Jumat, 29 Desember 2017

Kebumen Mengopi, Ngopeni Kopi Kebumen

Tren minum kopi tengah merambah Kebumen. Kafe dan kedai kopi bermunculan. Penikmat kopi
instan mulai berkenalan dengan biji kopi asli yang disangrai (roasting) dan dibuat dengan mesin
espresso. Tapi kopi lokal Kebumen sendiri belum terdengar gaungnya. Bahkan banyak yang belum
tahu bahwa kopi bisa tumbuh di Kebumen yang merupakan daerah pesisir. Padahal di sejumlah
daerah di Kabupaten Kebumen terdapat kebun kopi yang dikelola petani lokal. Bagaimana caranya
membuat tren minum kopi di Kebumen bisa mendatangkan keuntungan bagi petani kopi lokal?

Tantangan Kopi Kebumen

Dalam bincang-bincang yang diselenggarakan di Roemah Kopi Gombong di Jl. Sempor Lama (pojok
utara Roemah Martha Tilaar) hari Senin (11/9) lebih dari 50 petani dan penggiat kopi serta sejumlah
komunitas hadir. Mereka bicara tentang kondisi tanaman kopi di Kebumen yang perawatannya
masih sangat membutuhkan pendampingan.

Solihin, misalnya. Petani kopi dari Puring itu mengungkapkan banyaknya hama penggerek batang
yang menggerogoti tanaman kopinya. Sedangkan Parno, petani kopi Somagedhe, mengaku masih
mencari jenis kopi yang cocok ditanam. Ia sempat menanam Robusta sebelum akhirnya tanaman itu
mati. Demikian juga ia telah mencoba jenis Arabika yang walaupun bisa hidup namun hasilnya tidak
produktif. Hanya jenis Excelsa yang tumbuh dengan baik, tetapi jenis ini harga jualnya rendah karena
tidak dirawat.

Persoalan yang dikemukakan petani lain kurang lebih sama. Selain dua persoalan di atas, masalah
terbesar yang dihadapi petani adalah pemasaran. Banyak petani yang akhirnya membiarkan
lahannya tidak terawat karena tidak ada keuntungan yang ia dapat dari penjualan kopi. Biji kopi yang
dipanen dijual dengan harga seikhlasnya ke para tetangga.

Pendampingan Petani Kopi

Harga jual kopi Kebumen, menurut Tetuko Wahyu yang menjadi salah satu penggagas Kebumen
Mengopi, belum bisa diukur standarnya. Selama ini petani hanya menjual kopi sepayune atau
berapapun harga yang ditawar pembeli (yang kebanyakan tetangga mereka sendiri). Hal ini karena
kualitas kopi masih rendah dan tidak seragam. Ini jelas menurunkan harga. Perawatan tanaman kopi
inilah yang akan menjadi fokus utama komunitas Kebumen Mengopi dalam melakukan
pendampingan.

Puring, Somagedhe, Banjarnegara, Ambal, Karanggayam, dan Kentheng adalah beberapa daerah di
Kebumen yang terbukti bisa ditanami kopi. Ke depan perlu riset kondisi lahan untuk menentukan
jenis tanaman kopi yang bisa tumbuh dengan baik. Setelahnya kontrol intensif dari petani sendiri
sangat diperlukan. Disinilah peran komunitas Kebumen Mengopi.

Beranggotakan penikmat kopi dan sejumlah ahli di bidang biologi, pertanian, dan pengembangan
komunitas, Kebumen Mengopi mengunjungi beberapa daerah yang lahannya ditanami kopi dan
bertemu petani lokal. Bekerja sama dengan pemerintah desa setempat dan LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan) yang dikelola Kemeterian Kehutanan, komunitas Kebumen Mengopi
berharap bisa meningkatkan kesejahteraan petani kopi lokal dan mempopulerkan kopi tradisional.

Selasa, 19 Desember 2017

Berkenalan dengan Yahudi Melalui The Seven Good Years

The Seven Good Years adalah sebuah memoar kehidupan penulis yang tinggal di Tel Aviv, Israel, bersama keluarganya. Betul, penulisnya adalah seorang Yahudi tulen yang memang lahir di Israel, yaitu Etgar Keret. Bersama ayah, istri, dan anak laki-lakinya ia tinggal di sebuah apartemen di jantung kota Tel Aviv dan bekerja sebagai dosen tamu untuk sejumlah universitas dalam negeri. Ia sering bepergian ke Eropa dan Amerika sebagai penulis yang diundang ke berbagai acara literasi dan ajang penghargaan.

source: storyofjho.wordpress.com

Dalam bukunya ia mengisahkan kehidupan sehari-hari keluarganya yang hidup di dalam suasana perang. Bom dan rudal adalah pemandangan sehari-hari dan goncangan akibat ledakan seperti terjadi setiap jam. Tapi bukunya tidak berisi cerita menyedihkan dan mengundang simpati. Alih-alih bercerita tragedi, Etgar justru jenaka. Ia menggambarkan bagaimana ia dan istrinya berusaha memberi jawaban-jawaban yang mudah dicerna kepada pertanyaan anaknya yang berusia 5 tahun tentang perang Israel-Palestina yang kompleks.

Ketika suami istri Keret dan anak mereka, Lev, sedang bepergian naik mobil, ada bunyi peringatan bahaya rudal. Terdengar di radio bahwa sebuah rudal tengah diluncurkan dan akan mendarat hanya 15 km dari jalan yang sedang mereka lalui. Prosedur ketika mendengar peringatan rudal adalah keluar dari kendaraan dan merunduk serendah mungkin sejajar dengan tanah. Agar tidak membuat Lev ketakutan, alih-alih mengatakan bahwa akan ada rudal, Etgar dan istrinya mengajak Lev bermain sebuah permainan. Keduanya keluar dari mobil dan langsung tiarap."Ayo, Nak, kita sedang bermain game. Siapa yang tiarap paling rata dengan tanah akan dapat es krim di perhentian kita berikutnya."

Etgar juga menceritakan bagaimana ia menghadapi ayahnya, seorang Yahudi Polandia korban selamat dari Holocaust dan bersama ibunya terseok-seok melarikan diri ke Israel. Ayahnya yang paranoid memandang semua orang di luar Israel bermaksud membunuhnya sehingga setiap kali Etgar akan pergi ke luar negeri, perdebatan yang sama di antara mereka selalu terjadi.

Etgar sendiri mengaku sebagai Yahudi liberal sayap kanan. Sejumlah buku dan tulisannya yang mengkritik pemerintahan sayap kiri dilarang beredar di Israel. Karena pemikirannya yang progresif ini, di dunia internasional Etgar menjadi salah satu dari sedikit Yahudi yang diizinkan memberi ceramah di beberapa universitas. Ia juga jadi penulis Yahudi pertama dalam sejarah yang diundang ke Ubud Writers and Readers Festival, sebuah ajang literasi di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu ia hadir setelah terlebih dulu meyakinkan ayahnya bahwa ia akan kembali dalam keadaan utuh, alih-alih hanya jempol kakinya saja.

Etgar Keret adalah penulis Yahudi pertama yang saya bukunya. Bagi saya memoar dalam buku ini membuka sedikit tirai yang menutupi cerita kehidupan rakyat Israel. Saya yang hidup di negeri mayoritas muslim sangat jarang mendengar cerita Palestina dari sudut pandang Israel, khususnya sisi humanisnya. Di balik cerita jenaka dalam buku ini, saya merasa ada kecemasan yang berusaha ditutupi, yang tergambar dalam cara suami-istri Keret memberikan jawaban kepada anak mereka. They live in fear, too.

Meski demikian, saya tetap tidak bisa membenarkan okupasi Israel di Palestina. Sama halnya dengan Etgar Keret yang berkata dalam sebuah wawanacara dengan Washington Post, "Despite of my sympathy, I can't say that I am on the Palestinian's side."

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...