Senin, 30 Juli 2018

Cerpen: Anak Kampung Kami

(Pertama diterbitkan di https://www.selasar.com/jurnal/32456/Cerpen-Anak-Kampung-Kami tanggal 6 Februari 2016)
Sepucuk surat Darmin terima dari Pak Pos sore ini. Anak keduanya, kemudian berubah status menjadi anak satu-satunya setelah peristiwa kecelakaan menimpa sang istri dan si sulung, telah sampai dengan selamat di kota. Radha, anak kedua Darmin, beberapa pekan lalu mengatakan hendak merantau. Tujuannya sama seperti beberapa orang pemuda di kampung kami yang terlebih dahulu melakukan hal serupa, mencari peruntungan demi kehidupan yang lebih baik. Aku menepuk pundak Darmin, melempar senyum yang ia sudah tahu artinya.
Bagi orang kampung macam kami, salah satu bentuk keberanian adalah kenekatan untuk merantau ke penjuru negeri. Usaha mendapatkan akses informasi dan transportasi yang membutuhkan syarat lebih dari sekedar uang jajan membuat negeri-negeri di luar gapura batas kampung hanya bisa dibayangkan dalam mimpi. Karenanya, terhadap mereka yang akhirnya berhasil melangkahkan kaki ke dunia antah berantah di luar sana, kami bertepuk tangan sekaligus menyelip doa dalam hati: semoga Allah selalu menyertai.
Terhadap mereka yang merantau, Darmin punya pandangan yang kurang lebih sama denganku, salah satu tetangganya. Mereka yang merantau adalah anak-anak pintar dengan modal terbatas, kebanggaan kampung kami. Karenanya, kami tak keberatan iuran bergenggam-genggam beras untuk ditukar jadi tiket kereta atau biaya masuk universitas. Iuran itu tak perlu dikembalikan dengan sekarung beras atau tunai, cukup dengan kebaikan yang akan menyulap segenggam beras jadi celengan pahala di akhirat.
Kami mendengar anak-anak kampung kami jadi singa di kota, di ujung jalan tol sana. Satu-dua orang bahkan menjadi macan di Asia, di wilayah yang cuma bisa kami lihat di peta. Mereka telah mewujudkan mimpi mereka dengan gagah berani. Mereka tanpa ragu-ragu terus menerjang lurus tiada terganggu masa lalu. Dalam sujud-sujud malam kami, ada sebentuk tulus yang lantas terurai bersama doa. Semoga kepada orang tualah bakti mereka kembali.
Keseharian kami sederhana, biasa saja. Pagi hari, kami yang petani kembali ke sawah, yang pedagang melenggang ke pasar, dan yang pegawai tentu tetap ke kantor dengan semangat. Sorenya, kami duduk-duduk di surau dan patrol bicara tentang padi yang dimakan wereng, menggosipkan anak tetangga yang hamil di luar nikah, membicarakan kepala desa yang katanya memakai uang pajak untuk menraktir para perangkat desanya.
Sekali waktu, kami juga membicarakan obrolan moral semacam lansia-lansia yang memenuhi satu-satunya shaf di surau, bocah A yang katanya kemarin ikut rombongan punk kampung sebelah, dan bocah B yang tiga tahun berturut-turut dikeluarkan dari SD karena ketahuan merokok. Tak sering kami bicara soal uang sekolah yang mahal karena pemerintah sudah menggratiskan pendidikan sembilan tahun. Keluarga yang punya anak sampai SMA biasanya bisa dibilang tak punya masalah keuangan, jadi jarang masuk topik obrolan.
Senyum bangga baru mengembang ketika kami bergosip tentang anak-anak kebanggaan kami yang jadi bos di perusahaan yang namanya susah kami ucapkan. Kami beritahu semua orang yang lewat patrol bahwa dia yang jadi pegawai di perusahaan yang sering muncul di TV adalah anak dari kampung kami. Itu, yang rumahnya sedang dibangun tingkat dua itu yang di pinggir sawah, demikian kami menganggapnya anak kami sendiri. Ya, anak-anak kami yang pintar dan berani telah mengubah kehidupan mereka sendiri.
Aku dan Darmin bergosip ria sampai maghrib tiba. Katanya, Maghrib adalah waktu setan-setan berkeliaran. Karena itu, kami pulang dulu ke rumah atau mampir ke surau. Nanti, selepas Isya, aku dan Darmin berkumpul lagi di warung jamu dekat pasar. Kebetulan, hari ini aku punya firasat baik bahwa nomor togel yang kemarin dibeli akan keluar nanti.


Annisa Qurani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...