Kamis, 05 Juni 2014

Bicara Pemira



Ditulis tanggal 20 Desember 2013 

Momen Pemira sudah berakhir. Pelajaran apa yang didapat? Tentu banyak. Ada yang sebagian bisa dibagikan untuk orang lain sebagai pembelajaran, ada yang baiknya disimpan sendiri sebagai bagian dari pengukuhan akan prinsip.

Bicara Pemira di UI, orang seakan terbius dengan hingar-bingar pesta demokrasi, bagi yang peduli. Yang tidak silakan tetap melenggang dengan tenang di koridor-koridor yang terpasang media kampanye para calon. Apakah yang peduli lantas menjadi the-man-who-know-all atau the-man-who cares-the-most? Dan yang tidak peduli menjadi the-man-who-doesn’t-know-anything? Tidak juga kan? Partisipasi, peduli tidak peduli, terhadap politik kampus toh juga tidak bisa direfleksikan dengan partisipasi di politik nasional. Apakah jumlah mahasiswa yang menggunakan hak suaranya di Pemira UI jumlahnya sama dengan jumlah pengguna hak suara di Pemilu 2014 nanti? Saya yakin bedanya akan sangat jauh.

Pertanyaan yang timbul adalah, mengapa demikian? Jawabannya, bisa jadi, sekalipun tidak melalui survei betulan, adalah karena kecilnya pengaruh lembaga-lembaga di UI terhadap kehidupan sehari-hari mahasiswa pada umumnya. Kenapa yang memilih sedikit? Karena yang merasa terpengaruh dan punya kepentingan memang tidak banyak. Mengapa hanya kelompok atau mahasiswa itu-itu saja yang memilih? Karena memang hanya mereka yang berkepentingan. Setingkat Indonesia saja yang tidak menggunakan hak suaranya banyak, lantas apa yang diharapkan dari sebuah kampus yang mahasiswanya pun, sekalipun terpengaruh, hanya akan mengalaminya rata-rata selama 4 tahun? Lalu apakah panitia penyelenggara yang salah karena kurang massifnya publikasi? Apakah para kandidat yang salah karena kurang menarik, kurang mengajak konstituen masing-masing? Semua pihak punya alasan dan bukti untuk menyalahkan pihak lain.

Di atas tadi adalah dilema klasik. Di Pemira sebetulnya ada banyak sekali hal yang bisa dipelajari, baik dari sisi penyelenggara maupun peserta. Yang saya pelajari paling banyak adalah betapa rapuhnya sebuah pemahaman akan substansi. Bukan substansi Pemira yang saya maksud, tapi subjek-subjek yang bicara dan seolah menjunjung tinggi substansi itu.

Menjadi penyelenggara, melihat, mengalami, dan terlibat di dalam Pemira sukses menjadikan saya sebagai lulusan Pemira yang tidak lagi mempercayai demokrasi kampus. Saya lulus dengan tidak lagi bisa mempercayai siapapun. Politik kampus berhasil membuat kawan menjadi saling nyinyir, lawan pun semakin nyata adanya. Tak ada yang bisa lepas dari kepentingan golongan, kelompok. Memang tidak ada yang bisa tetap menjadi individu tanpa memihak, kan? Mau memihak sistem, aturan, atau substansi? Sungguh, jikapun tak menjadi musuh semua pihak, ia hanya akan lelah menyerukan ini dan itu karena tak semua berjalan ideal, bahkan semuanya memang tidak mungkin ideal.

Ending Pemira di UI adalah terpilihnya satu calon dan dua lainnya mengundurkan diri. Saya heran di sini. Mengapa yang menang justru dikasihani dan yang mengundurkan diri dielu-elukan? Pemenang dikasihani karena terlahir dari proses yang tidak sempurna. Yang mengundurkan diri disanjung karena dianggap berani menyatakan skap untuk menentang proses yang tidak sempurna itu. Benarkah setinggi itu substansi dijunjung? Sungguhkah pengunduran diri bukan sebagai jalan keluar dari rasa malu akibat kekalahan yang telak? Benarkah pemimpin yang lahir dari proses yang cacat nantinya tidak bisa memimpin dengan baik? Bayi yang terlahir dari operasi, misalnya, atau terlahir sungsang, prematur, apakah kelak ia tidak bisa berlari secepat yang lain, berpikir secerdas yang lain? Silakan dipikirkan.

Substansi memerlukan proses pemikiran yang dalam. Berbagai sudut pandang bisa mengaburkannya, bahkan menyalahartikan. Saya sendiri tidak paham betul. Momen yang seharusnya saat belajar bagi saya dalam memahami substansi itu sebelum memutuskan untuk memihak di kesempatan Pemira berikutnya, justru menjadi momen yang merusak pondasi yang baru tersusun. Bisa jadi bukan hanya saya. Ada banyak teman-teman yang masih tertatih, masih meraba dunia politik kampus memutuskan untuk mundur teratur, sebelum terlibat lebih jauh. Salah panitia penyelenggarakah? Bisa jadi, dalam satu sisi. Tidak juga, dalam sisi lain. Sekali lagi: sudut pandang.

Ada hal lain yang saya pelajari: seseorang tidak bisa benar-benar netral dan tidak memihak. Sudut pandang membawa seseorang pada opini, opini melahirkan penilaian. Penilaian melahirkan pilihan: mana yang lebih baik. Pilihan seorang diri tidak ada artinya, maka bergabunglah orang-orang dengan penilaian yang sama, membentuk sekutu, golongan, kelompok. Di saat demikian, benarkah ada yang peduli tapi tidak menilai, tidak memihak? Netralitas hanya bagi mereka yang justru tidak peduli dan tidak tahu.

Jauh lebih mudah menyuarakan keberpihakan daripada bertahan dalam independensi. Orang yang jelas berpihak pada siapa atau yang mana akan terlindungi oleh kelompok yang menaungi keberpihakan itu. Sedangkan orang yang dipaksa untuk independen, untuk tidak menunjukkan keberpihakan pada siapapun, untuk mengakomodasi semua pihak, adakah yang bisa membayangkan tekanan seperti apa yang dihadapi? Terlebih lagi hanya sedikit yang mengerti substansi di dalam kelompok yang independen itu. Yang mengerti substansi, ada dimana mereka? Tentu sibuk menyerukan hal-hal ideal di luar sana. Mungkin pemahaman mereka terlalu murah jika dipraktikkan hanya sebagai penyelenggara. Atau paham akan substansi juga berarti paham akan keuntungan yang bisa didapatkan dengan berpihak dan berjuang menjadi pemenang? Lain kali bisa kita tanyakan pada penyeru-penyeru demokrasi kampus.

Penyelenggaraannya memang cacat. Sungguh saya pun malu dengan ketidakmampuan saya sebagai penyelenggara. Dimulai dari pembentukan panitia yang prematur, proses yang dipaksakan, evaluasi yang tidak berjalan, hingga konsistensi panitia yang berujung pada kebobrokan internal. Panitia cacat. Sistem cacat. Saya jadi berpikir, akankah pemimpin yang lahir dari kecacatan ini akan bisa bertahan berlari sembari menarik yang lain untuk berlari bersama? Akankah ia bertahan hingga titik akhir estafet ke generasi selanjutnya?

Tapi ada sebuah pembelaan yang hadir menenangkan: Dimana ada sebuah proses yang sempurna? Adakah kelahiran tanpa rasa sakit? Bukankah rasa sakit itu juga salah satu proses yang normal dalam proses melahirkan?

Bedanya adalah dari kesakitan itu, lahirnya bayi disambut dengan sorak sorai dan rasa syukur. Syukur karena setelah melalui proses yang menyakitkan, ia berhasil bertahan dan hidup. Di Pemira UI ini, karena prosesnya tidak sempurna, pemimpin yang lahir dikasihani dan tidak didukung karena dianggap prematur. Bisakah analogi tersebut dipakai? Sekali lagi, terserah saja siapa yang melihat.

Momen Pemira, terlepas dari ketidaksempurnaannya, adalah ladang pembelajaran yang sangat kaya. Di dalamnya saya bertumbuh, berkembang, dan menjadi selangkah lebih maju dibanding kawan-kawan lain yang sekedar mengejar nilai akademis. Ujian mental dan kinerja profesional yang digembleng di Pemira mungkin tidak terlihat nyata, tapi ada dan terasa.

Ada dua lagi yang penting dalam proses belajar yang luar biasa ini. Tentang makna sebuah barisan dan strategi yang teratur rapi. Keduanya berkaitan erat. Tiada strategi berjalan baik tanpa ada barisan rapi yang menyokongnya. Barisan seperti apa? Di Pemira UI, saya melihat barisan rapi yang tersusun berikatkan kesamaan akan tujuan. Tim yang solid terbentuk dari keakraban dan rasa saling percaya. Mereka bersama mengusung sebuah cita-cita ideal dan yakin hanya mereka yang mampu mewujudkannya. Saya melihat dengan jelas kekuatan macam apa yang bisa mereka hasilkan. Terlepas dari endingnya, saya mengagumi dan memberikan apresiasi tinggi pada tim tersebut, yang tidak perlu saya sebutkan. Kerja keras mereka adalah senyatanya bukti keseriusan mereka dan totalitas dalam mengikuti ajang Pemira ini.

Mari kita refleksikan apa yang disebut totalitas dengan kejadian di Pemira FISIP, tempat rekan-rekan saya berjuang untuk meraih tampuk posisi paling strategis di tataran fakultas. Ada keraguan dari titik awal lompatannya. Akankah sanggup mengemban amanah nanti jika terpilih? Akankah bisa menjawab semua pertanyaan tentang lembaga yang masih asing? Akankah dapat mematahkan tradisi lembaga yanng telah sebelumnya mengakar kuat, yang bahkan tidak runtuh dengan sekali kepengurusan? Atau akankah mungkin merobohkan stereotip anak mushala yang jauh dari dunia sospol dan menunjukkan eksistensi golongan kanan di FISIP?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali terbersit, tapi tidak dicari jawabannya sampai tataran teknis. Keyakinan bahwa semua bisa diatasi dengan belajar tampaknya menutupi realita. Tidak cukup dengan itu, barangkali karena ragu-ragu tetap muncul, prosesnya menjadi dilakukan setengah hati. Ketakutan-ketakutan muncul, keraguan meluap menjadi ketidakpercayaan diri. Akhirnya tidak ada bedanya. Siapapun yang maju akan sama-sama membawa visi dan misi yang sebenarnya sama!

Layakkah seorang yang bertekad mengubah, saat menentukan mau maju, masih memikirkan apa yang ingin ia ubah? Di mata saya itu hanya terlihat sebagai ambisi yang tidak melihat kenyataan. Saya merasa sedih melihat sahabat-sahabat saya mengorbankan begitu banyak hal untuk euforia Pemira yang sebetulnya simpel saja. Kekuasaan yang diperebutkan juga tak sebesar apa. Memangnya BEM FISIP bisa apa? Buat saya hanya beban bagi para pengampu pimpinannya. Berapa banyak air mata tertumpah, peluh terperas, tenaga terkuras? Banyak! Tapi tak pernah benar-benar sampai habis, karena keraguan masih berkata: Kamu tidak mampu, kamu sudah tahu hasilnya akan jadi seperti apa.

Kita belajar banyak tentang totalitas. Sungguh banyak.

Mari lihat dari sisi keraguan itu sendiri. Darimana datangnya keraguan? Dari diri sendirikah? Dari kerendahan diri? Saya yakin soal kemampuan, semua orang punya kesempatan belajar. Bahkan di Pemira, bisa jadi yang diperebutkan bukanlah kekuasaan, tapi ladang belajar yang lebih daripada yang lain. Keraguan itu muncul bisa jadi karena tidak adanya barisan di belakang para pemain yang siap mendorong. Tidak ada barisan yang siap mengulur tangan dan menyokong ketika terpeleset jatuh. Tidak adanya barisan membuat bayangan sakit saat jatuh menjadi begitu jelas sehingga orang ragu untuk melompat.

Bagaimana tidak? Ternyata tidak semua orang yang berada dalam satu barisan adalah sahabat yang satu visi. Barisan itu mungkin ada. Tapi orang-orang di dalamnya sibuk bercengkerama sendiri, melakukan kegiatan sendiri. Seolah Pemira dan barisan itu adalah dunia yang berbeda. Ini kemudian menjadi paradoks: Ingin diakui eksistensinya di FISIP tetapi tidak bicara menggunakan bahasa FISIP. Ingin menyebarluaskan ayat di kalangan mahasiswa FISIP, tapi enggan memberikan seluruh daya upaya untuk pemenangan dakwah di FISIP melalui penempatan kader di posisi paling strategis.

Kita belajar banyak, ya. Semoga tak hanya menjadi wacana dalam buku teori-teori di kelas. Cukuplah substansi dibahas di awal saja, sekedar mempersatukan pandangan. Selanjutnya, aksi nyata adalah satu-satunya cara menjaga agar substansi itu tak hanya jadi wacana belaka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...