Senin, 17 April 2017

Sukses Terbesar dalam Hidupku

(dibuat sebagai persyaratan pengajuan beasiswa Master LPDP 2017)

Sejak kecil bisa dibilang saya menjalani hidup dengan sangat my way. Maksudnya, saya memilih apa yang akan saya lakukan tanpa banyak intervensi dari orang lain, termasuk orangtua. Saya memilih sendiri sekolah mana yang akan saya masuki sejak SD hingga kuliah. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang bisa dibilang pas-pasan ketika itu, selalu memilih sekolah favorit yang biayanya lebih tinggi dari sekolah rata-rata adalah keputusan berani, kalau tidak mau dibilang tidak tahu diri. Tetapi itulah yang saya lakukan. Orangtua hanya menuntut satu hal, yaitu saya bertanggung jawab atas pilihan saya. Sejauh ini saya kira saya berhasil membuktikan bahwa pilihan-pilihan tersebut bukanlah pilihan yang salah.

Saya mendefinisikan kesuksesan sebagai keberhasilan saya untuk melampaui limit yang saya miliki. Keberhasilan untuk mencapai lebih dari yang diekspektasikan diri sendiri, baik dari segi pencapaian materi maupun cara berpikir. Karena itulah saya senang menjadi orang yang berbeda dan mengambil jalan yang tidak diambil orang lain yang berada dalam situasi yang sama. Termasuk dalam pemilihan sekolah, jurusan, pekerjaan, hingga (semoga) pasangan hidup.

Barangkali diterima di Universitas Indonesia dan menyelesaikan pendidikan sarjana di sana adalah sukses terbesar dalam hidup saya sejauh ini. Di tahun 2011 keluarga saya dibebani oleh tiga orang anak yang lahirnya tidak diprogram KB sehingga kebetulan sekali memiliki pengeluaran pendidikan yang sama. Saat saya hendak masuk kuliah, adik saya hendak masuk SMA dan SMP. Saya bersikukuh menolak saran orangtua untuk menunda kuliah saya satu tahun. Apalagi saat itu saya keras kepala ingin masuk UI yang dianggap mahal oleh orang-orang. So what? Saya membuktikan bisa mendapatkan beasiswa Bidikmisi dan lulus dalam waktu satu semester lebih singkat.

Pilihan tersebut bukannya tanpa risiko. Saya sadar untuk masuk UI dibutuhkan perjuangan yang berat dalam belajar. Terlebih saya adalah lulusan jurusan IPA dan ingin masuk Ilmu Komunikasi yang ada di rumpun sosial humaniora. Jadilah saya belajar dari nol materi IPS dari jenjang kelas X hingga XII. Buku-buku IPA sengaja saya sumbangkan ke teman agar saya sadar bahwa setelah ini, saya tidak punya jalan untuk kembali tergoda masuk rumpun sains dan teknologi. Saya sampai mengikuti bimbingan belajar intensif yang diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Kebumen (Perhimak) UI dan merantau sendiri ke Depok untuk belajar. Program bimbingan beajar tersebut terkenal ketat dan pesertanya belajar mati-matian untuk bisa masuk universitas impian. Mengingat hal tersebut sekarang, saya menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang mampu melakukan tindakan ekstrim hanya untuk membuktikan bahwa saya telah memilih pilihan tepat.

Diukur dengan kondisi sekarang, apalagi jika disejajarkan dengan prestasi lain, tampaknya masuk UI bukanlah kesuksesan yang perlu dibesar-besarkan. Hanya saya, bagi saya determinasi atau ketetapan hati yang saya miliki saat itu belum terkalahkan oleh hal lain setelahnya. Prestasi-prestasi saya lainnya tidak memberikan kepuasan dan rasa bangga yang sama sepeti yang saya rasakan ketika menerima pengumuman saya lolos SNMPTN Tulis. Justru saya selalu berkaca pada tekad yang saya tunjukkan saat itu setiap kali saya tengah berusaha mencapai sesuatu. Bisa dikatakan, perjuangan saya masuk UI adalah pondasi yang membuat saya percaya diri untuk melangkah mengejar prestasi-prestasi lainnya.

