Ditulis tanggal 20
Desember 2013
Momen
Pemira sudah berakhir. Pelajaran apa yang didapat? Tentu banyak. Ada yang
sebagian bisa dibagikan untuk orang lain sebagai pembelajaran, ada yang baiknya
disimpan sendiri sebagai bagian dari pengukuhan akan prinsip.
Bicara
Pemira di UI, orang seakan terbius dengan hingar-bingar pesta demokrasi, bagi
yang peduli. Yang tidak silakan tetap melenggang dengan tenang di
koridor-koridor yang terpasang media kampanye para calon. Apakah yang peduli
lantas menjadi the-man-who-know-all atau the-man-who cares-the-most? Dan yang
tidak peduli menjadi the-man-who-doesn’t-know-anything? Tidak juga kan?
Partisipasi, peduli tidak peduli, terhadap politik kampus toh juga tidak bisa
direfleksikan dengan partisipasi di politik nasional. Apakah jumlah mahasiswa
yang menggunakan hak suaranya di Pemira UI jumlahnya sama dengan jumlah
pengguna hak suara di Pemilu 2014 nanti? Saya yakin bedanya akan sangat jauh.
Pertanyaan
yang timbul adalah, mengapa demikian? Jawabannya, bisa jadi, sekalipun tidak
melalui survei betulan, adalah karena kecilnya pengaruh lembaga-lembaga di UI
terhadap kehidupan sehari-hari mahasiswa pada umumnya. Kenapa yang memilih
sedikit? Karena yang merasa terpengaruh dan punya kepentingan memang tidak
banyak. Mengapa hanya kelompok atau mahasiswa itu-itu saja yang memilih? Karena
memang hanya mereka yang berkepentingan. Setingkat Indonesia saja yang tidak
menggunakan hak suaranya banyak, lantas apa yang diharapkan dari sebuah kampus
yang mahasiswanya pun, sekalipun terpengaruh, hanya akan mengalaminya rata-rata
selama 4 tahun? Lalu apakah panitia penyelenggara yang salah karena kurang
massifnya publikasi? Apakah para kandidat yang salah karena kurang menarik,
kurang mengajak konstituen masing-masing? Semua pihak punya alasan dan bukti
untuk menyalahkan pihak lain.
Di atas
tadi adalah dilema klasik. Di Pemira sebetulnya ada banyak sekali hal yang bisa
dipelajari, baik dari sisi penyelenggara maupun peserta. Yang saya pelajari
paling banyak adalah betapa rapuhnya sebuah pemahaman akan substansi. Bukan
substansi Pemira yang saya maksud, tapi subjek-subjek yang bicara dan seolah
menjunjung tinggi substansi itu.
Menjadi
penyelenggara, melihat, mengalami, dan terlibat di dalam Pemira sukses
menjadikan saya sebagai lulusan Pemira yang tidak lagi mempercayai demokrasi
kampus. Saya lulus dengan tidak lagi bisa mempercayai siapapun. Politik kampus
berhasil membuat kawan menjadi saling nyinyir, lawan pun semakin nyata adanya.
Tak ada yang bisa lepas dari kepentingan golongan, kelompok. Memang tidak ada
yang bisa tetap menjadi individu tanpa memihak, kan? Mau memihak sistem,
aturan, atau substansi? Sungguh, jikapun tak menjadi musuh semua pihak, ia
hanya akan lelah menyerukan ini dan itu karena tak semua berjalan ideal, bahkan
semuanya memang tidak mungkin ideal.
Ending
Pemira di UI adalah terpilihnya satu calon dan dua lainnya mengundurkan diri.
Saya heran di sini. Mengapa yang menang justru dikasihani dan yang mengundurkan
diri dielu-elukan? Pemenang dikasihani karena terlahir dari proses yang tidak
sempurna. Yang mengundurkan diri disanjung karena dianggap berani menyatakan
skap untuk menentang proses yang tidak sempurna itu. Benarkah setinggi itu
substansi dijunjung? Sungguhkah pengunduran diri bukan sebagai jalan keluar
dari rasa malu akibat kekalahan yang telak? Benarkah pemimpin yang lahir dari
proses yang cacat nantinya tidak bisa memimpin dengan baik? Bayi yang terlahir
dari operasi, misalnya, atau terlahir sungsang, prematur, apakah kelak ia tidak
bisa berlari secepat yang lain, berpikir secerdas yang lain? Silakan
dipikirkan.
