Rabu, 23 Desember 2015

Diari Resepsi -in her eyes-


Aku pernah menjadi wanita paling egois di dunia. Memintanya datang dengan membawa banyak cinderamata dan menginginkannya jadi milikku tanpa aku harus membayar apa-apa sebagai gantinya.

Aku pernah menjadi angkuh, menyilangkan lengan di dada dan mengangkat dagu ketika dia mengetuk pintu. Aku tak membelanya ketika orang tuaku bertanya apa yang ia bawa. Dan ia menundukkanku ketika dengan menatapku, ia berkata hanya membawa hidupnya dan tidak akan memberikan apa yang tidak ia bawa. Di dalam matanya, aku menemukan jalan kepatuhan dan perlindungan.

Maka aku meminta maaf pada orang tuaku karena tidak bisa membela mereka dalam mempertahankanku. Aku dengan durhaka memilih meraih tangannya daripada bertahan dalam pelukan mereka. Dalam hingar-bingar ini, aku tak berani meminta mereka ikut berbahagia. Yang kuminta adalah pengertian dan mereka tidak pernah tidak memberikan apa yang kuminta. Dan demikianlah rantai kepatuhanku berpindah kuasa, dibeli dengan harga dirinya.

Aku ingin sekarang juga ia membawaku berlari pergi. Segera memutuskan rasa bersalah yang mengungkungi diri, berbenah untuk berlayar ke tempat yang tak seorang pun mengenali. Tetapi tangannya menggenggamku erat, memakunya untuk tetap di sini sampai semua orang merestui. Ia menyelamatkan aku dari pilihan yang akan membuatku menyesal nanti. Dan detik aku mengerti, aku bersumpah menjadi miliknya sampai mati.


Aku ingin menjadi baik, dalam segala hal yang ia anggap baik. Berpakaian dengan baik, bersolek dengan baik, berbicara dengan baik, mendengarkan dengan baik, bersabar dengan baik, bersyukur dengan baik, bersetia kepadanya dengan baik. Aku ingin waktuku tanpanya di sisiku adalah penantian dan waktuku bertemu dengannya adalah sebuah awal yang baru. Maka kuharap aku selalu menunggu datangnya kisah-kisah yang membuat pipiku bersemu setiap kali ia mengucapkan "sampai nanti" di pagi hari dan kembali dengan "aku pulang" sebelum petang menjelang. Karena petangku sudah kujanjikan menjadi miliknya dan petangnya sudah disumpah untuk diberikan kepadaku.

Ia tak hanya akan jadi labuhan tangis, tapi juga hulu semua bahagiaku. Aku takkan menangis tanpa izinnya dan berbahagia tanpa restunya. Untuk selamanya dalam hidupnya, kuharap aku menjadi satu-satunya definisi pulang dan tempat pertama yang ia tuju ketika segala di harinya selesai. Setiap membuka pintu, ia akan selalu menemukanku tersenyum menyambutnya dengan rambut yang wangi dan nasi hangat terhidang. Meski seringkali lauk akan sederhana, tapi pertemuan yang dijeda penantian tak akan pernah berakhir sederhana. 

Menjadi kuat dan lebih tangguh. Menjadi mandiri dan lebih tegap berdiri. Kelak jika ia datang padaku dengan segala bebannya di hari itu, jika punggungnya yang kokoh tertekuk lesu, aku tidak akan roboh. Kaki, punggung, dan tanganku akan tetap mampu menopangnya sama seperti ia selalu menopangku. Aku akan kuat membawanya sampai tempat peristirahatan kami dan menenteramkannya sampai segalanya menjadi baik lagi.

Aku bersumpah untuk memenuhi tugasku sebagai bagian penting yang menyempurnakan hidupnya. Lebih sempurna dari ia menyempurnakan hidupku.


24 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...