Senin, 18 Agustus 2014

Ada Alasan Lain untuk ke Kantor Pos Fatahillah


"Kita buat ruang jadi waktu. Kita kembali ke masa depan."
(Tulisan Goenawan Mohamad di ruang pameran Galeri Fatahillah)

Jangan salah mengira jika ada orang yang datang ke Kantor Pos Indonesia di Taman Fatahillah, Jakarta Pusat pasti hendak mengirim surat atau paket. Bisa jadi ia adalah seorang penikmat seni, karena kini kantor pos tak hanya tentang kiriman barang. Ya, sejak 13 Maret 2014, kantor pos tertua di Jakarta itu juga memamerkan aneka seni rupa kontemporer buatan seniman-seniman ternama di Indonesia.

Siang hari, Kamis (14/8/204), Kantor Pos Indonesia di kompleks Taman Fatahillah atau Kota Tua, Jakarta Pusat, sepi. Hanya ada dua atau tiga orang pengunjung yang hendak mengirim surat atau barang di bagian dalam kantor pos. Loket-loket pengiriman barang berjejer dengan hanya sepertiganya yang dijaga petugas. Orang yang hendak mengirim barang tak perlu antre karena memang hanya sedikit yang berkepentingan. Pemandangan itu adalah pemandangan sehari-hari yang tampak di kantor pos. Mengirim surat lewat email lebih cepat daripada lewat kantor pos, maka kebanyakan orang yang datang ke kentor pos adalah orang yang hendak mengirim paket-paket barang.

Ketika banyak orang kehilangan alasan untuk datang ke kantor pos, Kantor Pos Indonesia di Taman Fatahillah memberikan daya tarik lain. Sebuah galeri seni rupa kontemporer dibuka di lantai dua kantor pos tersebut. Pintu masuknya berada tepat di sebelah kanan pintu menuju loket pengiriman barang. Pengunjung hanya perlu menaiki tangga batu di depan meja resepsionis untuk menuju lantai dua. Di akhir tangga batu, pengunjung akan melihat aula dan sebuah lorong. Aula tersebut digunakan untuk pertemuan para seniman dan sekretariat Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Lorong yang ada di depan tangga akan membawa pengunjung menuju bagian dalam galeri.

Siang itu galeri lengang, tak ada seorang pengunjung pun. Suasana terasa sunyi ditambah efek lampu pameran yang agak remang. Di ruangan yang sebelumnya tidak digunakan itu, terpajang lukisan-lukisan dan karya seni lain. Tak perlu heran jika beberapa kali ada pengunjung yang memekik pelan atau terperanjat begitu memasuki ruang pameran. Sesaat setelah kaki menginjak bagian dalam dan menengok ke kiri, pengunjung akan disambut dengan lukisan besar berupa empat wajah manusia yang simetris. Lukisan tersebut berjudul “Face of Nusa Tenggara” karya seniman Galam Zulkifli.

Selain lukisan wajah tersebut, beragam lukisan lain digantung di sepanjang tembok galeri. Lukisan lain di antaranya lukisan berjudul “Look at My Body and My Life” karya Ivan Sagita dan “Pembangkit Prana” karya I Ketut Budiana. Bersama hasil karya yang lain, lukisan-lukisan tersebut memberi efek misterius pada galeri. Karena sebagian besar berupa lukisan abstrak dan didominasi warna-warna gelap, pengunjung dibuat menerka-nerka makna dari lukisan yang dipajang. Tampaknya hal tersebut persis seperti kata-kata Oei Hong Djien, salah satu seniman tersohor di Indonesia, yang tertera dalam tulisan di dinding galeri:

“Sebuah karya seni tidaklah baku dan kaku; maknanya dapat mengacu pada waktu, tempat, atau peristiwa. Pemirsa pun bebas memberi tafsiran sendiri...”


Look at My Body and My Soul
Tak hanya lukisan, karya seni rupa kontemporer lainnya turut menghiasi tembok galeri. Di depan lukisan wajah, di pojok kiri ruangan, sebuah dipan panjang tergantung dengan empat utas rantai mengikat keempat sudut dipan. Di permukaan dipan, pengunjung dengan jelas dapat membaca tulisan “LIAR”. Karya tiga dimensi ini dibuat oleh seniman Melati Suryodarmo dengan bahan logam besi. Dalam deskripsinya, tertulis bahwa kata “liar” berarti pembohong dan ke”liar”an yang menunjukkan arti kesejahteraan tidak dapat didefinisikan secara mutlak. Lainnya ada karya Mella Jaarsma berupa tempelan foto-foto kuno dalam empat buah potongan kain berbentuk baju. Karya yang diberi judul “Surat Terakhir” ini memuat foto-foto hitam-putih tahun 1980-an.


Karya-karya tersebut adalah sebagian dari 46 karya seniman yang dipamerkan di galeri seni kantor pos atau disebut Galeri Fatahillah. Setiap harinya galeri ini mampu menarik rata-rata 25 pengunjung dan menjadi dua kali lipat di akhir pekan. Bagi pengunjung umum dikenakan biaya masuk Rp 50.000 dan bagi mahasiswa atau pelajar Rp 25.000 per orang. Meskipun cukup mahal dibandingkan biaya masuk museum lainnya di kompleks Taman Fatahillah, sebagian besar pengunjung tetap memberi penilaian “bagus” pada buku tamu yang memuat kesan dan pesan pengunjung.

I Ketut Mardjana, mantan Direktur Utama Kantor Pos Indonesia, dalam diskusi publik Fiesta Kota Tua Jakarta atau Fiesta Fatahillah pada 14 Maret 2014 (via sarasvati.co.id), mengatakan bahwa Galeri Fatahillah merupakan alih fungsi kantor pos menjadi pusat informasi dan pengetahuan, termasuk seni.
Galeri yang dibuat dalam rangka Fiesta Kota Tua Jakarta ini merupakan salah satu bentuk revitalisasi kawasan Kota Tua atau Kota Lama yang dicanangkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Revitalisasi yang dimulai secara simbolis pada 13 Maret 2014 lalu bertujuan untuk mengembangkan kawasan Kota Tua menjadi salah satu ikon Jakarta selain Monas dan Kepulauan Seribu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...