Kamis, 29 Desember 2016

Menyuap Murid-Murid

Pantai Suwuk ramai. Meski ombak besar-besar dan suaranya keras menghantam pasir pantai, orang-orang bersikukuh menyorongkan diri ke tepiannya. Kelima adik-adik binaanku berdiri berjajar menghadap laut, seperti mematung. Mereka sudah selesai bercebur di pantai sebelumnya yang kami datangi, Pantai Bopong. Sekarang tinggal sesi jajan dan mengabiskan waktu sebelum Ashar datang.
Aku melihat mereka mereka dari warung agak jauh dari tepi pantai. Pantai ini sudah banyak berubah. Deretan warung mengisi sepanjang tepian jalan setapak semen yang dulunya kosong. Ada bangunan kantor penjaga pantai di seberang jalan ke arah pantai. Sudah sepenuhnya komersial rupanya.

Tadi salah satu adik mengajak kami semua makan siang. Beli lotek, katanya. Sesampai di warung yang sekarang kududuki, salah satu adik lain terlihat gelisah dan berkata ke temannya dengan berbisik, 

“Aku tidak punya uang...”

Aku sering sekali lupa bahwa bagian dunia yang kutinggali sekarang sebagian besar berisi orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi. Adik-adik ini adalah anggota dari daftar KK yang masuk dalam program bantuan ekonomi pemerintah. Keluarga mereka adalah langganan penerima Askes, KIM, Bedah Rumah PNPM, Raskin, dan program-program sejenis. Mereka juga target penerima zakat fitrah tiap tahunnya. Aku sering lupa, bahwa mereka bukan anak-anak yang mengantungi minimal lima puluh ribuan di kantung kapan pun keluar rumah. Adik-adik ini adalah anak-anak yang memiliki banyak pertimbangan untuk memilih jajan apa yang akan mereka beli menggunakan uang dua ribuan. Mereka adalah sebentuk ilustrasi masa SD-SMPku.

Bu, lotek enem nggih, kalian es teh,” kataku akhirnya pada pemilik warung. “Santai saja, yang penting nanti dihabiskan,” tambahku melihat anak tersebut hendak protes keberatan.

Kami makan dalam diam. Barangkali sebagian merasa tidak enak hati karena membuatku repot. Lainnya mungkin terlampau kelaparan atau tidak ada topik yang ingin dibicarakan. Setelah makan mereka berlima berlari menuju laut. Tas-tas mereka titipkan padaku yang memilih untuk duduk di warung dan lanjut membaca The Seven Good Years. Playlist lagu dari bangunan penjaga pantai terdengar keras terbawa angin sampai tempatku. Sampai aku selesai membaca tiga atau empat bab, lagunya berputar dari versi Melayunya lagu India You Are My Sonia ke Perdamaian-nya Gigi, lalu beberapa lagu Wali dan berujung pada campur sari Suket Teki. Playlist kembali ke You Are My Sonia ketika aku mendongakkan kepala memantau adik-adik.

Seekor kuda lewat di belakang mereka. Pawangnya menuntun kuda itu berjalan lambat agar penumpang yang duduk di pelananya bisa menikmati waktunya berkuda di tepi pantai. Anak-anak itu masih betah memandangi laut. Anak-anak itu adalah anak-anak yang tidak pergi liburan kecuali orang tua mereka mengajak atau ada acara liburan sekolah. Mereka belum cukup umur untuk punya SIM (itu pun kalau di rumah mereka ada sepeda motor) dan tidak punya banyak uang jajan. Tapi mereka sudah tahu malu untuk ikut dalam acara liburan RT bersama ibu-ibu PKK atau kelompok dasawisma.

Ide pertama yang mereka lontarkan ketika aku mengajak liburan adalah main ke curug Bonosari naik sepeda. Jika aku seusia mereka atau mereka mengajaknya sekitar sepuluh tahun yang lalu, aku pasti akan setuju. Usia SD-SMP belum punya definisi soal jarak dan usaha dan capek. Seusia mereka, aku ke pantai, ke curug, ke rumah teman, atau kemanapun mengayuh sepeda. Sekarang? Yaampun! Lebih baik diam di kamar dan mengunci pintu lalu pura-pura tidur padahal membaca komik. Usia itu adalah ketika kita semua masih bisa berbahagia tanpa menjadikan fasilitas dan uang sebagai syaratnya.

Pantai jadi putusan dadakan satu jam sebelum berangkat. Dari dua belas binaan, tiga membatalkan ikut dan lainnya memang dari awal tidak mau ikut. Hanya enam orang yang berangkat. Akhirnya kami menyewa angkutan pedesaan (angkot kecil) jurusan Gombong-Puring dengan banyak nego (aku mulai ahli dalam hal ini) dengan Pak Sopir dan subsidi dari dompetku.

Pengeluaranku hari ini luar biasa banyak dan di luar rencana. Tapi kurasa sebanding dengan pelajaran dan perasaan yang kudapatkan. Kami mulai dekat. Rasanya menyenangkan menjadi orang tukang traktir. Seperti merasa diri jadi orang dewasa baik hati dan dermawan? Semoga saja bukan sok pahlawan karena ada rasa kasihan terselip di antara senangnya memberi. Padahal, bukankah sebaik-baik Pemberi adalah Dia?

Aku bukan Tuhan, jadi kurasa adil jika aku menginginkan balasan dari apa yang kulakukan hari ini. Aku ingin anak-anak itu merasa berterima kasih atau merasa tidak enak denganku. Uang yang kukeluarkan hari ini bukan untuk membiayai transportasi, makan siang, atau jajan mereka, tetapi membeli rasa utang budi dari anak-anak itu. Biar mereka merasa bersalah jika tidak datang mengaji. Biar mereka merasa bersalah jika asyik ngobrol padahal aku sedang memberi materi. Biar mereka merasa bahwa aku adalah kakak baik hati yang menyenangkan.

Anak-anak itu masih betah memandangi laut. Apa yang mereka obrolkan ketika tidak ada orang dewasa di sekitar? Apa yang mereka pikirkan? Apa pilihan kegiatan lain yang bisa mereka sukai lebih dari berdiri bergerombol di pinggir jalan raya menunggu bus Efisiensi lewat dan berteriak, “Om telolet Om!”?

Mengajak mereka pergi liburan adalah bukti kecilnya hatiku, rendahnya percaya diriku. Aku tidak bisa membuat mereka akrab dengan majelisku, maka aku menyuap mereka dengan jalan-jalan. Tentu aku tahu bahwa efeknya tidak akan bertahan lama dan jika kemampuanku dalam menyampaikan ayat tidak segera membaik, mereka akan mundur satu per satu tanpa mengucap salam.


Gombong, 24 Desember 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...