Minggu, 09 Maret 2014

Pasar Bebas di Pemilu 2019



Annisa Qur'ani, Etoser Jakarta 2011

Pemerintah Indonesia dinilai tidak konsekuen dengan sistem pemerintahannya sendiri. Sejak usia sekolah kita diajarkan bahwa bentuk pemerintahan kita adalah republik dengan sistem presidensial. Akan tetapi pada fakta pelaksanaan pemilunya, legislatif dipilih terlebih dahulu baru kemudian presiden dan wakil presiden, seolah kedudukan keduanya tidak setara. Gugatan terhadap UU dilayangkan kepada Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut bergulir menjadi topik yang strategis karena menyangkut kepentingan satu negara penuh.

MK terkesan berlindung di belakang alasan “tidak cukup waktu” dalam memutuskan penundaan pemilu serentak untuk presiden, wakil presiden, dan jajaran anggota legislatif. Ini terlihat dari keputusan MK yang akhirnya mengabulkan pengajuan judicial review terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 untuk mengadakan pemilu serentak. Rakyat ahirnya akan dapat memilih presiden, wakil presiden, dan jajaran anggota legislatif secara langsung dan bersamaan waktunya. Bukan pada pemilu 2014, melainkan pemilu 2019.

Sedikit menengok ke belakang, pengajuan uji materi mengenai UU tersebut telah disampaikan oleh Effendi Gazali sejak 10 Januari 2013 dan baru dibacakan keputusannya tanggal 23 Januari 2013. Lebih dari setahun waktu yang dibutuhkan MK untuk memberi keputusan terhadap pengajuan tersebut. MK melalui putusannya mengabulkan permohonan peninjauan kembali UU Nomor 42 Tahun 2008 yang berarti pelaksanaan pemilu harus dilakukan serentak sejak MK mengabulkan pengajuan tersebut, yaitu pada pemilu 2014. Akan tetapi, di SK tersebut MK menyatakan bahwa pemilu serentak akan dilaksanakan mulai tahun 2019.

Dikabulkannya pengajuan uji materi tersebut tidak serta merta membuat pihak yang mengajukan menjadi puas. Sejumlah pihak yang mendukung pengajuan itu pun menyesalkan waktu setahun yang terbuang untuk menghasilkan keputusan. Seharusnya jika dapat diproses dengan cepat, pemilu serentak telah dapat dilaksanakan untuk tahun 2014. Saat ini dengan alasan waktu persiapan yang minim dan terlanjur bersiap untuk pemilu terpisah, MK mengundurkan waktu pelaksanaan pemilu serentak lima tahun lagi.

Keputusan MK menuntut banyak konsekuensi lanjutan. Pemilu serentak seharusnya secara otomatis menghapuskan ketentuan ambang batas bagi pencalonan presiden dan wakil presiden atau biasa disebut presidential threshold. Selama ini calon presiden dan wakil presiden hanya boleh diajukan oleh partai dengan jumlah perolehan kursi di DPR sebanyak 10% atau partai koalisi (gabungan) minimal 20%. Artinya hanya partai-partai besar dengan pendukung yang banyak atau gabungan partai-partai yang dapat mengajukan nama untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan diberlakukannya pemilu serentak, berarti ambang batas itu tidak berlaku karena presiden dan wakil presiden dipilih bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD, DPR, dan DPD. Inilah yang kemudian membuat Yusril Ihza Mahendra, Ketua Dewan Penasihat Partai Bulan Bintang (PBB) mengajukan judicial review pada pasal 112 UU Pilpres.

Mari kita bayangkan jika pemilu serentak benar-benar dilaksanakan. Semua partai yang lolos seleksi oleh KPU akan memiliki hak untuk mengajukan nama calon presiden dan wakil presiden. Rakyat akan memiliki banyak sekali pilihan. Gesekan antar partai meningkat karena masing-masing partai memiliki visi, misi, dan basis dukungan sendiri-sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Partai-partai besar akan kehilangan sebagian suara jika tidak mampu menggaet massa pendukung partai yang lebih kecil. 

Kesempatan bagi calon-calon independen pun terbuka lebar asalkan memenuhi syarat KPU dan memiliki massa pendukung. Sekalipun tidak diatur dalam UU, tidak berlakunya ambang batas memberi peluang bagi pencalonan tanpa menunggang partai. Rakyat akan dibingungkan dengan begitu banyak pilihan. Pertanyaannya adalah apakah akan ada calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh jumlah suara minimal untuk terpilih dengan begitu banyak suara yang terpecah?

Bisa kita bayangkan 2019 akan menjadi pemilu yang penuh sesak dengan tokoh-tokoh lama dan baru. Layaknya jual beli di pasar dengan banyak penjual dan pembeli, penjual-penjual akan berebut perhatian menawarkan dagangannya. Para pembeli bingung mana yang ingin dibeli, karena bagi sebagian besar dari mereka, semua produk dagangannya terlihat sama. 

Kegaduhan dan kesemrawutan dalam bayangan kita ini dapat diatasi dengan penetapan peraturan yang rigid, sistematis, dan menyasar hingga tataran teknis pelaksanaan di daerah. MK dan jajaran legislatif harus bekerja sama membuat peraturan UU yang baru. Benar kiranya saat MK mengatakan bahwa sudah terlambat dalam persiapan jika pemilu serentak dilaksanakan tahun 2014. Dua-tiga bulan tidak cukup untuk mempersiapkan helatan akbar tersebut. 

Persiapan yang meliputi sosialisasi kepada seluruh warga negara dimanapun berada, segala urusan administrasi pencalonan, dan logistik pemungutan suara tidak akan selesai tepat waktu. Terlebih lagi masyarakat terlanjur menganggap pemilu yang dilakukan adalah pemilu terpisah seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Akan tetapi alasan itu tetap tidak bisa menjadi pembenaran lambatnya MK dalam proses pemutusan hasil uji materi yang telah diajukan. Sebagai gantinya di pemilu 2019 nanti MK dan jajaran legislatif tidak boleh melakukan kesalahan dalam merumuskan peraturan. Sekalipun kuasa pembentukan UU berada di tangan DPR, MK tetap memiliki tanggung jawab untuk meninjau kembali setiap ayat dan pasal dalam UU Pemilu agar tidak ada lagi yang bertentangan.

Pelaksanaan pemilu serentak pertama akan berat dan penuh risiko. Di sisi lain, di dalamnya ada peluang menjadi sebuah gebrakan positif dalam demokrasi nasional, sama halnya pemilu 1995 yang banyak orang menilainya sebagai pemilu paling demokratis dan menjadi pondasi demokrasi di Indonesia. Usaha keras dalam pelaksanaannya adalah harga yang menurut saya pantas dibayar demi meluruskan dan mengukuhkan sistem republik presidensial yang berlaku di Indonesia sebagai amanat UUD 1945.

Dari berbagai sumber berita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...