Substansi
memerlukan proses pemikiran yang dalam. Berbagai sudut pandang bisa
mengaburkannya, bahkan menyalahartikan. Saya sendiri tidak paham betul. Momen
yang seharusnya saat belajar bagi saya dalam memahami substansi itu sebelum
memutuskan untuk memihak di kesempatan Pemira berikutnya, justru menjadi momen
yang merusak pondasi yang baru tersusun. Bisa jadi bukan hanya saya. Ada banyak
teman-teman yang masih tertatih, masih meraba dunia politik kampus memutuskan
untuk mundur teratur, sebelum terlibat lebih jauh. Salah panitia
penyelenggarakah? Bisa jadi, dalam satu sisi. Tidak juga, dalam sisi lain.
Sekali lagi: sudut pandang.
Ada hal
lain yang saya pelajari: seseorang tidak bisa benar-benar netral dan tidak
memihak. Sudut pandang membawa seseorang pada opini, opini melahirkan
penilaian. Penilaian melahirkan pilihan: mana yang lebih baik. Pilihan seorang
diri tidak ada artinya, maka bergabunglah orang-orang dengan penilaian yang
sama, membentuk sekutu, golongan, kelompok. Di saat demikian, benarkah ada yang
peduli tapi tidak menilai, tidak memihak? Netralitas hanya bagi mereka yang
justru tidak peduli dan tidak tahu.
Jauh
lebih mudah menyuarakan keberpihakan daripada bertahan dalam independensi.
Orang yang jelas berpihak pada siapa atau yang mana akan terlindungi oleh
kelompok yang menaungi keberpihakan itu. Sedangkan orang yang dipaksa untuk
independen, untuk tidak menunjukkan keberpihakan pada siapapun, untuk
mengakomodasi semua pihak, adakah yang bisa membayangkan tekanan seperti apa
yang dihadapi? Terlebih lagi hanya sedikit yang mengerti substansi di dalam
kelompok yang independen itu. Yang mengerti substansi, ada dimana mereka? Tentu
sibuk menyerukan hal-hal ideal di luar sana. Mungkin pemahaman mereka terlalu
murah jika dipraktikkan hanya sebagai penyelenggara. Atau paham akan substansi
juga berarti paham akan keuntungan yang bisa didapatkan dengan berpihak dan
berjuang menjadi pemenang? Lain kali bisa kita tanyakan pada penyeru-penyeru
demokrasi kampus.
Penyelenggaraannya
memang cacat. Sungguh saya pun malu dengan ketidakmampuan saya sebagai
penyelenggara. Dimulai dari pembentukan panitia yang prematur, proses yang
dipaksakan, evaluasi yang tidak berjalan, hingga konsistensi panitia yang
berujung pada kebobrokan internal. Panitia cacat. Sistem cacat. Saya jadi
berpikir, akankah pemimpin yang lahir dari kecacatan ini akan bisa bertahan
berlari sembari menarik yang lain untuk berlari bersama? Akankah ia bertahan
hingga titik akhir estafet ke generasi selanjutnya?
Tapi
ada sebuah pembelaan yang hadir menenangkan: Dimana ada sebuah proses yang
sempurna? Adakah kelahiran tanpa rasa sakit? Bukankah rasa sakit itu juga salah
satu proses yang normal dalam proses melahirkan?
Bedanya
adalah dari kesakitan itu, lahirnya bayi disambut dengan sorak sorai dan rasa
syukur. Syukur karena setelah melalui proses yang menyakitkan, ia berhasil
bertahan dan hidup. Di Pemira UI ini, karena prosesnya tidak sempurna, pemimpin
yang lahir dikasihani dan tidak didukung karena dianggap prematur. Bisakah analogi
tersebut dipakai? Sekali lagi, terserah saja siapa yang melihat.
Momen
Pemira, terlepas dari ketidaksempurnaannya, adalah ladang pembelajaran yang
sangat kaya. Di dalamnya saya bertumbuh, berkembang, dan menjadi selangkah
lebih maju dibanding kawan-kawan lain yang sekedar mengejar nilai akademis.
Ujian mental dan kinerja profesional yang digembleng di Pemira mungkin tidak
terlihat nyata, tapi ada dan terasa.
Ada dua
lagi yang penting dalam proses belajar yang luar biasa ini. Tentang makna
sebuah barisan dan strategi yang teratur rapi. Keduanya berkaitan erat. Tiada
strategi berjalan baik tanpa ada barisan rapi yang menyokongnya. Barisan
seperti apa? Di Pemira UI, saya melihat barisan rapi yang tersusun berikatkan
kesamaan akan tujuan. Tim yang solid terbentuk dari keakraban dan rasa saling
percaya. Mereka bersama mengusung sebuah cita-cita ideal dan yakin hanya mereka
yang mampu mewujudkannya. Saya melihat dengan jelas kekuatan macam apa yang
bisa mereka hasilkan. Terlepas dari endingnya, saya mengagumi dan memberikan
apresiasi tinggi pada tim tersebut, yang tidak perlu saya sebutkan. Kerja keras
mereka adalah senyatanya bukti keseriusan mereka dan totalitas dalam mengikuti
ajang Pemira ini.
Mari
kita refleksikan apa yang disebut totalitas dengan kejadian di Pemira FISIP,
tempat rekan-rekan saya berjuang untuk meraih tampuk posisi paling strategis di
tataran fakultas. Ada keraguan dari titik awal lompatannya. Akankah sanggup
mengemban amanah nanti jika terpilih? Akankah bisa menjawab semua pertanyaan
tentang lembaga yang masih asing? Akankah dapat mematahkan tradisi lembaga
yanng telah sebelumnya mengakar kuat, yang bahkan tidak runtuh dengan sekali
kepengurusan? Atau akankah mungkin merobohkan stereotip anak mushala yang jauh
dari dunia sospol dan menunjukkan eksistensi golongan kanan di FISIP?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut barangkali terbersit, tapi tidak dicari jawabannya sampai tataran
teknis. Keyakinan bahwa semua bisa diatasi dengan belajar tampaknya menutupi
realita. Tidak cukup dengan itu, barangkali karena ragu-ragu tetap muncul,
prosesnya menjadi dilakukan setengah hati. Ketakutan-ketakutan muncul, keraguan
meluap menjadi ketidakpercayaan diri. Akhirnya tidak ada bedanya. Siapapun yang
maju akan sama-sama membawa visi dan misi yang sebenarnya sama!
Layakkah
seorang yang bertekad mengubah, saat menentukan mau maju, masih memikirkan apa
yang ingin ia ubah? Di mata saya itu hanya terlihat sebagai ambisi yang tidak
melihat kenyataan. Saya merasa sedih melihat sahabat-sahabat saya mengorbankan
begitu banyak hal untuk euforia Pemira yang sebetulnya simpel saja. Kekuasaan
yang diperebutkan juga tak sebesar apa. Memangnya BEM FISIP bisa apa? Buat saya
hanya beban bagi para pengampu pimpinannya. Berapa banyak air mata tertumpah,
peluh terperas, tenaga terkuras? Banyak! Tapi tak pernah benar-benar sampai
habis, karena keraguan masih berkata: Kamu tidak mampu, kamu sudah tahu
hasilnya akan jadi seperti apa.
Kita
belajar banyak tentang totalitas. Sungguh banyak.
Mari
lihat dari sisi keraguan itu sendiri. Darimana datangnya keraguan? Dari diri
sendirikah? Dari kerendahan diri? Saya yakin soal kemampuan, semua orang punya
kesempatan belajar. Bahkan di Pemira, bisa jadi yang diperebutkan bukanlah
kekuasaan, tapi ladang belajar yang lebih daripada yang lain. Keraguan itu
muncul bisa jadi karena tidak adanya barisan di belakang para pemain yang siap
mendorong. Tidak ada barisan yang siap mengulur tangan dan menyokong ketika
terpeleset jatuh. Tidak adanya barisan membuat bayangan sakit saat jatuh
menjadi begitu jelas sehingga orang ragu untuk melompat.
Bagaimana
tidak? Ternyata tidak semua orang yang berada dalam satu barisan adalah sahabat
yang satu visi. Barisan itu mungkin ada. Tapi orang-orang di dalamnya sibuk
bercengkerama sendiri, melakukan kegiatan sendiri. Seolah Pemira dan barisan
itu adalah dunia yang berbeda. Ini kemudian menjadi paradoks: Ingin diakui
eksistensinya di FISIP tetapi tidak bicara menggunakan bahasa FISIP. Ingin
menyebarluaskan ayat di kalangan mahasiswa FISIP, tapi enggan memberikan
seluruh daya upaya untuk pemenangan dakwah di FISIP melalui penempatan kader di
posisi paling strategis.
Kita
belajar banyak, ya. Semoga tak hanya menjadi wacana dalam buku teori-teori di
kelas. Cukuplah substansi dibahas di awal saja, sekedar mempersatukan
pandangan. Selanjutnya, aksi nyata adalah satu-satunya cara menjaga agar
substansi itu tak hanya jadi wacana belaka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar