Rabu, 22 April 2015

Dramaturgi Dovima (Reflection)

Aku baru selesai membaca novel berjudul Dramaturgi Dovima. Jika boleh kuringkas, isinya tentang seorang wanita yang bekerja menjadi seorang jurnalis. Kesan yang ditampilkan dalam novel itu cenderung gelap. Tokoh wanitanya digambarkan sekeras batu dan penyendiri. Bukan karena malu, melainkan karena merasa bahwa dunia ini dan segala isinya bukan tempatnya seharusnya berada. Satu-satunya yang membuatnya merasa hidup dan tempat untuk melarikan diri dari segala kenyataan yang menyebalkan adalah pekerjaannya: jurnalis sebuah majalah berita yang sibuk.

Ada sesuatu yang menarikku ke dalam cerita itu begitu dalam. Aku tak melepaskan buku itu hingga sampai titik terakhir. Kisahnya, alurnya, bagaimana cerita berakhir, entahlah. Rasanya seperti dejavu.

Aku pernah mengimpikan memiliki kehidupan yang sama dengan kisah novel itu.
Aku pernah menginginkan kehidupan seperti itu: drama, ketegaran, tangisan, kekuatan untuk bertahan hidup, dan kepercayaan diri bahwa aku tak membutuhkan orang lain. Tak ada yang pantas untuk membersamaiku melewatkan waktu.

Seorang jurnalis yang gila kerja, menolak hampir semua pria, menganggap cinta hanya dramatisasi dari hasrat seksual. Ia kokoh bagai gunung dan tinggi tak tersentuh. Orang-orang yang mengaguminya tak berani mengulurkan tangan lebih jauh. Di atas sana, ia memandang orang-orang dengan sinis, menolak keberadaan yang lain dan hanya fokus untuk bekerja.

Aku pernah menginginkan itu.

Penulis novel itu tak menempatkannya sebagai karakter yang antagonis, atau protagonis. Ia menempatkan tokoh sentralnya sebagai manusia. Ia menjadikan pekerjaan sebagai tempat pelarian  dari kepahitan hidup. Dalam kegilaannya pada kerja, cinta menjadi hal yang mengganggu. Ia memutuskan untuk melepaskan diri. Menjadi jurnalis adalah melihat semua hal dengan dingin. Menjadi objektif dan hanya melihat fakta akan menyelamatkannya dari kerepotan bercampurnya perasaan saat liputan. Menjauhkannya dari kekecewaan. Tapi juga akan menghancurkan bagian dalam diri perlahan-lahan. Bagiku, kehancuran yang manis, yang penuh kebanggaan.

Konflik yang terjadi barangkali terlalu didramatisasi, tapi berhasil menangkapku dan mengurungku di dalam cerita, mungkin sampai berbulan-bulan kedepan. Aku tak mudah lupa.


Aku masih ingin menjadi batu seperti Dovima.



11 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...