Jumat, 13 September 2013

Dari Tengah Perhimak UI


Oleh Annisa Haq Nur Qur’ani (a.k.a Saho), Perhimak UI 2011
(dibuat dalam rangka Suksesi Ketua Perhimak UI 2013/2014)

Mengapa para mahasiswa yang akan mencalonkan diri menjadi Ketua Perhimak harus membuat esai tentang kepemimpinan? Saya berpikir demikian saat masih menjadi panitia suksesi. Ah, barangkali untuk formalitas saja, itu jawaban spontan yang terpikir. Ideal panitia mengatakan bahwa esai itu akan menunjukkan pemikiran-pemikiran para calon mengenai apa yang akan mereka pimpin nanti. Meliputi konsep yang mereka bawa, rencana-rencana, ide-ide baru. Bisa jadi.

Sekarang adalah setelah saya mengundurkan diri dari jabatan panitia suksesi dan dalam sekejap berubah menjadi bakal calon yang telah mengirimkan CV. Saat ini saya bertanya-tanya, memang mau apa di Perhimak? Mengapa perlu menjadi seorang ketua? Dan semalam saya tidak mkenemukan jawabannya. Modal saya hanya ingin. Keinginan yang kecil yang kemudian tersulut menjadi sebuah obsesi nyata yang menggerakkan pikiran, mata, tangan, dan akhirnya mengeluarkan keputusan bahwa saya akan maju dan turut serta dalam suksesi.

Itu cerita yang tidak substansial untuk syarat penulisan esai ini, sebenarnya. Maka biarlah cerita itu cukup sebagai pengantar, sekadar menjawab pertanyaan penasaran orang-orang yang diwakilkan dalam kata tanya “mengapa?”

Yang sebenarnya ingin saya sampaikan melalui esai ini yaitu tentang kepemimpinan yang dilihat dari term posisi. Dalam hal ini, setiap orang akan berpikir bahwa seorang pemimpin adalah ketua, raja, presiden, kepala, dan semuanya merujuk pada posisi paling atas dalam sebuah hierarki kepengurusan. Dan orang pasti akan berpikir bahwa sukses tidaknya sebuah organisasi berjalan bergantung pada kemampuan ketua dalam menentukan semuanya. Jika ada yang tidak beres, sorotan evaluasi akan tertuju langsung pada sosok ketua. Jika sukses juga demikian. Sentralisasi ini membuat orang-orang yang ada dalam struktur lebih rendah menggantungkan diri pada instruksi ketua. Segalanya terpusat dan mematikan inovasi anggota pengurus. Pada akhirnya segala risiko akan ditanggung oleh ketua.

Kini saya akan merujuk pada sebuah buku yang ditulis oleh John C. Maxwell, seorang pakar dalam psikologi kepemimpinan kelas dunia. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “A 360 Degrees Leader” mengenai memimpin darimanapun posisi dalam organisasi. Seperti judulnya, 360 derajat, artinya benar-benar dari segala posisi. Mungkin tidak masalah jika kebetulan posisi kita saat ini ada di puncak yang memang memiliki hak/wewenang untuk mengatur segalanya, tapi bagaimana jika tidak? Bagaimana jika kita kebetulan berada di posisi tengah, bukan staf, tapi juga bukan di jajaran petinggi organisasi? Posisi-posisi itu biasanya dihuni oleh orang-orang yang menjadi wakil atau bahkan BPH (Badan Pengurus Harian). Di satu sisi mereka harus memiliki kemampuan untuk mengkoordinir, tapi di sisi lain juga mereka tidak boleh melangkahi wewenang ketua.

Saya bukannya ingin promosi bukunya Maxwell. Saya ingin menarik konsep-konsep memimpin dari tengah yang dicetuskannya itu ke dalam sebuah organisasi nyata bernama Perhimak UI. Saya pernah menjadi bagian di dalamnya selama dua tahun dengan dua posisi yang berbeda: staf dan deputi kepala departemen pengabdian kepada masyarakat.

Ketika menjadi seorang staf, saya merasa tidak perlu berpikir rumit-rumit mengenai substansi organisasi. Saya sibuk mengejar kepentingan pribadi saya, yaitu membayar hutang. Pusing-pusing dalam berorganisasi juga tidak begitu terasa karena saya merasa cukup dengan menjalankan perintah dari ketua dan deputi departemen tempat saya ditempatkan. Akan tetapi, ketika tahun selanjutnya saya “naik jabatan” menjadi deputi kepala departemen yang memiliki staf dan juga atasan dalam waktu bersamaan, pusing-pusing itu mulai terasa.

Secara teori, tugas saya sebagai deputi adalah mengkoordinir staf sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan oleh atasan, dalam hal ini ketua organisasi sekaligus kepala departemen. Mudah, karena kesannya hanya sebagai tukang pos yang mengantar pesan. Ah, jangan tukang pos, terlalu kuno. Saya akan menggunakan analogi HP: atasan kirim pesan “A”, maka saya harus mem-forward-nya ke staf sebagai “A” juga. Akan tetapi, disinilah masalah muncul. Bisa jadi HP saya rusak, atau hilang, atau tidak punya pulsa, sehingga pesan tidak tersampaikan dan berhenti di saya. Atau bisa jadi HP penerimanyalah yang rusak. Bahkan bisa jadi juga penerima pesan sudah menerima, membaca sekilas, lalu hapus, atau sudah menerima, membaca, tapi tidak mau melaksanakan, atau lupa jika tidak mau dibilang suuzhon. Tapi bisa jadi ada skenario terburuk: tidak ada pesan dari atasan. Nah, jika begini, bisa apa seseorang ada di posisi seperti itu? Orang-orang dalam posisi menengah tidak boleh menjadi lebih dominan dari ketua karena akan menghancurkan organisasi. Bagaimanapun juga ketua adalah ikon dan pucuk pimpinan yang telah dipilih sejak awal. Seseorang di posisi menengah harus puas hanya dengan menjadi bayangan demi kelangsungan organisasi, tidak memiliki hasrat berlebihan untuk menampilkan diri. Pintar-pintar menahan diri. Ini tantangan terbesarnya.
Singkatnya, kita tahu ada pekerjaan tapi tidak tahu apa yang mesti dilakukan.

Di Perhimak sendiri, sosok ketua adalah sosok dominan yang mengkoordinasi semua bagian di bawahnya dalam struktur organisasi. Ia yang menentukan arah atau visi sekaligus memastikan tidak ada hambatan luar yang mengganjal jalannya roda kepengurusan. Ia haruslah berkarakter kuat dan visioner, mampu melihat jauh ke depan pada peluang-peluang keuntungan yang mungkin terjadi, berikut hubungan eksternal dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan segala tugasnya sebagai ikon organisasi, maka ia akan menganggap bahwa segala yang ada di kepengurusan siap untuk melakukan gebrakan-gebrakan bersamanya. Celakanya tidak semudah itu.

Maxwell dalam bukunya memperkenalkan konsep memimpin dari tengah. Syarat utamanya adalah kesadaran pemegang posisi-posisi menengah itu akan tujuan utama organisasi dan adanya aturan main yang disepakati dan diketahui semua anggota organisasi. Jadi bukan hanya ketua saja yang tahu organisasi akan dibawa kemana, sehingga tanpa instruksi pun organisasi bisa berjalan sebagaiamana mestinya. 

Perhimak unik karena ikatannya bukanlah ikatan profesional. Ikatan yang mengumpulkan semua anggotanya adalah semata-mata ikatan kepedulian pada Kebumen, ikatan keluarga. Berbeda dengan organisasi kampus yang diikat hubungan profesionalisme, yang lalu melahirkan ikatan-ikatan kekeluargaan di antara anggotanya. Perhimak yang telah membangun ikatan keluarganya lebih dulu, kini berusaha membangun kesadaran akan profesionalisme dalam kinerjanya. Ini yang sulit. Anggapan mendasar atas kekeluargaan itu membuat Perhimak lemah secara kelembagaan. Mekanisme standar teknis di setiap kegiatan tidak dijalankan dengan baik walaupun sudah ada. Alasannya banyak, salah satunya kurang baiknya tawaris ilmu dari kepengurusan atau kepanitiaan sebelumnya.

Tidak adanya standar baku membuat ketua menjadi sosok sentral yang mengatur semuanya. Mekanisme berganti seiring bergantinya kepengurusan, maka standar outputnya pun berbeda-beda. Sentralisasi keputusan pada ketua (dalam hal ini termasuk ketua kepanitiaan, ketua departemen) ini berisiko ketika ketua berhalangan memberikan instruksi. Jika ketua absen, maka macet. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Di sinilah pentingnya standardisasi kelembagaan. Perhimak tidak hanya membutuhkan program kerja. Perhimak justru lebih membutuhkan  standar yang baku yang dipahami oleh semua pengurus, termasuk juga anggota-anggota non pengurus. Harus ada garis besarnya, seperti GBHN dalam term Indonesia. Standardisasi yang saya maksud adalah Standard Operational Procedure (SOP) untuk hal-hal substansial di Perhimak: standar kelayakan kegiatan (tujuan, persiapan panitia, pendanaan). Standar persiapan panitia meliputi mekanisme bidding ketua panitia (termasuk ketua Perhimak juga) yang baiknya disamakan dari tahun ke tahun. 

Saya memang belum memiliki gambaran hingga detil bagaimana standardisasi ini bisa dijalankan secara teknis, akan tetapi saya sangat yakin bahwa standardisasi ini perlu. Jadi siapapun pengurus, gonta-ganti seperti apapun, standar Perhimak sama. Lebih jauh lagi dengan adanya standardisasi kelembagaan, pengurus akan lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan. Ini mengefektifitaskan waktu persiapan panitia karena tidak perlu sengaja rapat untuk menentukan mekanisme dasar seperti bidding dan pembentukan panitia yang sebenarnya memakan waktu.

Dengan adanya standardisasi kegiatan, siapapun pengurusnya tidak perlu menunggu instruksi dari ketua organisasi, bahkan bisa mengingatkan. Peluang inovasi pun terbuka lebar asalkan tidak menyimpang dari ketentuan baku yang disepakati oleh seluruh anggota Perhimak aktif. Harapannya, Perhimak akan menjadi organisasi yang rapi dalam tata lembaganya dan menjadi lembaga yang dewasa dalam kesadaran berorganisasi para anggotanya.

Saya menyadari kesulitan yang akan dihadapi jika memaksakan standardisasi ini. Kebiasaan kultural Perhimak agaknya sulit menjadikan ide ini berjalan baik. Perlu ada pembiasaan dan dukungan dari tidak hanya pengurus, tapi juga anggota aktif Perhimak lainnya. Usulan dalam esai ini hanyalah salah satu cara saya untuk mencoba memberi perbaikan. Bukan berarti Perhimak itu rusak sampai perlu diperbaiki. Jika di sebuah rumah, atapnya bocor, apa kita akan langsung menyebut rumah itu sebagai rumah yang rusak? Maka izinkan saya memberikan, lagi-lagi, analogi.

Kita ibaratkan Perhimak adalah rumah. Ada yang menjadi orang tuanya, menjadi anak, menjadi kerabat-kerabat. Ada yang sudah mndiri, maka mereka meninggalkan rumah sambil sesekali pulang untuk berkunjung. Ada juga yang masih berusaha membantu apa saja yang bisa dilakukan di rumah itu. Penghuni paling banyak adalah anak-anak yang bermacam-macam karakternya. Ada yang suka bermanja-manja, ada yang tidak bisa dinasihati dengan kata-kata yang keras, ada yang hanya mau bermain dengan anak-anak tertentu, dan ada juga yang tidak suka keramaian maka ia memilih untuk diam saja membaca buku di sudut rumah. Itu dinamika. Tapi bahkan sebuah dinamika pun harus diatur. Tidak boleh berisik ketika sudah jam malam, misalnya, karena akan mengganggu yang lainnya. Contoh lain, ada piket yang diatur bergiliran, agar semuanya merasakan dan belajar mmerawat rumah mereka sendiri. Sekali lagi, ini analogi.

Dulu saya hanya seorang anak di rumah itu, tumbuh bersama anak-anak lain yang seusia saya. Kami melihat ada kebocoran di atap rumah, jika hujan air menetes dan merembes masuk membasahi lantai. Awalnya kami hanya melihat, membiarkan kekak-kakak saya menaruh ember di bawah titik bocor agar tidak membasahi yang lain. Sedangkan yang kami anggap orang tua di rumah naik ke atap ketika hujan reda dan mengganti atap yang bocor dengan yang baru. Terkadang kami yang menaruh ember jika atapnya belum diperbaiki juga. Sekarang kakak-kakak kami sudah mulai mandiri, satu per satu mencoba peruntungan mereka di luar. Adik-adik berdatangan dan jadilah kami sebagai “kakak” bagi mereka. Ternyata sekarang lampu ruang keluarga mati. Saya ingin menjadi orang yang menyalakan lilin, atau bahkan jika bisa mengganti lampunya dengan yang baru. Ya, sama halnya seperti orang-orang yang dulu pernah menampung tetesan air dan memperbaiki atap untuk kami.

Selasa, 03 September 2013

Rekaman Rasa dalam Sastra



(ditulis dalam rangka Lomba Esai Populer yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia dan Harian Pikiran Rakyat, 2 Mei 2013, meraih juara 3)
 
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Sebuah kutipan yang dikatakan oleh Magda Peters, seorang tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Premoedya Ananta Toer, merepresentasikan betapa pentingnya posisi satra dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan yang dimaksud bukan kebutuhan makanan, pakaian, maupun kebutuhan fisik lain. Kebutuhan dalam konteks kutipan tersebut maksudnya kebutuhan batin, kebutuhan akan rasa. Kebutuhan yang harus ada untuk dapat menyebut diri sebagai manusia. Agaknya kutipan tersebut juga memposisikan sastra lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan umum lainnya.

Sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, salah satunya diartikan sebagai huruf, sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut kesusastraan. Sastra adalah salah satu bagian dari seni. Seni sendiri secara bahasa diartikan sebagai cipta. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bagian dari seni. Sastra adalah bentuk seni/cipta yang berupa huruf, tulisan, atau verbal. Seni merupakan sarana untuk mengasah kepekaan, mengasah rasa manusia. Dengan demikian fungsi sastra sebagai bagian dari seni adalah sarana melatih dan mendeskripsikan kepekaan atau rasa melalui kata-kata dan atau tulisan.
Sejarah sastra di Indonesia oleh Nugroho Notosusanto dibagi menjadi dua periode, yaitu periode kesusastraan Melayu Lama, yaitu periode sebelum tahun 1920, dan kesusastraan modern. Kesusastraan modern ini dibagi lagi menjadi periode kebangkitan (1920-1945) dan periode perkembangan (1945-sekarang).

Sastra awalnya dikenal sebagai cerita, hikayat, dan kisah-kisah yang disampaikan secara turun temurun dari zaman nenek moyang. Dalam perkembangannya cerita-cerita tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar seperti adanya cerita dari negeri lain yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India yang terkenal dengan syair dan legenda-legendanya. Hingga saat ini, bentuk sastra yang dikenal masyarakat Indonesia ada beberapa macam: puisi/syair, cerita pendek, dan sebagainya. Di masa perkembangan, banyak muncul jenis-jenis sastra baru yang menyimpang atau berbeda dengan sastra-sastra yang lebih dulu muncul. Jenis sastra ini digolongkan sebagai sastra kontemporer.

Realitas
Pendokumentasian sastra yang menjadi akar berkembangnya sastra modern dimulai dengan munculnya Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya sastra para pujangga pada masa itu. Kisah Siti Nurbaya diterbitkan dan tahulah orang-orang tentang malangnya kisah anak gadis itu. Siti Nurbaya menjadi gambaran yang diberikan penulisnya, Marah Rusli, mengenai keterbatsan yang dimiliki seorang perempuan desa dalam menentukan kehidupannya sendiri. Hamka dengan karyanya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,  berusaha menceritakan bagaimana sebuah tradisi dan aturan adat di kelompok suku menjadi penghalang hubungan cinta sepasang kekasih. Cerita Hamka ini berupa fiksi, namun kenyataannya benar-benar ada di masyarakat. Masyarakat Minangkabau memiliki aturan sendiri dalam mengatur hubungan pernikahan anggota sukunya dan Hamka menemukan bahwa aturan itu bisa sangat membatasi hak seseorang dalam menentukan pasangannya.

Sekitar tahun 1930-an hingga 1945, sajak-sajak M. Yamin dan Hatta beberapa kali menghiasi halaman sastra majalah Jong Sumatra dan sejumlah suratkabar. Sajak-sajak mereka didominasi oleh semangat perjuangan melawan penjajah. Sajak-sajak itu mereka dan sastrawan-sastrawan lain jadikan sebagai corong yang menyerukan semangat kebangkitan kepada rakyat. Kala itu rakyat sangat dekat dengan sastra karena budaya Melayu yang kental dengan pantun, hikayat, dan syair-syair masih populer. Sajak menjadi sarana yang efektif untuk menyatukan pemikiran dan perasaan rakyat yang mengalami penjajahan. Derita akibat kerja paksa, lahan yang dirampas, kebebasan yang terbelenggu oleh kolonial disampaikan melalui kata-kata metafora dan pengandaian-pengandaian atas kebebasan. Di bayangan orang yang membacanya, sajak itu seperti berteriak menuntut hak-hak yang tidak terpenuhi.

Karya-karya sastra yang lebih berani lagi dalam menyerukan perlawanan dan kemanusiaan ditunjukkan oleh Pujangga Angkatan 45. Mereka adalah pujangga-pujangga yang dididik dalam perang dan situasi serba-tegang. Bangsa Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya, tapi belum sepenuhnya merdeka. Konflik internal muncul dimana-mana, bahkan antar seniman dan sastrawan pun banyak selisih paham. Saat nilai-nilai kemanusiaan terdegradasi, bahkan ditindas saudara sendiri, pujangga-pujangga seperti Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer menyerukan tuntutan mereka akan hak asasi manusia melalui puisi-puisi dan buku-buku novel yang mereka buat. Terlepas dari perselisihan di kubu seniman dan sastrawan, pujangga angkatan 45 merekam tiap-tiap peristiwa yang dialami bangsa ini. Banyak yang memuat pengalaman pribadi dengan bahasa langsung, namun ada juga yang menggambarkan kisah hidup orang lain. Puisi-puisi Chairil Anwar banyak menggunakan kata-kata konotasi dalam menceritakan realita.

Jika ditarik kesimpulan dari pemaparan singkat dari atas mengenai sejarah sastra di Indonesia, maka hasilnya seperti berikut. Karya sastra, dalam pembuatannya tak pernah lepas dari pengharuh kondisi masyarakat dan lingkungan sekitar pembuatnya. Sebuah karya sastra lahir dari perasaan-perasaan yang dirasakan pembuatnya ketika ia melihat realitas di hadapannya. Ketika yang terjadi adalah ketidakadilan, sastra yang dihasilkan akan berisi tentang ketidakadilan itu atau pemberontakn batin atas berlangsungnya ketidakadilan. Hal ini disebabkan, sekali lagi, karena sastra adalah bagian dari seni dan seni adalah ekspresi dari kepekaan dan perasaan pembuatnya terhadap suatu objek yang ia lihat, ia dengar, atau ia alami.

Identitas
Peradaban sebuah bangsa, maju atau tidaknya, seringkali diukur melalui karya-karya sastra para filsuf atau tokoh-tokoh pemikir di zamannya. Illiad dan Odisseia karya Homerus menjadi kebanggaan Yunani Kuno. Masyarakat Mesir di zaman Fir’aun memiliki koleksi sastra yang dituliskan di papirus, batu-batu, dan kayu. Tulisan-tulisan di dalamnya, yang menggunakan huruf hieroglyph, berisi pujian-pujian dan pemujaan kepada raja mereka. Semua peradaban yang menjadi mata ajar di bangku SMA digolongkan sebagai peradaban yang maju. Jika ditanya alasannya, jawabannya selain memiliki sistem pemerintahan yang berstruktur, sistem pertanian yang baik, tata kota yang teratur, pasti disebutkan juga adanya karya-karya sastra yang diciptakan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Banyak dari karya sastra itu yang berisi pujian pada raja, doa-doa dalam ritual, dan catatan-catatan peristiwa besar yang terjadi. Karya sastra menjadi salah satu ukuran kemajuan intelektual masyarakat di sebuah peradaban.

Di Indonesia sendiri, karya sastra yang menonjol adalah kitab-kitab yang ditulis para empu. Di zaman kerajaan-kerajaan nusantara, kitab-kitab ini menjadi harta intelektual yang berharga. Ia adalah wadah kebijaksanaan para tokoh pemikir. Kitab Sutasoma, Pararaton, Arjuna Wiwaha, dan sebagainya yang tersebar di berbagai masa dan wilayah kerajaan nusantara menjadi harta tak ternilai harganya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern saat ini. Kitab-kitab itu merekam kehidupan masyarakat generasi jauh sebelum kita. Pesan-pesan bijak disampaikan mengarungi waktuu untuk dipelajari generasi sekarang. Mereka adalah bukti kemajuan peradaban sekaligus catatan sejarah, identitas yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Sejarah Rekaman Kejadian, Sastra Rekaman Rasa Manusia
Memahami sastra tidak cukup hanya sebatas jalinan kata indah di kertas-kertas yang sudah menguning. Mempelajari sastra berarti mempelajari kehidupan masyarakat di tempat ketika karya sastra itu dibuat. Kajiannya pun akan melibatkan kajian sejarah, sosiologi, dan geografi yang membantu mendeskripsikan situasi sebenarnya. Alasan mengapa begini, mengapa begitu, dalam karya sastra tidak bisa dijawab spontan oleh pembaca atau penikmatnya. Pembaca juga akan belajar mengenai pencipta karya: kepribadiannya, pemikirannya, lebih lagi perasaannya pada objek yang menginspirasi karyanya. Itu bukti karya sastra bukan karya sederhana asal tulis-asal buat.

Puisi Aku karya Chairil Anwar tak habis dikupas dalam sebuah buku kontemplasi. Frasa binatang jalang dalam puisi itu apakah bisa hanya diartikan harfiah? Atau dalam puisinya yang lain, Karawang-Bekasi, Chairil Anwar berusaha menggambarkan perjuangan orang-orang yang dipaksa membangun jalan raya melalui sistem kerja paksa. Korban yang banyak berjatuhan digambarkan tertimbun bersama aspal yang melapisi bebatuan pondasi jalan. Ada latar belakang sejarah yang kompleks seputar pembuatan puisi itu. Saat itu ada proyek pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan yang menelan korban hingga jutaan nyawa rakyat Indonesia. Chairil Anwar hanya membuat cuplikan kisahnya, yaitu dari Karawang hingga Bekasi. Jika hanya dari jarak itu saja sudah begitu banyak memakan korban, bisa kita bayangkan korban yang jatuh dalam pembangunan dari Anyer sampai Panarukan.

Sama halnya dengan karya Pramoedya Anantra Toer. Suara-suara yang menyerukan kemanusiaan dalam novelnya, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang ditekan oleh kolonial baik secara fisik maupun mental. Hubungan sosial orang Jawa, Tionghoa, dan kolonial, hubungan pribumi, totok, indo, dan orang Belanda menjadi latar yang dominan dalam karyanya. Tapi pertimbangan pemikirannya bukan hanya latar belakang sosial. Kondisinya (fisik dan psikis) yang menulis karyanya dalam pengasingan (dia diasingkan ke Pulau Buru) dan situasi politik yang tengah berlangsung juga menjadi tambahan nilai tersendiri yang ia masukkan dalam karyanya itu.

Belajar Peka dengan Sastra
Aplikasi pembelajaran sastra memang tidak ada cara lain selain mengkaji dan mempraktekkannya. Di tingkat sekolah dasar dan menengah, praktik sastra melatih siswa untuk peka pada yang terjadi di sekitar. Di tingkat lebih lanjut, universitas misalnya, pembelajaran sastra lebih ditekankan pada kajian sejarah dan sosial-budaya masyarakat tempat sastra yang bersangkutan berkembang. Namun hal ini menjadikan karya sastra hanya dipelajari oleh mereka yang masuk jurusan ilmu budaya. Ada baiknya jika kajian ilmu menurut sudut pandang sastra. Misalnya saja kajian politik dari sudut pandang karya sastra pujangga 45 dan kajian hubungan sosial masyarakat dan antropologi masa kolonial melalui Tetralogi Buru karya Pramoedya. Integrasi antar bidang ilmu dalam kajian sastra saya kira tidak buruk, bahkan sangat menarik. Satu bidang dalam ilmu sosial pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan sejelas hitam dan putih.

Kesusastraan menjadi salah satu jalur penyumbang pemikiran-pemikiran besar, terutama dalam hal kemanusiaan. Indonesia berutang besar pada sastrawan-sastrawan yang berani mengungkapkan pendapatnya tentang bangsa seperti apa yang ada dalam pikiran mereka. Dari karya sastralah semangat menyebar: semangat bersatu, semangat melawan penindasan, semangat merdeka. Karya sastra yang saat ini berkembang sebaiknya juga mampu memberi pengaruh yang sama besarnya, dengan pergeseran tujuan. Karya sastra sekarang diharapkan mampu memberi sumbangan-sumbangan pikiran di masa pembangunan ini. Menebarkan iklim positif berkarya dengan tidak meninggalkan kepekaan terhadap kondisi masyarakat dan kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA
 A.G. Hadzarmawit,  Netti. 2011. Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi. Surabaya: B You Publishing
Pramoedya Ananta Toer. 2005. Bumi Manusia.  Jakarta: Lentera Dipantara
Scherer, Savitri. 2012. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Jakarta: Komunitas Bambu
Tim Sastra iBOEKOE. 2009. 100 Buku Sastra yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. Yogyakarta: Penerbit iBOEKOE

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...