Kamis, 05 Juni 2014

UKT: Akses Pendidikan Seluas-Luasnya Bagi Mereka yang Tahu



(ditulis dalam rangka penugasan pembinaan Etos Jakarta edisi April 2014)

Raut wajah para orang tua seketika berubah setelah mendengar bahwa uang pangkal (UP) masuk perguruan tinggi dihapuskan dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) diberlakukan. Mereka adalah orang tua yang hadir dalam seminar yang diselenggarakan Perhimak UI (Perhimpunan Mahasiswa Kebumen Universitas Indonesia) pada 2 Februari 2014 di Kebumen. Kebijakan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 itu ternyata tidak banyak yang tahu.

Sejumlah orang tua yang hadir, yang kebanyakan adalah orang tua yang belum pernah menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang maaf saja, menurut saya, sangat polos.

“Uang pangkal apakah sama dengan uang gedung?” “Kuliah itu bayarnya per bulan atau per semester?” “Kalau ada UKT, apa masih bayar kuliah per bulan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan satu hal, yaitu masih banyak orang tua yang masih buta terhadap mekanisme pembayaran dan prosedur masuknya anak mereka ke perguruan tinggi. Saya menemukan bahwa sosialisasi dari kampus tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan administrasi belum menyentuh masyarakat menengah ke bawah yang masih asing dengan pendidikan di perguruan tinggi.

Tahun 2013 diterapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia. Menurut PERMENDIKBUD No. 55 Tahun 2013, UKT diberlakukan dengan tujuan memberi kesempatan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan dengan biaya yang sesuai kemampuan finansial masing-masing. Saya melihat ini sebagai kesempatan baik bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah untuk mendapatkan kesempatan kuliah di perguruan tinggi. Orang tua atau penanggung biaya tidak lagi diberatkan oleh biaya kuliah berlapis. Sebelumnya untuk bisa kuliah harus membayar uang pangkal, uang semesteran, praktikum, dan wisuda pun ditarik biaya lagi. Dengan adanya UKT, mahasiswa hanya dibebankan biaya pendidikan sekali bayar di tiap semester dengan jumlah menyesuaikan kemampuan finansial.

Di UI sendiri, selain kebijakan UKT, ada mekanisme BOP-B. Mekanisme BOP-B ini memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk mengajukan keringanan biaya kuliah sesuai dengan kemampuan penanggung biaya. UI juga memperbolehkan pencicilan biaya kuliah. Mahasiswa mampu dan kurang mampu di UI membayar biaya dengan jumlah yang berbeda. Sekalipun dalam pelaksanaannya ada yang tidak tepat sasaran, mekanisme ini sangat membantu mahasiswa yang kurang mampu secara finansial. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan diri bagi mereka yang awalnya merasa tidak akan mampu membayar biaya kuliah. Setidaknya mereka akan terdorong untuk mencoba masuk terlebih dahulu, tidak lari ketakutan melihat nominal angka yang tertera sebagai biaya yang wajib dibayar begitu calon mahasiswa diterima di perguruan tinggi.

Mekanisme UKT akan sangat menggiurkan dan melegakan bagi mahasiswa dan penanggung biaya yang tahu tentang kebijakan baru tersebut. Permasalahan yang ada saat ini adalah berapa banyak orang yang tahu tentang kebijakan ini?

Sebuah toko yang menggelar diskon besar-besaran apakah akan banyak dikunjungi jika promosi yang dilakukan hanya sebatas memasang pengumuman di depan pintu toko? Yang berkesempatan mendapatkan diskon itu hanya orang-orang yang lewat di depan toko, tidak sengaja belanja di hari diskon, atau orang yang tahu dari kabar yang tersiar dari orang-orang yang tahu. Kelompok orang yang terakhir, yang tahu dari orang lain, saat datang ke toko sudah kehabisan barang diskon atau toko sudah terlanjur tutup.

Analogi di atas sepertinya tepat menggambarkan kebijakan UKT. Kebijakan UKT secara konseptual menurut saya tidak perlu diperdebatkan lagi. Tinggal bagaimana menyiarkan kebijakan tersebut agar terdengar oleh orang-orang yang menjadi alasan mengapa UKT diadakan, yaitu masyarakat terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah. Seminar yang diadakan Perhimak UI memang hanya contoh kecil yang menunjukkan belum sampainya informasi kepada masyarakat yang menjadi target kebijakan, hanya secuplik contoh kondisi di sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah. Akan tetapi saya yakin akan menjadi contoh besar jika memang dilakukan survei capaian informasi itu di seluruh Indonesia.

Pemerintah dan pihak perguruan tinggi melakukan sosialisasi melalui website, sosial media, surat kabar, dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya. Tidak semua masyarakat bisa mengakses sarana-sarana sosialisasi tersebut. Mereka yang bisa mengaksesnya pun belum tentu semua paham karena memahami sebuah kebijakan bukan sesuatu yang mudah bagi banyak orang. Akibatnya, informasi tersebut menjadi informasi eksklusif yang hanya diketahui dan dipahami oleh sedikit orang.

Dalam hal ini, pelaku kebijakan sama seperti toko yang mempromosikan diskon hanya melalui papan pengumuman di depan pintu masuk toko. Toko tidak mementingkan siapa saja yang akan memanfaatkan diskon yang disediakan, yang penting barangnya terjual habis. Seorang pembeli membeli banyak barang sekaligus tidak menjadi masalah karena memang orientasinya adalah barang terjual sebanyak-banyaknya. Bagaimana dengan UKT di perguruan tinggi? Apakah orientasinya adalah UKT dimanfaatkan sebanyak-banyaknya atau UKT dimanfaatkan oleh sebanyak-banyaknya orang yang menjadi target pelaksanaannya? Bedanya dengan toko, tujuan UKT ini adalah untuk membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah untuk bisa sekolah di perguruan tinggi. Ada faktor sasaran kebijakan yang membuatnya berbeda. Inilah yang membuat sosialisasi informasi yang seadanya tidak bisa diterima. Untuk apa kebijakan dibuat jika masyarakat yang jadi targetnya justru tidak tahu kebijakan tersebut ada?

Pemerintah dan perguruan tinggi tidak bisa hanya mengandalkan humas masing-masing dalam proses sosialisasi ini. Elemen mahasiswa dan media harus dilibatkan dan menjadi jembatan informasi. Media massa mainstream sebaiknya diikutsertakan dengan pemasangan iklan-iklan sosialisasi. Saya teringat pada gencarnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah saat ada kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sosialisasi yang dilakukan sangat gencar dengan memanfaatkan iklan layanan masyarakat di televisi, surat kabar, dan pemasangan baliho-baliho. Informasi tersebut sampai di masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari kota dan pusat pemerintahan. Pihak perguruan tinggi pun sebenarnya bisa melibatkan perhimpunan mahasiswa daerah di kampus untuk melakukan sosialisasi ke calon-calon mahasiswa yang ada di daerah asal masing-masing.

Ada banyak cara untuk menyampaikan informasi ini kepada masyarakat luas jika memang ada niat untuk tidak membiarkan informasi ini menjadi informasi yang eksklusif. Sayang sekali jika kebijakan yang baik tidak diimbangi dengan usaha menyampaikannya ke terget yang dimaksud. Jangan sampai ada lulusan SMA/sederajat yang tidak jadi melanjutkan ke perguruan tinggi karena takut tidak bisa membayar biaya kuliah yang dianggapnya mahal. Kebijakan UKT dibuat untuk membuka akses seluas-luasnya pada seluruh masyarakat, tidak sebatas pada mereka yang sudah tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...