(artikel untuk majalah Investasi, terbitan BPMPT Kebumen bulan Juni/Juli 2018)
Tren minum kopi tengah merambah Kebumen. Kafe dan kedai kopi
bermunculan. Penikmat kopi instan mulai berkenalan dengan biji kopi asli yang
disangrai. Tapi kopi lokal Kebumen sendiri belum banyak dikenal. Bahkan banyak
yang belum tahu bahwa kopi bisa tumbuh di Kebumen yang merupakan daerah
pesisir. Padahal di sejumlah daerah di Kabupaten Kebumen terdapat kebun kopi
yang dikelola petani lokal.
Solusi Pemanfaatan
Lahan Berkelanjutan
Lebih dari 80 ha
lahan Perhutani di Kebumen telah
ditanami kopi. Lahan tersebut tersebar di daerah Kaliputih, Kenteng, Somagede, Wonotirto,
Lohandu, Karanggayam, dan sejumlah daerah lain. Perhutani telah memberi izin
pada LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) setempat untuk mengelola sejumlah
petak lahan hutan untuk dikelola. Awalnya kopi hanya menjadi tanaman penyela
atau sisipan karena tanaman kopi dapat tumbuh di berbagai kondisi lahan, baik
dataran tinggi maupun pesisir.
Meski demikian, untuk menghasilkan biji kopi yang bagus
bibit kopi yang akan ditanam perlu menyesuaikan kondisi lahan. Di Kebumen
mayoritas kopi yang ditanam adalah dari jenis robusta dan arabica, yang umum
dicari di pasaran. Tapi sebenarnya jenis tanah di Kebumen berdasarkan
ketinggiannya kurang cocok untuk jenis arabica. Ini membuat LMDH Somagede mulai
melakukan spesifikasi dengan menanam
jenis excelsa dan liberica di lahan seluas 26 ha.
Dua hingga tiga tahun setelah penanaman, kopi yang dirawat
dengan baik sudah bisa dipanen. Dalam satu tahun, tanaman kopi dapat dipanen
hingga dua kali. Satu tanaman umur produktifnya bisa sampai 20 tahun tanpa
bongkar-pasang tanaman. Keunggulan ini membuat kopi menjadi tanaman penyangga
yang lebih baik dari jagung atau singkong. Pasalnya jagung menyerap lebih
banyak zat hara dalam tanah dan singkong memerlukan pencangkulan berulang-ulang
untuk penanaman dan panen yang membuat tanah rawan erosi terutama di daerah
perbukitan.
Peluang Ekonomi
Seiring Perubahan Tren Mengopi
Menurut pengakuan Tetuko dari komunitas Kebumen Mengopi,
ketika ia dan teman-teman pertama kali menilik sejumlah kebun kopi di Kebumen,
kondisinya sangat tidak terawat. Rata-rata pemiliknya mendapatkan
tanaman-tanaman kopi itu sebagai warisan dan tidak dilihat sebagai sumber
penghasilan. Biji kopi yang dihasilkan dipanen dan diproses seadanya lalu
dijual ke tetangga atau warung-warung kopi di desa dengan harga murah. Sekilo
biji kopi hanya dihargai kisaran 15 ribu sampai 20 ribu rupiah, tergantung
harga tawar pembeli.
Rendahnya harga dipengaruh oleh kualitas dan jumlah
permintaan. Petani kopi perlu mendapatkan pendampingan dalam mengelola lahan,
tanaman, dan kontrol kualitas biji. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas biji
kopi sehingga bisa memberi keuntungan ekonomi bagi petaninya. Sebabnya,
kualitas kopi selain ditentukan oleh kondisi lahan, juga oleh proses pengolahan
pascapanen.
Seiring informasi dan edukasi tentang kopi meluas,
masyarakat kini sudah lebih paham tentang perbedaan jenis dan kualitas kopi.
Penghargaan terhadap biji kopi pun semakin meningkat, dilihat dari semakin
banyaknya kedai kopi yang menawarkan kopi yang dibuat langsung dari biji.
“Gelombang pertama dulu kita kenalan dengan kopi sachet,” ujar Tetuko, “lalu muncul
kedai-kedai besar yang menawarkan kopi dengan kualitas lebih tinggi. Tapi sekarang
orang lebih bisa menghargai kopi dan metode pembuatan pun makin beragam. Orang nggak harus ke Starbucks untuk bisa
minum kopi enak tapi bisa bikin sendiri dengan berbagai macam pilihan bean (biji kopi) yang banyak dijual di
pasaran.”
Tren tersebut, diiringi dengan semakin mudahnya mendapatkan
alat brewing manual dan berkembangnya
metode pembuatan kopi, menjadi peluang bagi kopi lokal untuk berkembang. Kebun-kebun
yang dikelola pun menjadi peluang wisata agro. Peluang ini didorong oleh
berkembangnya wisata Kebumen yang berbasis komunitas lokal seperti LMDH dan
Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Kelak pengunjung dapat melihat proses panjang yang
harus dilalui biji-biji kopi sampai bisa terhidang dalam secangkir pekat kopi yang
rasanya nikmat.
Annisa Qurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar