Minggu, 28 Oktober 2018

Berwisata ke Tempat Terbaik di Dunia

Ketika menginjak Jakarta tahun 2011, saya menghabiskan tahun pertama kuliah saya untuk beradaptasi atas segala kekagetan sekaligus ketakjuban melihat langsung kehidupan Jakarta. Misalnya, anak Jakarta ke sekolah naik mobil pribadi! Anak dusun seperti saya yang berangkat-pulang sekolah naik sepeda mini atau numpang angkot, tidak menyangka bahwa kehidupan Jakarta seperti yang tayang di sinetron benar-benar nyata. Gedung-gedung tinggi berisi pegawai-pegawai berpenampilan necis-klimis. Dan kalau nonton film di bioskop! Saya sebagai anak hasil produk lokal Kebumen dan belum pernah ke bioskop merasa kesulitan dalam memproses semua perubahan di depan mata. Apalagi ketika naik KRL dari Depok menuju Jakarta dan melihat kontrasnya kehidupan di kanan-kiri rel-relnya, yang bahkan melampaui imajinasi terliar saya. Rumah-rumah kardus berimpitan di antara rel yang mengular menunju stasiun besar Manggarai.

Barangkali karena itulah saya merasa sangat "terhubung" dengan buku "Tempat Terbaik di Dunia" yang ditulis oleh Roanne van Voorst. Tahun 2010 ia tinggal di salah satu daerah kumuh di bantaran kali Ciliwung demi mengumpulkan data penelitian doktoralnya di bidang antropologi. Selama setahun ia tinggal bersama penduduk kampung kumuh yang rumah-rumahnya selalu berulang kali terendam banjir setiap musim hujan datang. Bersama mereka, Roanne melihat dan mengalami permasalahan yang nyata: kemiskinan yang luar biasa, ancaman penggusuran karena kampung tersebut ilegal, dan utamanya banjir dari sungai berair kotor yang selalu bisa diprediksi namun tak bisa dihindari.

Melalui tulisannya, yang saya kira adalah bunga rampai tentang orang-orang yang tinggal di dalamnya, saya dibawa lebih dekat ke realitas berdenyutnya kehidupan marjinal di Jakarta. Stereotip yang melekat pada warga yang tinggal di sana tak jauh dari kata miskin, malas, bodoh, keras kepala, jorok, dan kriminal. Namun siapa sangka di bantaran kali itu ada Tikus, yang mengelola tiga bisnis sekaligus di bidang musik, keamanan, dan tempat fitnes. Ada juga Yantri yang ahli tanaman obat, dan Pinter dengan bank-nya yang membantu perputaran ekonomi masyarakat setempat. Tentu, dengan kreativitas tingkat tinggi yang hanya bisa ditemukan di bantaran kali. Tempat terbaik di dunia yang kamu bisa melakukan apa saja di sana!

Membaca bagian awal buku ini, kesan yang terbentuk adalah mirip seperti tulisan-tulisan kisah perjalanan pada umumnya: si pelancong merasa takjub dengan segala yang dilihatnya di tempat wisata dan menganggap segala sesuatunya menarik. Tidak seperti yang saya bayangkan dari seorang antropolog, begitu saya pikir. Roanne tetaplah seorang kulit putih dari negara kaya yang sedang menghabiskan waktu liburan, hanya saja dengan cara-cara yang tak lazim. Tinggal di kontrakan kayu beratap asbes yang selalu kebanjiran, misalnya. Ia menuliskan tentang bagaimana warga kampung kumuh berlomba-lomba menabung untuk membeli walkie-talkie, televisi rusak, memunguti papan dan kayu yang hanyut di sungai, dan betapa di Indonesia semua urusannya butuh uang pelicin. Sampai di sini saya gagal menangkap kesan selain seorang turis yang tengah bercerita pengalaman perjalanannya kepada para tetangga dan teman-teman kantornya tentang hidup di negara dunia ketiga.

Namun cerita-cerita itu akhirnya menjadi sebuah jalinan kisah yang sangat kuat ketika Roanne memberinya sebuah konteks: penggusuran. Tahun 2015, beberapa tahun setelah Roanne meninggalkan bantaran kali, pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan perintah penggusuran. Puluhan rumah beratap asbes dan kardus, baik berdinding kayu maupun bata bersemen, semua diratakan dengan tanah. Dalam sekejap bantaran kali yang tadinya ramai dengan alunan musik dan obrolan sehari-hari warga kampung, kosong melompong. Tujuh puluh dua warga ditangkap ketika berusaha mempertahankan rumah dan harta benda, ratusan lainnya segera menyingkir menghindari gas air mata dan buldoser yang merobohkan rumah-rumah mereka.

Kisah yang dituliskan Roanne ternyata bukan tentang ketakjuban atas apa yang ia lihat. Cerita tentang Tikus dengan ukulelenya, Yusuf dengan walkie-talkie kebanggaannya, Enin dan Neneng dengan pengalaman mereka dengan kaum lelaki, Pinter dengan buku kas merahnya, Nenek dengan ajaran moralnya, dan tokoh-tokoh lain dalam kehidupan kampung bantaran kali menjelaskan satu hal: ada kehidupan yang berlangsung di sana.

Selama ini, penggusuran lebih sering dilihat dari proses penegakan hukum, penataan ruang, dan kompensasi yang diberikan. Melalui buku ini Roanne tampaknya ingin memberikan sudut pandang lain, yaitu jalinan kehidupan. Dalam kampung yang digusur itu ada nadi-nadi yang berdetak membentuk jaringan ekonomi, sistem sosial, dan ikatan psikologis yang membuat orang-orang di sana mampu bertahan hidup di kota Jakarta yang tidak ramah bagi orang miskin. Dan jalinan itu tidak bisa terbentuk dalam satu-dua hari, apalagi tergantikan dengan kompensasi rumah susun bersubsidi.

Rumah-rumah kardus yang pernah saya jumpai itu, bersama dengan orang-orang yang tinggal di gerobak-gerobak kayu di balik pepohonan taman-taman kota, adalah bagian dari jalinan kehidupan kaum pinggiran di Jakarta. Tak berbeda dengan warga di bantaran kali. Jakarta memang hanya bagi mereka yang bermental baja: berani menanggung risiko atas ketidakpastian demi sebuah kesempatan adanya penghasilan. Mental yang demikian itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tidak punya pilihan lain. Satu pemukiman kumuh atau rumah-rumah kardus digusur, mantan penghuninya hanya akan tersebar dan pindah ke tempat-tempat lain yang belum dijangkau perhatian pemerintah. Mereka, untuk kesekian kalinya, memulai lagi dari awal. Pilihan satu-satunya yang mereka punya dalam sebuah negara yang, meminjam istilah Roanne, "tidak berfungsi optimal".


Annisa Qurani.


Identitas Buku
Judul : Tempat Terbaik di Dunia
Penulis : Roanne van Voorst
ISBN : 978 - 979 - 1260 - 79 - 4
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman : 191
Diterjemahkan dari Bahasa Belanda oleh Martha Dwi Susilowati

2 komentar:

  1. "... tentang hidup di negara dunia ketiga." Istilah dengan makna yang begitu dalam.

    Bukunya sepertinya menarik mbak, resensinya bagus 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas komentarnya kakaak. Recommended sekali bukunya untuk dibaca ^^

      Hapus

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...