Salah satu yang berkesan adalah saya menjadi delegasi UI dalam Lomba Esai Nasional yang menjadi salah satu rangkaian acara Festival Timur Tengah FIB UI 2014. Dalam pembuatan esai, saya memberanikan diri memilih topik yang sedikit disentuh peserta lain, yaitu politik Timur Tengah. Saya memang sudah tertarik pada politik, Islam, dan Timur Tengah sejak SMA. Meskipun beberapa pihak yang menjadi pembimbing mengatakan bahwa topik tersebut riskan, saya bersikeras mengerjakannya. Akhirnya memang saya tidak memperoleh juara. Akan tetapi, seusai pengumuman, salah seorang juri mendekat dan menyalami saya sambil menyampaikan bahwa di antara beberapa yang memilih topik politik, esai saya adalah yang terbaik dan jika diperbaiki sedikit bisa jadi artikel yang layak muat di surat kabar. Bagi saya, perkataan juri tersebut sudah melebihi apa yang pantas saya harapkan dan meyakinkan saya bahwa saya tidak salah memilih topik.


Saya berusaha memiliki alasan untuk setiap hal yang akan saya lakukan. Termasuk pemilihan jurusan Kajian Timur Tengah untuk LPDP 2017 ini. Banyak orang sangsi bahwa jurusan ini akan membawa dampak yang baik (pekerjaan) bagi saya. Tapi saya tidak peduli. Saya cukup membuktikan sekali lagi bahwa sebuah pilihan yang dipertanggungjawabkan akan selalu berakhir dengan melahirkan manfaat.

Sosialisasi Penyikapan Isu Timur Tengah Melalui Kajian yang Down-to-Earth Sebagai Tindakan Preventif Radikalisme

(dibuat dalam rangka persyaratan pendaftaran beasiswa Master LPDP 2017)

Bagaimana cara menjelaskan kepada masyarakat yang awam bahwa terdapat kekuatan-kekuatan besar di tingkat global yang menggerakkan aktor-aktor yang saat ini terlibat dalam konflik di kawasan Timur Tengah? Tampaknya terlalu sulit untuk membahasakannya ke dalam kalimat-kalimat sederhana tanpa berujung pada pembahasan tentang konspirasi global, yang entah bisa kita percaya atau tidak. Akhirnya penjelasan sederhana yang dipilih untuk meringkas kisah konflik adalah dengan menggunakan identitas terkuat yang melekat di pihak-pihak yang terlibat. 

Di Timur Tengah identitas terkuat yang dimiliki masyarakatnya adalah agama. Identitas agama menjadi topik yang sensitif terutama bagi masyarakat yang merasa memiliki kesamaan identitas, seperti di Indonesia. Konflik Syiah dan Sunni di Libya, Irak, dan Iran berpengaruh pada sikap masyarakat Indonesia yang merasa Sunni terhadap golongan Syiah. Konflik Israel-Palestina mendorong timbulnya kebencian umat muslim kepada bangsa Yahudi. Dalam skenario terparah, fanatisme terhadap agama dan golongan mendorong segelintir warga Indonesia untuk bergabung dengan ISIS. Pihak kepolisian RI, dilansir oleh Tribunnews, menyatakan bahwa setidaknya 600 WNI berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS sepanjang kurun waktu 2016.

Jika kita mengambil sampel acak untuk ditanyai perihal akar konflik di kawasan Timur Tengah, saya yakin sebagian besar akan menjawab bahwa akar konflik adalah perselisihan antarsekte atau antar aliran agama/kepercayaan di dalam masyarakatnya. Padahal, jika kita ambil big picture, agama hanyalah “kendaraan” yang digunakan  dalam perebutan pengaruh politik dan ekonomi antara pemegang kekuasan dan oposisinya. Seperti pernyataan Graham E. Fuller dalam bukunya A World Without Islam, bahwa ada atau tidak ada agama, dalam hal ini Islam, konflik seperti yang saat ini terjadi di Timur Tengah akan tetap ada. Sayangnya pemahaman demikian hanya dimiliki oleh sebagian kecil golongan intelektual. Kajian-kajian keilmuan mengenai konflik di kawasan Timur Tengah tidak sampai ke masyarakat awam. Hal ini karena sulit menjelaskan kekuatan-kekuatan yang bergerak di balik layar di tingkat global ke dalam perspektif lokal.

Dalam hal ini media massa memegang peranan penting dalam memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Selama saya kuliah di tingkat S1 jurusan Ilmu Komunikasi dan mengambil peminatan jurnalisme, saya paham salah satu fungsi laten media adalah memberikan edukasi termasuk memberikan opini alternatif mengenai berbagai isu yang tengah hangat. Saya belajar bagaimana media membantuk opini publik dengan framing. Ketika saya terpilih menjadi delegasi Universitas Indonesia dalam Kompetisi Esai Nasional di Festival Timur Tengah 2014 yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), saya menulis esai tentang kekuatan media yang mampu mengumpulkan jutaan rakyat Mesir di Tahrir Square pada 25 Januari 2015.

