Annisa Qur'ani, Etoser Jakarta 2011
Pemerintah
Indonesia dinilai tidak konsekuen dengan sistem pemerintahannya sendiri. Sejak
usia sekolah kita diajarkan bahwa bentuk pemerintahan kita adalah republik
dengan sistem presidensial. Akan tetapi pada fakta pelaksanaan pemilunya,
legislatif dipilih terlebih dahulu baru kemudian presiden dan wakil presiden,
seolah kedudukan keduanya tidak setara. Gugatan terhadap UU dilayangkan kepada
Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut bergulir menjadi topik yang strategis
karena menyangkut kepentingan satu negara penuh.
MK
terkesan berlindung di belakang alasan “tidak cukup waktu” dalam memutuskan
penundaan pemilu serentak untuk presiden, wakil presiden, dan jajaran anggota
legislatif. Ini terlihat dari keputusan MK yang akhirnya mengabulkan pengajuan judicial review terhadap UU Nomor 42
Tahun 2008 untuk mengadakan pemilu serentak. Rakyat ahirnya akan dapat memilih
presiden, wakil presiden, dan jajaran anggota legislatif secara langsung dan
bersamaan waktunya. Bukan pada pemilu 2014, melainkan pemilu 2019.
Sedikit
menengok ke belakang, pengajuan uji materi mengenai UU tersebut telah
disampaikan oleh Effendi Gazali sejak 10 Januari 2013 dan baru dibacakan
keputusannya tanggal 23 Januari 2013. Lebih dari setahun waktu yang dibutuhkan
MK untuk memberi keputusan terhadap pengajuan tersebut. MK melalui putusannya
mengabulkan permohonan peninjauan kembali UU Nomor 42 Tahun 2008 yang berarti
pelaksanaan pemilu harus dilakukan serentak sejak MK mengabulkan pengajuan
tersebut, yaitu pada pemilu 2014. Akan tetapi, di SK tersebut MK menyatakan
bahwa pemilu serentak akan dilaksanakan mulai tahun 2019.
Dikabulkannya
pengajuan uji materi tersebut tidak serta merta membuat pihak yang mengajukan
menjadi puas. Sejumlah pihak yang mendukung pengajuan itu pun menyesalkan waktu
setahun yang terbuang untuk menghasilkan keputusan. Seharusnya jika dapat
diproses dengan cepat, pemilu serentak telah dapat dilaksanakan untuk tahun
2014. Saat ini dengan alasan waktu persiapan yang minim dan terlanjur bersiap
untuk pemilu terpisah, MK mengundurkan waktu pelaksanaan pemilu serentak lima
tahun lagi.
Keputusan
MK menuntut banyak konsekuensi lanjutan. Pemilu serentak seharusnya secara
otomatis menghapuskan ketentuan ambang batas bagi pencalonan presiden dan wakil
presiden atau biasa disebut presidential
threshold. Selama ini calon presiden dan wakil presiden hanya boleh
diajukan oleh partai dengan jumlah perolehan kursi di DPR sebanyak 10% atau
partai koalisi (gabungan) minimal 20%. Artinya hanya partai-partai besar dengan
pendukung yang banyak atau gabungan partai-partai yang dapat mengajukan nama
untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan diberlakukannya pemilu
serentak, berarti ambang batas itu tidak berlaku karena presiden dan wakil
presiden dipilih bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD, DPR, dan DPD. Inilah
yang kemudian membuat Yusril Ihza Mahendra, Ketua Dewan Penasihat Partai Bulan
Bintang (PBB) mengajukan judicial review
pada pasal 112 UU Pilpres.
Mari
kita bayangkan jika pemilu serentak benar-benar dilaksanakan. Semua partai yang
lolos seleksi oleh KPU akan memiliki hak untuk mengajukan nama calon presiden
dan wakil presiden. Rakyat akan memiliki banyak sekali pilihan. Gesekan antar
partai meningkat karena masing-masing partai memiliki visi, misi, dan basis
dukungan sendiri-sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Partai-partai besar akan kehilangan sebagian suara jika tidak mampu menggaet
massa pendukung partai yang lebih kecil.
Kesempatan
bagi calon-calon independen pun terbuka lebar asalkan memenuhi syarat KPU dan
memiliki massa pendukung. Sekalipun tidak diatur dalam UU, tidak berlakunya
ambang batas memberi peluang bagi pencalonan tanpa menunggang partai. Rakyat
akan dibingungkan dengan begitu banyak pilihan. Pertanyaannya adalah apakah
akan ada calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh jumlah suara minimal
untuk terpilih dengan begitu banyak suara yang terpecah?
Bisa
kita bayangkan 2019 akan menjadi pemilu yang penuh sesak dengan tokoh-tokoh lama
dan baru. Layaknya jual beli di pasar dengan banyak penjual dan pembeli,
penjual-penjual akan berebut perhatian menawarkan dagangannya. Para pembeli
bingung mana yang ingin dibeli, karena bagi sebagian besar dari mereka, semua
produk dagangannya terlihat sama.
Kegaduhan
dan kesemrawutan dalam bayangan kita ini dapat diatasi dengan penetapan
peraturan yang rigid, sistematis, dan menyasar hingga tataran teknis
pelaksanaan di daerah. MK dan jajaran legislatif harus bekerja sama membuat
peraturan UU yang baru. Benar kiranya saat MK mengatakan bahwa sudah terlambat
dalam persiapan jika pemilu serentak dilaksanakan tahun 2014. Dua-tiga bulan
tidak cukup untuk mempersiapkan helatan akbar tersebut.
Persiapan
yang meliputi sosialisasi kepada seluruh warga negara dimanapun berada, segala
urusan administrasi pencalonan, dan logistik pemungutan suara tidak akan
selesai tepat waktu. Terlebih lagi masyarakat terlanjur menganggap pemilu yang
dilakukan adalah pemilu terpisah seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Akan tetapi
alasan itu tetap tidak bisa menjadi pembenaran lambatnya MK dalam proses
pemutusan hasil uji materi yang telah diajukan. Sebagai gantinya di pemilu 2019
nanti MK dan jajaran legislatif tidak boleh melakukan kesalahan dalam merumuskan
peraturan. Sekalipun kuasa pembentukan UU berada di tangan DPR, MK tetap
memiliki tanggung jawab untuk meninjau kembali setiap ayat dan pasal dalam UU
Pemilu agar tidak ada lagi yang bertentangan.
Pelaksanaan
pemilu serentak pertama akan berat dan penuh risiko. Di sisi lain, di dalamnya
ada peluang menjadi sebuah gebrakan positif dalam demokrasi nasional, sama halnya
pemilu 1995 yang banyak orang menilainya sebagai pemilu paling demokratis dan
menjadi pondasi demokrasi di Indonesia. Usaha keras dalam pelaksanaannya adalah
harga yang menurut saya pantas dibayar demi meluruskan dan mengukuhkan sistem
republik presidensial yang berlaku di Indonesia sebagai amanat UUD 1945.
Dari berbagai sumber berita.