Sabtu, 23 April 2016

The Way He Loves Me

Langit malam Kota Yogyakarta menjadi pemandangan tanpa batas. Aku tidak peduli pada suara tokek yang terkadang berisik atau pada suara jangkrik dan teman-teman komunitas sawahnya. Sekali ini aku juga tidak peduli pada cerita horor yang pernah kudengar dari teman-teman atau yang belakangan sempat sedikit kubaca di internet. Lampu depan sudah kunyalakan sebelum naik ke lantai tiga pondok kayu ini dan membuka jendelanya lebar-lebar. Di malam yang cerah tak berawan ini, aku ingin berduaan saja.

Aku menatapnya sambil bertopang dagu. Ia menatapku juga dan kuharap tatapan itu bermakna sama denganku. Rindu.

Kami bicara tentang nostalgia. Bagaimana ia sudah mengenalku sebelum aku lahir dan bagaimana Ummi dan Bapak sedikit demi sedikit mengenalkanku padanya.

"Ia baik, Sa. Ia akan memberi semua yang kamu butuhkan," kata Ummi.
"Apa dia sangat kaya?" tanyaku.
"Iya, tapi bukan karena itu dia memberimu. Karena dia mencintaimu."
"Dia akan memberi semua yang kuminta?"
"Semua yang kamu butuhkan."

Permintaan pertama yang kuingat dengan jelas adalah kuminta ia memberiku teman yang baik di sekolah dasar. Tapi ia justru menjauhkan mereka dariku dengan kerudung dan pakaian seragam yang panjang, yang dipakaikan orang tuaku padaku sejak taman kanak-kanak. Tak ada anak yang mau berteman dengan anak aneh yang pergi ke sekolah dengan menutup hampir seluruh tubuhnya. Begitupun anak-anak tetangga.

Banyak hal menakutkan di sekolah. Aku pernah merendam kepalaku di bak mandi berjam-jam dan tidur tanpa mengeringkannya, berharap esok paginya aku akan jatuh sakit dan bisa membolos.

"Ikuti nasihat Imam Syafi'i. Carilah ilmu, maka harta dan teman yang akan mengikutimu," demikian kata Ummi hampir tiga kali seminggu, setiap kali aku menolak berangkat sekolah. Aku belum mengenal Imam Syafi'i, tapi tahu ada namanya di antara buku-buku bacaan Bapak di rumah. Maka aku berangkat sekolah. Bukan karena Imam Syafi'i, tapi karena Ummi menyeretku.

Di antara marah dan kecewa karena tak kunjung ia kirimkan teman padaku, aku mendekat pada buku-buku. Di antara tumpukan kertas dan cerita di dalamnya, kutemukan diriku tak membutuhkan teman manusia. Aku bisa menghabiskan sepanjang liburan tanpa bicara dengan orang lain, tanpa keluar kamar. Bertahun setelahnya, baru kusadari: aku meminta teman yang baik dan ia memberikannya. Buku-buku itu telah menjadi teman terbaik lebih dari yang bisa kuharapkan. Ketika aku membaca, tidak punya teman pun rasanya tidak apa-apa.

Akhirnya aku bertemu orang-orang yang bisa kuanggap teman di bangku SMA. Aku begitu senangnya. Peduli apa dengan nilai yang anjlok dan cita-cita lama. Di SMA kutemukan kesenangan selain buku-buku. Tidak penting lagi visi misi dan program kerja organisasi. Rapat-rapat dan berbagai kegiatan cukuplah jadi alasan untuk tiap pertemuan dengan teman. Sampai ujian dan kelulusan menjatuhkanku, menyadarkanku pada cita-cita yang pernah dikesampingkan.

Dia selalu tahu bagaimana cara mendekatkanku padanya. Sepertinya dia tahu bahwa setelah permintaanku ia berikan, aku tak lagi jadi anak baik dan penurut. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman baru daripadanya. Kemarahannya terwujud dalam usahanya mempersulitku masuk perguruan tinggi yang kuinginkan. Lagi-lagi, aku harus memaksa diri menjadi anak baik: rajin belajar dan beribadah. Dua bulan lebih ia membuat dirinya sendiri sebagai pusat rotasi hidupku. Dia membuatku tak memikirkan hal lain selain membuatnya senang dan memberikan apa yang kuminta. Semakin aku merengek, semakin senanglah ia.

Tapi toh dia tetap memberikannya. Hingga bertahun-tahun setelahnya, pola hubungan kami selalu sama: ia tak memberikan yang kuminta sampai aku jadi anak baik yang hanya memikirkannya.

Satu hal ini tak kupelajari dari Ummi dan Bapak, tapi murni dari pengalamanku sendiri dalam menjaga hubungan kami. Ia adalah pemarah dan pencemburu.  Setelah ia kabulkan permintaanku, biasanya aku akan segera lupa padanya. Saat itulah ia marah. Ia akan ambil kembali apa yang pernah diberikannya padaku. Hal-hal berharga seperti teman, cita-cita, dan orang tua.

Aku menyadarinya ketika pagi itu aku terlambat bangun pagi. Ia memintaku menghubunginya setidaknya lima kali sehari. Pagi itu aku terlambat dan sepertinya aku lupa meminta maaf. Tak menunggu sehari atau dua, aku mendapat kabar yang tak kuduga-duga: Bapak kecelakaan dan aku harus segera pulang. Ia mengambil Bapak tanpa memberiku kesempatan untuk bicara.

Momen lain adalah ketika aku merencanakan hidupku seenaknya. Telah kususun rencana hidupku sampai mati di selembar kertas besar. Kurencanakan hidupku tak lama: usia 27 aku meninggal karena terkena ranjau ketika meliput berita di Palestina. Tak kumasukkan dia di rencanaku dan aku pun tak meminta pendapat atau restunya. Kemarahannya luar biasa. Bersamaan dengan ia ambil Bapak, ia ambil juga hal berharga lain yang pernah kupunya: cita-cita.

Kami bertengkar dalam diam selama beberapa bulan. Aku menolak merayu dan ia pun membiarkanku. Hal yang menyebalkan untuk kuakui adalah, bagaimanapun aku membencinya, hidupku tak pernah lengkap tanpanya. Kurasa aku sudah terlanjur bergantung dan terlalu banyak menerima. Aku jadi tak bisa menyalahkannya jika ia mengambil apa-apa milikku.

Kuputuskan untuk membangun kembali hubungan yang lebih setara. Aku tak mau lagi jadi pihak yang terus menerus menerima. Aku pulang ke rumah dan sekali lagi menjadi anak baik: kukerjakan apa yang ia minta dan kutepati janji-janji yang dulu pernah kukatakan sebagai syarat aku diizinkan pergi ke Jakarta. Kubalas semua utang budi yang pernah kuterima dan memastikan semua kembali pada tempatnya. Aku hanya meminta satu hal sebagai ganti padanya: jangan ambil apapun lagi dariku. Aku tidak akan sengaja meminta. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dan jika ia pikir aku layak, ia akan memberiku hal yang kubutuhkan. Ia juga akan menyediakan jalan.

"Yang kita minta darinya bukan harta benda, Dek, melainkan ridhanya atas apa-apa yang kita kerjakan," kata Ustadzah. "Dan hadiah terbaik yang diberikannya pada orang-orang terkasih adalah kemampuan untuk mengambil hikmah."

Aku tak sering mengajaknya berbincang tentang nostalgia hubungan kami di masa lalu. Meskipun dia senang setiap kali aku berterima kasih, kupikir jika terima kasih kusampaikan lewat kata dan terus-terusan, ia pun akan bosan. Kadang-kadang saja ketika meneleponnya, kukatakan betapa aku bersyukur mengenalnya. Selebihnya kusampaikan lewat cara lain yang selalu berbeda setiap harinya, seperti ia mengabulkan permintaanku dengan berbagai cara yang tak sama.

Ia kekasih yang penyayang. Ia kekasih yang lucu. Ia kekasih yang pemarah. Ia kekasih yang pencemburu. Ia kekasih yang sangat mencintaiku.

Di bawah langit Yogyakarta yang berbintang ini, aku tak bisa menahan diri untuk mencintainya lebih besar lagi. Bagaimana bisa aku menduakannya, saat menyadari bahwa setelah melewati sabar, cemas, marah, dan kecewa, ternyata satu per satu doaku dikabulkannya?

"Berdoalah kepadaku, niscaya akan Kukabulkan untukmu." (Al-Mu'min: 60)


 Yogyakarta, 19 April 2016
Annisa Qurani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...