Selasa, 31 Maret 2015

Kisah Sederhana tentang Media dan Kita

mpn.kominfo.go.id
Wartawan (W) 
Menteri (M)
W1      : Pak, bapak lebih suka ayam goreng apa gulai kambing?
M         : Ayam goreng
W1      : Pakai tepung atau tidak pak?
M         : Pakai tepung
W1      : Model ayam goreng KFC ya pak
M         : Ya kurang lebih mirip begitulah..
Headline : Menteri M lebih suka ayam goreng KFC model Amerika dan tidak suka gulai kambing tradisional Indonesia..


W2 menulis di berita online :
Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-baratan
Si B bikin status FB :
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
W3 menulis berita online abal-abal yang mencatut nama Islam.
Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Si A tweeting :
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Si C menulis dalam blog
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Kelompok X Merencanakan Demo Penyesatan Akhlaq
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Menteri M menerima summary berita hari ini dari sekretarisnya
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
Penasehat      : Bagaimana kalau untuk meluruskan ini besok kita undang seluruh wartawan makan bersama dengan hidangan kambing Pak..
M                     : Budget-nya?
Penasehat      : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..

Tetooot ... ..
Penasehat 2   : Sepertinya kita harus belajar teknik komunikasi yang paling meminimalisir peluang disesatkan wartawan Pak. Hemat tenaga, biaya dan aman
M                     : Sepertinya cuma anda yang mikirnya bener di jaman ini.


Kisah di atas bukan karangan saya. Sebuah broadcast message sampai ke sebuah grup tempat saya menjadi member didalamnya. Entah siapa yang membuat, tapi cukup menarik minat saya untuk berpikir dan menelaah lebih jauh. Pertanyaannya adalah, siapa yang menjadi tokoh antagonis?

Barangkali cuplikan kisah di atas hanya bentuk hiperbola dari sebuah gambaran keadaan yang saat ini kita rasakan sendiri. Anda tertawa setelah selesai membaca ceritanya? Ataukah geleng-geleng kepala? Atau beristighfar dalam-dalam karena bisa jadi menyadari diri Anda terepresentasikan dalam salah satu tokohnya?

Wartawan pertama dalam cerita membuat judul “Menteri M Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan Tidak Suka Gulai Kambing Tradisional Indonesia”. Ia sedikit memelintir jawaban si menteri yang memilih ayam goreng daripada gulai kambing. Tapi pelintiran itu telah membengkokkan kebenaran jauh dari asalnya. Apakah “lebih memilih” bisa disamakan dengan “lebih suka”? “Lebih memilih” ayam goreng bisa saja disebabkan oleh berbagai alasan yang tak harus karena “suka”. Bisa jadi si menteri alergi daging kambing atau santan, atau punya darah tinggi, atau sekadar karena alasan harga (entah lebih murah atau lebih mahal). Berbeda dengan “lebih suka” yang memang alasannya karena “suka” atau karena pilihan lain “lebih tidak disukai”. Apakah Anda bisa memahami penjelasan saya?

Taruhlah “lebih suka” dalam judul wartawan pertama adalah benar digunakan. Lantas dalam kalimat Menteri M Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan Tidak Suka Gulai Kambing Tradisional Indonesia” apakah bisa “lebih suka” dibandingkansetara dengan frasa “tidak suka”? Menurut saya, keduanya tidak bisa dibandingkan karena merupakan tingkatan. Tingkatan yang saya maksud adalah tidak suka, kurang suka, suka, lebih suka, sangat suka. Jadi penggunaan frasa “tidak suka” dalam judul kalimat tersebut tidaklah tepat.
Wartawan pertama sukses membuat penyimpangan penafsiran fakta yang menjadi fitnah pertama bagi si menteri.

Wartawan kedua yang notabene adalah wartawan online menulis “Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan”. Sebelum membahas lebih lanjut, izinkan saya menjelaskan lebih dahulu sedikit hal tentang media online.

Teknologi internet telah membuat segalanya menjadi super cepat. Dunia berubah tidak lagi yang besar mengalahkan yang kecil, tapi yang tercepat mengalahkan segalanya. Demikian juga perspektif yang kebanyakan dipahami di dunia media. Media manapun yang menyiarkan berita dengan cepat, ia akan menjadi pemenang. Akan tetapi ketika sekarang kecepatan dapat disaingi dan produksi berita antar media nyaris serentak, akhirnya untuk menarik rating dan share, media butuh sesuatu untuk menarik orang-orang untuk memilih suatu media dianding media lainnya. Maka dibuatlah judul yang sensasional, yang menggelegar, yang tidak biasa, untuk menarik rasa penasaran orang-orang dan membaca berita mereka (atau minimal mengeklik link beritanya).

Demikian juga dengan wartawan kedua. Ia dikerjar deadline sehari harus setor minimal lima berita. Ia bersaing untuk bisa lebih cepat daripada wartawan media lain. Ia akan jadi bahan tertawaan wartawan lain dan jajaran redaksinya jika ia tidak mampu menyetor berita dengan cepat. Medianya pun menuntut bagi para wartawan online agar membuat judul berita yang menarik. Maka lancarlah jarinya mengetik di handphone blackberry-nya “Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan.” Tambahkan dua sampai lima paragraf pendek, lalu kirim ke email redaksi. Beres.

smartbisnis123.files.wordpress.com


Wartawan ketiga lain lagi. Orang yang baik ini adalah seorang pendakwah ulung, seorang Islam yang baik. Ia dan medianya yang mencatut nama Islam memiliki visi untuk menjadikan medianya sebagai sumber referensi utama umat muslim. Berita-beritanya haruslah memihak kepentingan umat muslim. Dengan semangat, dia menulis judul “Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW”. 
Jika demikian, saya hanya bisa mendoakan: ya akhi, ya ukhti, semoga Allah tak mencatat perbuatanmu sebagai dosa fitnah, tapi dosa atas kurangnya pengetahuan. Semoga Allah membukakan kesempatan bagimu untuk belajar ilmu jurnalistik lebih jauh...

Tokoh-tokoh berikutnya yang tercantum dalam kisah adalah contoh tokoh-tokoh yang begitu mulianya sehingga ingin menyebarkan berita dan opini mereka ke penjuru dunia secepat mungkin. Lagi-lagi soal kecepatan.

Si A yang sedang main twitter tertangkap pandangannya pada judul berita media Islam yang jadi langganannya yang juga dipublikasikan via twitter. Setelah si A yang muslim membaca berita hasil tulisan wartawan ketiga, ia terbakar hatinya, tergugah nuraninya untuk mendoakan si menteri dan berusaha mengingatkan si menteri dan masyarakat sedunia.

Maka menulislah ia, “Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir.”
Orang lain retweet, capture, share.

Si B dan C begitu kritisnya. Ia yang begitu mencintai negeri ini, prihatin dengan nasib rakyat kecil, menggebu-gebu mencari teori, landasan hukum, dan cela-cela pada kebijakan pemerintah. Si B yang aktif di Facebook membuat status “Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan.” Sungguh si B berpikiran jauh ke depan.

Like. Comment. Share.

cbs-bogor.net

Si C lebih suka membuat opini yang panjang dan berbobot. Menulislah ia tentang opininya menanggapi berita yang ditulis wartawan pertama dan kedua. Dirangkumlah dalam sebuah tulisan yang didalamnya ia berkata dengan pintarnya, “Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah.”

Share. Share. Share.

Kelompok-kelompok masyarakat yang terlampau kritis dan mencintai negeri ini bersegera membuat gerakan.

“Kita tidak bisa diam jika ada penyesatan akhlaq!” seru kelompok X.
“Kita harus bergerak jika UKM akan tersingkir oleh produk asing!” teriak kelompok Y.

Sungguh bahagia negeri ini memiliki masyarakat yang begitu reaktif dan aktifnya membela kepentingan masing-masing.

Si menteri begitu kagetnya membaca rangkuman berita tentang dirinya dalam dua puluh empat jam terakhir. Kepalanya hanya bisa geleng-geleng. Apakah ia tanpa sengaja kelepasan bicara tentang sesuatu? Apakah ada orang dekatnya yang membocorkan isi pertemuan-pertemuan rahasia mereka? Benarkah percakapannya dengan seorang wartawan bisa menyetir pergolakan negeri sejauh ini?

Benarkah kata penasihat pertama, ajak para wartawan makan-makan dan buat mereka menjadi teman agar tak lagi membuat berita miring tentangnya? Dananya pakai dana kementerian. Ia tak rugi. Wartawan pun enak. Ataukah penasihat kedua? Ia menyarankan untuk belajar cara berkomunikasi dengan wartawan dan media. Belajar berdiplomasi dengan mereka. Memastikan kata-katanya tidak dipelintir. Butuh waktu lama. Ia mesti banyak membaca buku. Menyewa ahli untuk mengajarinya. Sementara ia belajar, wartawan bebas bicara apa saja.
Kecepatan dan akses informasi memang mempermudah banyak hal. Akan tetapi, tidakkah kita ingin menjadi masyarakat cerdas yang tak terburu-buru dalam melakukan berbagai hal? Informasi bagaikan senjata sekaligus perisai. Dengannya kita bisa melawan orang-orang yang kita anggap lawan. Dengannya kita bisa berlindung. Dengannya kita memiliki landasan dalam melangkah dan memiliki tujuan. Apa jadinya jika kita hanya menerima informasi yang tak jelas kebenarannya, atau belum jelas? Ada objek dalam pemberitaan. Ada yang terkorban jika kita seenaknya menyebarkan informasi yang baru sebagian kecil, baru segelintir, terpotong-potong, apalagi tidak valid. Ada nasib seseorang yang diikatkan dalam setiap ucap dan broadcast yang kita sebarkan. Ada kemungkinan fitnah yang tidak kecil.

kurniawansatria.blogdetik.com

Jika Anda wartawan, tulislah sesuai faktanya, huruf per huruf, jeda per jeda, kata per kata. Bukankah kewajiban pertama seorang wartawan adalah pada kebenaran? Sabar, tunggulah sejenak barangkali setan menutupi pikiran Anda dari kebenaran di depan mata. Ucaplah basmallah, lalu kirimkan ke redaksi dengan doa semoga berita Anda menjadi manfaat dan terlepas dari fitnah.




Jika Anda masyarakat pada umumnya, tak perlu berusaha menjadi wartawan dadakan dan menyebarkan berita apa saja. Jangan jadi orang latah yang refleks mencopy-paste apa saja. Kebebasan bicara dan berpendapat sudah dijamin memang, ya, tapi bukankah seharusnya itu tak mengecilkan kebijaksanaan? Kebijaksanaan dalam mencerna informasi, kebijakan dalam menilai apakah suatu berita layak disebarkan atau tidak. Bukankah masih ada sisa nurani adan akal sehat dalam diri kita sebagai manusia? Belajarlah sedikit menjadi lebih pendiam. Lebih bersabar. Lebih kritis mencerna informasi.



31 Maret 2015

Tulisan keprihatinan atas berbagai grup chat yang belakangan terlalu informatif.

1 komentar:

  1. Promo Spesial Lainnya :

    ★ Bonus 10% Deposit Pertama !
    ★ Bonus 5% Deposit Setiap Hari
    ★ Bonus 100% Win Beruntun 8x, 9x, 10x (dapat di Klaim Setiap Hari)
    ★ Bonus Cashback Mingguan 5% s/d 10%
    ★ Bonus Referral 7% + 2%
    ★ Bonus Rollingan 0,5% + 0,7%

    Tersedia Permainan Judi Online :
    » Bola / Sportsbook
    » Sabung Ayam
    » Casino Live
    » Slot online
    » Togel Online
    » Bola Tangkas
    » Tembak Ikan
    » Poker
    » Domino
    » Dan Masih Banyak Lainnya.

    Situs Judi Online Deposit Ovo
    Situs Judi Online Deposit Gopay
    Situs Judi Online Deposit Linkaja
    Situs Judi Online Deposit Dana
    Situs Judi Online Deposit Sakuku
    Situs Judi Online Deposit Pulsa Tanpa Potongan
    Situs Judi Online Deposit Bank BTPN
    Situs Judi Online Deposit Bank BTN
    Situs Judi Online Deposit Bank Permata

    Hubungi Kontak Resmi Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :

    » Nomor WhatsApp : 0812–2222–995
    » ID Telegram : @bolavitacc
    » ID Wechat : Bolavita
    » ID Line : cs_bolavita

    BalasHapus

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...