Jumat, 29 Juli 2016

Perihal Mereka yang Ditinggalkan

Sebenarnya aku sudah berhenti untuk sok memberi komentar soal sesuatu yang sedang jadi tren pembicaraan di TV. Rasanya mainstream sekali, soalnya. Pun tak pernah ada habisnya jika serius dibahas. Kalau tidak serius membahas, kan namanya omong kosong, hanya bicara saja tidak mampu mengubah apa-apa. Kupikir begitu, tapi aku tidak bisa menahan diri soal yang satu ini.

Hukuman mati, ya. Sudah dilaksanakan. Sejak dulu juga sudah ada, sudah banyak kasusnya. Sekarang diulang lagi, ya jadi dibicarakan lagi. Dulu aku dan Bapak mengikuti berita hukuman matinya Amrozi, tersangka kasus bom di Bali atau di hotel apa aku lupa. Waktu itu yang kutahu bahwa Amrozi tidak pantas dihukum mati. Sebabnya, kata Bapak, dia sedang berjihad. Aku saat itu masih sepakat. Tindakan heroik itu keren, seperti di film-film. Rela mati demi sesuatu yang diyakini juga keren. Seperti mujahid-mujahid di Afghanistan atau Palestina. Yakin sampai akhir, keren sekali. Keluarganya seharusnya bangga.

Itu sebelum aku lebih mengerti soal mati. Aku ada di sana, awal tahun lalu. Memegang tangan Bapak, membacakan Al-Qur'an di telinganya. Matanya terpejam, dadanya tak kentara naik-turunnya, dan aku tak yakin napasnya masih ada. Hanya suara bip-bip-bip dari monitor di sebelah tempat tidur yang menyambung ke selang-selang di mulutnya yang tembus hingga tenggorokan. Tak seperti di film-film: tak ada kok, ingatan yang sliwar-sliwer memenuhi otak tentang kenangan masa lalu. Atau ada, tapi mekanisme pertahanan diriku menolaknya. Berpikir bahwa hari terakhir kami saling bertemu adalah Idul Adha tahun sebelumnya, atau betapa tidak adilnya ia pergi menjelang aku diwisuda, tidak akan membantuku untuk tetap waras.

Jika boleh mengibaratkan, barangkali seperti memegang benang laba-laba untuk memanjat keluar dari sumur. Harapan bahwa Bapak akan bangun lagi begitu tipis, tapi kami keluarganya tak ingin kehilangan benang laba-laba itu. Sebenarnya dalam hati masing-masing sudah tahu, jika berani memanjat dengan berpegangan benang itu, kami hanya akan jatuh. Tetap saja kami meraihnya. Toh kami percaya, Allah bisa membuat semua jadi nyata. Walau ternyata, Ia tak memberi apa yang kami minta.

Ini soal orang-orang yang keluarganya dihukum mati. Bagi para tersangkanya, aku tak terlalu peduli. Seram juga, sepertinya, menghitung mundur detik demi detik menuju waktu mati yang seolah sudah sangat pasti. Yang sebatas baru kumengerti sekiranya adalah bagaimana sudut pandang keluarga yang menghadapi.

Bayangkan saja, pukul sekian hari ini, suamimu akan ditembak mati. Mati lho, bukan pingsan. Artinya setelah jam sekian hari ini, suamimu tidak akan membuka matanya lagi. Selamanya. Kamu tidak akan bisa bicara padanya, memeluknya, menciumnya. Yang tersisa tinggal mengingatnya saja. Selamanya, tak terbatas waktu. Artinya sekalipun kamu menunggu, ia tidak akan pulang. Sekalipun kamu memanggil, ia tidak akan mendengar. Ketika kamu tahu batas waktunya, kamu akan semakin sakit dadanya ketika melihat jarum jam tak mau berhenti. Matahari tetap bergulir dari Timur ke Barat, tak mau sejenak saja membiarkan siang lebih lama. Dipikiranmu akan melintas banyak hal: kenangan-kenangan, pertanyaan-pertanyaan, sangkalan-sangkalan, dan yang menyedihkan adalah betapa banyak hal yang ingin dilakukan bersama tapi belum kesampaian juga. Kamu menyesali banyak hal.

Di sela-sela kamu berharap waktu berhenti, atau mundur sekalian, ternyata ada bagian dirimu yang ingin agar waktu dipercepat saja. Atau kamu pingsan, tertidur, dan terbangun saat waktu yang ditentukan sudah lewat. Kamu berpikir saat itu kamu akan merasa lebih lega. Seperti lulusan SMA yang menunggu pengumuman SBMPTN: lolos atau tidak. Nyatanya, memang penantianlah yang mengerikan. Kamu berpikir, lebih cepat mengetahui hasilnya, lebih baik. Yah, seandainya saja perkara mati sama saja dengan SBMPTN.

Dalam penantian itu, yang menyakitkan, adalah masih adanya harapan bhwa semua akan kembali baik-baik saja. Aku bisa membayangkan bagaimana keluarga si penerima hukuman mati (ada namanya, tapi lupa) menyimpan doa-doa: semoga pelurunya meleset, semoga ada amnesti, atau setidaknya, waktu hukuman diundur. Dengan mengetahui sangat jelas bagaimana malam ini akan berakhir, tetap saja ada harapan-harapan yang diluncurkan ke udara. Merajut benang laba-laba. Mencoba membohongi diri sendiri, melepaskan diri dari rasa berdosa karena menyerah begitu saja.

Saat aku mendengar kata dokter bahwa ada kematian batang otak, aku tahu harapan sembuh tidak lagi ada. Bapak sudah pergi, bahkan sebelum aku sempat menggenggam tangannya. Jantungnya saja yang masih berusaha menghibur kami. Atau yang dalam kemarahanku suatu kali, kuanggap itu sebagai caraNya menggoda kami agar memohon padaNya lebih lama. Dia cuma ingin dipuji lebih banyak, Dia cuma ingin menghukumku sepeti memberi bocah kecil iming-iming permen agar mandi tapi sebenarnya tak punya niat untuk memberi.

Tapi nyatanya aku tetap meminta. Kami meminta dengan kesungguhan yang melebihi apapun selama masa hidup kami. Jika aku tidak berdoa, tidak berusaha meminta, rasanya dosa sekali. Rasanya Bapak akan datang dalam mimpiku dan mempertanyakan kesungguhanku untuk mempertahankannya tetap di sini. Aku takut jadi anak yang durhaka. Jadinya, doa-doa yang terlontar ke udara adalah doa-doa hasiil ketakutanku sendiri. Tak ada pilihan, selain percaya bahwa Dia bisa mengabulkan semua doa.

Dibandingkan Ummi dan kedua adikku, yang kurasakan bukan apa-apa. Sejak Bapak di UGD, mereka sudah menyaksikan. Mereka melihat Bapak yang meronta kesakitan, lalu berseru-seru menyebut namaNya dengan, seperti kata cerita, darah mengalir dari bagian belakang kepalanya. Lalu mereka pun menyaksikan tubuhnya dibawa ke ICU dan tidak pernah bangun lagi setelahnya. Kubayangkan, pastilah proses melihat itu semua sangat menyakitkan. Saat itu aku di kampus masih memikirkan bagaimana seremonial diriku lulus. Tak tahu diri memang aku ini. Makanya aku tak punya hak untuk mengeluh dan bersedih melebihi mereka. Aku harus jadi yang paling tidak apa-apa.

Kadang orang bilang, pastilah menyakitkan jika seseorang mati tapi kita tidak ada di dekatnya saat itu. Tiba-tiba saja mendapat kabar bahwa seseorang telah pergi, tanpa sempat kita berpamitan. Kubilang, iya, menyakitkan. Tapi tidak sebanding dengan sakitnya mereka yang terbiasa menyanding, membersamai, menyaksikan proses menuju kematian yang seolah waktu berjalan lebih lambat. Itu pun masih tidak jelas kapan orang tersebut akan benar-benar diambil. Sedangkan keluarga para terpidana mati (ini dia istilahnya), tahu benar kapan peluru akan menembus otak atau jantung orang terkasih. Bukannya waktu berjalan lambat, justru makin cepat. Mereka seperti hewan buruan yang kian dekat waktu yang hendak memangsa, makin ingin menyerah saja. Tapi kaki terus bergerak berusaha berlari, sama dengan tangan yang tertengadah belum ingin menyerah mengangsurkan doa.

Adakah dendam setelahnya? Bagaimanapun yang diingat dari yang terkasih pastilah banyak baik-baiknya. Ada semacam tindakan otomatis yang berlangsung: keinginan untuk membela dan meyakinkan diri bahwa orang yang terpidana mati itu tidak bersalah, atau kesalahannya tidak sampai harus dihukum mati. Hukum manusia itu lemah, begitu juga dalam pelaksanaannya banyak celah. Hukuman mati tak memberikan kesempatan kedua.

Sudah terlaksana. Apakah sekarang sudah lega? Selanjutnya yang dihadapi keluarga adalah perbincangan orang-orang. Orang jauh kita bisa menutup telinga, tetapi tetangga, bisikan mereka pun seperti dengung nyamuk yang mengganggu lelap tidur selain mimpi buruk. Aku serius, omongan orang-orang tentang si mati yang baik-baik akan meringankan beban pikiran mereka yang ditinggalkan. Setidaknya membantu mereka percaya bahwa orang terkasih yang sudah mati itu akan mendapatkan tempat yang baik di akhirat nanti. Tapi terpidana mati, tersangka korupsi, pengedar obat terlarang, dan terorisme, siapa yang masih mengingat hal baik yang pernah mereka lakukan?

Keluarga yang ditinggalkan sebetulnya tak membutuhkan ucapan bela sungkawa. Kata-kata bela sungkawa, saat itu di telingaku, terdengar sama kosongnya seperti ucapan selamat pagi. Formalitas saja, karena tidak tahu apa lagi yang mesti mereka katakan.

Pastilah sangat melegakan, jika saat ini, ada yang mengatakan pada mereka, keluarga para terpidana itu, "Tak apa, Mbak. Yakin saja, suamimu melakukan yang terbaik sesuai yang diyakininya perlu. Soal baik buruk, pahala dan dosa, dimana ia nanti di akhirat berada, sudah bukan urusan kita. Serahkan sepenuhnya kepadaNya. Kamu sudah jadi istri yang hebat buat dia dan ibu yang baik untuk anak-anaknya. Kamu kuat, makanya kamu sekeluarga akan segera baik-baik saja."



Yogyakarta, 28 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...