(ditulis dalam rangka Lomba Esai Nasional Festival Timur Tengah UI 2014. Meraih Juara Harapan 1)
3
Juli 2013 militer Mesir melakukan kudeta terhadap pemerintahan Mesir yang sah,
yang dipimpin oleh Mohamed Morsi. Kudeta tersebut dipimpin oleh Jenderal Abdul
Fattah Al-Sisi yang tidak lain adalah Panglima Angkatan Bersenjata Mesir
sekaligus Menteri Pertahanan di kabinet Morsi.
Perseteruan
antara pendukung Morsi dan pendukung militer terjadi dan merambat sampai terjadinya
bentrokan kedua pihak. Tercatat 638 orang meninggal akibat bentrokan yang
terjadi hingga Agustus 2013 dan korban terluka yang mencapai angka empat ribu
orang sepanjang 2013. Data yang dirilis media resmi Ikhwanul Muslimin melansir
jumlah korban meninggal mencapai 2.600 orang dan lebih dari sepuluh ribu orang
terluka dari kedua belah pihak. Belum lagi dengan rusaknya berbagai fasilitas
umum dan teror yang dirasakan masyarakat1.
Pemain dalam Konflik Mesir
Konflik
yang dianggap menodai praktik demokrasi di Mesir itu diawali oleh ketidakpuasan
sejumlah pihak terhadap jalannya pemerintahan Presiden Morsi. Seperti yang
dilansir oleh tempo.co pada 1 Agustus 2013 di artikelnya yang berjudul “Berkaca
dari Krisis di Mesir”, sejumlah pihak menganggap Morsi tidak membawa perubahan
pada kondisi ekonomi Mesir. Selain itu Morsi dianggap terlalu eksklusif dan
konfrontatif dalam menjalankan pemerintahan2.

1http://www.tribunnews.com/internasional/2013/08/18/jumlah-korban-konflik-mesir-versi-pendukung-Morsi-dan-versi-pro-militer
diakses pada tanggal 15 Maret 2014 pukul 21.15
Keterlibatan
AS dalam konflik Mesir tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ikatan ekonomi yang
dimiliki AS dan Mesir tidak bisa diabaikan. Pemerintah AS mengucurkan dana
sejumlah 1,3 milliar dolar sebagai bantuan kepada Mesir setiap tahunnya. Dana
ini adalah biaya agenda AS yang didukung Mesir seperti pengelolaan Terusan Suez
yang menjadi jalur perdagangan dan mengusahakan gencatan senjata antara Hamas
di Palestina dengan tentara Israel. Kepentingan AS dalam perdagangan minyak dan
persekutuannya dengan Israel bisa terjamin jika kawasan Timur Tengah berada
dalam pengaruhnya.
Mark
Kirk-IL, senator AS, pernah berkata dalam pidatonya di malam putaran kedua
parleman Mesir, 13 Desember 2011. Ia mengatakan bahwa AS akan selalu berusaha
untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah karena memiliki
agenda-agenda strategis
di dalamnya. Salah satunya adalah menahan Mesir agar tidak terlalu dekat dengan
Iran karena Iran berada di pihak yang berseberangan dengan AS. AS juga
memerlukan Mesir untuk menahan serangan pejuang Palestina Hamas ke Israel
sebagai sekutu AS3.
”Amerika Serikat – dan Departemen
Luar Negeri kita khususnya – harus melakukan apa yang bisa untuk menjaga Mesir
agar senantiasa dalam perdamaian dan berhubungan baik dengan Barat. Kita berada
di ambang kekalahan bersejarah dan kehilangan kepentingan Amerika di kawasan
ini.”
Itu
adalah sepenggal kutipan yang dikatakan Kirk-IL dalam pidatonya mengenai alasan
campur tangan AS ke dalam permasalahan di kawasan Timur Tengah, khususnya
Mesir. Pidato itu dimuat di Majalah Al-Umm edisi Juli 2013 sebagai penguat
argumen bahwa AS berada di balik konflik-konflik yang terjadi di kawasan.
![]() |
Kudeta
yang dilakukan militer terhadap Morsi pun, menurut pendukung IM, merupakan
salah satu akibat dari berpalingnya AS dari sikapnya yang mendukung Morsi. Morsi
dianggap tidak bisa memfasilitasi atau mendukung agenda-agenda AS di kawasan
sehingga AS memutuskan untuk menarik dukungannya4. Dukungan ini
mendorong militer berani untuk mengambil tindakan ekstrim menggulingkan
pemerintahan yang sah. Ketika Obama menyerukan kecamannya terhadap kudeta yang
dilakukan militer, kudeta sudah terlanjur terjadi dan seruannya tidak berefek
apa-apa selain perwajahan AS yang menyayangkan gagalnya demokrasi di Mesir.
Selain
AS, sejumlah negara-negara Arab di kawasan teluk, termasuk yang tergabung dalam
Uni Emirat Arab (UAE) pun menyatakan dukungan mereka kepada angkatan
bersenjata. Mereka seperti yang dilansir oleh beritasatu.com, bahkan memberikan
pujian atas keberhasilan militer melakukan kudeta5. Penyebabnya
tidak lain karena efek Arab Spring yang dimulai dengan jatuhnya rezim Husni
Mubarak. Negara-negara Arab lainnya merasa tidak nyaman dengan kemunculan Morsi
dan IM sebagai tokoh pasca jatuhnya rezim Mubarak. Ada kekhawatiran jika Morsi
berhasil menjalankan pemerintahan, pemerintahan mereka di negara masing-masing
akan terpengaruh.
Dari sini terlihat
bahwa militer, bagaimanapun, masih memegang peran vital dalam pelaksanaan
pemerintahan di Mesir. Militer tentu tidak bergerak sendiri. Sebelum melakukan
kudeta, pihak militer harus terlebih dahulu memiliki dukungan. Jika tidak, maka
seandainya kudeta tersebut tidak didukung, akibatnya kudeta tersebut akan
gagal. Dalam peristiwa kudeta di Mesir para pemain memainkan peran masing-masing.
Analisis lebih jauh, konflik ini sudah bukan konflik dengan dua pemain dan
hasilnya satu kalah satu menang. Jumlah korban yang jatuh, rasa aman yang
menjauh dari masyarakat Mesir, dan sejumlah kerugian besar lain di kedua belah
pihak membuat kita ragu tentang siapa yang sebenarnya memanangkan konflik ini.
Zero Sum atau Negative Sum Game?
Mari
bayangkan ada dua pemain yang sedang bertaruh dalam sebuah permainan. Pemain A
dan B mempertaruhkan barang yang sama di meja permainan. Nantinya yang menang
akan mendapatkan barang taruhan milik pemain yang kalah. Di akhir permainan,
ternyata pemain B menang sehingga pemain A terpaksa menyerahkan barang
taruhannya.Pemain B mendapat keuntungan dua kali lipat dari taruhan awal
sedangkan pemain A tidak mendapatkan apa-apa, justru kehilangan. Keuntungan
pemain B didapatkan dari kerugian pemain A. Tapi sama sekali tidak ada tambahan
atau kekurangan dalam taruhan. Jumlah yang dipertaruhkan sama di awal permainan
dan di akhir permainan, hanya beralih kepemilikan. Itulah yang disebut zero sum game, yaitu permainan yang jika
keuntungan dan kerugian dijumlahkan hasilnya akan sama dengan nol6.
Demikian
kiranya analogi yang tepat untuk menggambarkan kondisi Mesir pasca
pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Mursi oleh pihak militer yang
dipimpin Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi pada 3 Juli 2013. Pihak Mursi adalah
pemain A yang telah dikalahkan oleh pemain B yang diperankan militer.
Taruhannya tidak lain adalah kekuasaan pemerintahan Mesir berikut rakyatnya. Kekuasaan
yang dimenangkan militer adalah sebuah barang taruhan yang direbut dari
penguasa yang kalah.
Teori permainan (game theory) pertama kali dikemukakan oleh von Neumann dan
Morgenstern pada tahun 1944. Mereka menjabarkan berbagai jenis strategi dalam
bidang ekonomi dengan sudut pandang permainan. Penelitian keduanya kemudian
banyak dikembangkan oleh peneliti dengan mengambil aspek yang berbeda dan
memperluas sudut pandang yang digunakan. Saat ini games theory tidak haanya
berlaku di dalam ekonomi saja, melainkan di berbagai bidang lain. Game theory juga digunakan untuk
mengkaji permasalahan hubungan internasional yang meliputi pertahanan, aliansi,
dan konflik kepentingan antar negara. Correa (2001) dalam jurnalnya yang
berjudul Game Theory as an Instrument
for the Analysis of International Relations menyebutkan penggunaan
teori ini tidak terbatas dan bisa terus dikembangkan untuk menganalisis
berbagai hubungan antar negara atau aktor dalam suatu konflik7.
Contoh
paling mudah untuk menggambarkan zero sum
adalah perjudian. Seperti yang telah digambarkan di awal, dua atau lebih pemain
yang saling berlawanan mempertaruhkan taruhan masing-masing. Di akhir permainan
tidak semua pemain akan mendapatkan keuntungan. Ada yang menang berkali lipat,
ada yang hanya balik modal, dan ada yang rugi: jumlah yang dimenangkan tak
sebanding taruhan awal atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.
Jika
dilihat dengan sederhana, kubu militer bisa dibilang telah memenangkan babak
awal permainan dengan merebut kekuasaan pemerintahan dari penguasa yang sah,
yaitu Presiden Mursi. Terlepas dari adanya kemungkinan serangan balik, taruhan
telah dimenangkan militer dan Mursi mengalami kerugian. Lantas apakah permainan
sudah berakhir? Analogi zero sum game
dapat dibenarkan seandainya saja memang hanya dua pihak itu yang bertaruh dan
melakukan permainan. Keduanya sama-sama memiliki sesuatu untuk diperebutkan.
Hasilnya pun yang satu kalah dan yang lain menang.
Gardner
(1995, dalam Correa, 2001) menambah satu pemain lagi dalam teori permainan ini,
yaitu bandar. Dalam pendekatan penelitiannya yang menggunakan perjudian sebagai
analogi hubungan internasional, Gardner melihat adanya campur tangan pihak
ketiga di luar permainan yang ikut mengendalikan arah permainan di meja judi.
Bandar ini tidak ikut bermain, melainkan hanya sebagai fasilitator permainan.
Bandar adalah satu-satunya yang akan selalu mendapat untung tak peduli siapapun
yang memenangkan permainan. Sebabnya adalah karena ia akan mengambil sebagian
hasil yang dimenangkan sebagai “bayar jasa” dari pemain yang menang.
Jika menggunakan
analogi bandar tadi, maka jumlah yang dimenangkan tidak akan sama dengan jumlah
yang dipertaruhkan di awal. Beberapa bagian dari taruhan akan diambil oleh
bandar. Beberapa bagian itu tidak akan menjadi milik pemenang dan yang kalah
akan tetap kehilangan. Dalam hal ini berlaku teori negative sum game, yaitu hasil yang dimenangkan lebih sedikit
daripada taruhan di awal.
6 Hector Correa, “Game Theory as an Instrument
for the Analysis of International Relations”. Oktober, 2001.
Kesimpulan
Dari
sudut pandang yang telah saya paparkan di atas, terlihat bahwa sebenarnya
pemain sesungguhnya dari konflik Mesir adalah penguasa yang sah dan militer
yang menggulingkannya. AS berperan sebagai bandar atau fasilitator yang
mengatur permainan dan mengambil keuntungan dari siapapun yang menang. Konflik
di Mesir tidak bisa hanya dilihat dari dua sudut pandang pemain saja, yaitu
Mursi dan militer. Peran AS sebagai bandar tidak bisa dilepaskan. Dukungan AS
ke pihak manapun akan mempengaruhi peta dukungan negara-negara lain, baik di
kawasan Timur Tengah maupun di luar.
Di
sisi lain, konflik Mesir merupakan konflik lanjutan dari penggulingan Presiden
Husni Mubarak dan telah berkembang menjadi masalah yang kompleks karena
melibatkan banyak pihak. Masing-masing pihak memiliki kepentingan
masing-masing. Bisa jadi ada lebih dari dua pemain yang tengah bertaruh. Ini
juga tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain yang ikut menjadi bandar
dalam permainan. Bandar-bandar ini memberi umpan, berkomentar, berusaha tampak terlibat,
dan di akhirnya nanti mereka akan mengambil keuntungan dari kerugian para
pemain. Skenario yang lebih ekstrim lagi, bandar-bandar ini justru yang
menyediakan panggung atau meja taruhan bagi para pemain.
Daftar Pustaka
Hector
Correa, “Game Theory as an Instrument for the Analysis of International
Relations”. Oktober, 2001.
Jan-Erik Lane, “A
Constitutional Approach to Contemporary Political Violence”. University of Freiburg,
Freiburg im Breisgau, Germany. 2014
John Hendri, “Riset Operasional”. Universitas
Gunadarma, Indonesia. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar