The Seven Good Years adalah sebuah memoar kehidupan penulis yang
tinggal di Tel Aviv, Israel, bersama keluarganya. Betul, penulisnya adalah
seorang Yahudi tulen yang memang lahir di Israel, yaitu Etgar Keret. Bersama
ayah, istri, dan anak laki-lakinya ia tinggal di sebuah apartemen di jantung
kota Tel Aviv dan bekerja sebagai dosen tamu untuk sejumlah universitas dalam
negeri. Ia sering bepergian ke Eropa dan Amerika sebagai penulis yang diundang
ke berbagai acara literasi dan ajang penghargaan.
![]() |
source: storyofjho.wordpress.com |
Dalam bukunya ia mengisahkan kehidupan sehari-hari
keluarganya yang hidup di dalam suasana perang. Bom dan rudal adalah
pemandangan sehari-hari dan goncangan akibat ledakan seperti terjadi setiap
jam. Tapi bukunya tidak berisi cerita menyedihkan dan mengundang simpati.
Alih-alih bercerita tragedi, Etgar justru jenaka. Ia menggambarkan bagaimana ia
dan istrinya berusaha memberi jawaban-jawaban yang mudah dicerna kepada
pertanyaan anaknya yang berusia 5 tahun tentang perang Israel-Palestina yang
kompleks.
Ketika suami istri Keret dan anak mereka, Lev, sedang bepergian naik mobil, ada bunyi peringatan bahaya rudal. Terdengar di radio bahwa sebuah rudal tengah diluncurkan dan akan mendarat hanya 15 km dari jalan yang sedang mereka lalui. Prosedur ketika mendengar peringatan rudal adalah keluar dari kendaraan dan merunduk serendah mungkin sejajar dengan tanah. Agar tidak membuat Lev ketakutan, alih-alih mengatakan bahwa akan ada rudal, Etgar dan istrinya mengajak Lev bermain sebuah permainan. Keduanya keluar dari mobil dan langsung tiarap."Ayo, Nak, kita sedang bermain game. Siapa yang tiarap paling rata dengan tanah akan dapat es krim di perhentian kita berikutnya."
Etgar juga menceritakan bagaimana ia menghadapi ayahnya,
seorang Yahudi Polandia korban selamat dari Holocaust dan bersama ibunya
terseok-seok melarikan diri ke Israel. Ayahnya yang paranoid memandang semua
orang di luar Israel bermaksud membunuhnya sehingga setiap kali Etgar akan
pergi ke luar negeri, perdebatan yang sama di antara mereka selalu terjadi.
Etgar sendiri mengaku sebagai Yahudi liberal sayap kanan. Sejumlah buku dan tulisannya yang mengkritik pemerintahan sayap kiri dilarang beredar di Israel. Karena pemikirannya yang progresif ini, di dunia internasional Etgar menjadi salah satu dari sedikit Yahudi yang diizinkan memberi ceramah di beberapa universitas. Ia juga jadi penulis Yahudi pertama dalam sejarah yang diundang ke Ubud Writers and Readers Festival, sebuah ajang literasi di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu ia hadir setelah terlebih dulu meyakinkan ayahnya bahwa ia akan kembali dalam keadaan utuh, alih-alih hanya jempol kakinya saja.
Etgar sendiri mengaku sebagai Yahudi liberal sayap kanan. Sejumlah buku dan tulisannya yang mengkritik pemerintahan sayap kiri dilarang beredar di Israel. Karena pemikirannya yang progresif ini, di dunia internasional Etgar menjadi salah satu dari sedikit Yahudi yang diizinkan memberi ceramah di beberapa universitas. Ia juga jadi penulis Yahudi pertama dalam sejarah yang diundang ke Ubud Writers and Readers Festival, sebuah ajang literasi di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu ia hadir setelah terlebih dulu meyakinkan ayahnya bahwa ia akan kembali dalam keadaan utuh, alih-alih hanya jempol kakinya saja.
Etgar Keret adalah penulis Yahudi pertama yang saya bukunya. Bagi saya memoar dalam buku ini membuka sedikit tirai yang
menutupi cerita kehidupan rakyat Israel. Saya yang hidup di negeri mayoritas
muslim sangat jarang mendengar cerita Palestina dari sudut pandang Israel,
khususnya sisi humanisnya. Di balik cerita jenaka dalam buku ini, saya merasa
ada kecemasan yang berusaha ditutupi, yang tergambar dalam cara suami-istri
Keret memberikan jawaban kepada anak mereka. They live in fear, too.
Meski demikian, saya tetap tidak bisa membenarkan okupasi Israel di Palestina. Sama halnya dengan Etgar Keret yang berkata dalam sebuah wawanacara dengan Washington Post, "Despite of my sympathy, I can't say that I am on the Palestinian's side."
Meski demikian, saya tetap tidak bisa membenarkan okupasi Israel di Palestina. Sama halnya dengan Etgar Keret yang berkata dalam sebuah wawanacara dengan Washington Post, "Despite of my sympathy, I can't say that I am on the Palestinian's side."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar