Aku baru selesai membaca novel berjudul Dramaturgi Dovima.
Jika boleh kuringkas, isinya tentang seorang wanita yang bekerja menjadi
seorang jurnalis. Kesan yang ditampilkan dalam novel itu cenderung gelap. Tokoh
wanitanya digambarkan sekeras batu dan penyendiri. Bukan karena malu, melainkan
karena merasa bahwa dunia ini dan segala isinya bukan tempatnya seharusnya
berada. Satu-satunya yang membuatnya merasa hidup dan tempat untuk melarikan
diri dari segala kenyataan yang menyebalkan adalah pekerjaannya: jurnalis
sebuah majalah berita yang sibuk.
Ada sesuatu yang menarikku ke dalam cerita itu begitu dalam.
Aku tak melepaskan buku itu hingga sampai titik terakhir. Kisahnya, alurnya,
bagaimana cerita berakhir, entahlah. Rasanya seperti dejavu.
Aku pernah mengimpikan memiliki kehidupan yang sama dengan kisah
novel itu.
Aku pernah menginginkan kehidupan seperti itu: drama,
ketegaran, tangisan, kekuatan untuk bertahan hidup, dan kepercayaan diri bahwa
aku tak membutuhkan orang lain. Tak ada yang pantas untuk membersamaiku
melewatkan waktu.
Seorang jurnalis yang gila kerja, menolak hampir semua pria,
menganggap cinta hanya dramatisasi dari hasrat seksual. Ia kokoh bagai gunung
dan tinggi tak tersentuh. Orang-orang yang mengaguminya tak berani mengulurkan
tangan lebih jauh. Di atas sana, ia memandang orang-orang dengan sinis, menolak
keberadaan yang lain dan hanya fokus untuk bekerja.
Aku pernah menginginkan itu.
Penulis novel itu tak menempatkannya sebagai karakter yang
antagonis, atau protagonis. Ia menempatkan tokoh sentralnya sebagai manusia. Ia
menjadikan pekerjaan sebagai tempat pelarian
dari kepahitan hidup. Dalam kegilaannya pada kerja, cinta menjadi hal
yang mengganggu. Ia memutuskan untuk melepaskan diri. Menjadi jurnalis adalah
melihat semua hal dengan dingin. Menjadi objektif dan hanya melihat fakta akan
menyelamatkannya dari kerepotan bercampurnya perasaan saat liputan. Menjauhkannya
dari kekecewaan. Tapi juga akan menghancurkan bagian dalam diri perlahan-lahan.
Bagiku, kehancuran yang manis, yang penuh kebanggaan.
Konflik yang terjadi barangkali terlalu didramatisasi, tapi
berhasil menangkapku dan mengurungku di dalam cerita, mungkin sampai
berbulan-bulan kedepan. Aku tak mudah lupa.
Aku masih ingin menjadi batu seperti Dovima.
11 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar