain. Papan informasinya juga mencantumkan waktu kedatangan bus dan nomor busnya. Bagian dalamnya mirip TransJakarta. Tak perlu takut salah naik karena meskipun orang Korea banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris dan kesulitan baca alfabet, semua informasi umum di Seoul ditulis bilingual Korea dan Inggris. Biayanya transportasinya juga murah. Subway kalau tidak salah ingat 1.500 Won dan bus antara 800 sampai 1.200 Won tergantung jaraknya. Bayarnya pakai T-Money (semacam e-money card) untuk digunakan di semua alat transportasi termasuk taksi. Kita tinggal top-up di minimarket atau di ATM yang ada di hampir setiap gang. Ramah turis (misqueen) banget!


Rest area sekaligus photobooth di salah satu pojok stasiun bawah tanah (subway)


2. Ruang terbuka di tengah kota

Ini yang paling bikin betah di Seoul meski kocek kami cekak. Objek wisata di Seoul ada banyak, mulai dari istana-istana yang dibangun di periode Shilla sampai Joseon (yang suka drama saeguk pasti tau dong), museum, Namsan Tower (Monasnya orang Korea), dan lain-lain. Beberapa tempat tiket masuknya tidak murah, hiks. Karena isi dompet minim, kami harus puas dengan rencana jalan-jalan sebatas keliling kota. Tapi ternyata sepanjang jalan pun sudah sangat layak disebut wisata! Trotoarnya cantik-cantik, rapi, dan lebar ramah pejalan kaki. Ada taman-taman kota seperti Haneul Park (Sky Park) yang biasa jadi tempat hiking ringan untuk manula dan keluarga. Di musim semi, Haneul Park sangat indah dengan banyak bunga-bunga warna-warni di puncak bukitnya. Sayang kami ke sana saat perbatasan akhir musim dingin dengan awal musim semi. Tidak berkesempatan melihat salju dan bahkan dedaunan pun belum trubus, jadi hanya dapat dinginnya thok (maklum, tiket pesawatnya kan modal promo hehe).


Duduk-duduk di Haneul Park setelah naik ratusan tangga untuk ke puncak bukit

Di sepanjang pinggiran Sungai Han yang membelah Kota Seoul, terdapat banyak spot untuk olahraga. Tahu kan, seperti alat-alat outbond yang sering kita lihat di halaman Taman Kanak-Kanak. Perosotan, jungkat-jungkit, tangga rintangan, alat aerobik juga ada. Tapi bedanya ini untuk orang dewasa (yang anak-anak juga ada sih). Semua orang boleh pakai dan ada kran air minum juga di dekatnya. Di beberapa titik ada minimarket yang bisa kita mampir untuk sekadar beli cup ramyeon lalu makan sambil duduk-duduk di tangga pinggir sungai sampai bosan. Kami sempat menilik Chonggyecheon Stream, yaitu sungai kecil di pusat kota yang katanya adalah sungai cikal-bakal kota Seoul jaman dulu. Di musim panas, masyarakat membuat festival lampion di tepi aliran sungai yang super jernih dan jadi atraksi wisata juga. Meski tanpa itinerary yang jelas, akhirnya kami bebas saja mengikuti langkah kaki jalan keliling kota tanpa merasa bingung harus melakukan apa.


Di musim semi dan musim gugur, Haneul Park ramai dikunjungi masyarakat lokal yang jogging atau sekedar jalan-jalan di antara kebun bunga. Banyak yang pakai kursi roda juga. Seoul sangat ramah untuk difabel dan manula.

3. Pameran seni dimana-mana

Di atas sudah disinggung tentang kami yang tidak banyak persiapan dalam berwisata (karena lebih sibuk open jastip sih, wkwk). Tapi tanpa perlu ke museum atau tempat-tempat khusus yang tiketnya mahal pun, kami sudah bisa menikmati seni budaya Seoul. Tadi sudah diceritakan tentang transportasi umum di Seoul. Di beberapa titik utama stasiun subway, jarak antar pintu keluar yang dituju bisa jadi sangat jauh (bisa sampai 1 km di stasiun yang melayani banyak jalur). Kebayang nggak sih bosannya seperti apa menelusuri lorong-lorong menuju pintu keluar?


Pemanfaatan tembok lorong stasiun bawah tanah untuk pameran seni

Mengatasi hal ini, lorong-lorong itu disulap menjadi galeri seni yang memajang berbagai hal. Ada lorong yang temanya lukisan seniman-seniman lokal, ada yang foto-foto pembangunan Seoul yang bersejarah, ada narasi tentang peristiwa-peristiwa penting sejak zaman Joseon hingga Perang Korea, dan di sejumlah titik juga dijadikan photobooth. Ketika memperhatikan dengan seksama, kami tahu lebih banyak tentang Korea Selatan melalui instalasi-instalasi semacam ini yang tersebar di berbagai tempat umum. Papan-papan iklan juga ada dimana-mana. Kebanyakan tulisannya pakai hangul jadi kami tidak bisa baca. Tapi jangan salah desain iklannya unik-unik dan (tentu saja ini yang kami lihat) model iklannya oppa-oppa Korea ganteng yang sering kami lihat di drama-drama. Kyaa, ngga pernah sebahagia ini lihat iklan! >.<


Kapan lagi bisa foto sama Chanyeol ~~


4. Optimalisasi pusat informasi turis

Pernah di salah satu hari kami nyasar karena salah ambil pintu keluar stasiun subway, tepatnya di daerah Sinchon, dekat Ewha Woman University. Seharusnya Exit 1 tapi kami keluar di Exit 2 atau 3 yang jaraknya lumayan, harus menyeberang jalan besar yang ramai dan zebra crossnya juga jauh. Karena baru pertama kali, begitu kami keluar di Exit yang salah, petunjuk di Naver Maps langsung berubah karena deteksi otomatis. Nah bingung dong yang tadinya hanya perlu jalan 100 meter jadi empat sampai lima kali lipatnya. Untunglah kami menemukan Touris Center di dekat stasiun. Unnie (mbak-mbak) yang jaga di sana seolah radarnya kenceng banget sampai bisa mendeteksi kami yang sedang bingung. Dengan Bahasa Inggris yang logatnya Korea banget, si Unnie ini menuntun kami ke kantornya yang kecil tapi super cozy. Di sepanjang sisi dinding kantor ada pajangan pigura-pigura yang bercerita tentang peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Sinchon, bersebelahan dengan rak panjang berisi barisan brosur wisata dari semua distrik di Korea Selatan. Setiap distrik menyediakan setidaknya lima bahasa untuk masing-masing brosur: Korea, Inggris, China, Jepang, Arab, bahkan ada juga beberapa yang tersedia dalam bahasa Perancis, Jerman, dan Indonesia!


Pojokan ruang tamu Sinchon Tourist Center

Pusat informasi turis tidak hanya di pusat atraksi wisata yang banyak didatangi seperti Myeongdong, tetapi juga tersebar di banyak tempat yang lebih kecil. Persamaannya adalah letaknya selalu dekat dengan stasiun subway. Fasilitas yang biasa ditemukan adalah ratusan brosur dan peta detail area tempat kantor pusat informasi berada, rest area, toilet, dan beberapa menyediakan prayer room (untuk semua kepercayaan, dan tidak ada mukena atau sajadah apalagi sarung). Sambil menunggu giliran shalat (yang wudhunya harus di toilet stasiun), kami dipersilakan duduk di kursi-kursi di dalam kantor. Di atas meja di depan kami, tersedia beberapa tumpuk benda yang awalnya saya kira semacam snack karena bungkusnya lucu banget. Eh ternyata tisu basah. Unnie penjaga kantor menjelaskan kepada kami seputar wilayah Sinchon dengan bantuan brosur Distrik Sinchon. Setelahnya kami pamitan dan si Unnie memberi banyak tisu basah. Untuk suvenir, begitu katanya. Nggak apa nggak ditawarin minum tapi dapat sangu tisu basah buat oleh-oleh Emak di rumah, batinku.


Barisan kedai lukis on the spot di pelataran Namsan Tower. Per orang/wajah harga jasa lukisnya sekitar 5.000 Won

5. Museum dan atraksi wisata gratis tis

Sepanjang perjalanan kami menggelandang (eh jalan-jalan), selain kebutuhan konsumsi dan transportasi, kami hanya mengeluarkan uang untuk sewa hanbok (baju tradisional Korea) seharga 10.000 Won untuk sewa sejam. Perlu diketahui, jika kita masuk ke Istana Gyeongbukgung dengan memakai hanbok, tiket masuknya gratis. Tapi kalau tidak pakai hanbok bayar tiket masuk 3.000 Won. Oh iya 1 Won saat kami ke sana nilainya sekitar 12 sampai 13 Rupiah. Hitung sendiri ya perkiraan harga dalam rupiahnya. Selain itu, kami hanya mengunjungi objek wisata yang gratisan. Eh jangan salah, banyak banget tempat wisata yang gratisan di Seoul, terutama museum-museum dan tempat wisata yang dikelola pemerintah kota dan negara.


Pakai hanbok free entry ke Istana Gyeongbuk. Tersedia banyak penyewaan kostum tradisional di sekitar lokasi istana. Harga sewa 10.000 sampai 20.000 Won per jam


Kami berkunjung ke Jogyesa Temple. Pas sekali saat itu bertepatan dengan (di Indonesia) Hari Raya Nyepi. Banyak sekali orang datang ke kuil yang bangunannya khas bangunan Korea (mirip seperti Jepang sih) dengan dipasangi banyak sekali lampion kertas bertuliskan aksara China. Karena takut mengganggu orang berdoa, kami hanya sebantar di sana dan mlipir ke seberang jalan. Eh ternyata ada museum di bagian basement sebuah gedung tinggi. Iseng-iseng kami ke sana, bertanya ke petugas yang pakai jas berdasi dan ganteng pula, “Pak, ini beneran museum? Bisa beli tiket dimana?” pake Inggris. Agak lama sampai ahjusshi (Bapak/Om)nya paham kami nanya apa, sampai akhirnya dia menggeleng-geleng dan bilang “Come in, come in, it’s free.” Bagian dalamnya, waah, daebak! Kami berjalan di atas lapisan kaca dan di bawah kami tampak artefak pondasi bangunan jadul yang telah direkonstruksi. Dengan konten yang sekeren ini, tiket masuknya gratisan euy. Ada yang mau berkunjung aja udah seneng, gitu kali ya pikir mereka. Wkwk. Enggak deng. Pemerintah Kota Seoul memang sangat perhatian ke bidang pariwisata sehingga mereka membangun banyak tempat umum yang bisa dikunjungi pelancong meskipun hanya sekedar lewat.



Ewha Woman University yang kampusnya super cantik dengan gedung-gedung bergaya Eropa. Bagian depan univ ada gedung khusus untuk temporary art exhibition

Museum-museum yang bisa dikunjungi gratisan dan sudah kami kunjungi adalah  Gongpyeong Historical Site (yang saya ceritakan di atas), Museum Sejarah Nasional di halaman Istana Gyeongbukgung, Museum di Istana Deoksugung, Museum War Memorial, SMTown Museum (bagian area pamer depan gratis, tapi ke area pameran di dalam bayar cukup mahal), dan  Temporary Exhibition Museum di Ewha Woman University. Di Namsan Tower katanya ada museum juga di bagian observatorium tempat kita bisa naik cable car, tapi kami tidak ke sana karena tiketnya lumayan, 9.000 Won hanya naik sampai ke observatorium saja, belum naik cable car. Jadi kami nrimo hanya duduk-duduk di pelataran Namsan Tower saja. Itu juga sudah bagus kok, sudah bisa lihat pemandangan Kota Seoul dari atas bukit. Kejutannya, ternyata setiap jam 10.00 waktu setempat, di halaman Namsan Tower selalu ada pertunjukan.

Kali ini kami kebetulan dapat atraksi pedang panjang, tarian pedang, dan parodi lawak tradisional (tolong jangan tanya bahasa lokalnya apa, saya lupa). Yang menari pedang ternyata laki-laki pakai pakaian tradisional Korea untuk perempuan (semacam lengger cowok, mungkin?). Gemulai banget tapiii, yaampun cantik! Kami kira setelahnya akan ada semacam topi atau kotak amal, eh, kotak sumbangan yang beredar sebagai ganti menonton penampilan mereka. Tapi ternyata sampai akhir mereka bubar ya bubar saja. Gratis tis tis, untuk tontonan sebagus dan se-menghibur itu. Ah maafkan kami yang terlanjur suuzhon...

Pertunjukan tari pedang tradisional oleh komunitas/klub seni lokal yang difasilitasi pengelola Namsan Tower. Ada pertunjukan setiap harinya pukul 10.00 dan 15.00 waktu setempat


Selama seminggu kami hanya bolak-balik saja di Seoul sambil belanja titipan orang. Kalau ada teman yang tanya habis berapa jalan-jalan ke Korea, saya jawabnya agak bingung. Pasalnya liburan kami bukan liburan biasa. Kami hanya sekedar menclok di satu tempat lalu eksplor wilayah sekitarnya. Kalau gratis kami masuk, kalau bayar, mikir dulu, lalu seringnya skip pergi ke tempat lain. Kami hanya ingin lihat Seoul aslinya seperti apa. Dan ternyata mungkin beginilah rasanya liburan ke sebuah tempat untuk berwisata: ingin merasakan suasana dan denyut masyarakat setempat: berdesakan di subway, mampir ke pasar tradisional (yang ini saya tidak merasakan, hiks), gonta-ganti naik bus, nongkrong di tepi sungai, duduk-duduk di taman, dan sebagainya. Tanpa harus secara khusus ke lokasi tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu, tanpa merasa cemas karena tidak membuat itinerary yang layak.


Bukchon Hanok Village, desa wisata yang menampilkan rumah-rumah tradisional Korea. Gratis, bebas keluar-masuk, tetapi ada sejumlah aturan untuk pengunjung: dilarang bersuara keras, berlarian, masuk/membuka pintu rumah penduduk.


Banyaknya ruang publik yang bisa diakses semua orang, informasi yang ramah pelancong, fasilitas umum yang tersedia di seantero kota, membuat kami benar-benar seperti menjadi bagian dari kota tersebut meskipun hanya beberapa hari saja. Seoul bisa kami rasakan di mana saja. Kami tidak banyak spending untuk objek wisata, tapi dana kami alihkan untuk konsumsi, beli banyak oleh-oleh, dan membuka jasa titip produk-produk khas yang hanya ada di Korea (jadi sama saja kan, intinya kami tetap banyak spending buat jajan). Dan jika ditanya apakah ingin kembali ke sana? Dengan lantang kami bisa menjawab, YA!




Annisa Qurani

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...