Jumat, 24 Maret 2017

Sahabatku yang Satu Itu

Janji persahabatan itu tak lama. Usai lulus SMA, sahabat yang kemana-mana bersama akan sibuk dengan urusan-urusannya. Frekuensi bicara berkurang bahkan hilang. Kedekatan hati sampai pada titik minimal. Definisi pun berubah dari forever friends jadi sekedar teman SMA.

Makanya, aku sangat senang waktu HPku bergetar karena ada WA darimu. Mentionku di Twitter sebelumnya ternyata membukakan jalan untuk silaturahim kita. Dari 'apa kabar' hingga cerita nostalgia dan di percakapan-percakapan berikutnya kita mengidentifikasi satu sama lain: kamu masih jomblo tapi sok playboy, keranjingan ngomongin politik dan ideologi, lagi pingin cepat kaya, dan butuh teman untuk jadi tempat sampah.

Okelah, aku toh punya banyak waktu. Bisa jadi akulah lulusan sarjana UI paling pengangguran seantero Kebumen raya (jangan alam semesta, plis!). Jadilah aku sebagai objek show-off mu. Seperti John Watson. Iya deh, kamu dapet Sherlock Holmes, iya.

Sampai pada cerita balas dendammu kepada mantan dengan membuktikan bahwa kamu lebih baik dari yang dia kira, aku masih menganggapmu lucu. Lalu kamu mengujiku dengan beberapa bahasan tentang sejarah dan agama. Well, kupikir kamu harus tahu kamu lagi ngomong sama siapa. 

Awalnya kupikir kamu hanya sedang mencari jati diri saja, mempelajari banyak ilmu dari orang-orang dan buku-buku. Setelah aku tahu siapa yang kamu temui dan buku macam apa yang kamu tekuni, aku tidak bisa lagi menganggap kamu lucu. Early-stage liberalist with very big potential.

Ketidaksetujuan di antara kita jadi kentara, meski sebisa mungkin tidak kita jadikan personal. Aku masih senang mendengarmu bicara tentang semangat sosialis untuk memihak kaum marjinal di negeri ini. Aku masih tertarik mendengar konflik-konflik politik yang kamu dengar dari berbagai akun Twitter dan diskusi-diskusi unik sama teman-temanmu yang juga menarik.

Apakah karena kamu adalah sosialis pembela kaum marjinal, sehingga agamamu sendiri yang dominan di negeri ini kamu sinisi habis-habisan? Kritis boleh. Sinis jangan. Kita harus senantiasa berpihak pada kebenaran, tapi tidak boleh merasa menjadi yang paling benar.  Pun dalam percakapan kita, selalu ada hal-hal yang benar dalam ucapanmu. Semoga ada juga hal-hal benar dariku yang sampai kepadamu.

Aku menikmati setiap dialog kita. Pertanyaan-pertanyaan dan sanggahanmu yang membuatku kadang terbawa mimpi dan mempertanyakan keimanan sendiri. Hanya saja terkadang, ketika tak sengaja memikirkanmu, ada rasa sedih yang tidak bisa kutahan. Apakah kita tidak lagi ada di perahu yang sama? Aku mengharapkan waktu ketika kita bisa menjadi sekutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...