![]() |
mpn.kominfo.go.id |
Wartawan (W)
Menteri (M)
W1 : Pak, bapak lebih suka ayam goreng apa
gulai kambing?
M : Ayam goreng
W1 : Pakai tepung atau tidak pak?
M : Pakai tepung
W1 : Model ayam goreng KFC ya pak
M : Ya kurang lebih mirip begitulah..
M : Ayam goreng
W1 : Pakai tepung atau tidak pak?
M : Pakai tepung
W1 : Model ayam goreng KFC ya pak
M : Ya kurang lebih mirip begitulah..
Headline : Menteri M
lebih suka ayam goreng KFC model Amerika dan tidak suka gulai kambing
tradisional Indonesia..
W2 menulis di
berita online :
Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-baratan
Si B bikin
status FB :
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
W3 menulis
berita online abal-abal yang mencatut nama Islam.
Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Si A tweeting :
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Si C menulis
dalam blog
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Kelompok X
Merencanakan Demo Penyesatan Akhlaq
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Menteri M
menerima summary berita hari ini dari sekretarisnya
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
Penasehat : Bagaimana kalau untuk meluruskan ini
besok kita undang seluruh wartawan makan bersama dengan hidangan kambing Pak..
M : Budget-nya?
Penasehat : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..
M : Budget-nya?
Penasehat : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..
Tetooot ... ..
Penasehat 2 : Sepertinya kita harus belajar teknik
komunikasi yang paling meminimalisir peluang disesatkan wartawan Pak. Hemat
tenaga, biaya dan aman
M : Sepertinya cuma anda yang
mikirnya bener di jaman ini.
Kisah di atas bukan
karangan saya. Sebuah broadcast message
sampai ke sebuah grup tempat saya menjadi member didalamnya. Entah siapa yang
membuat, tapi cukup menarik minat saya untuk berpikir dan menelaah lebih jauh. Pertanyaannya adalah, siapa yang menjadi tokoh antagonis?
Barangkali cuplikan kisah
di atas hanya bentuk hiperbola dari sebuah gambaran keadaan yang saat ini kita
rasakan sendiri. Anda tertawa setelah selesai membaca ceritanya? Ataukah
geleng-geleng kepala? Atau beristighfar dalam-dalam karena bisa jadi menyadari
diri Anda terepresentasikan dalam salah satu tokohnya?
Wartawan pertama dalam
cerita membuat judul “Menteri M Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan
Tidak Suka Gulai Kambing Tradisional Indonesia”. Ia sedikit memelintir jawaban
si menteri yang memilih ayam goreng daripada gulai kambing. Tapi pelintiran itu
telah membengkokkan kebenaran jauh dari asalnya. Apakah “lebih memilih” bisa
disamakan dengan “lebih suka”? “Lebih memilih” ayam goreng bisa saja disebabkan
oleh berbagai alasan yang tak harus karena “suka”. Bisa jadi si menteri alergi
daging kambing atau santan, atau punya darah tinggi, atau sekadar karena alasan
harga (entah lebih murah atau lebih mahal). Berbeda dengan “lebih suka” yang
memang alasannya karena “suka” atau karena pilihan lain “lebih tidak disukai”.
Apakah Anda bisa memahami penjelasan saya?
Taruhlah “lebih suka” dalam judul wartawan pertama adalah benar
digunakan. Lantas dalam kalimat “Menteri M
Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan Tidak Suka Gulai Kambing
Tradisional Indonesia” apakah bisa “lebih suka” dibandingkansetara dengan frasa
“tidak suka”? Menurut saya, keduanya tidak bisa dibandingkan karena merupakan
tingkatan. Tingkatan yang saya maksud adalah tidak suka, kurang suka, suka,
lebih suka, sangat suka. Jadi penggunaan frasa “tidak suka” dalam judul kalimat
tersebut tidaklah tepat.
Wartawan pertama sukses membuat penyimpangan penafsiran fakta yang
menjadi fitnah pertama bagi si menteri.
Wartawan kedua yang notabene adalah wartawan online menulis “Terlaluu!
Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan”. Sebelum membahas lebih lanjut, izinkan
saya menjelaskan lebih dahulu sedikit hal tentang media online.
Teknologi internet telah
membuat segalanya menjadi super cepat. Dunia berubah tidak lagi yang besar
mengalahkan yang kecil, tapi yang tercepat mengalahkan segalanya. Demikian juga
perspektif yang kebanyakan dipahami di dunia media. Media manapun yang
menyiarkan berita dengan cepat, ia akan menjadi pemenang. Akan tetapi ketika
sekarang kecepatan dapat disaingi dan produksi berita antar media nyaris
serentak, akhirnya untuk menarik rating dan share, media butuh sesuatu untuk
menarik orang-orang untuk memilih suatu media dianding media lainnya. Maka
dibuatlah judul yang sensasional, yang menggelegar, yang tidak biasa, untuk
menarik rasa penasaran orang-orang dan membaca berita mereka (atau minimal
mengeklik link beritanya).
Demikian juga dengan
wartawan kedua. Ia dikerjar deadline sehari harus setor minimal lima berita. Ia
bersaing untuk bisa lebih cepat daripada wartawan media lain. Ia akan jadi
bahan tertawaan wartawan lain dan jajaran redaksinya jika ia tidak mampu
menyetor berita dengan cepat. Medianya pun menuntut bagi para wartawan online
agar membuat judul berita yang menarik. Maka lancarlah jarinya mengetik di
handphone blackberry-nya “Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan.”
Tambahkan dua sampai lima paragraf pendek, lalu kirim ke email redaksi. Beres.
![]() |
smartbisnis123.files.wordpress.com |
Wartawan ketiga lain lagi. Orang yang baik ini adalah seorang pendakwah
ulung, seorang Islam yang baik. Ia dan medianya yang mencatut nama Islam
memiliki visi untuk menjadikan medianya sebagai sumber referensi utama umat
muslim. Berita-beritanya haruslah memihak kepentingan umat muslim. Dengan
semangat, dia menulis judul “Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan
Rasulullah SAW”.
Jika demikian, saya hanya bisa mendoakan: ya akhi, ya ukhti,
semoga Allah tak mencatat perbuatanmu sebagai dosa fitnah, tapi dosa atas
kurangnya pengetahuan. Semoga Allah membukakan kesempatan bagimu untuk belajar
ilmu jurnalistik lebih jauh...
Tokoh-tokoh berikutnya yang
tercantum dalam kisah adalah contoh tokoh-tokoh yang begitu mulianya sehingga
ingin menyebarkan berita dan opini mereka ke penjuru dunia secepat mungkin.
Lagi-lagi soal kecepatan.
Si A yang sedang main
twitter tertangkap pandangannya pada judul berita media Islam yang jadi langganannya
yang juga dipublikasikan via twitter. Setelah si A yang muslim membaca berita
hasil tulisan wartawan ketiga, ia terbakar hatinya, tergugah nuraninya untuk
mendoakan si menteri dan berusaha mengingatkan si menteri dan masyarakat
sedunia.
Maka menulislah ia, “Astagfirullah..
Ada upaya penyesatan akhlaq, kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak
baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir.”
Orang lain retweet,
capture, share.
Si B dan C begitu
kritisnya. Ia yang begitu mencintai negeri ini, prihatin dengan nasib rakyat
kecil, menggebu-gebu mencari teori, landasan hukum, dan cela-cela pada
kebijakan pemerintah. Si B yang aktif di Facebook membuat status “Hati-hati
Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi
kerakyatan.” Sungguh si B berpikiran
jauh ke depan.
Like. Comment. Share.
![]() |
cbs-bogor.net |
Si C lebih suka membuat
opini yang panjang dan berbobot. Menulislah ia tentang opininya menanggapi
berita yang ditulis wartawan pertama dan kedua. Dirangkumlah dalam sebuah
tulisan yang didalamnya ia berkata dengan pintarnya, “Seperti yang
sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan
karena tidak menguntungkan pemerintah.”
Share. Share. Share.
Kelompok-kelompok
masyarakat yang terlampau kritis dan mencintai negeri ini bersegera membuat
gerakan.
“Kita tidak bisa diam jika
ada penyesatan akhlaq!” seru kelompok X.
“Kita harus bergerak jika
UKM akan tersingkir oleh produk asing!” teriak kelompok Y.
Sungguh bahagia negeri ini
memiliki masyarakat yang begitu reaktif dan aktifnya membela kepentingan
masing-masing.
Si menteri begitu kagetnya
membaca rangkuman berita tentang dirinya dalam dua puluh empat jam terakhir.
Kepalanya hanya bisa geleng-geleng. Apakah ia tanpa sengaja kelepasan bicara
tentang sesuatu? Apakah ada orang dekatnya yang membocorkan isi
pertemuan-pertemuan rahasia mereka? Benarkah percakapannya dengan seorang
wartawan bisa menyetir pergolakan negeri sejauh ini?
Benarkah kata penasihat
pertama, ajak para wartawan makan-makan dan buat mereka menjadi teman agar tak
lagi membuat berita miring tentangnya? Dananya pakai dana kementerian. Ia tak
rugi. Wartawan pun enak. Ataukah penasihat kedua? Ia menyarankan untuk belajar
cara berkomunikasi dengan wartawan dan media. Belajar berdiplomasi dengan
mereka. Memastikan kata-katanya tidak dipelintir. Butuh waktu lama. Ia mesti
banyak membaca buku. Menyewa ahli untuk mengajarinya. Sementara ia belajar,
wartawan bebas bicara apa saja.
Kecepatan dan akses
informasi memang mempermudah banyak hal. Akan tetapi, tidakkah kita ingin
menjadi masyarakat cerdas yang tak terburu-buru dalam melakukan berbagai hal?
Informasi bagaikan senjata sekaligus perisai. Dengannya kita bisa melawan
orang-orang yang kita anggap lawan. Dengannya kita bisa berlindung. Dengannya
kita memiliki landasan dalam melangkah dan memiliki tujuan. Apa jadinya jika
kita hanya menerima informasi yang tak jelas kebenarannya, atau belum jelas?
Ada objek dalam pemberitaan. Ada yang terkorban jika kita seenaknya menyebarkan
informasi yang baru sebagian kecil, baru segelintir, terpotong-potong, apalagi
tidak valid. Ada nasib seseorang yang diikatkan dalam setiap ucap dan broadcast
yang kita sebarkan. Ada kemungkinan fitnah yang tidak kecil.
![]() |
kurniawansatria.blogdetik.com |
Jika Anda wartawan,
tulislah sesuai faktanya, huruf per huruf, jeda per jeda, kata per kata.
Bukankah kewajiban pertama seorang wartawan adalah pada kebenaran? Sabar,
tunggulah sejenak barangkali setan menutupi pikiran Anda dari kebenaran di
depan mata. Ucaplah basmallah, lalu kirimkan ke redaksi dengan doa semoga
berita Anda menjadi manfaat dan terlepas dari fitnah.
Jika Anda masyarakat pada
umumnya, tak perlu berusaha menjadi wartawan dadakan dan menyebarkan berita apa
saja. Jangan jadi orang latah yang refleks mencopy-paste apa saja. Kebebasan
bicara dan berpendapat sudah dijamin memang, ya, tapi bukankah seharusnya itu
tak mengecilkan kebijaksanaan? Kebijaksanaan dalam mencerna informasi,
kebijakan dalam menilai apakah suatu berita layak disebarkan atau tidak.
Bukankah masih ada sisa nurani adan akal sehat dalam diri kita sebagai manusia?
Belajarlah sedikit menjadi lebih pendiam. Lebih bersabar. Lebih kritis mencerna
informasi.
31 Maret 2015
Tulisan keprihatinan atas
berbagai grup chat yang belakangan terlalu informatif.
Promo Spesial Lainnya :
BalasHapus★ Bonus 10% Deposit Pertama !
★ Bonus 5% Deposit Setiap Hari
★ Bonus 100% Win Beruntun 8x, 9x, 10x (dapat di Klaim Setiap Hari)
★ Bonus Cashback Mingguan 5% s/d 10%
★ Bonus Referral 7% + 2%
★ Bonus Rollingan 0,5% + 0,7%
Tersedia Permainan Judi Online :
» Bola / Sportsbook
» Sabung Ayam
» Casino Live
» Slot online
» Togel Online
» Bola Tangkas
» Tembak Ikan
» Poker
» Domino
» Dan Masih Banyak Lainnya.
Situs Judi Online Deposit Ovo
Situs Judi Online Deposit Gopay
Situs Judi Online Deposit Linkaja
Situs Judi Online Deposit Dana
Situs Judi Online Deposit Sakuku
Situs Judi Online Deposit Pulsa Tanpa Potongan
Situs Judi Online Deposit Bank BTPN
Situs Judi Online Deposit Bank BTN
Situs Judi Online Deposit Bank Permata
Hubungi Kontak Resmi Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :
» Nomor WhatsApp : 0812–2222–995
» ID Telegram : @bolavitacc
» ID Wechat : Bolavita
» ID Line : cs_bolavita