Sejak dilakukannya pengukuran keliling Bumi oleh
Eratosthenes pada abad ketiga SM, manusia mulai menyadari bahwa Bumi tidaklah
tak terbatas. Abad-abad berikutnya dihabiskan manusia untuk berusaha memahami
posisi mereka di atas bumi dan posisi bumi terhadap matahari, yang dalam
perjalanannya ternyata ditemukanlah planet dan benda-benda angkasa lain yang
sebelumnya tak terbayangkan.
Penemuan-penemuan tersebut tak hanya mendorong
semangat ilmiah dan penjelajahan lebih jauh, melainkan juga perubahan dalam
dinamika sosial. Otoritas kenegaraan dan keagamaan yang saling terkait
mengalami guncangan ketika wahyu yang mereka yakini ternyata dianggap tidak
lagi relevan dengan fakta-fakta ilmiah yang ditemukan. Otoritas Gereja Katolik abad
16 M yang masih meyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta ditantang oleh konsep
heliosentris Copernicus dan diteruskan abad berikutnya oleh Galileo Galilei.
Keyakinan spiritual dan fakta ilmiah semakin tidak
menemukan jembatan pemersatu. Sampai mulailah periode yang disebut Abad
Pencerahan, peran agama tercabut dari otoritas kehidupan publik. Agama dinilai tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saintifik yang diajukan para ilmuwan dan
orang-orang yang cukup penasaran. Sekulerisme berkembang menjadi paham yang
menarik, terutama bagi orang-orang yang tidak menemukan kelogisan dalam tata
pedoman keagamaan yang mereka yakini.
Pada abad pertengahan di Eropa, manusia sudah selesai
mengidentifikasi posisinya di bumi dan menjelajahinya. Ditemukannya teleskop
dan berbagai teknologi pendukung penjelajahan antariksa semakin menuntut
jawaban atas pertanyaan, “Benarkah di alam semesta yang sangat luas, yang
bahkan belum kita ketahui batasnya, bumi hanya satu-satunya yang berpenghuni?”
dan mendorong pertanyaan-pertanyaan berikutnya: “Jika ada planet lain yang
berpenghuni, seperti apa komposisi planetnya dan bagaimana rupa penghuninya?” “Mungkinkah
manusia bumi suatu saat berpindah untuk menghuni planet lain?”
Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Carl Sagan dalam bukunya,
Kosmos, menjadi misi diluncurkannya wahana antariksa tanpa awak, Voyager 2 pada
tahun 1977. Dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun, Voyager 2 telah berhasil
memasuki dan keluar dari orbit Jupiter dan kini sudah menempuh dua kali jarak
Matahari-Pluto. Voyager 2 dirancang tidak akan pernah kembali ke bumi. Selama
masih berfungsi, ia akan terus mengelana dalam kegelapan abadi demi menemukan
tempat-tempat baru di luar jangkauan imajinasi manusia. Sementara itu, para
ilmuwan antariksa disibukkan dengan kemungkinan Mars dan planet lain bisa
menjadi tempat penampung kelebihan populasi manusia di bumi.
![]() |
Source: gramedia.com |
Mungkin. Sebuah kata yang mendorong manusia untuk
menembus batas-batas yang ia ketahui. Manusia ternyata sebagian besarnya
disusun oleh atom karbon. Bumi ternyata bukan satu-satunya anggota alam
semesta. Planet-planet ternyata terbentuk dari kondensasi gas dan tumbukan
antarelemen di antariksa saat pembentukan jagat raya dan proses itu akan terus
berlanjut selamanya. Satu per satu hal-hal yang tadinya tidak terbayangkan
dalam benak manusia menjadi hal yang masuk akal dan wajar. Berkat adanya
kemungkinan, semua pemahaman yang kita yakini menjadi terbuka untuk
dipertanyakan.
Fakta-fakta baru tentang alam menantang relevansi
pemahaman lama. Keyakinan yang dianggap kuno dan kaku yang tidak membuka pintu
untuk tafsir baru segera ditinggalkan. Otoritas Tuhan menjadi rentan dipertanyakan.
Bagaimana tidak? Satu per satu rahasia alam semesta mulai dibuka dan wujud
Tuhan masih belum ditemukan! Pertanyaan ketuhanan bergeser dari boleh atau
tidak boleh, menjadi kesangsian atas eksistensi Tuhan itu sendiri.
Agama-agama yang masih bertahan hingga saat ini telah
ditantang pertanyaan yang serupa. Sebagiannya telah menyerah, memilih mundur ke
dalam ranah privat yang hanya mengurusi hubungan diri dengan Sang Pencipta,
menghindari ranah-ranah publik dan ilmiah yang berisiko memperdebatkan iman. Di
sisi lain, Islam masih bertahan dalam perebutan pengaruh di ranah-ranah publik,
dengan meyakini bahwa ajarannya adalah pedoman yang menyeluruh tentang
kehidupan, bukan parsial hanya mengurusi hal-hal privat.
Jika Islam adalah sebuah judul rangkuman sistem
kehidupan, Alquran diyakini sebagai sebuah kodifikasi tentang alam yang memuat
keterangan tentang awal mula penciptaan dan proses menuju akhirnya. Ia dianggap
kitab sejarah semesta yang, menurut salah satu ayat di dalamnya, ditujukan
untuk kaum yang mau dan bisa berpikir. Hanya saja karena kemampuan otak kebanyakan
manusia saat ini tidak bisa mencerna hal-hal imajinatif yang seolah di luar
nalar, sebagian mencerna hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang gaib, sebuah
mukjizat. Padahal mungkin hanya karena akal manusia belum mampu memahaminya.
Demikian juga soal Tuhan dan pasukan makhluknya yang
tak kasat mata. Ketidakmampuan manusia mendeksripsikan wujud Tuhan bisa jadi
karena sulit membayangkan adanya supreme
being yang pengaruhnya sedemikian besar dalam setiap gerak kecil yang
manusia, kita, lakukan. Pemahaman kita mengenai wujud masih terbatas pada jasad
yang bisa disentuh dan dirasakan oleh indera, atau dilihat dengan alat bantu
berteknologi tinggi. Sedangkan di alam semesta banyak hal-hal yang tidak
terbayangkan. Dan ingat, penjelajahan manusia baru dimulai. Banyak pertanyaan
masih belu ditemukan jawabannya.
Bagaimana jika aturan-aturan hukum dan tata cara dalam
Alquran ternyata bukan hanya aktivitas spiritual belaka, melainkan cara menjaga
keteraturan alam semesta agar sesuai dengan proses yang digerakkan oleh sang supreme being? Bagaimana jika doa-doa yang
dilontarkan ternyata untuk membuat sang supreme
being bergerak mempengaruhi komponen semesta sedemikian rupa sehingga alam
bergerak demi terkabulnya doa? Bagaimana jika ternyata akhirat adalah tempat
dimana atom-atom tubuh ditampung setelah jasad yang terbentuk dari karbon dan
air ini sudah tidak mampu mengakomodasi gerak sebagai manusia dan perbuatan
yang kita lakukan selama hidup mempengaruhi dimana atom-atom itu akan berkumpul
nantinya?
Kita barangkali hanya belum menemukan Dia beserta
kebesarannya yang Maha. Pemahaman kita saat ini terhadap Alquran secara
melankolis dan dramatis adalah cara kita memproses pengetahuan yang belum
sanggup kita cerna. Penjelajahan manusia pun baru sampai mengelilingi salah
satu tata surya di galaksi Bimasakti, sedangkan melalui fakta penelitian yang
disebarluaskan, alam semesta jauh lebih luas lagi. Bagaimana jika kehidupan,
takdir, dan kematian, mungkin sebenarnya adalah kodifikasi dari proses abadi yang
paling sederhana yang berlangsung di alam semesta: pembentukan, penggabungan,
penghancuran? Akhirat mungkin suatu ketika tak lagi hanya terbatas di ranah
iman, melainkan bisa dicerna dalam dimensi akal.
Segala hal punya titik mula. Manusia dengan ilmu
pengetahuannya hingga saat ini baru bisa memperkirakan dan menjalani penelitian
berdasarkan perkiraan. Sedangkan ilmu agama di ranah iman bisa menggambarkan
keadaan sebelum dan sesudah kehidupan dengan banyak kodifikasi dan
penyederhanaan penjelasan. Jauh di luar imajinasi kita, barangkali Tuhan
sebenarnya tengah menunggu untuk kita pahami.
Gombong, 20 Oktober 2018
Gombong, 20 Oktober 2018
![]() |
Source: shutterstock |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar