(dibuat sebagai persyaratan pengajuan beasiswa Master LPDP 2017)
Sejak kecil bisa dibilang saya menjalani hidup dengan sangat
my way. Maksudnya, saya memilih apa
yang akan saya lakukan tanpa banyak intervensi dari orang lain, termasuk
orangtua. Saya memilih sendiri sekolah mana yang akan saya masuki sejak SD
hingga kuliah. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang bisa dibilang pas-pasan
ketika itu, selalu memilih sekolah favorit yang biayanya lebih tinggi dari
sekolah rata-rata adalah keputusan berani, kalau tidak mau dibilang tidak tahu
diri. Tetapi itulah yang saya lakukan. Orangtua hanya menuntut satu hal, yaitu
saya bertanggung jawab atas pilihan saya. Sejauh ini saya kira saya berhasil
membuktikan bahwa pilihan-pilihan tersebut bukanlah pilihan yang salah.
Saya mendefinisikan kesuksesan sebagai keberhasilan saya
untuk melampaui limit yang saya miliki. Keberhasilan untuk mencapai lebih dari
yang diekspektasikan diri sendiri, baik dari segi pencapaian materi maupun cara
berpikir. Karena itulah saya senang menjadi orang yang berbeda dan mengambil
jalan yang tidak diambil orang lain yang berada dalam situasi yang sama.
Termasuk dalam pemilihan sekolah, jurusan, pekerjaan, hingga (semoga) pasangan
hidup.
Barangkali diterima di Universitas Indonesia dan
menyelesaikan pendidikan sarjana di sana adalah sukses terbesar dalam hidup
saya sejauh ini. Di tahun 2011 keluarga saya dibebani oleh tiga orang anak yang
lahirnya tidak diprogram KB sehingga kebetulan sekali memiliki pengeluaran
pendidikan yang sama. Saat saya hendak masuk kuliah, adik saya hendak masuk SMA
dan SMP. Saya bersikukuh menolak saran orangtua untuk menunda kuliah saya satu
tahun. Apalagi saat itu saya keras kepala ingin masuk UI yang dianggap mahal
oleh orang-orang. So what? Saya
membuktikan bisa mendapatkan beasiswa Bidikmisi dan lulus dalam waktu satu
semester lebih singkat.
Pilihan tersebut bukannya tanpa risiko. Saya sadar untuk
masuk UI dibutuhkan perjuangan yang berat dalam belajar. Terlebih saya adalah
lulusan jurusan IPA dan ingin masuk Ilmu Komunikasi yang ada di rumpun sosial humaniora.
Jadilah saya belajar dari nol materi IPS dari jenjang kelas X hingga XII.
Buku-buku IPA sengaja saya sumbangkan ke teman agar saya sadar bahwa setelah
ini, saya tidak punya jalan untuk kembali tergoda masuk rumpun sains dan
teknologi. Saya sampai mengikuti bimbingan belajar intensif yang diadakan oleh
Perhimpunan Mahasiswa Kebumen (Perhimak) UI dan merantau sendiri ke Depok untuk
belajar. Program bimbingan beajar tersebut terkenal ketat dan pesertanya
belajar mati-matian untuk bisa masuk universitas impian. Mengingat hal tersebut
sekarang, saya menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang mampu melakukan
tindakan ekstrim hanya untuk membuktikan bahwa saya telah memilih pilihan
tepat.
Diukur dengan kondisi sekarang, apalagi jika disejajarkan
dengan prestasi lain, tampaknya masuk UI bukanlah kesuksesan yang perlu
dibesar-besarkan. Hanya saya, bagi saya determinasi atau ketetapan hati yang
saya miliki saat itu belum terkalahkan oleh hal lain setelahnya.
Prestasi-prestasi saya lainnya tidak memberikan kepuasan dan rasa bangga yang
sama sepeti yang saya rasakan ketika menerima pengumuman saya lolos SNMPTN
Tulis. Justru saya selalu berkaca pada tekad yang saya tunjukkan saat itu
setiap kali saya tengah berusaha mencapai sesuatu. Bisa dikatakan, perjuangan saya
masuk UI adalah pondasi yang membuat saya percaya diri untuk melangkah mengejar
prestasi-prestasi lainnya.
Salah satu yang berkesan adalah saya menjadi delegasi UI
dalam Lomba Esai Nasional yang menjadi salah satu rangkaian acara Festival
Timur Tengah FIB UI 2014. Dalam pembuatan esai, saya memberanikan diri memilih
topik yang sedikit disentuh peserta lain, yaitu politik Timur Tengah. Saya
memang sudah tertarik pada politik, Islam, dan Timur Tengah sejak SMA. Meskipun
beberapa pihak yang menjadi pembimbing mengatakan bahwa topik tersebut riskan,
saya bersikeras mengerjakannya. Akhirnya memang saya tidak memperoleh juara.
Akan tetapi, seusai pengumuman, salah seorang juri mendekat dan menyalami saya
sambil menyampaikan bahwa di antara beberapa yang memilih topik politik, esai
saya adalah yang terbaik dan jika diperbaiki sedikit bisa jadi artikel yang
layak muat di surat kabar. Bagi saya, perkataan juri tersebut sudah melebihi
apa yang pantas saya harapkan dan meyakinkan saya bahwa saya tidak salah
memilih topik.
Saya berusaha memiliki alasan untuk setiap hal yang akan
saya lakukan. Termasuk pemilihan jurusan Kajian Timur Tengah untuk LPDP 2017
ini. Banyak orang sangsi bahwa jurusan ini akan membawa dampak yang baik
(pekerjaan) bagi saya. Tapi saya tidak peduli. Saya cukup membuktikan sekali
lagi bahwa sebuah pilihan yang dipertanggungjawabkan akan selalu berakhir
dengan melahirkan manfaat.