Senin, 17 April 2017

Sosialisasi Penyikapan Isu Timur Tengah Melalui Kajian yang Down-to-Earth Sebagai Tindakan Preventif Radikalisme

(dibuat dalam rangka persyaratan pendaftaran beasiswa Master LPDP 2017)

Bagaimana cara menjelaskan kepada masyarakat yang awam bahwa terdapat kekuatan-kekuatan besar di tingkat global yang menggerakkan aktor-aktor yang saat ini terlibat dalam konflik di kawasan Timur Tengah? Tampaknya terlalu sulit untuk membahasakannya ke dalam kalimat-kalimat sederhana tanpa berujung pada pembahasan tentang konspirasi global, yang entah bisa kita percaya atau tidak. Akhirnya penjelasan sederhana yang dipilih untuk meringkas kisah konflik adalah dengan menggunakan identitas terkuat yang melekat di pihak-pihak yang terlibat. 

Di Timur Tengah identitas terkuat yang dimiliki masyarakatnya adalah agama. Identitas agama menjadi topik yang sensitif terutama bagi masyarakat yang merasa memiliki kesamaan identitas, seperti di Indonesia. Konflik Syiah dan Sunni di Libya, Irak, dan Iran berpengaruh pada sikap masyarakat Indonesia yang merasa Sunni terhadap golongan Syiah. Konflik Israel-Palestina mendorong timbulnya kebencian umat muslim kepada bangsa Yahudi. Dalam skenario terparah, fanatisme terhadap agama dan golongan mendorong segelintir warga Indonesia untuk bergabung dengan ISIS. Pihak kepolisian RI, dilansir oleh Tribunnews, menyatakan bahwa setidaknya 600 WNI berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS sepanjang kurun waktu 2016.

Jika kita mengambil sampel acak untuk ditanyai perihal akar konflik di kawasan Timur Tengah, saya yakin sebagian besar akan menjawab bahwa akar konflik adalah perselisihan antarsekte atau antar aliran agama/kepercayaan di dalam masyarakatnya. Padahal, jika kita ambil big picture, agama hanyalah “kendaraan” yang digunakan  dalam perebutan pengaruh politik dan ekonomi antara pemegang kekuasan dan oposisinya. Seperti pernyataan Graham E. Fuller dalam bukunya A World Without Islam, bahwa ada atau tidak ada agama, dalam hal ini Islam, konflik seperti yang saat ini terjadi di Timur Tengah akan tetap ada. Sayangnya pemahaman demikian hanya dimiliki oleh sebagian kecil golongan intelektual. Kajian-kajian keilmuan mengenai konflik di kawasan Timur Tengah tidak sampai ke masyarakat awam. Hal ini karena sulit menjelaskan kekuatan-kekuatan yang bergerak di balik layar di tingkat global ke dalam perspektif lokal.

Dalam hal ini media massa memegang peranan penting dalam memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Selama saya kuliah di tingkat S1 jurusan Ilmu Komunikasi dan mengambil peminatan jurnalisme, saya paham salah satu fungsi laten media adalah memberikan edukasi termasuk memberikan opini alternatif mengenai berbagai isu yang tengah hangat. Saya belajar bagaimana media membantuk opini publik dengan framing. Ketika saya terpilih menjadi delegasi Universitas Indonesia dalam Kompetisi Esai Nasional di Festival Timur Tengah 2014 yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), saya menulis esai tentang kekuatan media yang mampu mengumpulkan jutaan rakyat Mesir di Tahrir Square pada 25 Januari 2015.

Saya adalah penerima beasiswa Etos dari Dompet Dhuafa tahun 2011-2014. Selama menjalani perkuliahan di tingkat S1 saya terlibat di kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa misalnya Social Development Program (SDP) pendampingan desa di Kemiri Muka, Kota Depok, selama satu tahun. Selain itu juga saya rajin mengikuti kajian kawasan Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Departement of Islamic Study Center (DISC) Masjid Ukhuwah Islamiyah di Universitas Indonesia. Saya menyelesaikan jenjang sarjana dalam kurun waktu 3,5 tahun atau tujuh semester dan setelahnya pulang ke kampung halaman saya, Kebumen hingga sekarang. Di sini saya dan teman-teman membentuk komunitas Kebumen Muda yang aktif menulis informasi inspiratif untuk pemuda Kebumen di portal online http://kebumenmuda.com.

Sejak aktif mengelola media independen dan berinteraksi dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan voluntary inilah saya sadar bahwa terdapat perbedaan yang signifikan atas informasi yang beredar di golongan intelektual kampus dengan informasi yang beredar di kalangan awam. Kajian intelektual distribusinya tidak sampai ke masyarakat umum. Bukan karena mereka tidak punya akses, melainkan karena tema kajian dan bahasanya tidak sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka. Karena itulah saya bertekad untuk mejadi orang yang mampu menerjemahkan kajian-kajian intelektual ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami banyak orang. Khususnya bahasan tentang Islam dan konflik Timur Tengah agar tidak semata dipahami sebagai konflik fanatisme identitas.


Dengan ilmu yang akan saya dapatkan di tingkat S2 UGM program studi Agama dan Lintas Budaya, peminatan Kajian Timur Tengah melalui LPDP, saya yakin bisa memberikan kontribusi lebih banyak. Tidak hanya dalam bentuk keikutsertaan dalam kajian keilmuan, tetapi juga ikut menyosialisasikan dan mengimplementasikannya dengan terlibat bekerja di media massa, Kementerian Luar Negeri, atau bergabung dengan NGO seperti KNRP dan UNHCR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...