Senin, 30 Juli 2018

Cerpen: Tanah yang Dihuni Manusia

(Pertama kali terbit di https://www.selasar.com/jurnal/32542/Cerpen:-Tanah-yang-Dihuni-Manusia Februari 2016)
Di sebuah desa yang jauh, ada sebuah pemakaman umum tempat orang-orang yang mati disemayamkan. Di areal pemakaman itu, tinggallah seorang tukang gali kubur tua bersama istrinya yang renta. Tak ada yang tahu atau peduli kemana anak-anak mereka, atau bahkan apakah mereka punya anak. Warga desa hanya tahu keduanya tinggal di sebuah pondok kecil di samping pintu masuk pemakaman.
Warga desa mengenal Pak Tua sebagai penjaga makam. Mereka hanya berurusan dengannya jika ada orang yang mati dan perlu tenaga untuk menggali kubur. Keperluan lain mereka adalah meminta suami-istri itu untuk membersihkan makam keluarga saat tanggal-tanggal keramat.
Suatu hari, istri Pak Tua mati. Wanita itu kurang gizi dan barangkali sudah menyerah untuk melanjutkan hidup sebagai istri tukang gali yang tak punya sumber penghasilan lain. Pak Tua mengangkat tubuh istrinya dan meletakkannya di atas dipan tempat mereka tidur. Pak Tua menyelimutinya dengan kain jarit. Lalu, ia keluar rumah, mencari lahan di pemakaman yang kiranya bisa ia gali malam itu sebagai pembaringan istrinya.
Di depan pintu pondoknya, di bagian pemakaman sebelah kanan yang dekat jalan, deretan makam indah berpualam berjejeran; makam-makam leluhur, keluarga bangsawan, dan pahlawan. Deretan rumah orang mati itu jauh lebih bagus dari rumah-rumah orang hidup yang ada di sekitar pemakaman, apalagi pondok Pak Tua dan istrinya. Tak sembarang orang bisa dipendam di bagian kavling itu, yang katanya diberkati Tuhan. Ia dan istrinya jels tak bisa jadi bagian.
Tukang gali lalu berjalan tergopoh-gopoh ke timur, mencoba mencari peruntungan di antara deretan palang-palang salib yang berbaris. Di sana, ia dapati ada sebidang di antara dua makam bayi yang kecil-kecil. Ia sudah hampir mengayunkan cangkul ke sebidang tanah itu sebelum pada akhirnya ia berubah pikiran dan berlalu. Meski ia tak taat beragama, ia ternyata masih khawatir juga untuk menyemayamkan istrinya di antara orang-orang yang semasa hidupnya menyembah Tuhan yang berbeda.
Petang makin merayap, menggelap dan Pak Tua belum menemukan tempat untuk memakamkan istrinya. Ia melewati petakan-petakan tanah kosong di sisi kirinya yang bukan termasuk area pemakaman umum. Pagar batu setinggi leher telah dibangun untuk menandai bahwa tanah-tanah itu sudah dibeli dan jadi milik orang. Para pemilik tanah sepertinya sangat yakin bahwa mereka dan keluarganya akan mati sehingga mereka menyiapkan lahan tempat mereka bersama akan membangun rumah masa depan. Seluruh keluarga barangkali akan dimakamkan di situ, berjejeran. Mungkin agar bisa saling tolong-menolong, contek-menyontek untuk menjawab soal dari malaikat kubur yang katanya soalnya susah-susah. Mungkin agar mudah bagi anak-cucu untuk berziarah, atau mungkin sekadar karena mereka punya uang berlimpah. 
Penggali kubur pusing tujuh keliling. Harapan terakhirnya hanya ada di bagian selatan pemakaman, tempat kebanyakan warga lokal dikuburkan. Terburu-burulah ia ke sana, meskipun tahu bahwa ia hanya akan kecewa. Hamparan nisan-nisan keramik dan semen membentang sampai perbatasan kali batas desa. Tulisan-tulisan tanggal dan nama menghiasi nisan-nisan itu sebagai tanda pemiliknya. Nisan-nisan itu berhimpitan, dihuni baik oleh penghuni lama yang dikubur tahun 1800-an maupun yang baru-baru ini bergabung. Bahkan, ada beberapa nisan yang diletakkan untuk menandai bahwa petak tanah di bawah nisan itu sudah ada yang punya. Keramik dan semen antarnisan saling bersenggolan, beberapa hanya menyisakan celah sempit selebar sepasang sandal. 
Menurut cerita, ketika kakek buyut Pak Tua masih remaja, areal pemakaman itu hanya berisi gundukan-gundukan tanah dengan patok kayu di kedua ujungnya. Kemudian datanglah para pendatang dari kota mengisi pekarangan-pekarangan kosong di desa dengan rumah-rumah gedong. Penduduk asli dan pendatang mulai bercampur dan melahirkan keluarga-keluarga baru yang juga membutuhkan tempat tinggal. Areal pemakaman yang luas akhirnya jadi salah satu solusi, selain sawah dan ladang yang membentang. Para pendatang tidak takut menghuni rumah yang bawahnya adalah makam. Hanya saja, mereka tak mau jika makam keluarga mereka bernasib sama seperti yang ada di bawah teras rumah mereka. Maka, dibangunlah nisan di atas makam-makam yang dianggap berharga: agar tak ada yang berani menginjakkan kaki, apalagi membongkarnya. Waktu berganti. Kini, hampir tak ada makam tanpa nisan di atasnya.
Pak Tua tak mampu membeli tanah di luar area pemakaman. Dan tak perlu, karena ia tak punya keluarga besar yang bisa diajak tinggal bersama sesudah mati, kecuali mungkin istrinya. Jangankan berharap untuk dikubur bersisian dengan sang istri, menemukan lahan kosong untuk satu orang saja sangat sulit di pemakaman desa ini. Ia bisa dituntut orang sedesa jika menghancurkan nisan-nisan lama dan menggali tanah di bawahnya. Ia juga tidak yakin nisan mana yang kira-kira sudah tidak ada lagi orang yang berziarah ke sana. Di hadapannya, nisan-nisan keramik itu seolah menatapnya dengan pongah, tahu bahwa tukang gali kubur itu, atau tukang gali yang lain, tak akan berani untuk bahkan sekadar menggoresnya. Semen, keramik, dan pualam itu dengan bangga bertingkah layaknya teras rumah yang mengabarkan manusia macam apa yang menghuni tanah di bawahnya. Dan memastikan bahwa tiada yang berani mengusik penghuni di dalamnya.
Akhirnya di malam dingin itu, Pak Tua menjinjing cangkulnya dan melangkah pulang. Ia tahu dimana istrinya dapat diistirahatkan. Tempat yang orang lain tak akan protes, tak akan mempertanyakan. Dibawanya cangkul itu masuk pondokan. Digesernya dipan tempat istrinya kini terbaring menutup mata. Crak, crak, crak. Ia mulai menghantamkan cangkulnya ke tanah bekas dipan tadinya berada. Tanahnya cukup basah, mudah digali. Entah basah akibat musim hujan atau karena dialiri air mata si penggali. Setelah dirasa cukup dalam, dari tepi atas lubang, ia menurunkan istrinya dengan selembar kain jarik perlahan-lahan. Mereka tak punya kain kafan, maka ia turun kembali ke lubang dan dililitkannya kain jarik itu sehingga membuntal tubuh sang istri sekadarnya.
Crak. Crak. Crak.
Pak tua mengembalikan lagi tanah yang ia gali, yang perlahan menutupi tubuh istrinya dengan sempurna.

Pak Tua, si penggali kubur, telah selesai dengan tugasnya. Ia mengembalikan letak dipannya dan mematikan bohlam. Di atas dipan, ia meringkuk beralas tikar dan memejamkan mata. Tak jauh di bawah, tanah merengkuh siapa saja yang datang untuk menghuni rahimnya tanpa bertanya nama, keluarga, agama, apalagi jumlah harta.



Annisa Qurani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...