Jumat, 13 September 2013

Dari Tengah Perhimak UI


Oleh Annisa Haq Nur Qur’ani (a.k.a Saho), Perhimak UI 2011
(dibuat dalam rangka Suksesi Ketua Perhimak UI 2013/2014)

Mengapa para mahasiswa yang akan mencalonkan diri menjadi Ketua Perhimak harus membuat esai tentang kepemimpinan? Saya berpikir demikian saat masih menjadi panitia suksesi. Ah, barangkali untuk formalitas saja, itu jawaban spontan yang terpikir. Ideal panitia mengatakan bahwa esai itu akan menunjukkan pemikiran-pemikiran para calon mengenai apa yang akan mereka pimpin nanti. Meliputi konsep yang mereka bawa, rencana-rencana, ide-ide baru. Bisa jadi.

Sekarang adalah setelah saya mengundurkan diri dari jabatan panitia suksesi dan dalam sekejap berubah menjadi bakal calon yang telah mengirimkan CV. Saat ini saya bertanya-tanya, memang mau apa di Perhimak? Mengapa perlu menjadi seorang ketua? Dan semalam saya tidak mkenemukan jawabannya. Modal saya hanya ingin. Keinginan yang kecil yang kemudian tersulut menjadi sebuah obsesi nyata yang menggerakkan pikiran, mata, tangan, dan akhirnya mengeluarkan keputusan bahwa saya akan maju dan turut serta dalam suksesi.

Itu cerita yang tidak substansial untuk syarat penulisan esai ini, sebenarnya. Maka biarlah cerita itu cukup sebagai pengantar, sekadar menjawab pertanyaan penasaran orang-orang yang diwakilkan dalam kata tanya “mengapa?”

Yang sebenarnya ingin saya sampaikan melalui esai ini yaitu tentang kepemimpinan yang dilihat dari term posisi. Dalam hal ini, setiap orang akan berpikir bahwa seorang pemimpin adalah ketua, raja, presiden, kepala, dan semuanya merujuk pada posisi paling atas dalam sebuah hierarki kepengurusan. Dan orang pasti akan berpikir bahwa sukses tidaknya sebuah organisasi berjalan bergantung pada kemampuan ketua dalam menentukan semuanya. Jika ada yang tidak beres, sorotan evaluasi akan tertuju langsung pada sosok ketua. Jika sukses juga demikian. Sentralisasi ini membuat orang-orang yang ada dalam struktur lebih rendah menggantungkan diri pada instruksi ketua. Segalanya terpusat dan mematikan inovasi anggota pengurus. Pada akhirnya segala risiko akan ditanggung oleh ketua.

Kini saya akan merujuk pada sebuah buku yang ditulis oleh John C. Maxwell, seorang pakar dalam psikologi kepemimpinan kelas dunia. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “A 360 Degrees Leader” mengenai memimpin darimanapun posisi dalam organisasi. Seperti judulnya, 360 derajat, artinya benar-benar dari segala posisi. Mungkin tidak masalah jika kebetulan posisi kita saat ini ada di puncak yang memang memiliki hak/wewenang untuk mengatur segalanya, tapi bagaimana jika tidak? Bagaimana jika kita kebetulan berada di posisi tengah, bukan staf, tapi juga bukan di jajaran petinggi organisasi? Posisi-posisi itu biasanya dihuni oleh orang-orang yang menjadi wakil atau bahkan BPH (Badan Pengurus Harian). Di satu sisi mereka harus memiliki kemampuan untuk mengkoordinir, tapi di sisi lain juga mereka tidak boleh melangkahi wewenang ketua.

Saya bukannya ingin promosi bukunya Maxwell. Saya ingin menarik konsep-konsep memimpin dari tengah yang dicetuskannya itu ke dalam sebuah organisasi nyata bernama Perhimak UI. Saya pernah menjadi bagian di dalamnya selama dua tahun dengan dua posisi yang berbeda: staf dan deputi kepala departemen pengabdian kepada masyarakat.

Ketika menjadi seorang staf, saya merasa tidak perlu berpikir rumit-rumit mengenai substansi organisasi. Saya sibuk mengejar kepentingan pribadi saya, yaitu membayar hutang. Pusing-pusing dalam berorganisasi juga tidak begitu terasa karena saya merasa cukup dengan menjalankan perintah dari ketua dan deputi departemen tempat saya ditempatkan. Akan tetapi, ketika tahun selanjutnya saya “naik jabatan” menjadi deputi kepala departemen yang memiliki staf dan juga atasan dalam waktu bersamaan, pusing-pusing itu mulai terasa.

