Rabu, 16 Maret 2016

Jejak

Lagi-lagi aku menemui Aris sepulang sekolah. Di pohon kelapa dekat sungai itu, aku tahu dia juga sedang menungguku. Aku tak sabar bercerita tentang kejadian lucu di kelasku tadi. Tak lupa kuselipkan sebatang gulali ke tas untuk kuberikan padanya jika dia bisa menjawab pertanyaan dariku.
Kutemukan Aris menungguku dengan bermain yoyo di atas bongkahan batu besar di samping pohon kelapa di pinggir sungai. Markas kami.

“Baru?” tanyaku menunjuk yoyo di tangannya.

Dia berhenti memutar-mutar yoyonya dan beralih memperhatikan aku. “Randu memberikannya padaku kemarin. Katanya dia bosan main yoyo, jadi diberikan padaku. Dia baik sekali ya?”

“Kamu kan cuma diberi mainan bekas, kenapa senang?” tanyaku tidak suka. Aku tidak suka dia menyebut kebaikan orang lain. Selain kebaikanku, tentu.

“Aku tidak pernah main yoyo sebelumnya. Kemarin kulihat Randu dan Feri memainkannya dengan bagus. Aku ingin coba…”

“Apa Randu memerintahkanmu melakukan sesuatu? Dia tidak akan memberimu sesuatu dengan gratis, bahkan sekalipun itu hanya kantong plastik bekas.”

“Ah tidak juga. Aku hanya harus memberinya pertunjukan lompat indah. Seperti yang kutunjukkan padamu beberapa waktu yang lalu.” Dia menyeringai. Baru kuperhatikan dia hanya mengenakan kaus dalam berlubang-lubang dan celananya basah. Selembar baju dikaitkan di tonjolan pohon kelapa, berkibar diterpa angin.

“Dan kamu melakukannya? Melompat di arus deras itu?” tanyaku marah sambil menunjuk aliran sungai yang memang sedang deras. “Apa kamu bodoh?”

Aris hanya tertawa. Dia dua tahun lebih tua dariku, sepertinya. Dia tidak tahu tanggal lahirnya, tapi kata ibuku dia sudah bisa berlari ketika aku baru lahir. Aris terlahir tanpa ayah dan ibunya meninggal ketika ia berumur tujuh tahun. Kehidupannya dari umur tujuh hingga dua belas tahun ini, tidak ada yang tahu, kurasa. Aris hanya bisa ditemui disini, di pohon kelapa pinggir sungai setelah sore hari sepulang sekolah. Aku pernah bertanya apa yang ia lakukan saat aku sedang belajar di sekolah. Hanya bertualang, katanya. Dan aku tidak suka pusing memikirkan urusan orang, jadi asal dia ada ketika aku mencari, maka semua tidak menjadi masalah.

“Kalau tenggelam bagaimana? Hanyut? Kamu pikir aku akan menyelamatkanmu?”

“Tentu saja, kan?” dia menggodaku, aku tahu. “Asih pasti akan terjun dan menyelamatkan aku jika aku tenggelam. Iya, kan?”

Aris mengacak rambutku dan aku sangat senang karenanya. Aku selalu senang ketika Aris memujiku, mengelus rambutku, dan mendengarkan ceritaku.

“Lalu, ada apa di sekolah hari ini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Mendengar pertanyaan itu aku langsung menyerangnya dengan cerita-cerita seru di sekolahku. Randu jatuh saat olah raga, Asep dimarahi guru saat tidur di kelas, dan rambut Rina yang ditempeli permen karet oleh Wahyu. Kuceritakan semua itu dengan semangat dan marah-marah ketika bercerita tentang betapa tidak adilnya guru memberi nilai padaku.

“Dengan otakku ini, seharusnya aku dapat nilai sempurna, tahu! Pak Trisno memang tidak adil padaku. Randu yang bodoh selalu dapat bagus. Aku benci pelajaran itu!”

Aris hanya sesekali tertawa dan menanggapi ceritaku sambil memainkan yoyo di tangannya. Setelah selesai bercerita, biasanya dia memberiku nasihat-nasihat lucu tentang bagaimana seharusnya aku menanggapi anak-anak nakal di kelas dan bagaimana menjawab pertanyaan guru dengan pertanyaan balik yang telak. Aku selalu suka bagian ini. Ah, tidak. Aku selalu suka bagian hidupku yang kuhabiskan di sini, di pinggir sungai ini.

Aku pulang setelah matahari tenggelam. Kuberikan gulali yang tadi kubeli di sekolah padanya setelah berjanji esoknya ia akan berada di sini lagi.

***

Sungai yang mengalir melintasi dusunku meluap. Penduduk dusun tidak membuat tanggul untuk mencegah luapan air hingga sampai ke pemukiman penduduk. Sebelumnya tidak pernah ada banjir akibat luapan air sungai. Maka hari itu untuk pertama kalinya aku dan teman-teman tidak masuk sekolah. Seragam dan semua keperluan sekolah basah. Jadi agenda hari itu diisi dengan membersihkan lumpur dari rumah oleh bapak-bapak, mencuci peralatan oleh ibu-ibu, dan bermain air oleh kami anak-anak.

Sore itu pertama kalinya aku tidak menemui Aris. Ibu melarangku dekat-dekat sungai. Arusnya sedang deras dan ada kemungkinan meluap jika hujan lagi. Aku menurut saja. Lagipula, aku yakin Aris juga tidak datang karena pohon kelapanya pasti terendam air. Dia juga perlu membersihkan rumahnya sendiri, kan?

***

Aku menyesal sekali tidak menghitung berapa hari, bahkan jam tepatnya aku menghabiskan waktu setiap sorenya berkunjung ke pohon kelapa tempat Aris biasa kutemui. Menyesal sedalam-dalamnya.

“Jadi,” katanya memulai pembicaraan. Belakangan ini kami hanya bertemu, lalu diam sampai matahari tenggelam dengan hanya membicarakan sedikit hal. “Apa sudah ada yang menyatakan cinta padamu?”

Aku tidak suka pertanyaan ini.

“Pertanyaan itu sudah kudengar lima kali tahun ini, kurasa,” kataku tanpa menatapnya. Dia, seperti biasa, duduk di batang pohon kelapa yang melengkung kearah sungai.

“Apa aku tidak boleh bertanya?”

“Bukan itu. Aku hanya tidak suka. Kamu tidak menanyakan itu ketika aku SD atau SMP dulu. Sekarang saat aku SMA kamu jadi sering menanyakannya. Apa ada bedanya?”

Dia tertawa. Tawa yang masih sangat kusukai hingga detik ini. Sekalipun tubuhnya sudah jauh lebih besar dan suaranya memberat, matanya yang sedih dan caranya tertawa tetaplah Aris yang sama seperti yang pertama kali kutemui dulu.

“Tidak ada gunanya bertanya macam itu pada anak SD, kan?” guraunya. “Kurasa SMP juga bukan umur yang cocok untuk membicarakannya. Dibicarakanpun tidak ada keseriusan di dalamnya. Jauh lebih menarik mengetahui kehidupan sekolah dan teman-temanmu saat itu.”

Aku mendengus. “Bicaramu seolah sudah paruh baya saja. Apa kamu akan jadi kakek-kakek besok pagi?” Dia tertawa lagi.

“Lalu? Tetap tidak akan memberitahuku?” tanyanya lagi. “Jadi sudah ada rahasia di dalam kamus kehidupanmu. Wah wah, sayang sekali. Padahal selalu menarik mendengar ceritamu sejauh ini…”

“Tidak ada yang bisa diceritakan, kok. Tidak ada yang menarik di sekolah. Begitu juga dengan teman-teman. Tertawa, menyontek, marahan, bersaing, itu saja. Apa lagi yang ingin kamu ketahui?”

“Semuanya. Semua tentang sekolahmu, aku ingin tahu, Sih. Kamu tahu aku tidak sekolah sama sekali. Kupikir dengan mendengar ceritamu tiap hari, aku bisa memimpikan dengan akurat situasi ketika aku duduk di bangku depan kelas dan mendengarkan guru menjelaskan pelajaran… Apa tidak boleh? Kamu keberatan?”

“Tidak, bukan begitu. Aku hanya merasa tidak adil, Ris. Aku menceritakan semua padamu dengan lengkap. Semua yang ingin kamu tahu. Tapi kamu tidak memberitahuku apapun. Aku bahkan tidak mengenalmu, kurasa,” kataku meninggi. Rambutku berkibar oleh hembusan angin. Kakiku yang kucelupkan ke tepian sungai menimbulkan gelombang kecil yang membuat kabur ikan-ikan kecil di bawahnya.

Dia tertawa lagi. Kali ini lebih keras.

“Penasaran denganku, sekarang?” Ah, aku tahu pola ini. Sudah sering sekali terjadi percakapan macam ini. Ketika aku bertanya tentangnya, dia akan memancing harga diriku dengan pertanyaan macam itu dan akhirnya aku menjawab tidak. Maka berakhirlah pembahasan tentang dirinya. Semudah itu Aris mengendalikan aku.

“Iya, penasaran.” Satu titik balik dariku nampaknya membuatkan cukup terkejut. Ha, kena dia!

“Bagian mana yang membuat tuan putri panasaran?”

“Jangan menggodaku atau berusaha mengelak. Kewajibanmu hanya menjawab.”

“Jika kujawab, ‘rahasia’ bagaimana?”

“Maka ini adalah pertemuan terakhir kita.” Kutantang dia.

Aris lagi-lagi tertawa. “Baiklah. Kita coba apakah ini benar-benar menjadi pertemuan terakhir.”
Kulemparkan kerikil padanya. Sial! Aku kalah dengan ancaman lembut itu.

“Jangan penasaran padaku, Asih. Tidak ada gunanya.”

Aku hanya mencibir dan bangkit berdiri. Kutinggalkan bungkusan kue bolu di dekatnya, bekalku hari ini sebagai bayaran menemuinya. Aku pulang dengan marah. Tapi aku tahu, besok aku akan menemuinya lagi.

***

“Kamu kuliah, ya, Sih?” pertanyaan ibu mengagetkanku. Untung saja pisau yang sedang kupakai untuk mengupas wortel tidak jatuh atau mengiris jariku sendiri.

“Kenapa, Bu? Bukankah di dusun kita belum ada yang pernah kuliah sebelumnya?”

“Justru itu, Sih, ibu ingin kamu yang pertama kali mengawali.” Ibu mendekat padaku sambil menambahkan seledri ke dalam adonan bakwan di sampingku. “Kamu bukannya ingin jadi pengacara? Ibu dan bapak bisa bantu, Sih…”

Aku tersenyum kecut. “Kuliah dimana Bu? Bapak mau jual rumah biar asih bisa sekolah?”

“Lho, kalau harus, ya nggak maslah, Sih. Buat ibu bapak pendidikanmu itu nomor satu. Makanya walaupun temen-temen kamu di sini hanya disekolahkan sampai SD atau SMP, ibu menyekolahkan kamu sampai SMA. Kalau perlu kuliah, Sih…”

“Asih pikirkan dulu ya, Bu. Lagipula Asih masih kelas dua, belum tahu maunya jadi apa. Pengacara itu kan cita-cita SD Bu, sekarang sudah nggak kepikiran lagi…”

Ibu mengelus bahuku lembut. Tatapannya seperti menaruh harapan besar padaku. Tanpa berkata apa-apa, ibu mengaduk adonan.

***

Aku menceritakan keinginan ibuku pada Aris. Kali ini saat kutemui dia sedang memancing sambil duduk di bagian batang yang lebih tinggi dari biasanya.

“Bisakah kamu turun? Leherku sakit harus mendongak begini,” kataku. Dia membiarkan tubuhnya merosot sepanjang alur batang dan sampai di batang yang paling dekat denganku.

“Itu artinya kamu akan merantau?”

Aku mengangguk. “Kalau jadi sih iya.”

“Baguslah. Berarti akhirnya ada anak dusun yang jadi sarjana,” katanya serius. Tapi mendengar itu aku merasa ada yang tersentak dalam hatiku. Aku tidak suka mendengarnya berkata demikian.

“Apa kamu pikir semudah itu jadi sarjana? Tes masuknya saja susah. Belum lagi kalau diterima harus merantau, jauh dari orang tua. Duit siapa pula?”

“Rezeki bisa dari mana saja kok. Contohnya aku. Aku bisa hidup sampai sekarang, itu takdir yang luar biasa. Mungkin takdir juga kalau kamu harus pergi dan kelak kembali untuk membangun dusun ini, Sih. Takdir Tuhan siapa yang tahu? Jangan pesimis begitu, lah. Bisa kuliah itu kesempatan besar lho…”

“Tapi aku nggak ingin pergi…”

“Kenapa?”

Aku menatapnya dalam-dalam. Kutemukan dalam matanya kedalaman yang tidak tertembus. Anak tak berpendidikan ini, bagaimana perasaannya setiap kali mendengarkan keluhanku tentang sekolah? Apa yang dia lakukan dari pagi hingga saat pertemuannya denganku? Mengapa ia terus ada di tempat aku mencarinya?

“Karena jika pergi, aku akan dilupakan,” jawabku akhirnya. Dia tidak meresponku, maka aku menambahkan, “Bukankah begitu? Manusia adalah sosok yang mudah lupa dan dilupakan. Jika aku pergi, bukankah orang-orang akan lupa padaku? Lalu mereka akan terbiasa hidup tanpa ada aku dan akhirnya aku tidak akan dibutuhkan lagi. Bukankah begitu, Ris?”

“Siapa yang kamu maksud ‘mereka’?”

Kamu, kamu, kamu. Tapi tidak pernah kuucapkan.

Dia berkata lagi, “Tapi kamu tidak pergi untuk menghilang, kan? Kamu pergi untuk kelak dapat membuat jejak di dusun ini. Kelak namamu akan disebut-sebut di rapat musyawarah dusun sebagai tokoh perubahan. Dusun ini membutuhkanmu untuk dibangun menjadi lebih baik, Sih. Kenapa kamu takut dilupakan jika nantinya kami disini yang akan membutuhkanmu?”

Tapi aku ingin dibutuhkan olehmu bukan sebagai tokoh atau orang pintar, Ris… Aku…

Aku menghela napas. “Kamu benar-benar ingin aku pergi, sepertinya…”

“Aku akan bangga, lho, punya teman yang jadi mahasiswa. Padahal aku tidak sekolah sama sekali. Bisa kubanggakan pada teman-teman kerja, nih. Hahaha…”

Ikan-ikan kecil berpencar ketika kuhentakkan kakiku ke air.

***

Aris tidak ada sore ini. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihatnya dimanapun di sepanjang sungai tempat kami biasa bertemu. Kami sudah melupakan pembicaraan mengenai kuliah setahun lalu. Sekarang aku mau berangkat ke kota. Aku ingin pamitan. Meminta nomor teleponnya, mungkin. Aku baru sadar aku tidak punya kontak apapun miliknya selama masa bersama kami.

Kenapa dia tidak ada? Kan, setidaknya dia bisa bilang sampai jumpa padaku.

***

“Ada kabar apa dari Aris, Bu?” tanyaku lewat telepon di sela-sela perkuliahan. Ibu meneleponku untuk memastikan alamat kosku. Katanya ada paket yang dikirim untukku di rumah. Kuminta ibu untuk mengirimkannya ke alamat kosku karena aku baru akan pulang beberapa bulan lagi.

“Buat apa kamu tanya-tanya dia?”

“Tidak apa, Bu. Hanya penasaran apakah dia sudah pulang atau belum. Kan Asih sudah lama tidak dengar kabarnya…”

“Pulang kemana? Orang-orang juga tak ada yang tahu siapa dia, kok. Dia bukan warga sini. Dari dulu ibu sudah khawatir kamu dekat-dekat sama dia, Sih.”

“Iya, Bu. Maaf. Paketnya tolong kirim saja ya. Asih tutup dulu teleponnya.”

Kuletakkan telepon genggamku di atas kasur dan merebahkan diri di sampingnya. Hei, Ris. Apa kamu sehat? Apa kamu masih sekurus dulu? Sebenarnya rumahmu dimana? Masihkah sering ke pohon kelapa itu? Masih sepintar dulu? Masih menungguku?

Hei, Ris. Siapa kamu? Haruskah aku mengenalmu lebih dulu sebelum mengizinkanmu memiliki sekotak ingatan milikku?

***

Paket untukku baru saja sampai. Aku sedikit penasaran dengan pengirimnya. Tidak ada alamat atau identitas pengirim. Bom? Tidak mungkin. Harusnya petugas pos sudah mengeceknya jika memang bom. Kubuka saja.

Isinya sekotak gulali. Ada rasa seperti sentakan halus dalam hatiku. Dan ada selembar kertas juga.

Kita adalah manusia-manusia yang rapuh, Sih. Tidak sepantasnya menentang Tuhan dengan takdirNya. Kita adalah manusia-manusia yang semu. Kita bisa dihapus hanya dengan sekali angin berhembus atau bakteri halus yang masuk melalui pori-pori atau dengan torehan belati di pergelangan tangan. Ya, Sih, seperti katamu. Keberadaan kita memang hanya demikian buramnya. Maka jadilah kau seseorang yang meninggalkan jejak yang kuat, Sih. Selama kau pergi, aku bisa terus mengingatmu dari jejak-jejak yang kau tinggalkan di sini…

Jejak-jejakku, kau boleh melupakannya. Mereka telah hanyut dibawa sungai dan bercampur lebur dengan lumpur di muara. Tak ada artinya.

Jadi pada akhirnya Aris tak menjelaskan apa-apa. Dia tetap betah tinggal dalam kubah rahasia-rahasianya sendiri. Dia memahamiku lebih banyak dari diriku sendiri. Saat aku hanya tahu bahwa aku senang berada dekat dengannya, dia sudah bisa mendefinisikan perasaan senang itu. Ia sudah tahu aku tak akan melupakan setiap pertemuan dan obrolan. Surat itu adalah perpisahan halus beserta isyarat bahwa kami tidak akan bertemu lagi karena Aris pergi. Ketika Aris pergi, ia akan memastikan tak ada yang bisa mencari. 

Aku menatap cermin dengan menggenggam satu gulali. Mataku panas. Kubuka plastik pembungkus gulali dan mulai kujilati. Asin.



Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...