Pantai Suwuk ramai. Meski ombak besar-besar dan suaranya
keras menghantam pasir pantai, orang-orang bersikukuh menyorongkan diri ke
tepiannya. Kelima adik-adik binaanku berdiri berjajar menghadap laut, seperti
mematung. Mereka sudah selesai bercebur di pantai sebelumnya yang kami datangi,
Pantai Bopong. Sekarang tinggal sesi jajan dan mengabiskan waktu sebelum Ashar
datang.
Aku melihat mereka mereka dari warung agak jauh dari tepi
pantai. Pantai ini sudah banyak berubah. Deretan warung mengisi sepanjang
tepian jalan setapak semen yang dulunya kosong. Ada bangunan kantor penjaga
pantai di seberang jalan ke arah pantai. Sudah sepenuhnya komersial rupanya.
Tadi salah satu adik mengajak kami semua makan siang. Beli
lotek, katanya. Sesampai di warung yang sekarang kududuki, salah satu adik lain
terlihat gelisah dan berkata ke temannya dengan berbisik,
“Aku tidak punya
uang...”
Aku sering sekali lupa bahwa bagian dunia yang kutinggali
sekarang sebagian besar berisi orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi.
Adik-adik ini adalah anggota dari daftar KK yang masuk dalam program bantuan
ekonomi pemerintah. Keluarga mereka adalah langganan penerima Askes, KIM, Bedah
Rumah PNPM, Raskin, dan program-program sejenis. Mereka juga target penerima
zakat fitrah tiap tahunnya. Aku sering lupa, bahwa mereka bukan anak-anak yang
mengantungi minimal lima puluh ribuan di kantung kapan pun keluar rumah.
Adik-adik ini adalah anak-anak yang memiliki banyak pertimbangan untuk memilih
jajan apa yang akan mereka beli menggunakan uang dua ribuan. Mereka adalah
sebentuk ilustrasi masa SD-SMPku.
“Bu, lotek enem nggih,
kalian es teh,” kataku akhirnya pada pemilik warung. “Santai saja, yang
penting nanti dihabiskan,” tambahku melihat anak tersebut hendak protes
keberatan.
Kami makan dalam diam. Barangkali sebagian merasa tidak enak
hati karena membuatku repot. Lainnya mungkin terlampau kelaparan atau tidak ada
topik yang ingin dibicarakan. Setelah makan mereka berlima berlari menuju laut.
Tas-tas mereka titipkan padaku yang memilih untuk duduk di warung dan lanjut
membaca The Seven Good Years. Playlist
lagu dari bangunan penjaga pantai terdengar keras terbawa angin sampai
tempatku. Sampai aku selesai membaca tiga atau empat bab, lagunya berputar dari
versi Melayunya lagu India You Are My Sonia ke Perdamaian-nya Gigi, lalu
beberapa lagu Wali dan berujung pada campur sari Suket Teki. Playlist kembali ke You Are My Sonia
ketika aku mendongakkan kepala memantau adik-adik.
Seekor kuda lewat di belakang mereka. Pawangnya menuntun
kuda itu berjalan lambat agar penumpang yang duduk di pelananya bisa menikmati
waktunya berkuda di tepi pantai. Anak-anak itu masih betah memandangi laut.
Anak-anak itu adalah anak-anak yang tidak pergi liburan kecuali orang tua
mereka mengajak atau ada acara liburan sekolah. Mereka belum cukup umur untuk
punya SIM (itu pun kalau di rumah mereka ada sepeda motor) dan tidak punya
banyak uang jajan. Tapi mereka sudah tahu malu untuk ikut dalam acara liburan
RT bersama ibu-ibu PKK atau kelompok dasawisma.
Ide pertama yang mereka lontarkan ketika aku mengajak
liburan adalah main ke curug Bonosari naik sepeda. Jika aku seusia mereka atau
mereka mengajaknya sekitar sepuluh tahun yang lalu, aku pasti akan setuju. Usia
SD-SMP belum punya definisi soal jarak dan usaha dan capek. Seusia mereka, aku
ke pantai, ke curug, ke rumah teman, atau kemanapun mengayuh sepeda. Sekarang?
Yaampun! Lebih baik diam di kamar dan mengunci pintu lalu pura-pura tidur
padahal membaca komik. Usia itu adalah ketika kita semua masih bisa berbahagia
tanpa menjadikan fasilitas dan uang sebagai syaratnya.
Pantai jadi putusan dadakan satu jam sebelum berangkat. Dari
dua belas binaan, tiga membatalkan ikut dan lainnya memang dari awal tidak mau
ikut. Hanya enam orang yang berangkat. Akhirnya kami menyewa angkutan pedesaan
(angkot kecil) jurusan Gombong-Puring dengan banyak nego (aku mulai ahli dalam
hal ini) dengan Pak Sopir dan subsidi dari dompetku.
Pengeluaranku hari ini luar biasa banyak dan di luar
rencana. Tapi kurasa sebanding dengan pelajaran dan perasaan yang kudapatkan.
Kami mulai dekat. Rasanya menyenangkan menjadi orang tukang traktir. Seperti
merasa diri jadi orang dewasa baik hati dan dermawan? Semoga saja bukan sok
pahlawan karena ada rasa kasihan terselip di antara senangnya memberi. Padahal,
bukankah sebaik-baik Pemberi adalah Dia?
Aku bukan Tuhan, jadi kurasa adil jika aku menginginkan
balasan dari apa yang kulakukan hari ini. Aku ingin anak-anak itu merasa
berterima kasih atau merasa tidak enak denganku. Uang yang kukeluarkan hari ini
bukan untuk membiayai transportasi, makan siang, atau jajan mereka, tetapi
membeli rasa utang budi dari anak-anak itu. Biar mereka merasa bersalah jika
tidak datang mengaji. Biar mereka merasa bersalah jika asyik ngobrol padahal
aku sedang memberi materi. Biar mereka merasa bahwa aku adalah kakak baik hati
yang menyenangkan.
Anak-anak itu masih betah memandangi laut. Apa yang mereka
obrolkan ketika tidak ada orang dewasa di sekitar? Apa yang mereka pikirkan?
Apa pilihan kegiatan lain yang bisa mereka sukai lebih dari berdiri bergerombol
di pinggir jalan raya menunggu bus Efisiensi lewat dan berteriak, “Om telolet
Om!”?
Mengajak mereka pergi liburan adalah bukti kecilnya hatiku,
rendahnya percaya diriku. Aku tidak bisa membuat mereka akrab dengan majelisku,
maka aku menyuap mereka dengan jalan-jalan. Tentu aku tahu bahwa efeknya tidak
akan bertahan lama dan jika kemampuanku dalam menyampaikan ayat tidak segera
membaik, mereka akan mundur satu per satu tanpa mengucap salam.
Gombong, 24 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar