Minggu, 04 Agustus 2019

Objektivikasi Islam dalam Kemajemukan Umat

Review bab-bab awal buku “Kekerasan dan Identitas” dan “Identitas Politik Umat Islam”


Abad 17 dan 18 menjadi era munculnya sekulerisme yang memandang agama sebagai masalah individu dan seharusnya dipisahkan dari persoalan negara. Paham sekulerisme lahir dari pengalaman sejarah Barat yang menemukan ketidaksesuaian antara doktrin agama yang diatur gereja-gereja Eropa dengan penemuan-penemuan sains dan perkembangan logika masyarakatnya. Doktrin agama dianggap usang, tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan justru menghambat ilmu pengetahuan. Konflik bermunculan bersamaan menguatnya dukungan dan tuntutan atas penghargaan hak-hak individu atas kebebasan yang sebelumnya dibatasi oleh otoritas keagamaan yang kuat pengaruhnya dalam tata pemerintahan. Kritik-kritik yang dilontarkan pendukung sekulerisme memaksa otoritas keagamaan untuk menyerahkan wewenang mereka di ruang publik dan mundur ke ruang-ruang privat yang mengurusi sebatas individu dan komunitas kecil.

Sekulerisme kemudian menyebar seiring kolonialisme dan berkembang di negara-negara Timur dan dunia Islam. Penekanan sekulerisme pada pemisahan agama dari ruang publik menjadi ancaman nyata bagi agama manapun, khususnya Kristen, Katholik, dan Islam yang dalam sejarah menggunakan kekuasaan negara untuk mengukuhkan doktrin keagamaan. Dalam perjalanannya, Kristen dan Katholik telah perlahan mundur dan menyisakan Islam sebagai agama yang masih memperjuangkan otoritasnya di ruang publik, atau pada konteks tulisan ini adalah urusan politik. Perdebatannya dalam Islam sendiri pun cukup keras sampai memunculkan istilah-istilah pengelompokan fundamentalis, moderat, dan liberal.

Islam memang tidak mengenal sekulerisme karena sejak awal ajarannya melibatkan kehidupan sosial berjamaah (berkelompok) dan membutuhkan pengorganisasian dalam pelaksanaan muamalah (hubungan antarmanusia). Misalnya dalam melaksanakan kewajiban zakat yang, idealnya, memerlukan alat-alat negara untuk mengelolanya (mengidentifikasi warga mana yang sudah terkena wajib zakat, mana yang berhak menerima zakat, pengumpulan dan distribusi zakat, dan sebagainya). Islam memiliki pedoman dalam mengatur hubungan antarmanusia dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik. Karenanya disebut ajaran Islam sebagai ajaran yang kaffah (menyeluruh) dan membutuhkan kehadiran negara sebagai otoritas kekuasaan yang diakui untuk menjalankan ajaran-ajarannya.

Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kaffah menimbulkan celah bagi sekulerisme untuk berkembang. Sangat wajar kiranya jika muncul kekhawatiran atas dominasi Islam baik secara jumlah maupun pengaruh dalam sistem kenegaraan di wilayah yang masyarakatnya plural, heterogen, baik dari segi agama, etnis, budaya, dan sistem kemasyarakatan. Tantangan bagi kaum muslim sendiri adalah menanggapi kekhawatiran tersebut dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana menjadi plural tanpa menjadi sekuler?”

Kemajemukan Umat

Tidak ada identitas tunggal, demikian kata Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas. Secara pribadi, kata Sen, kita semua terkait dengan berbagai macam identitas dalam konteksnya yang berlainan dalam hidup kita masing-masing, terkait dengan latar belakang, lingkungan pertemanan, atau kegiatan sosial kita. Seseorang bisa saja pada saat yang sama adalah, misalnya, seorang warga Indonesia, seorang muslim, seorang pengacara, seorang mahasiswa doktoral, seorang ibu tunggal, seorang anggota komunitas sastra, seorang perempuan berbadan besar yang memakai ukuran XXXL, seorang keturunan Jawa-Bugis, seorang pengidap asma, seorang aktivis pembela hak-hak LGBT, seorang yang alregi debu, dan seorang vegetarian.

Identitas-identitas melekat sebagai ciri bersamaan dengan terbentuknya afiliasi seseorang terhadap suatu kelompok. Masing-masing identitas saling bertukar posisi di tempat yang lebih dominan bergantung pada situasi yang dihadapi orang tersebut, baik disadari atau tidak. Di depan hakim, identitasnya sebagai pengacara akan lebih dominan dibandingkan identitas-identitas lain tanpa menghilangkan pengaruhnya sama sekali. Saat mengambil rapor anaknya di sekolah ia adalah seorang ibu, dan ketika berada di restoran ada bagian identitasnya yang menonjol sebagai seorang vegetarian.

Konteks tersebut berubah-ubah dan setiap identitas yang melekat pada afiliasi selalu memiliki kepentingan yang perlu diakomodasi. Kepentingan inilah yang bisa jadi beririsan dengan identitas lain. Identitas yang sifatnya minor bisa menjadi dominan dan mendorong kohesi homogen jika terdapat hal yang diperjuangkan atau muncul tujuan bersama. Sehari-hari, orang dengan ukuran baju XXXL tidak terhubung satu sama lain. Namun ketika suatu waktu terdapat kebijakan resmi dinaikannya ongkos angkutan umum dan tiket kereta bagi orang-orang berbadan besar, solidaritas antar orang-orang yang merasa berbadan besar akan muncul dan menguat karena ada kepentingan bersama.

Populasi umat Islam sendiri semakin majemuk dalam berbagai bentuk baik vertikal maupun horisontal. Mobilisasi sosial terus berlangsung dan mengubah berbagai macam keadaan yang harus diakomodasi oleh kebijakan. Misalnya meskipun secara angka kesejahteraan meningkat, tetapi ada perubahan dalam mobilisasi sosial. Ada petani-petani muslim yang tidak lagi memiliki lahan, kelas menengah muslim meningkat, pejabat-pejabat muslim naik pangkat ke tingkat pengambil keputusan, ada umat muslim Jawa yang menikah dengan umat muslim Bali dan membangun keluarga dengan etnis berlainan, ada umat muslim yang menjadi dokter, masinis, polisi, tentara, guru, dan sebagainya. Umat muslim ada yang di atas dan ada yang di bawah secara ekonomi dan afiliasi horisontal pun berkembang. Semua bagian umat tersebut berhak atas pelayanan publik dan pelayanan politik yang layak.

Melihat banyaknya afiliasi yang dimiliki individu, ketika isu agama digunakan dalam politik merebak, sangat wajar jika dalam masyarakat reaksinya beragam, bahkan dari kelompok pemeluk agama yang sama. Keragaman reaksi menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat apalagi jika sampai timbul dikotomi dalam keberpihakan politik. Ketika rasa tidak nyaman merebak sampai menimbulkan konflik, agama yang dianggap sebagai sumbernya didorong untuk menyingkir dari dunia politik. 

Objektivikasi Islam

Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa di era demokrasi, Islam membutuhkan “jurus baru” untuk bisa menjalankan ajaran-ajarannya secara menyeluruh. Jurus baru tersebut adalah mengubah pandangan Islam yang ideologis menjadi ilmu, yang sifatnya subjektif menjadi objektif. Ideologi-ideologi menurut Kuntowijoyo terlalu kaku dalam menghadapi kenyataan (realitas objektif). Marhaenisme mengalami kesulitan dalam menghadapi tumbuhnya kelas menengah dan kelas atas. Komunisme tidak mampu menanggulangi ambruknya sistem ekonomi komando. Islam pun terus-menerus ditantang oleh kenyataan atas kemajemukan umat.

Umat yang majemuk beserta masing-masing afiliasinya menciptakan kepentingan yang berbeda sehingga perlu diakomodasi dengan cara yang berbeda pula.  Umat yang berada di golongan ekonomi menengah ke atas dan mendapatkan kesempatan atas pendidikan yang tinggi barangkali bisa dirangkul dengan pendekatan isu-isu yang substansial (politics of the abstract) seperti hukum dan akhlak. Namun bagi kelompok umat yang berada di bawah akan lebih tertarik pada hal-hal yang konkret (politics of the concretes) seperti isu pembangunan.

Hal-hal yang konkret inilah yang menjadi common interest tidak hanya di dalam umat Islam, tetapi juga nonmuslim, karena lebih bersifat objektif. Kemiskinan, misalnya, bagi golongan manapun adalah sebuah permasalahan. Demikian juga banjir, kemacetan, akses pendidikan, dan hal-hal lain yang langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Islam harus bisa menangkap kebutuhan-kebutuhan bersama (common needs) yang timbul dari permasalahan dengan menghadirkan solusi. Namun sayangnya Islam selalu ketinggalan dalam menangani masalah golongan bawah.

Berkaitan dengan realitas objektif inilah, keberadaan Islam sebagai ilmu lebih dibutuhkan daripada keberadaan Islam sebagai ideologi. Islam sebagai ilmu artinya menggunakan pendekatan yang objektif, melihat kenyataan tidak sebagai kebenaran, melainkan kenyataan itu sendiri. Apa yang terlihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh kulit, dan dicium oleh hidung, itulah kenyataan dan terpisah dari asumsi individu pemilik indera. Kemiskinan dan banjir dalam cara pandang subjektif bisa jadi merupakan ujian kesabaran namun itu adalah pandangan pada level individu. Pada level umat, permasalahan kolektif kemiskinan dan banjir adalah sebuah realitas objektif yang harus diselesaikan dengan segera.

Pergeseran Islam dari ideologi ke ilmu mewajibkan perubahan cara pandang dari subjektif ke objektif. Pandangan subjektif hanya berlaku di level individu dan komunitas yang homogen. Untuk bisa mengakomodasi hak-hak publik dan hak politik masyarakat yang heterogen, pandangan objektif perlu diterapkan secara kolektif. Pergeseran cara pandang subjektif ke objektif itu berupa menghilangkan egosentrisme umat, pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme agama.

Pluralisme agama adalah yang paling mudah dirumuskan namun paling sulit dilakukan, demikian Kuntowijoyo menulis dalam bukunya. Pluralisme agama tidak berarti mengakui kebenaran dari semua agama. Ketika kebenaran semua agama diakui, mengapa harus memilih salah satu? Ketika semua agama adalah benar, apakah berarti yang tidak beragama itu salah? Pandangan liberal semacam itu memicu perdebatan yang tidak akan ada habisnya dan sangat tidak produktif. Menurut Kuntowijoyo, kebenaran suatu agama adalah realitas subjektif masing-masing pemeluknya dan tidak bergantung pada pengakuan atau pandangan subjektif dari pemeluk agama lain untuk bisa berfungsi.

Pluralisme yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengakuan secara objektif bahwa setiap dianutnya suatu agama membawa konsekuensi lahirnya kepentingan. Dan kepentingan tersebut dalam konteks warga negara perlu diakomodasi dan dilindungi. Ketika negara memiliki lembaga khusus untuk mengurusi persoalan keagamaan, kita harus melihatnya sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan warga yang membutuhkan negara sebagai alat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam ajarannya. Sekulerisme dalam masyarakat yang beragama justru mencabut hak-hak atas pelayanan negara.

Dengan cara pandang yang objektif dan mengkaji Islam sebagai ilmu, Islam tidak perlu mundur ke ranah privat. Konsekuensinya ketika enggan beranjak dari ruang publik adalah kemauan dan kemampuan umat Islam untuk secara objektif mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang beragam di masyarakat yang plural dengan banyaknya afiliasi-afiliasi yang berbeda. Umat Islam harus membuktikan dan menunjukkan bahwa ajarannya bukanlah ancaman. Langkah pertama tentu saja memahami dan menerima fakta bahwa umat Islam tidaklah hidup sendirian.


Gombong, 5 Agustus 2019

Identitas Buku:

1.     Kekerasan dan Identitas
Amartya Sen, 2006
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Arif Susanto
Edisi kedua, Februari 2016
Penerbit Marjin Kiri



2.     Identitas Politik Umat Islam
Prof. Dr. Kuntowijoyo
Catakan pertama Maret 2018
Penerbit DIVAPress


Tahapan Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Komunitas

(Resume oleh Annisa Qurani, Roemah Martha Tilaar)


"Pengembangan komunitas (community development) adalah aksi kolektif untuk sebuah hasil (result) dan dampak (output) berupa keberdayaan dari sebuah komunitas."

Ada dua unsur penting yang ditekankan pada kalimat di atas. Yang pertama adalah aksi kolekif, artinya menekankan pada kelompok, bukan bersifat individual. Yang kedua adalah berdaya, sebuah kondisi dimana komunitas memahami kondisinya sendiri, mampu membaca masalah, dan mencapai konsensus tentang permasalahan atau kebutuhan bersama.

Penekanan tujuan terbentuknya kemandirian kelompok didorong oleh asumsi bahwa dalam kehidupan sosial atau ruang publik tidak bisa diselesaikan di level individu. Pembentukan kemandirian penting agar kelompok yang bersangkutan tidak bergantung pada pihak lain di luar kelompok untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Berangkat dari asumsi tersebut, prinsip paling penting dalam kegiatan atau program pengembangan komunitas adalah keyakinan bahwa kelompok atau masyarakat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Tugas pelaku program pengembangan komunitas atau pemberdayaan masyarakat yang utama adalah membantu masyarakat untuk mengenali kondisinya sendiri, baik dari segi permasalahan maupun potensi-potensi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pendekatan Partisipatif

Dengan percaya bahwa masyarakat mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri, tugas pelaku pengembangan komunitas secara otomatis sebenarnya dibatasi hanya sampai pada proses fasilitasi. Menjadi fasilitator berarti menjadi pihak yang membantu proses penyadaran masyarakat atas lingkungan di sekitarnya sampai teridentifikasinya kebutuhan bersama (common needs) dan inisiatif untuk melakukan aksi. Dalam menjalankan tugasnya, fasilitator perlu terlebih dulu memahami pendekatan partisipatif.

Secara garis besar partisipatif bisa dipahami sebagai tiga hal: sebagai pendekatan, metode, dan teknik. Partisipatif sebagai pendekatan bersifat konseptual atau prinsipal dan harus menjadi cara berpikir (mindset) fasilitator bahkan sebelum ia turun ke lapangan. Pendekatan partisipatif menjadi oposisi bagi pendekatan top-down yang seringkali tidak bertahan lama dan sifatnya sentralistik karena cenderung tidak melibatkan target program dalam pengambilan keputusan. Common problems dan common needs dinilai dari pandangan luar atau atas sehingga kerap tidak sesuai dengan kondisi nyata yang berlangsung di dalam kelompok masyarakat. Sebaliknya, pendekatan partisipatif mendorong pendekatan yang sifatnya bottom-up, dari bawah ke atas. Masyarakat didorong untuk mengidentifikasi sendiri permasalahan dan kebutuhan mereka, baru kemudian menyampaikan aspirasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Metode partisipatif dipahami sebagai tahapan atau prosedur yang harus dilakukan dalam melaksanakan pendekatan partisipatif. Metode ini kemudian diturunkan ke dalam teknik partisipatif yang merupakan bentuk implementasi di lapangan. Teknik partisipatif meliputi tools yang digunakan untuk mendapatkan hasil (result) dari pendekatan partisipatif.

Pendekatan partisipatif didalamnya ada proses-proses untuk (1) mengorganisasi, (2) mendampingi, (3) menguatkan, dan (4) memberdayakan. Keempatnya sangat penting untuk dilakukan karena dalam pendekatan partisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Masyarakat sendirilah yang harus bergerak mengubah keadaan, bukan pihak lain. Agar kemandirian itu dapat terwujud, harus ada redisribution of power, pembagian kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya dibagi di dalam pihak-pihak elit dalam masyarakat seperti pejabat, tokoh politik, tokoh agama, maupun ketua-ketua organisasi. Kekuasaan harus dibagikan termasuk kepada kelompok-kelompok marginal dengan cara melibatkan mereka, mendorong keaktifan mereka di ruang-ruang publik tempat terbentuknya konsensus. Konsekuensi adanya redistribution of power adalah perlunya peningkatan kapasitas sampai pada level mikro agar pihak-pihak yang terlibat memiliki kemampuan yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kekuasaan yang dimiliki.

Metode RRA dalam Pendekatan Partisipatif

RRA atau Rapid Rural Appraisal adalah metode penelitian atau penilaian desa secara cepat dan tepat. Observasi yang dilakukan menggunakan kelima panca indera. Fasilitator harus menekankan ketidaktahuan optimal dalam melakukan penelitian, artinya datang ke lokasi dengan tangan kosong dan tanpa asumsi apapun. Penelitian dimulai dengan mengenali lingkungan target, misalnya dengan obrolan-obrolan santai di warung bersama penjual dan pembeli atau di tempat-tempat berkumpul lain. Informasi yang perlu digali fasilitator dalam tahapan ini didapatkan melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar 5W + 1H.

Tujuan utama RRA adalah mendapatkan informasi mengenai target program yang meliputi:
  •        Sumber Daya Alam (SDA)
  • 2.       Sumber Daya Manusia (SDM)
  • 3.       Sumber Daya Finansial (SDF)
  • 4.       Sumber Daya Sosial, (SDS) dan
  • 5.       Sumber Daya Buatan atau Infrastruktur (SDB/I)

Kelima informasi tersebut didapatkan dari observasi yang telah disebutkan di atas dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan 5W + 1H. Namun sebenarnya observasi dasar itu juga bertujuan untuk pendekatan awal kepada masyarakat target. Fasilitator datang sebagai dirinya sendiri (bukan utusan pemerintah, lembaga, dan sebagainya) tanpa cara yang intimidatif, apalagi birokratis. Masyarakat cenderung menyeleksi informasi yang mereka berikan ketika mengetahui bahwa si fasilitator adalah perwakilan dari suatu pihak tertentu dan hal itu sangat bertentangan dengan prinsip partisipatif.

Informasi yang lebih dalam didapat dengan melakukan live in atau tinggal bersama. Tahapan live in sangat penting karena dengan tinggal selama beberapa waktu bersama masyarakat dan ikut terlibat dalam keseharian mereka akan membangun kepercayaan dan ikatan antara peneliti dan masyarakat target. Observasi lebih dalam juga bisa dilakukan karena hal-hal yang sebelumnya tidak disampaikan dalam wawancara atau obrolan santai bisa ditemukan dalam proses keseharian masyarakat. Dalam proses ini fasilitator harus peka dalam membaca kondisi sosial yang berlangsung, termasuk membaca sensitivitas hubungan antarmasyarakat. Lamanya live in tidak bisa ditentukan karena tantangan yang dihadapi ketika tinggal bersama bisa berbeda-beda. Live in diakhiri jika informasi yang didapatkan dianggap sudah mencukupi. Artinya, live in bisa berlangsung dari hanya beberapa hari sampai hitungan bulan.

Pada intinya RRA dilakukan untuk mendapatkan gambaran awal tentang permasalahan dan potensi yang dimiliki masyarakat target dan lingkungan yang melingkupinya serta mendapatkan kepercayaan dari mereka. Tahapan RRA akan dilanjutkan dengan PRA atau Participatory Rural Appraisal. Namun sebelum menuju PRA, terdapat tahapan prakondisi yang perlu dilakukan saat RRA:
  • 1.       Sosialisasi kegiatan secara intensif hingga level mikro agar tidak ada bagian masyarakat             yang  tidak terlibat atau tidak terjaring informasinya
  • 2.       Identifikasi dan membangun kontak dengan tokoh kunci (key persons)
  • 3.       Membentuk tim dengan tokoh kunci (key persons)
  • 4.       Membuat kegiatan stimulan-stimulan kecil untuk memancing keterlibatan dan kolektivitas

Adapun output yang dituju dari RRA dalam poin-poin adalah (1) pembangunan kepercayaan, (2) pemahaman tentang kondisi yang didampingi, (3) kontak dengan key persons, (4) terbangun kesadaran isu bersama dalam masyarakat, dan (5) terbentuknya inisiatif untuk berkumpul.

Tahapan PRA (Participatory Rural Appraisal)

Pada tahapan ini, berbeda dengan di RRA yang cenderung menjadi peneliti, pada PRA fasilitator benar-benar menjalankan fungsi fasilitasi. PRA adalah metode pelibatan masyarakat dalam proses kajian kebutuhan kolektif dan inisiasi langkah aksi.

Tahap-tahap fasilitasi bisa diurai dalam poin-poin berikut:
  • 1.       Merumuskan mimpi atau visi
  • 2.       Identifikasi sumber daya desa
  • 3.       Identifikasi dan analisa masalah
  • 4.       Merumuskan tindakan: prioritas, pertahapan kegiatan, indikator, linimasa
  • 5.       Penyusunan anggaran
  • 6.       Tindak lanjut perencanaan

Keenam tahapan dilakukan melalui proses RRA (dilakukan oleh peneliti/fasilitator di awal sebagai prakondisi), pendataan partisipatif, FGD, dan dokumentasi proses dan hasil. Pada pendataan partisipatif dan FGD diperlukan teknik partisipatif untuk membantu masyarakat mengidentifikasi lingkungannya. Teknik-tenik pengkajian wilayah yang bisa digunakan antara lain:

(materi lengkap untuk RRA dan tools PRA bisa diunduh di https://bit.ly/2ZvNPyA oleh Febri Sastiviani Putri Cantika)
  • 1.       Transek

Pemetaan wilayah untuk menggambarkan potensi suatu wilayah lengkap dengan ekosistemnya dengan cara membelah wilayah. Penarikan garis belah pada wilayah tertentu dilakukan dengan memperhatikan topografi dan keseragaman pola-pola demografis serta geografis untuk diidentifikasi potensi masing-masing belahan wilayah dengan menuangkannya ke dalam bagan.
  • 2.       Penelusuran Sejarah

Alat bantu yang bisa digunakan untuk mengetahui asal-usul terbentuknya desa atau tempat tertentu. Caranya dengan mengumpulkan orang-orang dari berbagai kelompok usia, termasuk menghadirkan yang paling tua untuk menjadi narasumber. Tantangan dalam proses ini adalah bias tahun yang diingat oleh narasumber. Solusinya mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa di dalam desa dengan mengaitkannya pada kejadian-kejadian besar di level nasional/global seperti zaman Jepang, kemerdekaan, Gestapu, dan lain sebagainya.
  • 3.       Tren Perubahan dan Kecenderungan

Tujuan penggunaan alat ini adalah mengenali dan melacak perubahan-perubahan yang terjadi di desa berdasarkan kronologi waktu. Tren perubahan dan kecenderungan bisa diaplikasikan untuk topik-topik spesifik, misalnya penggunaan lahan desa, komoditas pertanian, irigasi, dan lain sebagainya yang memiliki ukuran/satuan yang sama. Hasil yang dituangkan dalam matriks kronologis bisa dianalisis dengan cara membandingkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu.
  • 4.       Kalender Musim

Kalender musim digunakan untuk melihat pengaruh musiman pada sumber daya yang berlangsung dalam setahun di dalam masyarakat berikut dampaknya. Musim yang dimaksud bukan hanya tentang musim yang dipengaruhi alam seperti musim tanam, musim panen, dan musim banjir, tetapi juga agenda-agenda sosial seperti musim hajatan, Ramadhan, Agustusan, dan sebagainya yang melibatkan banyak anggota masyarakat. Kalender musim bertujuan membuat skema jadwal tahunan masyarakat sehingga bisa dianalisis distribusi SDM dan finansial di dalam desa. Lebih baik lagi jika kalender musim dicobakan pada kelompok masyarakat yang homogen, misalnya petani, ibu rumah tangga, pelajar, dan sebagainya yang memiliki banyak kesamaan agar hasil analisisnya lebih spesifik.
  • 5.       Kalender/Jadwal Harian

Hampir sama dengan Kalender Musim, namun dalam periode waktu harian yang diukur dengan jam. Alat ini digunakan untuk memetakan aktivitas sehari-hari khususnya anggota keluarga (bapak, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, nenek/kakek, dll). Ini berguna ketika akan melibatkan pihak-pihak tertentu dalam program. Misalnya jika ingin mengundang kaum perempuan yang sudah berumah tangga, maka bisa diidentifikasi pada jam berapa kelompok masyarakat tersebut memiliki waktu yang bisa dialokasikan.
  • 6.       Alur Keluar-Masuk Barang

Digunakan untuk mengetahui jenis barang dan jumlah yang keluar dan masuk desa. Teknik ini bisa menujukkan kemampuan ekonomi masyarakat dan perputaran finansial mereka.
  • 7.       Peta Sketsa Desa

Mengajak masyarakat untuk membuat sendiri peta desa mereka membuka kesempatan bagi mereka untuk memahami desanya sendiri dan membangun keterikatan. Melalui peta sketsa desa, akan diketahui sebaran potensi yang ada dalam desa. Namun yang lebih penting teknik ini mendorong partisipasi aktif semua peserta diskusi dan menciptakan interaksi.
  • 8.       Diagram Venn

Diagram Venn digunakan untuk melihat hubungan kelembagaan di dalam desa. Dari diagram ini akan terpetakan aktor-aktor desa dengan kepentingan masing-masing dan tingkat pengaruhnya dalam keputusan yang diambil di desa. Masyarakat bisa melihat keterkaitan antarlembaga dan ketika kelak akan menyampaikan aspirasi, mereka sudah paham kepada lembaga mana kepentingan mereka saling berkaitan.
  • 9.       Analisis Pohon Masalah

Analisis Pohon Masalah bisa mengidentifikasi masalah utama dari pengelolaan potensi wilayah desa dan mengidentifikasi akar permasalahannya. Masyarakat peserta diskusi didorong untuk menentukan sendiri hal-hal yang dianggap masalah dan menempatkannya dalam bagan daun, ranting, batang, dan akar permasalahan. Di sini keyakinan bahwa masyarakat memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan sangat ditekankan.

Semua tools di atas bisa dilakukan langsung dalam satu pertemuan FGD jika pesertanya mencukupi. Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan diberi tugas untuk mengerjakan tools masing-masing satu tool per kelompok. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil isian matriks kepada seluruh peserta FGD untuk didiskusikan sampai menghasilkan konsensus. Akan tetapi tidak semua tools wajib digunakan. Common problems dan common needs yang telah teridentifikasi di akhir RRA bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan tools yang digunakan.

Alur pendampingan dalam rangka pengembangan komunitas sebenarnya tidak hanya RRA dan PRA. Tahap lanjutannya berupa penguatan kelembagaan, penguatan jejaring, peningkatan kapasitas, pemberian bantuan stimulan, dan monitoring&evaluasi. Jangka waktu masing-masing pendampingan berbeda bergantung pada proses partisipatif yang berlangsung di masyarakat target. Namun secara teknis bisa diukur melalui pertimbangan finansial dan linimasa yang telah ditentukan lembaga peneliti maupun donor.

Tak kalah penting dalam program pendampingan adalah exit plan, yaitu langkah-langkah yang dilalui agar komunitas dampingan sudah cukup berdaya dan program bisa disudahi. Jika target pendampingan partisipatif adalah masyarakat bisa mandiri/berdaya tanpa ketergantungan pihak lain, maka ketika program selesai mereka seharusnya bisa dianggap mampu menjalankan program-program pengembangan komunitas mereka sendiri berdasarkan kebutuhan yang mereka sendiri telah berhasil identifikasikan.


Gombong, 4 Agustus 2019

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...