Kamis, 22 Februari 2018

Padi Gabug Menantang Langit



Semakin padi berisi, semakin ia merunduk. Yang tak berisi alias padi gabug akan tak tahu malu menatap tegak ke atas, menantang langit. Barangkali jadi gabug pun mengerti, itulah satu-satunya cara ia terlihat tinggi.

Aku tak berbeda dengan padi gabug itu. Kudatangi majelis-majelis ilmu dengan hati yang tinggi, mengamuflasekan tantangan dengan pertanyaan atas dasar keingintahuan. Padahal ilmu hanya bisa diterima oleh akal mereka yang siap menerima, bukan siap mendebat. Lari dan selalu saja lari. Ketika jawaban dirasa tak memuaskan, sudahi. Ketika kata-kata tak terdengar layaknya membaca sastra, tinggalkan saja.

Yang mencari akan sampai pada menemukan. Yang menantang akan sampai pada kepuasan. Sayangnya kepuasan manusia tak ada titik akhirnya. Aku sengaja lupa, bahwa hidayah adalah dua sisi mata uang yang perlu sama-sama berdiri tegak agar bisa terus menggelinding ke tujuan. Satu sisinya adalah pencarian. Sisi lainnya penerimaan.

Para biksu pengembara menjelajahi penjuru bumi demi menemukan pencerahan. Ibrahim bertanya pada semua makhluk demi mencari Tuhan. Perlu waktu cukup lama, perjalanan panjang, dan jatuh yang dalam agar seorang manusia mengerti bahwa hidayah ada dalam hati. Meski demikian, seringkali hidayah dan kebenaran itu tak nampak karena hati tertutupi kesombongan. Disinilah perjalanan diperlukan. Melihat ciptaan-ciptaanNya lebih nyata, menjumputi hikmah yang Ia sebar dimana-mana.

Aku sendiri adalah perempuan tinggi hati. Aku mengenali ciptaan-ciptanNya hanya dari buku-buku. Lebih kusukai lembaran kertas dan barisan tinta daripada sesama manusia, sebab mereka tak banyak bertanya dan tak minta didengar. Buku-buku pun jadi sarana jalan-jalan yang tak memerlukan banyak pengorbanan. Maka perjalananku hanyalah perkara mencari dan mencari berputar di tempat yang sama, tanpa berusaha menerima.

Percakapan sehari-hari kubilang basa-basi. Diskusi peristiwa kubilang pembangunan wacana. Padahal ilmuNya sebanyak air di samudera dan aku hanya menenggak satu tetes saja. Menyelimuti kebodohan dengan keangkuhan memang cara terbaik untuk membunuh diri pelan-pelan.

Ada yang berkata bahwa sesungguhnya ilmu itu terdiri dari tiga jengkal. Jika seseorang telah menapaki jengkal yang pertama, maka dia menjadi tinggi hati (takabbur). Kemudian, apabila dia telah menapaki jengkal yang kedua, maka dia pun menjadi rendah hati (tawadhu’). Dan bilamana dia telah menapaki jengkal yang ketiga, barulah dia tahu bahwa ternyata dia tidak tahu apa-apa.
(Kitab Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Syaikh Bakr ibn ‘Abdillaah Abu Zaid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...