Kamis, 05 Juni 2014

Konflik Mesir: Antara Zero sum game dan Negative sum game



(ditulis dalam rangka Lomba Esai Nasional Festival Timur Tengah UI 2014. Meraih Juara Harapan 1)

3 Juli 2013 militer Mesir melakukan kudeta terhadap pemerintahan Mesir yang sah, yang dipimpin oleh Mohamed Morsi. Kudeta tersebut dipimpin oleh Jenderal Abdul Fattah Al-Sisi yang tidak lain adalah Panglima Angkatan Bersenjata Mesir sekaligus Menteri Pertahanan di kabinet Morsi.

Perseteruan antara pendukung Morsi dan pendukung militer terjadi dan merambat sampai terjadinya bentrokan kedua pihak. Tercatat 638 orang meninggal akibat bentrokan yang terjadi hingga Agustus 2013 dan korban terluka yang mencapai angka empat ribu orang sepanjang 2013. Data yang dirilis media resmi Ikhwanul Muslimin melansir jumlah korban meninggal mencapai 2.600 orang dan lebih dari sepuluh ribu orang terluka dari kedua belah pihak. Belum lagi dengan rusaknya berbagai fasilitas umum dan teror yang dirasakan masyarakat1

Pemain dalam Konflik Mesir
Konflik yang dianggap menodai praktik demokrasi di Mesir itu diawali oleh ketidakpuasan sejumlah pihak terhadap jalannya pemerintahan Presiden Morsi. Seperti yang dilansir oleh tempo.co pada 1 Agustus 2013 di artikelnya yang berjudul “Berkaca dari Krisis di Mesir”, sejumlah pihak menganggap Morsi tidak membawa perubahan pada kondisi ekonomi Mesir. Selain itu Morsi dianggap terlalu eksklusif dan konfrontatif dalam menjalankan pemerintahan2.
 


Keterlibatan AS dalam konflik Mesir tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ikatan ekonomi yang dimiliki AS dan Mesir tidak bisa diabaikan. Pemerintah AS mengucurkan dana sejumlah 1,3 milliar dolar sebagai bantuan kepada Mesir setiap tahunnya. Dana ini adalah biaya agenda AS yang didukung Mesir seperti pengelolaan Terusan Suez yang menjadi jalur perdagangan dan mengusahakan gencatan senjata antara Hamas di Palestina dengan tentara Israel. Kepentingan AS dalam perdagangan minyak dan persekutuannya dengan Israel bisa terjamin jika kawasan Timur Tengah berada dalam pengaruhnya.

Mark Kirk-IL, senator AS, pernah berkata dalam pidatonya di malam putaran kedua parleman Mesir, 13 Desember 2011. Ia mengatakan bahwa AS akan selalu berusaha untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah karena memiliki agenda-agenda strategis di dalamnya. Salah satunya adalah menahan Mesir agar tidak terlalu dekat dengan Iran karena Iran berada di pihak yang berseberangan dengan AS. AS juga memerlukan Mesir untuk menahan serangan pejuang Palestina Hamas ke Israel sebagai sekutu AS3.

”Amerika Serikat – dan Departemen Luar Negeri kita khususnya – harus melakukan apa yang bisa untuk menjaga Mesir agar senantiasa dalam perdamaian dan berhubungan baik dengan Barat. Kita berada di ambang kekalahan bersejarah dan kehilangan kepentingan Amerika di kawasan ini.”

Itu adalah sepenggal kutipan yang dikatakan Kirk-IL dalam pidatonya mengenai alasan campur tangan AS ke dalam permasalahan di kawasan Timur Tengah, khususnya Mesir. Pidato itu dimuat di Majalah Al-Umm edisi Juli 2013 sebagai penguat argumen bahwa AS berada di balik konflik-konflik yang terjadi di kawasan.


 
3 http://www.alquds.co.id/?p=61757 diakses pada tanggal 15 Maret 2014 pukul 21.05

Kudeta yang dilakukan militer terhadap Morsi pun, menurut pendukung IM, merupakan salah satu akibat dari berpalingnya AS dari sikapnya yang mendukung Morsi. Morsi dianggap tidak bisa memfasilitasi atau mendukung agenda-agenda AS di kawasan sehingga AS memutuskan untuk menarik dukungannya4. Dukungan ini mendorong militer berani untuk mengambil tindakan ekstrim menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketika Obama menyerukan kecamannya terhadap kudeta yang dilakukan militer, kudeta sudah terlanjur terjadi dan seruannya tidak berefek apa-apa selain perwajahan AS yang menyayangkan gagalnya demokrasi di Mesir.

Selain AS, sejumlah negara-negara Arab di kawasan teluk, termasuk yang tergabung dalam Uni Emirat Arab (UAE) pun menyatakan dukungan mereka kepada angkatan bersenjata. Mereka seperti yang dilansir oleh beritasatu.com, bahkan memberikan pujian atas keberhasilan militer melakukan kudeta5. Penyebabnya tidak lain karena efek Arab Spring yang dimulai dengan jatuhnya rezim Husni Mubarak. Negara-negara Arab lainnya merasa tidak nyaman dengan kemunculan Morsi dan IM sebagai tokoh pasca jatuhnya rezim Mubarak. Ada kekhawatiran jika Morsi berhasil menjalankan pemerintahan, pemerintahan mereka di negara masing-masing akan terpengaruh.

Dari sini terlihat bahwa militer, bagaimanapun, masih memegang peran vital dalam pelaksanaan pemerintahan di Mesir. Militer tentu tidak bergerak sendiri. Sebelum melakukan kudeta, pihak militer harus terlebih dahulu memiliki dukungan. Jika tidak, maka seandainya kudeta tersebut tidak didukung, akibatnya kudeta tersebut akan gagal. Dalam peristiwa kudeta di Mesir para pemain memainkan peran masing-masing. Analisis lebih jauh, konflik ini sudah bukan konflik dengan dua pemain dan hasilnya satu kalah satu menang. Jumlah korban yang jatuh, rasa aman yang menjauh dari masyarakat Mesir, dan sejumlah kerugian besar lain di kedua belah pihak membuat kita ragu tentang siapa yang sebenarnya memanangkan konflik ini.

 

 Zero Sum atau Negative Sum Game?
Mari bayangkan ada dua pemain yang sedang bertaruh dalam sebuah permainan. Pemain A dan B mempertaruhkan barang yang sama di meja permainan. Nantinya yang menang akan mendapatkan barang taruhan milik pemain yang kalah. Di akhir permainan, ternyata pemain B menang sehingga pemain A terpaksa menyerahkan barang taruhannya.Pemain B mendapat keuntungan dua kali lipat dari taruhan awal sedangkan pemain A tidak mendapatkan apa-apa, justru kehilangan. Keuntungan pemain B didapatkan dari kerugian pemain A. Tapi sama sekali tidak ada tambahan atau kekurangan dalam taruhan. Jumlah yang dipertaruhkan sama di awal permainan dan di akhir permainan, hanya beralih kepemilikan. Itulah yang disebut zero sum game, yaitu permainan yang jika keuntungan dan kerugian dijumlahkan hasilnya akan sama dengan nol6.

Demikian kiranya analogi yang tepat untuk menggambarkan kondisi Mesir pasca pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Mursi oleh pihak militer yang dipimpin Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi pada 3 Juli 2013. Pihak Mursi adalah pemain A yang telah dikalahkan oleh pemain B yang diperankan militer. Taruhannya tidak lain adalah kekuasaan pemerintahan Mesir berikut rakyatnya. Kekuasaan yang dimenangkan militer adalah sebuah barang taruhan yang direbut dari penguasa yang kalah.

Teori permainan (game theory) pertama kali dikemukakan oleh von Neumann dan Morgenstern pada tahun 1944. Mereka menjabarkan berbagai jenis strategi dalam bidang ekonomi dengan sudut pandang permainan. Penelitian keduanya kemudian banyak dikembangkan oleh peneliti dengan mengambil aspek yang berbeda dan memperluas sudut pandang yang digunakan. Saat ini games theory tidak haanya berlaku di dalam ekonomi saja, melainkan di berbagai bidang lain. Game theory juga digunakan untuk mengkaji permasalahan hubungan internasional yang meliputi pertahanan, aliansi, dan konflik kepentingan antar negara. Correa (2001) dalam jurnalnya yang berjudul Game Theory as an Instrument for the Analysis of International Relations menyebutkan penggunaan teori ini tidak terbatas dan bisa terus dikembangkan untuk menganalisis berbagai hubungan antar negara atau aktor dalam suatu konflik7.

Contoh paling mudah untuk menggambarkan zero sum adalah perjudian. Seperti yang telah digambarkan di awal, dua atau lebih pemain yang saling berlawanan mempertaruhkan taruhan masing-masing. Di akhir permainan tidak semua pemain akan mendapatkan keuntungan. Ada yang menang berkali lipat, ada yang hanya balik modal, dan ada yang rugi: jumlah yang dimenangkan tak sebanding taruhan awal atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.

Jika dilihat dengan sederhana, kubu militer bisa dibilang telah memenangkan babak awal permainan dengan merebut kekuasaan pemerintahan dari penguasa yang sah, yaitu Presiden Mursi. Terlepas dari adanya kemungkinan serangan balik, taruhan telah dimenangkan militer dan Mursi mengalami kerugian. Lantas apakah permainan sudah berakhir? Analogi zero sum game dapat dibenarkan seandainya saja memang hanya dua pihak itu yang bertaruh dan melakukan permainan. Keduanya sama-sama memiliki sesuatu untuk diperebutkan. Hasilnya pun yang satu kalah dan yang lain menang.

Gardner (1995, dalam Correa, 2001) menambah satu pemain lagi dalam teori permainan ini, yaitu bandar. Dalam pendekatan penelitiannya yang menggunakan perjudian sebagai analogi hubungan internasional, Gardner melihat adanya campur tangan pihak ketiga di luar permainan yang ikut mengendalikan arah permainan di meja judi. Bandar ini tidak ikut bermain, melainkan hanya sebagai fasilitator permainan. Bandar adalah satu-satunya yang akan selalu mendapat untung tak peduli siapapun yang memenangkan permainan. Sebabnya adalah karena ia akan mengambil sebagian hasil yang dimenangkan sebagai “bayar jasa” dari pemain yang menang.

Jika menggunakan analogi bandar tadi, maka jumlah yang dimenangkan tidak akan sama dengan jumlah yang dipertaruhkan di awal. Beberapa bagian dari taruhan akan diambil oleh bandar. Beberapa bagian itu tidak akan menjadi milik pemenang dan yang kalah akan tetap kehilangan. Dalam hal ini berlaku teori negative sum game, yaitu hasil yang dimenangkan lebih sedikit daripada taruhan di awal.

 
6 Hector Correa, “Game Theory as an Instrument for the Analysis of International Relations”. Oktober, 2001.

Kesimpulan
Dari sudut pandang yang telah saya paparkan di atas, terlihat bahwa sebenarnya pemain sesungguhnya dari konflik Mesir adalah penguasa yang sah dan militer yang menggulingkannya. AS berperan sebagai bandar atau fasilitator yang mengatur permainan dan mengambil keuntungan dari siapapun yang menang. Konflik di Mesir tidak bisa hanya dilihat dari dua sudut pandang pemain saja, yaitu Mursi dan militer. Peran AS sebagai bandar tidak bisa dilepaskan. Dukungan AS ke pihak manapun akan mempengaruhi peta dukungan negara-negara lain, baik di kawasan Timur Tengah maupun di luar.

Di sisi lain, konflik Mesir merupakan konflik lanjutan dari penggulingan Presiden Husni Mubarak dan telah berkembang menjadi masalah yang kompleks karena melibatkan banyak pihak. Masing-masing pihak memiliki kepentingan masing-masing. Bisa jadi ada lebih dari dua pemain yang tengah bertaruh. Ini juga tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain yang ikut menjadi bandar dalam permainan. Bandar-bandar ini memberi umpan, berkomentar, berusaha tampak terlibat, dan di akhirnya nanti mereka akan mengambil keuntungan dari kerugian para pemain. Skenario yang lebih ekstrim lagi, bandar-bandar ini justru yang menyediakan panggung atau meja taruhan bagi para pemain.

Daftar Pustaka
Hector Correa, “Game Theory as an Instrument for the Analysis of International Relations”. Oktober, 2001.
Jan-Erik Lane, “A Constitutional Approach to Contemporary Political Violence”. University of Freiburg, Freiburg im Breisgau, Germany. 2014
John Hendri, “Riset Operasional”. Universitas Gunadarma, Indonesia. 2009
http://www.alquds.co.id/?p=61757 diakses pada tanggal 15 Maret 2014 pukul 21.05 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...