Saya adalah penerima beasiswa Etos dari Dompet Dhuafa tahun 2011-2014. Selama menjalani perkuliahan di tingkat S1 saya terlibat di kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa misalnya Social Development Program (SDP) pendampingan desa di Kemiri Muka, Kota Depok, selama satu tahun. Selain itu juga saya rajin mengikuti kajian kawasan Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Departement of Islamic Study Center (DISC) Masjid Ukhuwah Islamiyah di Universitas Indonesia. Saya menyelesaikan jenjang sarjana dalam kurun waktu 3,5 tahun atau tujuh semester dan setelahnya pulang ke kampung halaman saya, Kebumen hingga sekarang. Di sini saya dan teman-teman membentuk komunitas Kebumen Muda yang aktif menulis informasi inspiratif untuk pemuda Kebumen di portal online http://kebumenmuda.com.

Sejak aktif mengelola media independen dan berinteraksi dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan voluntary inilah saya sadar bahwa terdapat perbedaan yang signifikan atas informasi yang beredar di golongan intelektual kampus dengan informasi yang beredar di kalangan awam. Kajian intelektual distribusinya tidak sampai ke masyarakat umum. Bukan karena mereka tidak punya akses, melainkan karena tema kajian dan bahasanya tidak sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka. Karena itulah saya bertekad untuk mejadi orang yang mampu menerjemahkan kajian-kajian intelektual ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami banyak orang. Khususnya bahasan tentang Islam dan konflik Timur Tengah agar tidak semata dipahami sebagai konflik fanatisme identitas.


Dengan ilmu yang akan saya dapatkan di tingkat S2 UGM program studi Agama dan Lintas Budaya, peminatan Kajian Timur Tengah melalui LPDP, saya yakin bisa memberikan kontribusi lebih banyak. Tidak hanya dalam bentuk keikutsertaan dalam kajian keilmuan, tetapi juga ikut menyosialisasikan dan mengimplementasikannya dengan terlibat bekerja di media massa, Kementerian Luar Negeri, atau bergabung dengan NGO seperti KNRP dan UNHCR.

Kamis, 13 April 2017

Memang Seperti Itulah Cinta

Memang seperti itulah dakwah. 

Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah menyedot saripati energimu, sampai tulang belulangmu, sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari. 

Sebagaimana rambut Rasulullah yang memutih lebih cepat sebelum umur menyulapnya karena beban ayat yang diturunkan Allah. Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Kepemimpinannya yang sebentar membuat umat muslim bingung karena tidak ada lagi orang miskin untuk diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak oleh penyakit dalam dua tahun kepemimpinannya. Namun itulah yang memang ia harapkan, meninggal sebagai jiwa yang tenang. 

Di akhirat nanti barangkali kita akan melihat tubuh Umar bin Khattab yang tercabik dan kepalanya botak. Tubuh perkasa itu runtuh dan terpaksa membawa tongkat kemana-mana. Kurang heroik? Akhir hidupnya, tubuhnya dihiasi luka tikam yang tertoreh saat ia sedang bermesraan dengan Rabbnya saat shalat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Dakwah bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari, setiap saat mengiringi.

Satu kisah heroik akan segera disambung dengan kisah heroik lainnya, dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani. Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai kemanapun mereka pergi dan akhirnya mereka beradaptasi. Jika iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Yakinlah rasa lelah itu sendiri yang akan lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak lagi terasa sebagai luka. Hingga hasrat untuk mengeluh tak lagi ada dibandingkan dengan jihad yang begitu cantik.

Umar saat Rasulullah wafat berteriak histeris dan mengamuk. Saat Abu Bakar wafat, ia tak lagi mengamuk. Bukannya ia tak cinta pada Abu Bakar. Namun hatinya telah terbiasa, hatinya telah mampu menilai ditinggalkan sebagai suatu kewajaran.

Pejuang yang heboh memamerkan amal-amalnya adalah anak kemarin sore yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanan yang baru ia lakukan. Mereka masih jarang tersakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. Karenanya saat mereka melakukannya, mereka merasa sebagai orang besar. Merekalah yang justru menjadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “Ya Allah, berilah ia petunjuk. Sungguh engkau Maha Pengasih dan Penyayang...”

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak dan jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya terus memancarkan cinta, mengajak kita untuk terus berlari.

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Teruslah terjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”


(Today is one of the days when the longing inside me could burst out with just a slight touch. Let's meet again, Father, someday when the sun shines at its brightest)

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...