Senin, 13 Februari 2017

Waktu Buku Indie dan Musik Jadi Satu

Hari ini ada acara unik: konser musik digabung dengan pameran buku indie di Mocosik Book and Music Festival di Jogja Expo Center (JEC). Penyanyinya nggak tanggung-tanggung. Panitia mengundang penyanyi tersohor ibukota: Glen Fredly, Tompi, Raisa, Shaggy Dog. Massa berkerumun, baik yang suka pameran buku dan artisnya atau penyuka salah satunya. Yang menarik, orang yang datang untuk nonton konsernya tetap harus beli buku karena tiket konsernya adalah sebuah buku. Dengan bayar Rp 50 ribu, kamu bisa nonton konser sekaligus dapat satu buku yang bisa kamu pilih sendiri.

Tiket buku ini menurutku ide yang keren banget. Semua buku yang jadi tiket adalah keluaran penerbit indie seperti EA Publishing, Indie Book Corner, iBoekoe, Mojok, dan beberapa lainnya yang kurang dikenal awam. Semua yang datang jadi kenal dan makin dekat dengan buku-buku indie. Memang tujuannya selain kampanye membaca, juga mengkampanyekan buku-buku indie yang jarang kita lihat di toko buku besar yang kebanyakan dipenuhi keluaran penerbit arus utama.

Jangan berpikir kalau buku-buku indie itu cuma buku yang bertema perjuangan, pergerakan, kekirian, dan biografi tokoh-tokoh. Banyak sastrawan cerdas yang bukunya lebih banyak diterbitkan oleh penerbit indie. Puthut EA, misalnya. Dia punya penerbitan sendiri untuk menerbitkan buku-bukunya, EA publishing dibuat untuk menampung buku-buku Puthut EA dan sejumlah penulis lain yang membawa nilai-nilai berbeda dari buku-buku arus utama. Demikian juga Mojok yang didominasi penulis-penulis kritis yang banyak jadi opinion leader di media sosial.

Buku indie ada sebagai alternatif yang menantang buku-buku sastra arus utama (menantang kemapanan), yang tengah dimonopoli dua grup besar, yaitu Kompas dan Tempo. Menurut diskusi dengan seorang teman, banyak yang berusaha menggulingkan kedua grup tersebut yang mbaurekso tren sastra saat ini. Aliran liberalisme, feminisme, dan kapitalisme jadi topik utama sastra urban, entah disadari atau tidak oleh pembacanya. Meskipun di permukaan kedua grup terkesan sosialis, dari segi bisnis dan modal/kapital, mereka dikuasai donatur kaum pendukung liberal-kapitalis. Makanya banyak buku-buku terbitan indie yang membawa tema sosialis, pergerakan kekirian, dan kritik sosial atas kemapanan: menyediakan second opinion.

Aku tak banyak tahu soal sastra di belakang layar. Perlu banyak membaca. Riset dan juga diskusi. Aku adalah pembaca yang simpel: judul buku atraktif, sinopsis menarik, tema sesuai selera, dan harga terjangkau, maka belilah. Ada waktu luang, maka dibacalah. Awalnya bagiku buku dan membaca hanya persoalan sesederhana itu. Tapi setelah diskusi semalam, yang kebanyakan aku jadi pewawancara yang banyak bertanya dan mendengar, aku mengingat kembali satu hal: sastra pun jadi alat pembawa misi. Pemikiran-pemikiran rumit yang jika dikemas jadi buku pelajaran akan membosankan, disuguhkan dalam karya sastra yang mengandung drama. Misi feminis, liberalisme agama, kapitalis, disuguhkan oleh tokoh-tokoh melalui susunan kata yang melankolis, punya alur, dan menjerat pembacanya lewat klimaks dramatis. Tema-tema itu dibawa penerbit arus utama yang bukunya bisa kita dapatkan dimana-mana dan mengisi rak best seller. Kita perlahan jadi terbiasa dengan tema tersebut, bahkan menjadi simpati dengan tokoh utama. Ketika di kenyataan dihadapkan pada situasi tertentu, kita akan berpihak pada pemilik alur pikir yang biasa kita baca.

Mungkin mirip dengan festival buku dan musik ini. Orang-orang yang awam dengan buku indie ditarik dengan kekuatan nama besar Tompi, Glen, Raisa, dan Najwa Shihab yang juga membuka sesi book signing untuk biografinya. Seperti label GM di buku-buku terbitan Gramedia, yang menjadi salah satu alasan kenapa sebuah buku dibeli. Konser dengan artis ternama jadi lampu sorot yang menarik massa berkerumun. Tapi sebelumnya, penonton harus punya buku dulu. Buku yang jarang mereka lirik waktu main ke toko buku. Entah dibaca atau tidak, minimal setelah konser ada satu buku indie yang nangkring di rumah mereka.

Aku beli buku tiketnya, yang kumpulan puisi "Misa Arwah" Dea Anugrah, tapi nggak nonton konsernya. Aku suka Tompi. Glen juga dulu suka. Tapi concert hall-nya terlalu ramai. Buat orang plegmatis dan (ehem) introvert macam aku, suara dan cahaya berlebihan sangat bikin pusing. Lebih suka streaming youtube sendiri pakai earphone. Akhirnya aku hanya jalan-jalan saja di lorong pameran yang dinding-dindingnya dipenuhi deretan foto tokoh sastra berikut kutipan mereka yang terkenal. Aku berfoto di depan salah satunya, WS. Rendra, dengan kutipannya yang sangat kusuka:

Kesadaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.



Yogyakarta, 13 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...