(ditulis dalam rangka penugasan pembinaan Etos Jakarta edisi April 2014)
Raut
wajah para orang tua seketika berubah setelah mendengar bahwa uang pangkal (UP)
masuk perguruan tinggi dihapuskan dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) diberlakukan.
Mereka adalah orang tua yang hadir dalam seminar yang diselenggarakan Perhimak
UI (Perhimpunan Mahasiswa Kebumen Universitas Indonesia) pada 2 Februari 2014
di Kebumen. Kebijakan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 itu ternyata
tidak banyak yang tahu.
Sejumlah
orang tua yang hadir, yang kebanyakan adalah orang tua yang belum pernah
menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang maaf saja, menurut saya, sangat polos.
“Uang
pangkal apakah sama dengan uang gedung?” “Kuliah itu bayarnya per bulan atau
per semester?” “Kalau ada UKT, apa masih bayar kuliah per bulan?” Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menunjukkan satu hal, yaitu masih banyak orang tua yang masih buta
terhadap mekanisme pembayaran dan prosedur masuknya anak mereka ke perguruan
tinggi. Saya menemukan bahwa sosialisasi dari kampus tentang
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan administrasi belum menyentuh
masyarakat menengah ke bawah yang masih asing dengan pendidikan di perguruan
tinggi.
Tahun
2013 diterapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan
tinggi negeri di Indonesia. Menurut PERMENDIKBUD No. 55 Tahun 2013, UKT
diberlakukan dengan tujuan memberi kesempatan akses seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengenyam pendidikan dengan biaya yang sesuai kemampuan
finansial masing-masing. Saya melihat ini sebagai kesempatan baik bagi
masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah untuk mendapatkan kesempatan
kuliah di perguruan tinggi. Orang tua atau penanggung biaya tidak lagi
diberatkan oleh biaya kuliah berlapis. Sebelumnya untuk bisa kuliah harus
membayar uang pangkal, uang semesteran, praktikum, dan wisuda pun ditarik biaya
lagi. Dengan adanya UKT, mahasiswa hanya dibebankan biaya pendidikan sekali
bayar di tiap semester dengan jumlah menyesuaikan kemampuan finansial.
Di
UI sendiri, selain kebijakan UKT, ada mekanisme BOP-B. Mekanisme BOP-B ini memberi
kesempatan bagi mahasiswa untuk mengajukan keringanan biaya kuliah sesuai
dengan kemampuan penanggung biaya. UI juga memperbolehkan pencicilan biaya
kuliah. Mahasiswa mampu dan kurang mampu di UI membayar biaya dengan jumlah
yang berbeda. Sekalipun dalam pelaksanaannya ada yang tidak tepat sasaran,
mekanisme ini sangat membantu mahasiswa yang kurang mampu secara finansial. Hal
ini juga meningkatkan kepercayaan diri bagi mereka yang awalnya merasa tidak
akan mampu membayar biaya kuliah. Setidaknya mereka akan terdorong untuk
mencoba masuk terlebih dahulu, tidak lari ketakutan melihat nominal angka yang
tertera sebagai biaya yang wajib dibayar begitu calon mahasiswa diterima di
perguruan tinggi.
Mekanisme
UKT akan sangat menggiurkan dan melegakan bagi mahasiswa dan penanggung biaya yang tahu tentang kebijakan baru
tersebut. Permasalahan yang ada saat ini adalah berapa banyak orang yang tahu
tentang kebijakan ini?
Sebuah
toko yang menggelar diskon besar-besaran apakah akan banyak dikunjungi jika
promosi yang dilakukan hanya sebatas memasang pengumuman di depan pintu toko?
Yang berkesempatan mendapatkan diskon itu hanya orang-orang yang lewat di depan
toko, tidak sengaja belanja di hari diskon, atau orang yang tahu dari kabar
yang tersiar dari orang-orang yang tahu. Kelompok orang yang terakhir, yang
tahu dari orang lain, saat datang ke toko sudah kehabisan barang diskon atau
toko sudah terlanjur tutup.
Analogi
di atas sepertinya tepat menggambarkan kebijakan UKT. Kebijakan UKT secara
konseptual menurut saya tidak perlu diperdebatkan lagi. Tinggal bagaimana
menyiarkan kebijakan tersebut agar terdengar oleh orang-orang yang menjadi
alasan mengapa UKT diadakan, yaitu masyarakat terutama kelompok ekonomi
menengah ke bawah. Seminar yang diadakan Perhimak UI memang hanya contoh kecil
yang menunjukkan belum sampainya informasi kepada masyarakat yang menjadi
target kebijakan, hanya secuplik contoh kondisi di sebuah kabupaten kecil di
Jawa Tengah. Akan tetapi saya yakin akan menjadi contoh besar jika memang
dilakukan survei capaian informasi itu di seluruh Indonesia.
Pemerintah
dan pihak perguruan tinggi melakukan sosialisasi melalui website, sosial media,
surat kabar, dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya. Tidak semua masyarakat bisa
mengakses sarana-sarana sosialisasi tersebut. Mereka yang bisa mengaksesnya pun
belum tentu semua paham karena memahami sebuah kebijakan bukan sesuatu yang
mudah bagi banyak orang. Akibatnya, informasi tersebut menjadi informasi
eksklusif yang hanya diketahui dan dipahami oleh sedikit orang.
Dalam
hal ini, pelaku kebijakan sama seperti toko yang mempromosikan diskon hanya
melalui papan pengumuman di depan pintu masuk toko. Toko tidak mementingkan
siapa saja yang akan memanfaatkan diskon yang disediakan, yang penting
barangnya terjual habis. Seorang pembeli membeli banyak barang sekaligus tidak
menjadi masalah karena memang orientasinya adalah barang terjual
sebanyak-banyaknya. Bagaimana dengan UKT di perguruan tinggi? Apakah
orientasinya adalah UKT dimanfaatkan sebanyak-banyaknya atau UKT dimanfaatkan
oleh sebanyak-banyaknya orang yang menjadi target pelaksanaannya? Bedanya
dengan toko, tujuan UKT ini adalah untuk membuka akses seluas-luasnya kepada
masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah untuk bisa sekolah di
perguruan tinggi. Ada faktor sasaran kebijakan yang membuatnya berbeda. Inilah
yang membuat sosialisasi informasi yang seadanya tidak bisa diterima. Untuk apa
kebijakan dibuat jika masyarakat yang jadi targetnya justru tidak tahu
kebijakan tersebut ada?
Pemerintah
dan perguruan tinggi tidak bisa hanya mengandalkan humas masing-masing dalam
proses sosialisasi ini. Elemen mahasiswa dan media harus dilibatkan dan menjadi
jembatan informasi. Media massa mainstream sebaiknya diikutsertakan dengan
pemasangan iklan-iklan sosialisasi. Saya teringat pada gencarnya sosialisasi
yang dilakukan pemerintah saat ada kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sosialisasi yang dilakukan sangat gencar dengan memanfaatkan iklan layanan
masyarakat di televisi, surat kabar, dan pemasangan baliho-baliho. Informasi
tersebut sampai di masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari kota
dan pusat pemerintahan. Pihak perguruan tinggi pun sebenarnya bisa melibatkan
perhimpunan mahasiswa daerah di kampus untuk melakukan sosialisasi ke
calon-calon mahasiswa yang ada di daerah asal masing-masing.
Ada
banyak cara untuk menyampaikan informasi ini kepada masyarakat luas jika memang
ada niat untuk tidak membiarkan informasi ini menjadi informasi yang eksklusif.
Sayang sekali jika kebijakan yang baik tidak diimbangi dengan usaha
menyampaikannya ke terget yang dimaksud. Jangan sampai ada lulusan
SMA/sederajat yang tidak jadi melanjutkan ke perguruan tinggi karena takut
tidak bisa membayar biaya kuliah yang dianggapnya mahal. Kebijakan UKT dibuat
untuk membuka akses seluas-luasnya pada seluruh masyarakat, tidak sebatas pada
mereka yang sudah tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar