Senin, 13 November 2017

Sengaja Pulang Malam

Mi, aku pulang lebih malam nanti. Ada keperluan yang didesak dahaga rayu setan. Barangkali sesampai rumah nanti bisa kuceritakan padamu. Perihal gelandangan-gelandangan kriwil berbaju kelabu. Mereka jadi penguasa di jalanan sepi trotoar pertokoan. Malam adalah damai. Malam adalah selimut perlindungan bagi siapa yang tak punya apa-apa.
Kita, Mi, memang sebaiknya tak usah keluar malam-malam. Banyak yang kita takut direbut. Cincin kalung wajah cantik kulit lembut. Harga diri yang kalut. Cinta yang tidak bersambut. Malam jadi musuh kita yang merasa berharga.
Tapi aku mau pulang larut malam nanti, Mi. Aku ingin mencoba bersalaman dengan gelap dan sepi. Sebab siapa lagi, yang bisa mengerti? Selain yang sama-sama merasa bahwa di dalam diri sudah ada yang dicuri.
Gombong, 25 Agustus 2016

Cerpen: Mendengarkan Epik High



Mendengarkan Epik High di daftar putar. Jangan tanya arti liriknya. Menikmati musik tidak memiliki pemahaman atas lirik sebagai prasyaratnya. Biasanya aku mendengar Epik High ketika di perjalanan dan sendirian. Terutama salah satu lagu di album terbarunya yang judulnya Home is Far Away. Sambil menatap ke luar jendela jika kebetulan aku duduk tepat di sampingnya. Dengan tempo lagu yang tidak terlalu cepat, menyamakan tempo dengan suara mesin kendaraan dan pemandangan luar jendela yang seolah ikut melesat. Seharusnya daftar putar lagu di kendaraan diisi album Epik High atau musik-musik indie bertempo medium, bukan dangdut koplo yang membikin kepala pening. Sebab perjalanan haruslah dihadapi dalam damai dan tenang.

Belakangan album Epik High-lah yang terus berputar di smartphoneku. Bukannya belakangan aku sering bepergian, tapi lebih sering mengasingkan diri. Di tempat ramai, biasanya aku akan menepi. Menyenangkan melihat orang-orang berlalu lalang, sedang kita berdiri atau duduk diam menyeruput jus mangga atau kopi dingin. Seperti melihat ikan-ikan kecil di akuarium. Bolak-balik berenang mengibaskan ekor mereka dengan mulut tak henti mangap-mangap. Itulah satu-satunya hal yang bisa kunikmati dalam keramaian yang asing. Ikan-ikan warna-warni. Mereka berkerumun di tempat dimana mereka kira paling menarik. Menonton pertunjukan utama seperti berebut makanan ikan yang ditebar ke akuarium.

Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang membuat orang-orang ini suka sekali bersosialisasi. Seringnya ketika aku sedang menikmati sendirian, ada saja orang yang berusaha duduk di depan atau di sampingku lalu mengajak ngobrol. Mungkin mereka kira aku butuh ditemani karena terlalu terlihat awkward dan kasihan jika sendiri padahal orang lain datang bersama pasangan, teman, atau keluarga mereka. Atau bisa jadi alasan lain. Misalnya mereka merasa perlu, sebagai manusia dan warga negara yang baik, wajib bersikap ramah kepada orang lain agar tidak dianggap tak acuh. Alasan paling pragmatis, mereka butuh tempat duduk dan tidak enak jika tiba-tiba mengambilnya tanpa berusaha permisi padaku. Saat begitu aku jadi merasa harus melepas earphone atau mempause lagu yang tengah berputar. Meladeni obrolan yang diniatkan singkat, menjawab pertanyaan template soal darimana asalku, dengan siapa aku kemari, dan jika sialnya aku bertemu dengan yang terlalu bersemangat, aku jadi merasa perlu untuk bertanya balik untuk sekedar menjaga kesopanan. Dan dimulailah neraka itu. Aku jadi tahu sesuatu yang tidak perlu, dari soal anak mereka sampai urusan pribadi yang lebih intim. Sedang tanganku gatal ingin meraih kabel earphone yang melambai-lambai sampai ke bawah meja.

Inilah bedanya dengan benar-benar melihat akuarium. Kau akan suka ketika ikan-ikan itu bergerak mengikuti tanganmu atau mangap-mangap di depan matamu. Mungkin saja ikan-ikan itu berusaha ngobrol denganmu, hanya saja kamu tidak pernah belajar bahasa ikan. Kau pikir itu lucu. Pasti jadi menyebalkan kalau ternyata kau tahu bahasa ikan dan yang kau dengar dari mereka adalah betapa bosannya hidup di air atau berapa jumlah anak-anak mereka atau soal betapa manusia sering telat memberi mereka makan. Dan kau harus terlihat bersimpati terhadap itu semua!
Aku ingat bagaimana pacarku selalu berkata dengan frustrasi tentang betapa aku bersikap dingin dan kaku terhadap orang-orang sekitar. Sedangkan aku menganggap dia lucu karena sangat suka mengobrol panjang-panjang dengan mereka setiap ada kesempatan. Mungkin pacarku pernah les bahasa ikan. Aku sih, tidak mau ikut sekalipun ada promo gratis.

Setelah semua basa-basi dengan akhiran jawaban singkat, tanpa pertanyaan umpan balik dariku, kembali aku bisa memakai earphone-ku lagi, meneruskan daftar putar yang tadi sempat terhenti di lagu Here Comes The Regret. Suaranya Lee Hi memang bagus, jadi kenapa YG tidak juga membiarkannya merilis album solo? Bisa jadi hidup jadi artis berat juga. Berapa ya mereka dibayar untuk featuring satu lagu? Masuk ke daftar putar berikutnya, Born Hater, aku meringis. Aku pernah baca terjemahan artinya dan sempat ingin jadi rapper setelahnya. Asik sekali, bisa bebas menghina atau curhat soal menyebalkannya orang-orang yang suka ngomong ini-itu dan komentar seenak udel. Dengan konsep dan gaya yang keren. Dibayar pula.

Sudah hampir waktunya, aku melirik jam di smartphone. Orang keren biasanya memakai jam tangan, tetapi aku tidak. Risih rasanya jika ada benda-benda menempel di bagian-bagian kulitmu. Seandainya tidak punya urat malu, aku bisa saja mendengarkan Eyes, Nose, Lip-nya Tablo sambil telanjang. Aku bangkit dan berjalan menembus kerumunan dengan diiringi intro Paranoia. Meski suara band di panggung sangat keras ditambah teriakan antusias orang-orang, suara Tablo dan Mithra Jin tetap mendominasi otakku. No way, in this street ain’t nobody waiting for you...Aku hanya ingat beberapa lirik terjemahannya.

Sampai di balik panggung aku melihatnya melambaikan tangan. Bersamanya ada sejumlah orang yang ia kenalkan padaku sebagai teman-teman. Ia mencubit pinggangku agar aku melepas earphone dan menyapa dengan ramah, sesuai pembicaraan kami kemarin sebagai syarat ia mau memakai cincin pemberianku. Teman-temannya tampak lucu. Semua tertawa nyaring. Bibir mereka tak henti bergerak. Seperti ikan-ikan itu. Kepala mereka bergoyang sembari mengajukan banyak pertanyaan membosankan soal kapan pertama kali kami bertemu, apa yang kusukai darinya, malam pertama kami, sampai ajakan untuk bertemu sebulan sekali dan membawa pasangan masing-masing. Bayangkan betapa serunya jika kita hang out bersama! Kepalaku pening dan aku membutuhkan earphone-ku sekarang. Aku merogoh saku tetapi pacarku lebih cepat. Ia meraihnya, memberi tanda dengan menggelengkan kepalanya.

Konser tampaknya tengah mencapai klimaksnya. Seorang teman pacarku bangkit dan mengajak kami semua mendekat ke panggung. Bintang tamu utama akan tampil, begitu katanya. Orang-orang berteriak histeris ketika MC memanggil nama seorang penyanyi. Pacarku juga berteriak. Tapi sebelum ia berlari menyusul teman-temannya, aku lebih dulu menarik tangannya. Aku menggeretnya paksa menyisip di antara orang-orang yang terburu-buru ke panggung.

Di belakang agak jauh dari panggung, ia memberontak. Ia terlihat sangat marah. Ia berteriak dan memukuli dadaku dengan sebelah tangannya yang memegang earphone. Aku menangkap tangannya, merebut earphone, lalu mengunci mulutnya dengan bibirku kuat-kuat. Mengulum lidahnya. Cara ini selalu jadi cara terbaik untuk membungkam mulut perempuan. Tapi apa kau tahu? Aku punya cara lain yang lebih efektif untuk memastikan ia tak lagi mangap-mangap seperti ikan.

Aku merasakan napasnya terengah-engah dan tubuhnya melunak. Biasanya memang begitu. Ketika kau kehabisan oksigen dalam paru-parumu, tentu saja reaksi tubuhmu akan sama juga. Ketika akhirnya ia jatuh dalam pelukanku, aku melepaskan kabel earphone yang membekas di kulit lehernya. Aku memasang ujung kabelnya ke smartphone dan mengetuk play. Sembari berjalan menembus kerumunan dan menghilang, lagu Paranoia yang tadi sempat terhenti kembali mengisi otakku lagi.

Has her breath stopped now?
Has her heart turned cold?
Am I being watched from somewhere?
How long will she resent me?


.end.

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...