Secara teori, tugas saya sebagai deputi adalah mengkoordinir staf sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan oleh atasan, dalam hal ini ketua organisasi sekaligus kepala departemen. Mudah, karena kesannya hanya sebagai tukang pos yang mengantar pesan. Ah, jangan tukang pos, terlalu kuno. Saya akan menggunakan analogi HP: atasan kirim pesan “A”, maka saya harus mem-forward-nya ke staf sebagai “A” juga. Akan tetapi, disinilah masalah muncul. Bisa jadi HP saya rusak, atau hilang, atau tidak punya pulsa, sehingga pesan tidak tersampaikan dan berhenti di saya. Atau bisa jadi HP penerimanyalah yang rusak. Bahkan bisa jadi juga penerima pesan sudah menerima, membaca sekilas, lalu hapus, atau sudah menerima, membaca, tapi tidak mau melaksanakan, atau lupa jika tidak mau dibilang suuzhon. Tapi bisa jadi ada skenario terburuk: tidak ada pesan dari atasan. Nah, jika begini, bisa apa seseorang ada di posisi seperti itu? Orang-orang dalam posisi menengah tidak boleh menjadi lebih dominan dari ketua karena akan menghancurkan organisasi. Bagaimanapun juga ketua adalah ikon dan pucuk pimpinan yang telah dipilih sejak awal. Seseorang di posisi menengah harus puas hanya dengan menjadi bayangan demi kelangsungan organisasi, tidak memiliki hasrat berlebihan untuk menampilkan diri. Pintar-pintar menahan diri. Ini tantangan terbesarnya.
Singkatnya, kita tahu ada pekerjaan tapi tidak tahu apa yang mesti dilakukan.

Di Perhimak sendiri, sosok ketua adalah sosok dominan yang mengkoordinasi semua bagian di bawahnya dalam struktur organisasi. Ia yang menentukan arah atau visi sekaligus memastikan tidak ada hambatan luar yang mengganjal jalannya roda kepengurusan. Ia haruslah berkarakter kuat dan visioner, mampu melihat jauh ke depan pada peluang-peluang keuntungan yang mungkin terjadi, berikut hubungan eksternal dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan segala tugasnya sebagai ikon organisasi, maka ia akan menganggap bahwa segala yang ada di kepengurusan siap untuk melakukan gebrakan-gebrakan bersamanya. Celakanya tidak semudah itu.

Maxwell dalam bukunya memperkenalkan konsep memimpin dari tengah. Syarat utamanya adalah kesadaran pemegang posisi-posisi menengah itu akan tujuan utama organisasi dan adanya aturan main yang disepakati dan diketahui semua anggota organisasi. Jadi bukan hanya ketua saja yang tahu organisasi akan dibawa kemana, sehingga tanpa instruksi pun organisasi bisa berjalan sebagaiamana mestinya. 

Perhimak unik karena ikatannya bukanlah ikatan profesional. Ikatan yang mengumpulkan semua anggotanya adalah semata-mata ikatan kepedulian pada Kebumen, ikatan keluarga. Berbeda dengan organisasi kampus yang diikat hubungan profesionalisme, yang lalu melahirkan ikatan-ikatan kekeluargaan di antara anggotanya. Perhimak yang telah membangun ikatan keluarganya lebih dulu, kini berusaha membangun kesadaran akan profesionalisme dalam kinerjanya. Ini yang sulit. Anggapan mendasar atas kekeluargaan itu membuat Perhimak lemah secara kelembagaan. Mekanisme standar teknis di setiap kegiatan tidak dijalankan dengan baik walaupun sudah ada. Alasannya banyak, salah satunya kurang baiknya tawaris ilmu dari kepengurusan atau kepanitiaan sebelumnya.

Tidak adanya standar baku membuat ketua menjadi sosok sentral yang mengatur semuanya. Mekanisme berganti seiring bergantinya kepengurusan, maka standar outputnya pun berbeda-beda. Sentralisasi keputusan pada ketua (dalam hal ini termasuk ketua kepanitiaan, ketua departemen) ini berisiko ketika ketua berhalangan memberikan instruksi. Jika ketua absen, maka macet. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Di sinilah pentingnya standardisasi kelembagaan. Perhimak tidak hanya membutuhkan program kerja. Perhimak justru lebih membutuhkan  standar yang baku yang dipahami oleh semua pengurus, termasuk juga anggota-anggota non pengurus. Harus ada garis besarnya, seperti GBHN dalam term Indonesia. Standardisasi yang saya maksud adalah Standard Operational Procedure (SOP) untuk hal-hal substansial di Perhimak: standar kelayakan kegiatan (tujuan, persiapan panitia, pendanaan). Standar persiapan panitia meliputi mekanisme bidding ketua panitia (termasuk ketua Perhimak juga) yang baiknya disamakan dari tahun ke tahun. 

Saya memang belum memiliki gambaran hingga detil bagaimana standardisasi ini bisa dijalankan secara teknis, akan tetapi saya sangat yakin bahwa standardisasi ini perlu. Jadi siapapun pengurus, gonta-ganti seperti apapun, standar Perhimak sama. Lebih jauh lagi dengan adanya standardisasi kelembagaan, pengurus akan lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan. Ini mengefektifitaskan waktu persiapan panitia karena tidak perlu sengaja rapat untuk menentukan mekanisme dasar seperti bidding dan pembentukan panitia yang sebenarnya memakan waktu.

Dengan adanya standardisasi kegiatan, siapapun pengurusnya tidak perlu menunggu instruksi dari ketua organisasi, bahkan bisa mengingatkan. Peluang inovasi pun terbuka lebar asalkan tidak menyimpang dari ketentuan baku yang disepakati oleh seluruh anggota Perhimak aktif. Harapannya, Perhimak akan menjadi organisasi yang rapi dalam tata lembaganya dan menjadi lembaga yang dewasa dalam kesadaran berorganisasi para anggotanya.

Saya menyadari kesulitan yang akan dihadapi jika memaksakan standardisasi ini. Kebiasaan kultural Perhimak agaknya sulit menjadikan ide ini berjalan baik. Perlu ada pembiasaan dan dukungan dari tidak hanya pengurus, tapi juga anggota aktif Perhimak lainnya. Usulan dalam esai ini hanyalah salah satu cara saya untuk mencoba memberi perbaikan. Bukan berarti Perhimak itu rusak sampai perlu diperbaiki. Jika di sebuah rumah, atapnya bocor, apa kita akan langsung menyebut rumah itu sebagai rumah yang rusak? Maka izinkan saya memberikan, lagi-lagi, analogi.

Kita ibaratkan Perhimak adalah rumah. Ada yang menjadi orang tuanya, menjadi anak, menjadi kerabat-kerabat. Ada yang sudah mndiri, maka mereka meninggalkan rumah sambil sesekali pulang untuk berkunjung. Ada juga yang masih berusaha membantu apa saja yang bisa dilakukan di rumah itu. Penghuni paling banyak adalah anak-anak yang bermacam-macam karakternya. Ada yang suka bermanja-manja, ada yang tidak bisa dinasihati dengan kata-kata yang keras, ada yang hanya mau bermain dengan anak-anak tertentu, dan ada juga yang tidak suka keramaian maka ia memilih untuk diam saja membaca buku di sudut rumah. Itu dinamika. Tapi bahkan sebuah dinamika pun harus diatur. Tidak boleh berisik ketika sudah jam malam, misalnya, karena akan mengganggu yang lainnya. Contoh lain, ada piket yang diatur bergiliran, agar semuanya merasakan dan belajar mmerawat rumah mereka sendiri. Sekali lagi, ini analogi.

Dulu saya hanya seorang anak di rumah itu, tumbuh bersama anak-anak lain yang seusia saya. Kami melihat ada kebocoran di atap rumah, jika hujan air menetes dan merembes masuk membasahi lantai. Awalnya kami hanya melihat, membiarkan kekak-kakak saya menaruh ember di bawah titik bocor agar tidak membasahi yang lain. Sedangkan yang kami anggap orang tua di rumah naik ke atap ketika hujan reda dan mengganti atap yang bocor dengan yang baru. Terkadang kami yang menaruh ember jika atapnya belum diperbaiki juga. Sekarang kakak-kakak kami sudah mulai mandiri, satu per satu mencoba peruntungan mereka di luar. Adik-adik berdatangan dan jadilah kami sebagai “kakak” bagi mereka. Ternyata sekarang lampu ruang keluarga mati. Saya ingin menjadi orang yang menyalakan lilin, atau bahkan jika bisa mengganti lampunya dengan yang baru. Ya, sama halnya seperti orang-orang yang dulu pernah menampung tetesan air dan memperbaiki atap untuk kami.

1 komentar:

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...