Kamis, 24 Juli 2014

Prosa Pendek (2)



14 September 2013 

Kecuali mencintaimu, aku tak punya alasan lain. Kau tempatku pulang, menyampirkan baju kerja dan menggantinya dengan kaos oblong. Kemudian bersama yang lain aku menuju halaman belakang, bermain layang-layang, terkadang cukup dengan gundu. Atau menerbangkan merpati-merpati.

Membersamaimu adalah konsekuensi, adalah risiko. Adalah sama dengan pohon yang mengikuti matahari kemanapun pergi. Siapa peduli nantinya matahari tiada lagi? Justru saat paling indah adalah sepersekian detik sebelum ia menghilang tenggelam. Sepersekian detik itulah hartaku. Karena langka dan perlu kesabaran untuk menunggu momen spesialmu itu, maka hanya sedikit yang mau, hanya sedikit yang tahu. Hanya sedikit yang bertahan untuk tahu.

Kita adalah ikatan yang tak disengaja. Kita bertemu di antara persimpangan saat kita sama-sama beranjak pergi. Dari pelukan bunda, dari gelapnya malam di desa-desa, dari kenyataan yang bayang-bayang. Kita adalah satu dalam sebuah kesepakatan yang tak pernah ditanyakan.

Sayang, genggamlah tanganku, niscaya kubawa kau pada tujuan. Niscaya kubisikkan padamu tempat kita menuju. Akan kubuatkan pagar, kususunkan batu tempat kakimu yang ramping berpijak. Mungkin sesekali kau akan jatuh, sesekali kau akan mengeluh. Aku sendiri tidak tahu nantinya kita akan berjalan seberapa jauh. Tapi janjiku, mengantarmu sampai ke titik terakhir dimana aku masih mampu. Kuatlah!

Kau abadi, tapi aku hanya penunjuk arah dalam perjalananmu yang panjang. Aku akan berhenti di ujung jalan yang kuketahui. Selanjutnya nanti tetaplah berjalan terus, makanlah bekal yang sengaja kubuat untukmu. Bekal hasil egoisme yang terus ingin mengikatmu dalam kenangan atasku.


Kita adalah sepasang. Cangkir dan tatakannya, jari manis dan cincin yang melingkarinya, gitar dan senarnya, burung dan kebebasannya terbang di langit. Aku tak bisa memberikan semuanya. Bisa jadi nanti aku akan membiarkanmu sendirian di beberapa petak jalan dan lebih suka bercengkerama dengan kupu-kupu yang menggoda jemariku. Bisa jadi aku bosan padamu.

Jika nantinya aku tak terlihat di lanskap pandanganmu, maka saat itulah giliranmu menyisakan sedikit rindu untukku. Memanggilku dengan panggilan sayang, tak mungkin aku tak menghampirimu. Lagi, lagi, dan lagi. Karena aku hanya anak kecil yang kian manja dengan pujian.

Karena selain mencintaimu, aku tak tahu alasan lain.

Aku batu dan kau sekotak pahat, atau sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...