Lagi-lagi
aku menemui Aris sepulang sekolah. Di pohon kelapa dekat sungai itu, aku tahu
dia juga sedang menungguku. Aku tak sabar bercerita tentang kejadian lucu di
kelasku tadi. Tak lupa kuselipkan sebatang gulali ke tas untuk kuberikan
padanya jika dia bisa menjawab pertanyaan dariku.
Kutemukan
Aris menungguku dengan bermain yoyo di atas bongkahan batu besar di samping
pohon kelapa di pinggir sungai. Markas kami.
“Baru?”
tanyaku menunjuk yoyo di tangannya.
Dia
berhenti memutar-mutar yoyonya dan beralih memperhatikan aku. “Randu
memberikannya padaku kemarin. Katanya dia bosan main yoyo, jadi diberikan
padaku. Dia baik sekali ya?”
“Kamu
kan cuma diberi mainan bekas, kenapa senang?” tanyaku tidak suka. Aku tidak
suka dia menyebut kebaikan orang lain. Selain kebaikanku, tentu.
“Aku
tidak pernah main yoyo sebelumnya. Kemarin kulihat Randu dan Feri memainkannya
dengan bagus. Aku ingin coba…”
“Apa
Randu memerintahkanmu melakukan sesuatu? Dia tidak akan memberimu sesuatu
dengan gratis, bahkan sekalipun itu hanya kantong plastik bekas.”
“Ah
tidak juga. Aku hanya harus memberinya pertunjukan lompat indah. Seperti yang
kutunjukkan padamu beberapa waktu yang lalu.” Dia menyeringai. Baru
kuperhatikan dia hanya mengenakan kaus dalam berlubang-lubang dan celananya
basah. Selembar baju dikaitkan di tonjolan pohon kelapa, berkibar diterpa
angin.
“Dan
kamu melakukannya? Melompat di arus deras itu?” tanyaku marah sambil menunjuk
aliran sungai yang memang sedang deras. “Apa kamu bodoh?”
Aris
hanya tertawa. Dia dua tahun lebih tua dariku, sepertinya. Dia tidak tahu
tanggal lahirnya, tapi kata ibuku dia sudah bisa berlari ketika aku baru lahir.
Aris terlahir tanpa ayah dan ibunya meninggal ketika ia berumur tujuh tahun.
Kehidupannya dari umur tujuh hingga dua belas tahun ini, tidak ada yang tahu,
kurasa. Aris hanya bisa ditemui disini, di pohon kelapa pinggir sungai setelah
sore hari sepulang sekolah. Aku pernah bertanya apa yang ia lakukan saat aku
sedang belajar di sekolah. Hanya
bertualang, katanya. Dan aku tidak suka pusing memikirkan urusan orang, jadi
asal dia ada ketika aku mencari, maka semua tidak menjadi masalah.
“Kalau
tenggelam bagaimana? Hanyut? Kamu pikir aku akan menyelamatkanmu?”
“Tentu
saja, kan?” dia menggodaku, aku tahu. “Asih pasti akan terjun dan menyelamatkan
aku jika aku tenggelam. Iya, kan?”
Aris
mengacak rambutku dan aku sangat senang karenanya. Aku selalu senang ketika
Aris memujiku, mengelus rambutku, dan mendengarkan ceritaku.
“Lalu,
ada apa di sekolah hari ini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Mendengar
pertanyaan itu aku langsung menyerangnya dengan cerita-cerita seru di
sekolahku. Randu jatuh saat olah raga, Asep dimarahi guru saat tidur di kelas,
dan rambut Rina yang ditempeli permen karet oleh Wahyu. Kuceritakan semua itu
dengan semangat dan marah-marah ketika bercerita tentang betapa tidak adilnya
guru memberi nilai padaku.
“Dengan
otakku ini, seharusnya aku dapat nilai sempurna, tahu! Pak Trisno memang tidak
adil padaku. Randu yang bodoh selalu dapat bagus. Aku benci pelajaran itu!”
Aris
hanya sesekali tertawa dan menanggapi ceritaku sambil memainkan yoyo di
tangannya. Setelah selesai bercerita, biasanya dia memberiku nasihat-nasihat
lucu tentang bagaimana seharusnya aku menanggapi anak-anak nakal di kelas dan
bagaimana menjawab pertanyaan guru dengan pertanyaan balik yang telak. Aku
selalu suka bagian ini. Ah, tidak. Aku selalu suka bagian hidupku yang
kuhabiskan di sini,
di pinggir sungai ini.
Aku
pulang setelah matahari tenggelam. Kuberikan gulali yang tadi kubeli di sekolah
padanya setelah berjanji esoknya ia akan berada di sini lagi.
***
Sungai
yang mengalir melintasi dusunku meluap. Penduduk dusun tidak membuat tanggul
untuk mencegah luapan air hingga sampai ke pemukiman penduduk. Sebelumnya tidak
pernah ada banjir akibat luapan air sungai. Maka hari itu untuk pertama kalinya
aku dan teman-teman tidak masuk sekolah. Seragam dan semua keperluan sekolah
basah. Jadi agenda hari itu diisi dengan membersihkan lumpur dari rumah oleh
bapak-bapak, mencuci peralatan oleh ibu-ibu, dan bermain air oleh kami
anak-anak.
Sore
itu pertama kalinya aku tidak menemui Aris. Ibu melarangku dekat-dekat sungai.
Arusnya sedang deras dan ada kemungkinan meluap jika hujan lagi. Aku menurut
saja. Lagipula, aku yakin Aris juga tidak datang karena pohon kelapanya pasti
terendam air. Dia juga perlu membersihkan rumahnya sendiri, kan?
***
Aku
menyesal sekali tidak menghitung berapa hari, bahkan jam tepatnya aku
menghabiskan waktu setiap sorenya berkunjung ke pohon kelapa tempat Aris biasa
kutemui. Menyesal sedalam-dalamnya.
“Jadi,”
katanya memulai pembicaraan. Belakangan ini kami hanya bertemu, lalu diam
sampai matahari tenggelam dengan hanya membicarakan sedikit hal. “Apa sudah ada
yang menyatakan cinta padamu?”
Aku
tidak suka pertanyaan ini.
“Pertanyaan
itu sudah kudengar lima kali tahun ini, kurasa,” kataku tanpa menatapnya. Dia,
seperti biasa, duduk di batang pohon kelapa yang melengkung kearah sungai.
“Apa
aku tidak boleh bertanya?”
“Bukan
itu. Aku hanya tidak suka. Kamu tidak menanyakan itu ketika aku SD atau SMP
dulu. Sekarang saat aku SMA kamu jadi sering menanyakannya. Apa ada bedanya?”
Dia
tertawa. Tawa yang masih sangat kusukai hingga detik ini. Sekalipun tubuhnya
sudah jauh lebih besar dan suaranya memberat, matanya yang sedih dan caranya
tertawa tetaplah Aris yang sama seperti yang pertama kali kutemui dulu.
“Tidak
ada gunanya bertanya macam itu pada anak SD, kan?” guraunya. “Kurasa SMP juga
bukan umur yang cocok untuk membicarakannya. Dibicarakanpun tidak ada keseriusan
di dalamnya. Jauh lebih menarik mengetahui kehidupan sekolah dan teman-temanmu
saat itu.”
Aku
mendengus. “Bicaramu seolah sudah paruh baya saja. Apa kamu akan jadi
kakek-kakek besok pagi?” Dia tertawa lagi.
“Lalu?
Tetap tidak akan memberitahuku?” tanyanya lagi. “Jadi sudah ada rahasia di
dalam kamus kehidupanmu. Wah wah, sayang sekali. Padahal selalu menarik
mendengar ceritamu sejauh ini…”
“Tidak
ada yang bisa diceritakan, kok. Tidak ada yang menarik di sekolah. Begitu juga
dengan teman-teman. Tertawa, menyontek, marahan, bersaing, itu saja. Apa lagi
yang ingin kamu ketahui?”
“Semuanya.
Semua tentang sekolahmu, aku ingin tahu, Sih. Kamu tahu aku tidak sekolah sama
sekali. Kupikir dengan mendengar ceritamu tiap hari, aku bisa memimpikan dengan
akurat situasi ketika aku duduk di bangku depan kelas dan mendengarkan guru
menjelaskan pelajaran… Apa tidak boleh? Kamu keberatan?”
“Tidak, bukan begitu. Aku hanya merasa tidak
adil, Ris. Aku menceritakan semua padamu dengan lengkap. Semua yang ingin kamu
tahu. Tapi kamu tidak memberitahuku apapun. Aku bahkan tidak mengenalmu,
kurasa,” kataku meninggi. Rambutku berkibar oleh hembusan angin. Kakiku yang
kucelupkan ke tepian sungai menimbulkan gelombang kecil yang membuat kabur
ikan-ikan kecil di bawahnya.
Dia
tertawa lagi. Kali ini lebih keras.
“Penasaran
denganku, sekarang?” Ah, aku tahu pola ini. Sudah sering sekali terjadi
percakapan macam ini. Ketika aku bertanya tentangnya, dia akan memancing harga
diriku dengan pertanyaan macam itu dan akhirnya aku menjawab tidak. Maka
berakhirlah pembahasan tentang dirinya. Semudah itu Aris mengendalikan aku.
“Iya,
penasaran.” Satu titik balik dariku nampaknya membuatkan cukup terkejut. Ha,
kena dia!
“Bagian
mana yang membuat tuan putri panasaran?”
“Jangan
menggodaku atau berusaha mengelak. Kewajibanmu hanya menjawab.”
“Jika
kujawab, ‘rahasia’ bagaimana?”
“Maka
ini adalah pertemuan terakhir kita.” Kutantang dia.
Aris
lagi-lagi tertawa. “Baiklah. Kita coba apakah ini benar-benar menjadi pertemuan
terakhir.”
Kulemparkan
kerikil padanya. Sial! Aku kalah dengan ancaman lembut itu.
“Jangan
penasaran padaku, Asih. Tidak ada gunanya.”
Aku
hanya mencibir dan bangkit berdiri. Kutinggalkan bungkusan kue bolu di
dekatnya, bekalku hari ini sebagai bayaran menemuinya. Aku pulang dengan marah.
Tapi aku tahu, besok aku akan menemuinya lagi.
***
“Kamu
kuliah, ya, Sih?” pertanyaan ibu mengagetkanku. Untung saja pisau yang sedang
kupakai untuk mengupas wortel tidak jatuh atau mengiris jariku sendiri.
“Kenapa,
Bu? Bukankah di dusun kita belum ada yang pernah kuliah sebelumnya?”
“Justru
itu, Sih, ibu ingin kamu yang pertama kali mengawali.” Ibu mendekat padaku
sambil menambahkan seledri ke dalam adonan bakwan di sampingku. “Kamu bukannya
ingin jadi pengacara? Ibu dan bapak bisa bantu, Sih…”
Aku
tersenyum kecut. “Kuliah dimana Bu? Bapak mau jual rumah biar asih bisa
sekolah?”
“Lho,
kalau harus, ya nggak maslah, Sih. Buat ibu bapak pendidikanmu itu nomor satu.
Makanya walaupun
temen-temen kamu di sini
hanya disekolahkan sampai SD atau SMP, ibu menyekolahkan
kamu sampai SMA. Kalau perlu kuliah, Sih…”
“Asih
pikirkan dulu ya, Bu. Lagipula Asih masih kelas dua, belum tahu maunya jadi
apa. Pengacara itu kan cita-cita SD Bu, sekarang sudah nggak kepikiran lagi…”
Ibu
mengelus bahuku lembut. Tatapannya seperti menaruh harapan besar padaku. Tanpa
berkata apa-apa, ibu mengaduk adonan.
***
Aku
menceritakan keinginan ibuku pada Aris. Kali ini saat kutemui dia sedang
memancing sambil duduk di bagian batang yang lebih tinggi dari biasanya.
“Bisakah
kamu turun? Leherku sakit harus mendongak begini,” kataku. Dia membiarkan
tubuhnya merosot sepanjang alur batang dan sampai di batang yang paling dekat
denganku.
“Itu
artinya kamu akan merantau?”
Aku
mengangguk. “Kalau jadi sih iya.”
“Baguslah.
Berarti akhirnya ada anak dusun yang jadi sarjana,” katanya serius. Tapi
mendengar itu aku merasa ada yang tersentak dalam hatiku. Aku tidak suka
mendengarnya berkata demikian.
“Apa
kamu pikir semudah itu jadi sarjana? Tes masuknya saja susah. Belum lagi kalau
diterima harus merantau, jauh dari orang tua. Duit siapa pula?”
“Rezeki
bisa dari mana saja kok. Contohnya aku. Aku bisa hidup sampai sekarang, itu
takdir yang luar biasa. Mungkin takdir juga kalau kamu harus pergi dan kelak
kembali untuk membangun dusun ini, Sih. Takdir Tuhan siapa yang tahu? Jangan
pesimis begitu, lah. Bisa kuliah itu kesempatan besar lho…”
“Tapi
aku nggak ingin pergi…”
“Kenapa?”
Aku
menatapnya dalam-dalam. Kutemukan dalam matanya kedalaman yang tidak tertembus.
Anak tak berpendidikan ini, bagaimana perasaannya setiap kali mendengarkan
keluhanku tentang sekolah? Apa yang dia lakukan dari pagi hingga saat
pertemuannya denganku? Mengapa ia terus ada di tempat aku mencarinya?
“Karena
jika pergi, aku akan dilupakan,” jawabku akhirnya. Dia tidak meresponku, maka
aku menambahkan, “Bukankah begitu? Manusia adalah sosok yang mudah lupa dan
dilupakan. Jika aku pergi, bukankah orang-orang akan lupa padaku? Lalu mereka
akan terbiasa hidup tanpa ada aku dan akhirnya aku tidak akan dibutuhkan lagi.
Bukankah begitu, Ris?”
“Siapa
yang kamu maksud ‘mereka’?”
Kamu, kamu, kamu.
Tapi tidak pernah kuucapkan.
Dia
berkata lagi, “Tapi kamu tidak pergi untuk menghilang, kan? Kamu pergi untuk
kelak dapat membuat jejak di dusun ini. Kelak namamu akan disebut-sebut di
rapat musyawarah dusun sebagai tokoh perubahan. Dusun ini membutuhkanmu untuk
dibangun menjadi lebih baik, Sih. Kenapa kamu takut dilupakan jika nantinya
kami disini yang akan membutuhkanmu?”
Tapi aku ingin
dibutuhkan olehmu bukan sebagai tokoh atau orang pintar, Ris… Aku…
Aku
menghela napas. “Kamu benar-benar ingin aku pergi, sepertinya…”
“Aku
akan bangga, lho, punya teman yang jadi mahasiswa. Padahal aku tidak sekolah
sama sekali. Bisa kubanggakan pada teman-teman kerja, nih. Hahaha…”
Ikan-ikan
kecil berpencar ketika kuhentakkan kakiku ke air.
***
Aris
tidak ada sore ini. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihatnya dimanapun di
sepanjang sungai tempat kami biasa bertemu. Kami sudah melupakan pembicaraan
mengenai kuliah setahun lalu. Sekarang aku mau berangkat ke kota. Aku ingin
pamitan. Meminta nomor teleponnya, mungkin. Aku baru sadar aku tidak punya
kontak apapun miliknya selama masa bersama kami.
Kenapa
dia tidak ada? Kan, setidaknya dia bisa bilang sampai jumpa padaku.
***
“Ada
kabar apa dari Aris, Bu?” tanyaku lewat telepon di sela-sela perkuliahan. Ibu
meneleponku untuk memastikan alamat kosku. Katanya ada paket yang dikirim
untukku di rumah. Kuminta ibu untuk mengirimkannya ke alamat kosku karena aku
baru akan pulang beberapa bulan lagi.
“Buat
apa kamu tanya-tanya dia?”
“Tidak
apa, Bu. Hanya penasaran apakah dia sudah pulang atau belum. Kan Asih sudah
lama tidak dengar kabarnya…”
“Pulang
kemana? Orang-orang juga tak ada yang tahu siapa dia, kok. Dia bukan warga
sini. Dari dulu ibu sudah khawatir kamu dekat-dekat sama dia, Sih.”
“Iya,
Bu. Maaf. Paketnya tolong kirim saja ya. Asih tutup dulu teleponnya.”
Kuletakkan
telepon genggamku di atas kasur dan merebahkan diri di sampingnya. Hei, Ris. Apa kamu sehat? Apa kamu masih
sekurus dulu? Sebenarnya rumahmu dimana? Masihkah sering ke pohon kelapa itu? Masih
sepintar dulu? Masih menungguku?
Hei, Ris. Siapa kamu?
Haruskah aku mengenalmu lebih dulu sebelum mengizinkanmu memiliki sekotak
ingatan milikku?
***
Paket untukku baru
saja sampai. Aku sedikit penasaran dengan pengirimnya. Tidak ada alamat atau
identitas pengirim. Bom? Tidak mungkin. Harusnya petugas pos sudah mengeceknya
jika memang bom. Kubuka saja.
Isinya
sekotak gulali. Ada rasa seperti sentakan halus dalam hatiku. Dan ada selembar
kertas juga.
Kita adalah
manusia-manusia yang rapuh, Sih. Tidak sepantasnya menentang Tuhan dengan
takdirNya. Kita adalah manusia-manusia yang semu. Kita bisa dihapus hanya
dengan sekali angin berhembus atau bakteri halus yang masuk melalui pori-pori
atau dengan torehan belati di pergelangan tangan. Ya, Sih, seperti katamu.
Keberadaan kita memang hanya demikian buramnya. Maka jadilah kau seseorang yang
meninggalkan jejak yang kuat, Sih. Selama kau pergi, aku bisa terus mengingatmu
dari jejak-jejak yang kau tinggalkan di sini…
Jejak-jejakku, kau boleh
melupakannya. Mereka telah hanyut dibawa sungai dan bercampur lebur dengan
lumpur di muara. Tak ada artinya.
Jadi
pada akhirnya Aris tak menjelaskan apa-apa. Dia tetap betah tinggal dalam kubah
rahasia-rahasianya sendiri. Dia memahamiku lebih banyak dari
diriku sendiri. Saat aku hanya tahu bahwa aku senang berada dekat dengannya,
dia sudah bisa mendefinisikan perasaan
senang itu. Ia sudah tahu aku tak akan melupakan setiap pertemuan dan obrolan. Surat itu adalah perpisahan
halus beserta isyarat bahwa kami tidak akan bertemu lagi karena Aris pergi.
Ketika Aris pergi, ia akan memastikan tak ada yang bisa mencari.
Aku menatap cermin dengan menggenggam satu gulali. Mataku panas. Kubuka plastik pembungkus gulali dan mulai kujilati. Asin.
Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar