Senin, 10 Desember 2018

Mencari Tuhan di dalam Kosmos

Sejak dilakukannya pengukuran keliling Bumi oleh Eratosthenes pada abad ketiga SM, manusia mulai menyadari bahwa Bumi tidaklah tak terbatas. Abad-abad berikutnya dihabiskan manusia untuk berusaha memahami posisi mereka di atas bumi dan posisi bumi terhadap matahari, yang dalam perjalanannya ternyata ditemukanlah planet dan benda-benda angkasa lain yang sebelumnya tak terbayangkan.

Penemuan-penemuan tersebut tak hanya mendorong semangat ilmiah dan penjelajahan lebih jauh, melainkan juga perubahan dalam dinamika sosial. Otoritas kenegaraan dan keagamaan yang saling terkait mengalami guncangan ketika wahyu yang mereka yakini ternyata dianggap tidak lagi relevan dengan fakta-fakta ilmiah yang ditemukan. Otoritas Gereja Katolik abad 16 M yang masih meyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta ditantang oleh konsep heliosentris Copernicus dan diteruskan abad berikutnya oleh Galileo Galilei.

Keyakinan spiritual dan fakta ilmiah semakin tidak menemukan jembatan pemersatu. Sampai mulailah periode yang disebut Abad Pencerahan, peran agama tercabut dari otoritas kehidupan publik. Agama dinilai tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saintifik yang diajukan para ilmuwan dan orang-orang yang cukup penasaran. Sekulerisme berkembang menjadi paham yang menarik, terutama bagi orang-orang yang tidak menemukan kelogisan dalam tata pedoman keagamaan yang mereka yakini.

Pada abad pertengahan di Eropa, manusia sudah selesai mengidentifikasi posisinya di bumi dan menjelajahinya. Ditemukannya teleskop dan berbagai teknologi pendukung penjelajahan antariksa semakin menuntut jawaban atas pertanyaan, “Benarkah di alam semesta yang sangat luas, yang bahkan belum kita ketahui batasnya, bumi hanya satu-satunya yang berpenghuni?” dan mendorong pertanyaan-pertanyaan berikutnya: “Jika ada planet lain yang berpenghuni, seperti apa komposisi planetnya dan bagaimana rupa penghuninya?” “Mungkinkah manusia bumi suatu saat berpindah untuk menghuni planet lain?”

Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Carl Sagan dalam bukunya, Kosmos, menjadi misi diluncurkannya wahana antariksa tanpa awak, Voyager 2 pada tahun 1977. Dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun, Voyager 2 telah berhasil memasuki dan keluar dari orbit Jupiter dan kini sudah menempuh dua kali jarak Matahari-Pluto. Voyager 2 dirancang tidak akan pernah kembali ke bumi. Selama masih berfungsi, ia akan terus mengelana dalam kegelapan abadi demi menemukan tempat-tempat baru di luar jangkauan imajinasi manusia. Sementara itu, para ilmuwan antariksa disibukkan dengan kemungkinan Mars dan planet lain bisa menjadi tempat penampung kelebihan populasi manusia di bumi.

Source: gramedia.com

Mungkin. Sebuah kata yang mendorong manusia untuk menembus batas-batas yang ia ketahui. Manusia ternyata sebagian besarnya disusun oleh atom karbon. Bumi ternyata bukan satu-satunya anggota alam semesta. Planet-planet ternyata terbentuk dari kondensasi gas dan tumbukan antarelemen di antariksa saat pembentukan jagat raya dan proses itu akan terus berlanjut selamanya. Satu per satu hal-hal yang tadinya tidak terbayangkan dalam benak manusia menjadi hal yang masuk akal dan wajar. Berkat adanya kemungkinan, semua pemahaman yang kita yakini menjadi terbuka untuk dipertanyakan.

Fakta-fakta baru tentang alam menantang relevansi pemahaman lama. Keyakinan yang dianggap kuno dan kaku yang tidak membuka pintu untuk tafsir baru segera ditinggalkan. Otoritas Tuhan menjadi rentan dipertanyakan. Bagaimana tidak? Satu per satu rahasia alam semesta mulai dibuka dan wujud Tuhan masih belum ditemukan! Pertanyaan ketuhanan bergeser dari boleh atau tidak boleh, menjadi kesangsian atas eksistensi Tuhan itu sendiri.

Agama-agama yang masih bertahan hingga saat ini telah ditantang pertanyaan yang serupa. Sebagiannya telah menyerah, memilih mundur ke dalam ranah privat yang hanya mengurusi hubungan diri dengan Sang Pencipta, menghindari ranah-ranah publik dan ilmiah yang berisiko memperdebatkan iman. Di sisi lain, Islam masih bertahan dalam perebutan pengaruh di ranah-ranah publik, dengan meyakini bahwa ajarannya adalah pedoman yang menyeluruh tentang kehidupan, bukan parsial hanya mengurusi hal-hal privat.

Jika Islam adalah sebuah judul rangkuman sistem kehidupan, Alquran diyakini sebagai sebuah kodifikasi tentang alam yang memuat keterangan tentang awal mula penciptaan dan proses menuju akhirnya. Ia dianggap kitab sejarah semesta yang, menurut salah satu ayat di dalamnya, ditujukan untuk kaum yang mau dan bisa berpikir. Hanya saja karena kemampuan otak kebanyakan manusia saat ini tidak bisa mencerna hal-hal imajinatif yang seolah di luar nalar, sebagian mencerna hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang gaib, sebuah mukjizat. Padahal mungkin hanya karena akal manusia belum mampu memahaminya.

Demikian juga soal Tuhan dan pasukan makhluknya yang tak kasat mata. Ketidakmampuan manusia mendeksripsikan wujud Tuhan bisa jadi karena sulit membayangkan adanya supreme being yang pengaruhnya sedemikian besar dalam setiap gerak kecil yang manusia, kita, lakukan. Pemahaman kita mengenai wujud masih terbatas pada jasad yang bisa disentuh dan dirasakan oleh indera, atau dilihat dengan alat bantu berteknologi tinggi. Sedangkan di alam semesta banyak hal-hal yang tidak terbayangkan. Dan ingat, penjelajahan manusia baru dimulai. Banyak pertanyaan masih belu ditemukan jawabannya.

Bagaimana jika aturan-aturan hukum dan tata cara dalam Alquran ternyata bukan hanya aktivitas spiritual belaka, melainkan cara menjaga keteraturan alam semesta agar sesuai dengan proses yang digerakkan oleh sang supreme being? Bagaimana jika doa-doa yang dilontarkan ternyata untuk membuat sang supreme being bergerak mempengaruhi komponen semesta sedemikian rupa sehingga alam bergerak demi terkabulnya doa? Bagaimana jika ternyata akhirat adalah tempat dimana atom-atom tubuh ditampung setelah jasad yang terbentuk dari karbon dan air ini sudah tidak mampu mengakomodasi gerak sebagai manusia dan perbuatan yang kita lakukan selama hidup mempengaruhi dimana atom-atom itu akan berkumpul nantinya?

Kita barangkali hanya belum menemukan Dia beserta kebesarannya yang Maha. Pemahaman kita saat ini terhadap Alquran secara melankolis dan dramatis adalah cara kita memproses pengetahuan yang belum sanggup kita cerna. Penjelajahan manusia pun baru sampai mengelilingi salah satu tata surya di galaksi Bimasakti, sedangkan melalui fakta penelitian yang disebarluaskan, alam semesta jauh lebih luas lagi. Bagaimana jika kehidupan, takdir, dan kematian, mungkin sebenarnya adalah kodifikasi dari proses abadi yang paling sederhana yang berlangsung di alam semesta: pembentukan, penggabungan, penghancuran? Akhirat mungkin suatu ketika tak lagi hanya terbatas di ranah iman, melainkan bisa dicerna dalam dimensi akal.


Segala hal punya titik mula. Manusia dengan ilmu pengetahuannya hingga saat ini baru bisa memperkirakan dan menjalani penelitian berdasarkan perkiraan. Sedangkan ilmu agama di ranah iman bisa menggambarkan keadaan sebelum dan sesudah kehidupan dengan banyak kodifikasi dan penyederhanaan penjelasan. Jauh di luar imajinasi kita, barangkali Tuhan sebenarnya tengah menunggu untuk kita pahami.


Gombong, 20 Oktober 2018

Source: shutterstock

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...