(ditulis dalam rangka Lomba Esai Populer yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia dan Harian Pikiran Rakyat, 2 Mei 2013, meraih juara 3)
“Kalian boleh maju dalam pelajaran,
mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai
sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”
Sebuah
kutipan yang dikatakan oleh Magda Peters, seorang tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Premoedya Ananta
Toer, merepresentasikan betapa pentingnya posisi satra dalam pemenuhan
kebutuhan manusia. Kebutuhan yang dimaksud bukan kebutuhan makanan, pakaian, maupun
kebutuhan fisik lain. Kebutuhan dalam konteks kutipan tersebut maksudnya
kebutuhan batin, kebutuhan akan rasa. Kebutuhan yang harus ada untuk dapat
menyebut diri sebagai manusia. Agaknya kutipan tersebut juga memposisikan sastra
lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan umum lainnya.
Sastra,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi ketiga, salah satunya diartikan sebagai huruf, sedangkan ilmu yang
mempelajarinya disebut kesusastraan. Sastra adalah salah satu bagian dari seni.
Seni sendiri secara bahasa diartikan sebagai cipta. Dari pengertian ini dapat
disimpulkan bahwa sastra adalah bagian dari seni. Sastra adalah bentuk
seni/cipta yang berupa huruf, tulisan, atau verbal. Seni merupakan sarana untuk
mengasah kepekaan, mengasah rasa manusia. Dengan demikian fungsi sastra sebagai
bagian dari seni adalah sarana melatih dan mendeskripsikan kepekaan atau rasa
melalui kata-kata dan atau tulisan.
Sejarah
sastra di Indonesia oleh Nugroho Notosusanto dibagi menjadi dua periode, yaitu
periode kesusastraan Melayu Lama, yaitu periode sebelum tahun 1920, dan
kesusastraan modern. Kesusastraan modern ini dibagi lagi menjadi periode kebangkitan
(1920-1945) dan periode perkembangan (1945-sekarang).
Sastra
awalnya dikenal sebagai cerita, hikayat, dan kisah-kisah yang disampaikan
secara turun temurun dari zaman nenek moyang. Dalam perkembangannya
cerita-cerita tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar seperti adanya
cerita dari negeri lain yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India
yang terkenal dengan syair dan legenda-legendanya. Hingga saat ini, bentuk
sastra yang dikenal masyarakat Indonesia ada beberapa macam: puisi/syair, cerita
pendek, dan sebagainya. Di masa perkembangan, banyak muncul jenis-jenis sastra
baru yang menyimpang atau berbeda dengan sastra-sastra yang lebih dulu muncul. Jenis
sastra ini digolongkan sebagai sastra kontemporer.
Realitas
Pendokumentasian
sastra yang menjadi akar berkembangnya sastra modern dimulai dengan munculnya
Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya sastra para pujangga pada masa itu.
Kisah Siti Nurbaya diterbitkan dan
tahulah orang-orang tentang malangnya kisah anak gadis itu. Siti Nurbaya
menjadi gambaran yang diberikan penulisnya, Marah Rusli, mengenai keterbatsan
yang dimiliki seorang perempuan desa dalam menentukan kehidupannya sendiri.
Hamka dengan karyanya, Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck, berusaha menceritakan
bagaimana sebuah tradisi dan aturan adat di kelompok suku menjadi penghalang
hubungan cinta sepasang kekasih. Cerita Hamka ini berupa fiksi, namun
kenyataannya benar-benar ada di masyarakat. Masyarakat Minangkabau memiliki
aturan sendiri dalam mengatur hubungan pernikahan anggota sukunya dan Hamka
menemukan bahwa aturan itu bisa sangat membatasi hak seseorang dalam menentukan
pasangannya.
Sekitar
tahun 1930-an hingga 1945, sajak-sajak M. Yamin dan Hatta beberapa kali
menghiasi halaman sastra majalah Jong
Sumatra dan sejumlah suratkabar. Sajak-sajak mereka didominasi oleh
semangat perjuangan melawan penjajah. Sajak-sajak itu mereka dan
sastrawan-sastrawan lain jadikan sebagai corong yang menyerukan semangat
kebangkitan kepada rakyat. Kala itu rakyat sangat dekat dengan sastra karena
budaya Melayu yang kental dengan pantun, hikayat, dan syair-syair masih
populer. Sajak menjadi sarana yang efektif untuk menyatukan pemikiran dan
perasaan rakyat yang mengalami penjajahan. Derita akibat kerja paksa, lahan
yang dirampas, kebebasan yang terbelenggu oleh kolonial disampaikan melalui
kata-kata metafora dan pengandaian-pengandaian atas kebebasan. Di bayangan
orang yang membacanya, sajak itu seperti berteriak menuntut hak-hak yang tidak
terpenuhi.
Karya-karya
sastra yang lebih berani lagi dalam menyerukan perlawanan dan kemanusiaan
ditunjukkan oleh Pujangga Angkatan 45. Mereka adalah pujangga-pujangga yang
dididik dalam perang dan situasi serba-tegang. Bangsa Indonesia sudah
menyatakan kemerdekaannya, tapi belum sepenuhnya merdeka. Konflik internal
muncul dimana-mana, bahkan antar seniman dan sastrawan pun banyak selisih
paham. Saat nilai-nilai kemanusiaan terdegradasi, bahkan ditindas saudara
sendiri, pujangga-pujangga seperti Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan Pramoedya
Ananta Toer menyerukan tuntutan mereka akan hak asasi manusia melalui
puisi-puisi dan buku-buku novel yang mereka buat. Terlepas dari perselisihan di
kubu seniman dan sastrawan, pujangga angkatan 45 merekam tiap-tiap peristiwa
yang dialami bangsa ini. Banyak yang memuat pengalaman pribadi dengan bahasa
langsung, namun ada juga yang menggambarkan kisah hidup orang lain. Puisi-puisi
Chairil Anwar banyak menggunakan kata-kata konotasi dalam menceritakan realita.
Jika
ditarik kesimpulan dari pemaparan singkat dari atas mengenai sejarah sastra di
Indonesia, maka hasilnya seperti berikut. Karya sastra, dalam pembuatannya tak
pernah lepas dari pengharuh kondisi masyarakat dan lingkungan sekitar pembuatnya.
Sebuah karya sastra lahir dari perasaan-perasaan yang dirasakan pembuatnya
ketika ia melihat realitas di hadapannya. Ketika yang terjadi adalah
ketidakadilan, sastra yang dihasilkan akan berisi tentang ketidakadilan itu
atau pemberontakn batin atas berlangsungnya ketidakadilan. Hal ini disebabkan,
sekali lagi, karena sastra adalah bagian dari seni dan seni adalah ekspresi
dari kepekaan dan perasaan pembuatnya terhadap suatu objek yang ia lihat, ia
dengar, atau ia alami.
Identitas
Peradaban
sebuah bangsa, maju atau tidaknya, seringkali diukur melalui karya-karya sastra
para filsuf atau tokoh-tokoh pemikir di zamannya. Illiad dan Odisseia karya
Homerus menjadi kebanggaan Yunani Kuno. Masyarakat Mesir di zaman Fir’aun
memiliki koleksi sastra yang dituliskan di papirus, batu-batu, dan kayu.
Tulisan-tulisan di dalamnya, yang menggunakan huruf hieroglyph, berisi pujian-pujian dan pemujaan kepada raja mereka.
Semua peradaban yang menjadi mata ajar di bangku SMA digolongkan sebagai
peradaban yang maju. Jika ditanya alasannya, jawabannya selain memiliki sistem
pemerintahan yang berstruktur, sistem pertanian yang baik, tata kota yang
teratur, pasti disebutkan juga adanya karya-karya sastra yang diciptakan oleh
tokoh-tokoh masyarakat. Banyak dari karya sastra itu yang berisi pujian pada
raja, doa-doa dalam ritual, dan catatan-catatan peristiwa besar yang terjadi.
Karya sastra menjadi salah satu ukuran kemajuan intelektual masyarakat di
sebuah peradaban.
Di
Indonesia sendiri, karya sastra yang menonjol adalah kitab-kitab yang ditulis
para empu. Di zaman kerajaan-kerajaan nusantara, kitab-kitab ini menjadi harta
intelektual yang berharga. Ia adalah wadah kebijaksanaan para tokoh pemikir.
Kitab Sutasoma, Pararaton, Arjuna Wiwaha, dan sebagainya yang tersebar di berbagai
masa dan wilayah kerajaan nusantara menjadi harta tak ternilai harganya bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern saat ini. Kitab-kitab itu merekam
kehidupan masyarakat generasi jauh sebelum kita. Pesan-pesan bijak disampaikan
mengarungi waktuu untuk dipelajari generasi sekarang. Mereka adalah bukti
kemajuan peradaban sekaligus catatan sejarah, identitas yang menjadi kebanggaan
bangsa Indonesia.
Sejarah Rekaman Kejadian, Sastra
Rekaman Rasa Manusia
Memahami
sastra tidak cukup hanya sebatas jalinan kata indah di kertas-kertas yang sudah
menguning. Mempelajari sastra berarti mempelajari kehidupan masyarakat di
tempat ketika karya sastra itu dibuat. Kajiannya pun akan melibatkan kajian
sejarah, sosiologi, dan geografi yang membantu mendeskripsikan situasi sebenarnya.
Alasan mengapa begini, mengapa begitu, dalam karya sastra tidak bisa dijawab
spontan oleh pembaca atau penikmatnya. Pembaca juga akan belajar mengenai
pencipta karya: kepribadiannya, pemikirannya, lebih lagi perasaannya pada objek
yang menginspirasi karyanya. Itu bukti karya sastra bukan karya sederhana asal
tulis-asal buat.
Puisi
Aku karya Chairil Anwar tak habis
dikupas dalam sebuah buku kontemplasi. Frasa binatang jalang dalam puisi itu
apakah bisa hanya diartikan harfiah? Atau dalam puisinya yang lain, Karawang-Bekasi, Chairil Anwar berusaha
menggambarkan perjuangan orang-orang yang dipaksa membangun jalan raya melalui
sistem kerja paksa. Korban yang banyak berjatuhan digambarkan tertimbun bersama
aspal yang melapisi bebatuan pondasi jalan. Ada latar belakang sejarah yang
kompleks seputar pembuatan puisi itu. Saat itu ada proyek pembangunan jalan
raya Anyer-Panarukan yang menelan korban hingga jutaan nyawa rakyat Indonesia.
Chairil Anwar hanya membuat cuplikan kisahnya, yaitu dari Karawang hingga
Bekasi. Jika hanya dari jarak itu saja sudah begitu banyak memakan korban, bisa
kita bayangkan korban yang jatuh dalam pembangunan dari Anyer sampai Panarukan.
Sama
halnya dengan karya Pramoedya Anantra Toer. Suara-suara yang menyerukan
kemanusiaan dalam novelnya, Tetralogi Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang ditekan
oleh kolonial baik secara fisik maupun mental. Hubungan sosial orang Jawa,
Tionghoa, dan kolonial, hubungan pribumi, totok, indo, dan orang Belanda
menjadi latar yang dominan dalam karyanya. Tapi pertimbangan pemikirannya bukan
hanya latar belakang sosial. Kondisinya (fisik dan psikis) yang menulis
karyanya dalam pengasingan (dia diasingkan ke Pulau Buru) dan situasi politik
yang tengah berlangsung juga menjadi tambahan nilai tersendiri yang ia masukkan
dalam karyanya itu.
Belajar Peka dengan Sastra
Aplikasi
pembelajaran sastra memang tidak ada cara lain selain mengkaji dan
mempraktekkannya. Di tingkat sekolah dasar dan menengah, praktik sastra melatih
siswa untuk peka pada yang terjadi di sekitar. Di tingkat lebih lanjut,
universitas misalnya, pembelajaran sastra lebih ditekankan pada kajian sejarah
dan sosial-budaya masyarakat tempat sastra yang bersangkutan berkembang. Namun
hal ini menjadikan karya sastra hanya dipelajari oleh mereka yang masuk jurusan
ilmu budaya. Ada baiknya jika kajian ilmu menurut sudut pandang sastra.
Misalnya saja kajian politik dari sudut pandang karya sastra pujangga 45 dan
kajian hubungan sosial masyarakat dan antropologi masa kolonial melalui
Tetralogi Buru karya Pramoedya. Integrasi antar bidang ilmu dalam kajian sastra
saya kira tidak buruk, bahkan sangat menarik. Satu bidang dalam ilmu sosial
pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan sejelas hitam dan putih.
Kesusastraan
menjadi salah satu jalur penyumbang pemikiran-pemikiran besar, terutama dalam
hal kemanusiaan. Indonesia berutang besar pada sastrawan-sastrawan yang berani
mengungkapkan pendapatnya tentang bangsa seperti apa yang ada dalam pikiran
mereka. Dari karya sastralah semangat menyebar: semangat bersatu, semangat
melawan penindasan, semangat merdeka. Karya sastra yang saat ini berkembang
sebaiknya juga mampu memberi pengaruh yang sama besarnya, dengan pergeseran
tujuan. Karya sastra sekarang diharapkan mampu memberi sumbangan-sumbangan
pikiran di masa pembangunan ini. Menebarkan iklim positif berkarya dengan tidak
meninggalkan kepekaan terhadap kondisi masyarakat dan kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
A.G. Hadzarmawit, Netti. 2011. Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi. Surabaya: B You
Publishing
Pramoedya
Ananta Toer. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara
Scherer, Savitri. 2012. Pramoedya
Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Jakarta: Komunitas Bambu
Tim Sastra
iBOEKOE. 2009. 100 Buku Sastra
yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. Yogyakarta: Penerbit iBOEKOE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar