Selasa, 03 September 2013

Rekaman Rasa dalam Sastra



(ditulis dalam rangka Lomba Esai Populer yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia dan Harian Pikiran Rakyat, 2 Mei 2013, meraih juara 3)
 
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Sebuah kutipan yang dikatakan oleh Magda Peters, seorang tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Premoedya Ananta Toer, merepresentasikan betapa pentingnya posisi satra dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan yang dimaksud bukan kebutuhan makanan, pakaian, maupun kebutuhan fisik lain. Kebutuhan dalam konteks kutipan tersebut maksudnya kebutuhan batin, kebutuhan akan rasa. Kebutuhan yang harus ada untuk dapat menyebut diri sebagai manusia. Agaknya kutipan tersebut juga memposisikan sastra lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan umum lainnya.

Sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, salah satunya diartikan sebagai huruf, sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut kesusastraan. Sastra adalah salah satu bagian dari seni. Seni sendiri secara bahasa diartikan sebagai cipta. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bagian dari seni. Sastra adalah bentuk seni/cipta yang berupa huruf, tulisan, atau verbal. Seni merupakan sarana untuk mengasah kepekaan, mengasah rasa manusia. Dengan demikian fungsi sastra sebagai bagian dari seni adalah sarana melatih dan mendeskripsikan kepekaan atau rasa melalui kata-kata dan atau tulisan.
Sejarah sastra di Indonesia oleh Nugroho Notosusanto dibagi menjadi dua periode, yaitu periode kesusastraan Melayu Lama, yaitu periode sebelum tahun 1920, dan kesusastraan modern. Kesusastraan modern ini dibagi lagi menjadi periode kebangkitan (1920-1945) dan periode perkembangan (1945-sekarang).

Sastra awalnya dikenal sebagai cerita, hikayat, dan kisah-kisah yang disampaikan secara turun temurun dari zaman nenek moyang. Dalam perkembangannya cerita-cerita tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar seperti adanya cerita dari negeri lain yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India yang terkenal dengan syair dan legenda-legendanya. Hingga saat ini, bentuk sastra yang dikenal masyarakat Indonesia ada beberapa macam: puisi/syair, cerita pendek, dan sebagainya. Di masa perkembangan, banyak muncul jenis-jenis sastra baru yang menyimpang atau berbeda dengan sastra-sastra yang lebih dulu muncul. Jenis sastra ini digolongkan sebagai sastra kontemporer.

Realitas
Pendokumentasian sastra yang menjadi akar berkembangnya sastra modern dimulai dengan munculnya Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya sastra para pujangga pada masa itu. Kisah Siti Nurbaya diterbitkan dan tahulah orang-orang tentang malangnya kisah anak gadis itu. Siti Nurbaya menjadi gambaran yang diberikan penulisnya, Marah Rusli, mengenai keterbatsan yang dimiliki seorang perempuan desa dalam menentukan kehidupannya sendiri. Hamka dengan karyanya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,  berusaha menceritakan bagaimana sebuah tradisi dan aturan adat di kelompok suku menjadi penghalang hubungan cinta sepasang kekasih. Cerita Hamka ini berupa fiksi, namun kenyataannya benar-benar ada di masyarakat. Masyarakat Minangkabau memiliki aturan sendiri dalam mengatur hubungan pernikahan anggota sukunya dan Hamka menemukan bahwa aturan itu bisa sangat membatasi hak seseorang dalam menentukan pasangannya.

Sekitar tahun 1930-an hingga 1945, sajak-sajak M. Yamin dan Hatta beberapa kali menghiasi halaman sastra majalah Jong Sumatra dan sejumlah suratkabar. Sajak-sajak mereka didominasi oleh semangat perjuangan melawan penjajah. Sajak-sajak itu mereka dan sastrawan-sastrawan lain jadikan sebagai corong yang menyerukan semangat kebangkitan kepada rakyat. Kala itu rakyat sangat dekat dengan sastra karena budaya Melayu yang kental dengan pantun, hikayat, dan syair-syair masih populer. Sajak menjadi sarana yang efektif untuk menyatukan pemikiran dan perasaan rakyat yang mengalami penjajahan. Derita akibat kerja paksa, lahan yang dirampas, kebebasan yang terbelenggu oleh kolonial disampaikan melalui kata-kata metafora dan pengandaian-pengandaian atas kebebasan. Di bayangan orang yang membacanya, sajak itu seperti berteriak menuntut hak-hak yang tidak terpenuhi.

Karya-karya sastra yang lebih berani lagi dalam menyerukan perlawanan dan kemanusiaan ditunjukkan oleh Pujangga Angkatan 45. Mereka adalah pujangga-pujangga yang dididik dalam perang dan situasi serba-tegang. Bangsa Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya, tapi belum sepenuhnya merdeka. Konflik internal muncul dimana-mana, bahkan antar seniman dan sastrawan pun banyak selisih paham. Saat nilai-nilai kemanusiaan terdegradasi, bahkan ditindas saudara sendiri, pujangga-pujangga seperti Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer menyerukan tuntutan mereka akan hak asasi manusia melalui puisi-puisi dan buku-buku novel yang mereka buat. Terlepas dari perselisihan di kubu seniman dan sastrawan, pujangga angkatan 45 merekam tiap-tiap peristiwa yang dialami bangsa ini. Banyak yang memuat pengalaman pribadi dengan bahasa langsung, namun ada juga yang menggambarkan kisah hidup orang lain. Puisi-puisi Chairil Anwar banyak menggunakan kata-kata konotasi dalam menceritakan realita.

Jika ditarik kesimpulan dari pemaparan singkat dari atas mengenai sejarah sastra di Indonesia, maka hasilnya seperti berikut. Karya sastra, dalam pembuatannya tak pernah lepas dari pengharuh kondisi masyarakat dan lingkungan sekitar pembuatnya. Sebuah karya sastra lahir dari perasaan-perasaan yang dirasakan pembuatnya ketika ia melihat realitas di hadapannya. Ketika yang terjadi adalah ketidakadilan, sastra yang dihasilkan akan berisi tentang ketidakadilan itu atau pemberontakn batin atas berlangsungnya ketidakadilan. Hal ini disebabkan, sekali lagi, karena sastra adalah bagian dari seni dan seni adalah ekspresi dari kepekaan dan perasaan pembuatnya terhadap suatu objek yang ia lihat, ia dengar, atau ia alami.

Identitas
Peradaban sebuah bangsa, maju atau tidaknya, seringkali diukur melalui karya-karya sastra para filsuf atau tokoh-tokoh pemikir di zamannya. Illiad dan Odisseia karya Homerus menjadi kebanggaan Yunani Kuno. Masyarakat Mesir di zaman Fir’aun memiliki koleksi sastra yang dituliskan di papirus, batu-batu, dan kayu. Tulisan-tulisan di dalamnya, yang menggunakan huruf hieroglyph, berisi pujian-pujian dan pemujaan kepada raja mereka. Semua peradaban yang menjadi mata ajar di bangku SMA digolongkan sebagai peradaban yang maju. Jika ditanya alasannya, jawabannya selain memiliki sistem pemerintahan yang berstruktur, sistem pertanian yang baik, tata kota yang teratur, pasti disebutkan juga adanya karya-karya sastra yang diciptakan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Banyak dari karya sastra itu yang berisi pujian pada raja, doa-doa dalam ritual, dan catatan-catatan peristiwa besar yang terjadi. Karya sastra menjadi salah satu ukuran kemajuan intelektual masyarakat di sebuah peradaban.

Di Indonesia sendiri, karya sastra yang menonjol adalah kitab-kitab yang ditulis para empu. Di zaman kerajaan-kerajaan nusantara, kitab-kitab ini menjadi harta intelektual yang berharga. Ia adalah wadah kebijaksanaan para tokoh pemikir. Kitab Sutasoma, Pararaton, Arjuna Wiwaha, dan sebagainya yang tersebar di berbagai masa dan wilayah kerajaan nusantara menjadi harta tak ternilai harganya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern saat ini. Kitab-kitab itu merekam kehidupan masyarakat generasi jauh sebelum kita. Pesan-pesan bijak disampaikan mengarungi waktuu untuk dipelajari generasi sekarang. Mereka adalah bukti kemajuan peradaban sekaligus catatan sejarah, identitas yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Sejarah Rekaman Kejadian, Sastra Rekaman Rasa Manusia
Memahami sastra tidak cukup hanya sebatas jalinan kata indah di kertas-kertas yang sudah menguning. Mempelajari sastra berarti mempelajari kehidupan masyarakat di tempat ketika karya sastra itu dibuat. Kajiannya pun akan melibatkan kajian sejarah, sosiologi, dan geografi yang membantu mendeskripsikan situasi sebenarnya. Alasan mengapa begini, mengapa begitu, dalam karya sastra tidak bisa dijawab spontan oleh pembaca atau penikmatnya. Pembaca juga akan belajar mengenai pencipta karya: kepribadiannya, pemikirannya, lebih lagi perasaannya pada objek yang menginspirasi karyanya. Itu bukti karya sastra bukan karya sederhana asal tulis-asal buat.

Puisi Aku karya Chairil Anwar tak habis dikupas dalam sebuah buku kontemplasi. Frasa binatang jalang dalam puisi itu apakah bisa hanya diartikan harfiah? Atau dalam puisinya yang lain, Karawang-Bekasi, Chairil Anwar berusaha menggambarkan perjuangan orang-orang yang dipaksa membangun jalan raya melalui sistem kerja paksa. Korban yang banyak berjatuhan digambarkan tertimbun bersama aspal yang melapisi bebatuan pondasi jalan. Ada latar belakang sejarah yang kompleks seputar pembuatan puisi itu. Saat itu ada proyek pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan yang menelan korban hingga jutaan nyawa rakyat Indonesia. Chairil Anwar hanya membuat cuplikan kisahnya, yaitu dari Karawang hingga Bekasi. Jika hanya dari jarak itu saja sudah begitu banyak memakan korban, bisa kita bayangkan korban yang jatuh dalam pembangunan dari Anyer sampai Panarukan.

Sama halnya dengan karya Pramoedya Anantra Toer. Suara-suara yang menyerukan kemanusiaan dalam novelnya, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang ditekan oleh kolonial baik secara fisik maupun mental. Hubungan sosial orang Jawa, Tionghoa, dan kolonial, hubungan pribumi, totok, indo, dan orang Belanda menjadi latar yang dominan dalam karyanya. Tapi pertimbangan pemikirannya bukan hanya latar belakang sosial. Kondisinya (fisik dan psikis) yang menulis karyanya dalam pengasingan (dia diasingkan ke Pulau Buru) dan situasi politik yang tengah berlangsung juga menjadi tambahan nilai tersendiri yang ia masukkan dalam karyanya itu.

Belajar Peka dengan Sastra
Aplikasi pembelajaran sastra memang tidak ada cara lain selain mengkaji dan mempraktekkannya. Di tingkat sekolah dasar dan menengah, praktik sastra melatih siswa untuk peka pada yang terjadi di sekitar. Di tingkat lebih lanjut, universitas misalnya, pembelajaran sastra lebih ditekankan pada kajian sejarah dan sosial-budaya masyarakat tempat sastra yang bersangkutan berkembang. Namun hal ini menjadikan karya sastra hanya dipelajari oleh mereka yang masuk jurusan ilmu budaya. Ada baiknya jika kajian ilmu menurut sudut pandang sastra. Misalnya saja kajian politik dari sudut pandang karya sastra pujangga 45 dan kajian hubungan sosial masyarakat dan antropologi masa kolonial melalui Tetralogi Buru karya Pramoedya. Integrasi antar bidang ilmu dalam kajian sastra saya kira tidak buruk, bahkan sangat menarik. Satu bidang dalam ilmu sosial pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan sejelas hitam dan putih.

Kesusastraan menjadi salah satu jalur penyumbang pemikiran-pemikiran besar, terutama dalam hal kemanusiaan. Indonesia berutang besar pada sastrawan-sastrawan yang berani mengungkapkan pendapatnya tentang bangsa seperti apa yang ada dalam pikiran mereka. Dari karya sastralah semangat menyebar: semangat bersatu, semangat melawan penindasan, semangat merdeka. Karya sastra yang saat ini berkembang sebaiknya juga mampu memberi pengaruh yang sama besarnya, dengan pergeseran tujuan. Karya sastra sekarang diharapkan mampu memberi sumbangan-sumbangan pikiran di masa pembangunan ini. Menebarkan iklim positif berkarya dengan tidak meninggalkan kepekaan terhadap kondisi masyarakat dan kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA
 A.G. Hadzarmawit,  Netti. 2011. Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi. Surabaya: B You Publishing
Pramoedya Ananta Toer. 2005. Bumi Manusia.  Jakarta: Lentera Dipantara
Scherer, Savitri. 2012. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Jakarta: Komunitas Bambu
Tim Sastra iBOEKOE. 2009. 100 Buku Sastra yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. Yogyakarta: Penerbit iBOEKOE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...