(dibuat dalam rangka persyaratan pendaftaran beasiswa Master LPDP 2017)
Bagaimana cara menjelaskan kepada masyarakat yang awam bahwa
terdapat kekuatan-kekuatan besar di tingkat global yang menggerakkan
aktor-aktor yang saat ini terlibat dalam konflik di kawasan Timur Tengah?
Tampaknya terlalu sulit untuk membahasakannya ke dalam kalimat-kalimat
sederhana tanpa berujung pada pembahasan tentang konspirasi global, yang entah
bisa kita percaya atau tidak. Akhirnya penjelasan sederhana yang dipilih untuk
meringkas kisah konflik adalah dengan menggunakan identitas terkuat yang
melekat di pihak-pihak yang terlibat.
Di Timur Tengah identitas terkuat yang
dimiliki masyarakatnya adalah agama. Identitas agama menjadi topik yang
sensitif terutama bagi masyarakat yang merasa memiliki kesamaan identitas,
seperti di Indonesia. Konflik Syiah dan Sunni di Libya, Irak, dan Iran
berpengaruh pada sikap masyarakat Indonesia yang merasa Sunni terhadap golongan
Syiah. Konflik Israel-Palestina mendorong timbulnya kebencian umat muslim
kepada bangsa Yahudi. Dalam skenario terparah, fanatisme terhadap agama dan
golongan mendorong segelintir warga Indonesia untuk bergabung dengan ISIS.
Pihak kepolisian RI, dilansir oleh Tribunnews, menyatakan bahwa setidaknya 600 WNI
berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS sepanjang kurun waktu 2016.
Jika kita mengambil sampel acak untuk ditanyai perihal akar
konflik di kawasan Timur Tengah, saya yakin sebagian besar akan menjawab bahwa
akar konflik adalah perselisihan antarsekte atau antar aliran agama/kepercayaan
di dalam masyarakatnya. Padahal, jika kita ambil big picture, agama hanyalah “kendaraan” yang digunakan dalam perebutan pengaruh politik dan ekonomi
antara pemegang kekuasan dan oposisinya. Seperti pernyataan Graham E. Fuller
dalam bukunya A World Without Islam, bahwa ada atau tidak ada agama, dalam hal
ini Islam, konflik seperti yang saat ini terjadi di Timur Tengah akan tetap
ada. Sayangnya pemahaman demikian hanya dimiliki oleh sebagian kecil golongan
intelektual. Kajian-kajian keilmuan mengenai konflik di kawasan Timur Tengah
tidak sampai ke masyarakat awam. Hal ini karena sulit menjelaskan
kekuatan-kekuatan yang bergerak di balik layar di tingkat global ke dalam
perspektif lokal.
Dalam hal ini media massa memegang peranan penting dalam
memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Selama saya kuliah di tingkat S1
jurusan Ilmu Komunikasi dan mengambil peminatan jurnalisme, saya paham salah
satu fungsi laten media adalah memberikan edukasi termasuk memberikan opini
alternatif mengenai berbagai isu yang tengah hangat. Saya belajar bagaimana
media membantuk opini publik dengan framing.
Ketika saya terpilih menjadi delegasi Universitas Indonesia dalam Kompetisi
Esai Nasional di Festival Timur Tengah 2014 yang diselenggarakan oleh Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), saya menulis esai tentang kekuatan
media yang mampu mengumpulkan jutaan rakyat Mesir di Tahrir Square pada 25
Januari 2015.
Saya adalah penerima beasiswa Etos dari Dompet Dhuafa tahun
2011-2014. Selama menjalani perkuliahan di tingkat S1 saya terlibat di kegiatan
sosial yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa misalnya Social Development
Program (SDP) pendampingan desa di Kemiri Muka, Kota Depok, selama satu tahun.
Selain itu juga saya rajin mengikuti kajian kawasan Timur Tengah yang
diselenggarakan oleh Departement of Islamic Study Center (DISC) Masjid Ukhuwah
Islamiyah di Universitas Indonesia. Saya menyelesaikan jenjang sarjana dalam
kurun waktu 3,5 tahun atau tujuh semester dan setelahnya pulang ke kampung
halaman saya, Kebumen hingga sekarang. Di sini saya dan teman-teman membentuk
komunitas Kebumen Muda yang aktif menulis informasi inspiratif untuk pemuda
Kebumen di portal online http://kebumenmuda.com.
Sejak aktif mengelola media independen dan berinteraksi
dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan voluntary
inilah saya sadar bahwa terdapat perbedaan yang signifikan atas informasi yang
beredar di golongan intelektual kampus dengan informasi yang beredar di
kalangan awam. Kajian intelektual distribusinya tidak sampai ke masyarakat
umum. Bukan karena mereka tidak punya akses, melainkan karena tema kajian dan
bahasanya tidak sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka. Karena itulah saya
bertekad untuk mejadi orang yang mampu menerjemahkan kajian-kajian intelektual
ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami banyak orang. Khususnya bahasan
tentang Islam dan konflik Timur Tengah agar tidak semata dipahami sebagai
konflik fanatisme identitas.
Dengan ilmu yang akan saya dapatkan di tingkat S2 UGM
program studi Agama dan Lintas Budaya, peminatan Kajian Timur Tengah melalui
LPDP, saya yakin bisa memberikan kontribusi lebih banyak. Tidak hanya dalam
bentuk keikutsertaan dalam kajian keilmuan, tetapi juga ikut menyosialisasikan
dan mengimplementasikannya dengan terlibat bekerja di media massa, Kementerian
Luar Negeri, atau bergabung dengan NGO seperti KNRP dan UNHCR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar