Mendengarkan Epik High di daftar putar. Jangan tanya arti liriknya. Menikmati musik tidak memiliki pemahaman atas lirik sebagai prasyaratnya. Biasanya aku mendengar Epik High ketika di perjalanan dan sendirian. Terutama salah satu lagu di album terbarunya yang judulnya Home is Far Away. Sambil menatap ke luar jendela jika kebetulan aku duduk tepat di sampingnya. Dengan tempo lagu yang tidak terlalu cepat, menyamakan tempo dengan suara mesin kendaraan dan pemandangan luar jendela yang seolah ikut melesat. Seharusnya daftar putar lagu di kendaraan diisi album Epik High atau musik-musik indie bertempo medium, bukan dangdut koplo yang membikin kepala pening. Sebab perjalanan haruslah dihadapi dalam damai dan tenang.
Belakangan album Epik High-lah yang terus berputar di smartphoneku. Bukannya belakangan aku
sering bepergian, tapi lebih sering mengasingkan diri. Di tempat ramai,
biasanya aku akan menepi. Menyenangkan melihat orang-orang berlalu lalang,
sedang kita berdiri atau duduk diam menyeruput jus mangga atau kopi dingin.
Seperti melihat ikan-ikan kecil di akuarium. Bolak-balik berenang mengibaskan
ekor mereka dengan mulut tak henti mangap-mangap. Itulah satu-satunya hal yang
bisa kunikmati dalam keramaian yang asing. Ikan-ikan warna-warni. Mereka
berkerumun di tempat dimana mereka kira paling menarik. Menonton pertunjukan
utama seperti berebut makanan ikan yang ditebar ke akuarium.
Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang membuat orang-orang
ini suka sekali bersosialisasi. Seringnya ketika aku sedang menikmati sendirian,
ada saja orang yang berusaha duduk di depan atau di sampingku lalu mengajak
ngobrol. Mungkin mereka kira aku butuh ditemani karena terlalu terlihat awkward dan kasihan jika sendiri padahal
orang lain datang bersama pasangan, teman, atau keluarga mereka. Atau bisa jadi
alasan lain. Misalnya mereka merasa perlu, sebagai manusia dan warga negara
yang baik, wajib bersikap ramah kepada orang lain agar tidak dianggap tak acuh.
Alasan paling pragmatis, mereka butuh tempat duduk dan tidak enak jika
tiba-tiba mengambilnya tanpa berusaha permisi padaku. Saat begitu aku jadi
merasa harus melepas earphone atau
mempause lagu yang tengah berputar. Meladeni
obrolan yang diniatkan singkat, menjawab pertanyaan template soal darimana asalku, dengan siapa aku kemari, dan jika
sialnya aku bertemu dengan yang terlalu bersemangat, aku jadi merasa perlu
untuk bertanya balik untuk sekedar menjaga kesopanan. Dan dimulailah neraka
itu. Aku jadi tahu sesuatu yang tidak perlu, dari soal anak mereka sampai
urusan pribadi yang lebih intim. Sedang tanganku gatal ingin meraih kabel earphone yang melambai-lambai sampai ke
bawah meja.
Inilah bedanya dengan benar-benar melihat akuarium. Kau akan
suka ketika ikan-ikan itu bergerak mengikuti tanganmu atau mangap-mangap di
depan matamu. Mungkin saja ikan-ikan itu berusaha ngobrol denganmu, hanya saja
kamu tidak pernah belajar bahasa ikan. Kau pikir itu lucu. Pasti jadi menyebalkan
kalau ternyata kau tahu bahasa ikan dan yang kau dengar dari mereka adalah
betapa bosannya hidup di air atau berapa jumlah anak-anak mereka atau soal
betapa manusia sering telat memberi mereka makan. Dan kau harus terlihat
bersimpati terhadap itu semua!
Aku ingat bagaimana pacarku selalu berkata dengan frustrasi
tentang betapa aku bersikap dingin dan kaku terhadap orang-orang sekitar.
Sedangkan aku menganggap dia lucu karena sangat suka mengobrol panjang-panjang
dengan mereka setiap ada kesempatan. Mungkin pacarku pernah les bahasa ikan.
Aku sih, tidak mau ikut sekalipun ada promo gratis.
Setelah semua basa-basi dengan akhiran jawaban singkat,
tanpa pertanyaan umpan balik dariku, kembali aku bisa memakai earphone-ku lagi, meneruskan daftar
putar yang tadi sempat terhenti di lagu Here Comes The Regret. Suaranya Lee Hi
memang bagus, jadi kenapa YG tidak juga membiarkannya merilis album solo? Bisa
jadi hidup jadi artis berat juga. Berapa ya mereka dibayar untuk featuring satu lagu? Masuk ke daftar
putar berikutnya, Born Hater, aku meringis. Aku pernah baca terjemahan artinya
dan sempat ingin jadi rapper
setelahnya. Asik sekali, bisa bebas menghina atau curhat soal menyebalkannya
orang-orang yang suka ngomong ini-itu dan komentar seenak udel. Dengan konsep
dan gaya yang keren. Dibayar pula.
Sudah hampir waktunya, aku melirik jam di smartphone. Orang keren biasanya memakai
jam tangan, tetapi aku tidak. Risih rasanya jika ada benda-benda menempel di
bagian-bagian kulitmu. Seandainya tidak punya urat malu, aku bisa saja
mendengarkan Eyes, Nose, Lip-nya Tablo sambil telanjang. Aku bangkit dan
berjalan menembus kerumunan dengan diiringi intro Paranoia. Meski suara band di
panggung sangat keras ditambah teriakan antusias orang-orang, suara Tablo dan
Mithra Jin tetap mendominasi otakku. No
way, in this street ain’t nobody waiting for you...Aku hanya ingat beberapa
lirik terjemahannya.
Sampai di balik panggung aku melihatnya melambaikan tangan. Bersamanya
ada sejumlah orang yang ia kenalkan padaku sebagai teman-teman. Ia mencubit
pinggangku agar aku melepas earphone
dan menyapa dengan ramah, sesuai pembicaraan kami kemarin sebagai syarat ia mau
memakai cincin pemberianku. Teman-temannya tampak lucu. Semua tertawa nyaring.
Bibir mereka tak henti bergerak. Seperti ikan-ikan itu. Kepala mereka bergoyang
sembari mengajukan banyak pertanyaan membosankan soal kapan pertama kali kami
bertemu, apa yang kusukai darinya, malam pertama kami, sampai ajakan untuk
bertemu sebulan sekali dan membawa pasangan masing-masing. Bayangkan betapa serunya jika kita hang out bersama! Kepalaku pening dan aku membutuhkan earphone-ku sekarang. Aku merogoh saku
tetapi pacarku lebih cepat. Ia meraihnya, memberi tanda dengan menggelengkan
kepalanya.
Konser tampaknya tengah mencapai klimaksnya. Seorang teman
pacarku bangkit dan mengajak kami semua mendekat ke panggung. Bintang tamu
utama akan tampil, begitu katanya. Orang-orang berteriak histeris ketika MC
memanggil nama seorang penyanyi. Pacarku juga berteriak. Tapi sebelum ia
berlari menyusul teman-temannya, aku lebih dulu menarik tangannya. Aku
menggeretnya paksa menyisip di antara orang-orang yang terburu-buru ke
panggung.
Di belakang agak jauh dari panggung, ia memberontak. Ia terlihat
sangat marah. Ia berteriak dan memukuli dadaku dengan sebelah tangannya yang
memegang earphone. Aku menangkap
tangannya, merebut earphone, lalu mengunci
mulutnya dengan bibirku kuat-kuat. Mengulum lidahnya. Cara ini selalu jadi cara
terbaik untuk membungkam mulut perempuan. Tapi apa kau tahu? Aku punya cara
lain yang lebih efektif untuk memastikan ia tak lagi mangap-mangap seperti
ikan.
Aku merasakan napasnya terengah-engah dan tubuhnya melunak.
Biasanya memang begitu. Ketika kau kehabisan oksigen dalam paru-parumu, tentu
saja reaksi tubuhmu akan sama juga. Ketika akhirnya ia jatuh dalam pelukanku, aku
melepaskan kabel earphone yang
membekas di kulit lehernya. Aku memasang ujung kabelnya ke smartphone dan mengetuk play.
Sembari berjalan menembus kerumunan dan menghilang, lagu Paranoia yang tadi
sempat terhenti kembali mengisi otakku lagi.
Has her breath stopped
now?
Has her heart turned
cold?
Am I being watched
from somewhere?
How long will she
resent me?
.end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar