Oleh Annisa Haq Nur Qur’ani (a.k.a Saho), Perhimak UI 2011
(dibuat dalam rangka Suksesi Ketua Perhimak UI 2013/2014)
Mengapa
para mahasiswa yang akan mencalonkan diri menjadi Ketua Perhimak harus membuat
esai tentang kepemimpinan? Saya berpikir demikian saat masih menjadi panitia
suksesi. Ah, barangkali untuk formalitas saja, itu jawaban spontan yang
terpikir. Ideal panitia mengatakan bahwa esai itu akan menunjukkan
pemikiran-pemikiran para calon mengenai apa yang akan mereka pimpin nanti.
Meliputi konsep yang mereka bawa, rencana-rencana, ide-ide baru. Bisa jadi.
Sekarang
adalah setelah saya mengundurkan diri dari jabatan panitia suksesi dan dalam
sekejap berubah menjadi bakal calon yang telah mengirimkan CV. Saat ini saya
bertanya-tanya, memang mau apa di Perhimak? Mengapa perlu menjadi seorang
ketua? Dan semalam saya tidak mkenemukan jawabannya. Modal saya hanya ingin.
Keinginan yang kecil yang kemudian tersulut menjadi sebuah obsesi nyata yang
menggerakkan pikiran, mata, tangan, dan akhirnya mengeluarkan keputusan bahwa
saya akan maju dan turut serta dalam suksesi.
Itu
cerita yang tidak substansial untuk syarat penulisan esai ini, sebenarnya. Maka
biarlah cerita itu cukup sebagai pengantar, sekadar menjawab pertanyaan
penasaran orang-orang yang diwakilkan dalam kata tanya “mengapa?”
Yang sebenarnya
ingin saya sampaikan melalui esai ini yaitu tentang kepemimpinan yang dilihat
dari term posisi. Dalam hal ini, setiap orang akan berpikir bahwa seorang
pemimpin adalah ketua, raja, presiden, kepala, dan semuanya merujuk pada posisi
paling atas dalam sebuah hierarki kepengurusan. Dan orang pasti akan berpikir
bahwa sukses tidaknya sebuah organisasi berjalan bergantung pada kemampuan
ketua dalam menentukan semuanya. Jika ada yang tidak beres, sorotan evaluasi
akan tertuju langsung pada sosok ketua. Jika sukses juga demikian. Sentralisasi
ini membuat orang-orang yang ada dalam struktur lebih rendah menggantungkan
diri pada instruksi ketua. Segalanya terpusat dan mematikan inovasi anggota
pengurus. Pada akhirnya segala risiko akan ditanggung oleh ketua.
Kini
saya akan merujuk pada sebuah buku yang ditulis oleh John C. Maxwell, seorang
pakar dalam psikologi kepemimpinan kelas dunia. Ia menulis dalam bukunya yang
berjudul “A 360 Degrees Leader” mengenai memimpin darimanapun posisi dalam
organisasi. Seperti judulnya, 360 derajat, artinya benar-benar dari segala
posisi. Mungkin tidak masalah jika kebetulan posisi kita saat ini ada di puncak
yang memang memiliki hak/wewenang untuk mengatur segalanya, tapi bagaimana jika
tidak? Bagaimana jika kita kebetulan berada di posisi tengah, bukan staf, tapi
juga bukan di jajaran petinggi organisasi? Posisi-posisi itu biasanya dihuni
oleh orang-orang yang menjadi wakil atau bahkan BPH (Badan Pengurus Harian). Di
satu sisi mereka harus memiliki kemampuan untuk mengkoordinir, tapi di sisi
lain juga mereka tidak boleh melangkahi wewenang ketua.
Saya
bukannya ingin promosi bukunya Maxwell. Saya ingin menarik konsep-konsep
memimpin dari tengah yang dicetuskannya itu ke dalam sebuah organisasi nyata
bernama Perhimak UI. Saya pernah menjadi bagian di dalamnya selama dua tahun
dengan dua posisi yang berbeda: staf dan deputi kepala departemen pengabdian
kepada masyarakat.
Ketika
menjadi seorang staf, saya merasa tidak perlu berpikir rumit-rumit mengenai
substansi organisasi. Saya sibuk mengejar kepentingan pribadi saya, yaitu
membayar hutang. Pusing-pusing dalam berorganisasi juga tidak begitu terasa
karena saya merasa cukup dengan menjalankan perintah dari ketua dan deputi
departemen tempat saya ditempatkan. Akan tetapi, ketika tahun selanjutnya saya
“naik jabatan” menjadi deputi kepala departemen yang memiliki staf dan juga
atasan dalam waktu bersamaan, pusing-pusing itu mulai terasa.
Secara
teori, tugas saya sebagai deputi adalah mengkoordinir staf sesuai dengan
tugas-tugas yang diberikan oleh atasan, dalam hal ini ketua organisasi
sekaligus kepala departemen. Mudah, karena kesannya hanya sebagai tukang pos yang
mengantar pesan. Ah, jangan tukang pos, terlalu kuno. Saya akan menggunakan
analogi HP: atasan kirim pesan “A”, maka saya harus mem-forward-nya ke staf sebagai “A” juga. Akan tetapi, disinilah
masalah muncul. Bisa jadi HP saya rusak, atau hilang, atau tidak punya pulsa,
sehingga pesan tidak tersampaikan dan berhenti di saya. Atau bisa jadi HP
penerimanyalah yang rusak. Bahkan bisa jadi juga penerima pesan sudah menerima,
membaca sekilas, lalu hapus, atau sudah menerima, membaca, tapi tidak mau
melaksanakan, atau lupa jika tidak mau dibilang suuzhon. Tapi bisa jadi ada
skenario terburuk: tidak ada pesan dari atasan. Nah, jika begini, bisa apa
seseorang ada di posisi seperti itu? Orang-orang dalam posisi menengah tidak
boleh menjadi lebih dominan dari ketua karena akan menghancurkan organisasi.
Bagaimanapun juga ketua adalah ikon dan pucuk pimpinan yang telah dipilih sejak
awal. Seseorang di posisi menengah harus puas hanya dengan menjadi bayangan
demi kelangsungan organisasi, tidak memiliki hasrat berlebihan untuk
menampilkan diri. Pintar-pintar menahan diri. Ini tantangan terbesarnya.
Singkatnya,
kita tahu ada pekerjaan tapi tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Di
Perhimak sendiri, sosok ketua adalah sosok dominan yang mengkoordinasi semua
bagian di bawahnya dalam struktur organisasi. Ia yang menentukan arah atau visi
sekaligus memastikan tidak ada hambatan luar yang mengganjal jalannya roda
kepengurusan. Ia haruslah berkarakter kuat dan visioner, mampu melihat jauh ke
depan pada peluang-peluang keuntungan yang mungkin terjadi, berikut hubungan
eksternal dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan segala tugasnya sebagai ikon
organisasi, maka ia akan menganggap bahwa segala yang ada di kepengurusan siap
untuk melakukan gebrakan-gebrakan bersamanya. Celakanya tidak semudah itu.
Maxwell
dalam bukunya memperkenalkan konsep memimpin dari tengah. Syarat utamanya
adalah kesadaran pemegang posisi-posisi menengah itu akan tujuan utama
organisasi dan adanya aturan main yang disepakati dan diketahui semua anggota
organisasi. Jadi bukan hanya ketua saja yang tahu organisasi akan dibawa
kemana, sehingga tanpa instruksi pun organisasi bisa berjalan sebagaiamana
mestinya.
Perhimak
unik karena ikatannya bukanlah ikatan profesional. Ikatan yang mengumpulkan
semua anggotanya adalah semata-mata ikatan kepedulian pada Kebumen, ikatan
keluarga. Berbeda dengan organisasi kampus yang diikat hubungan profesionalisme,
yang lalu melahirkan ikatan-ikatan kekeluargaan di antara anggotanya. Perhimak
yang telah membangun ikatan keluarganya lebih dulu, kini berusaha membangun
kesadaran akan profesionalisme dalam kinerjanya. Ini yang sulit. Anggapan
mendasar atas kekeluargaan itu membuat Perhimak lemah secara kelembagaan.
Mekanisme standar teknis di setiap kegiatan tidak dijalankan dengan baik
walaupun sudah ada. Alasannya banyak, salah satunya kurang baiknya tawaris ilmu
dari kepengurusan atau kepanitiaan sebelumnya.
Tidak
adanya standar baku membuat ketua menjadi sosok sentral yang mengatur semuanya.
Mekanisme berganti seiring bergantinya kepengurusan, maka standar outputnya pun berbeda-beda. Sentralisasi
keputusan pada ketua (dalam hal ini termasuk ketua kepanitiaan, ketua
departemen) ini berisiko ketika ketua berhalangan memberikan instruksi. Jika
ketua absen, maka macet. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Di
sinilah pentingnya standardisasi kelembagaan. Perhimak tidak hanya membutuhkan
program kerja. Perhimak justru lebih membutuhkan standar yang baku yang dipahami oleh semua
pengurus, termasuk juga anggota-anggota non pengurus. Harus ada garis besarnya,
seperti GBHN dalam term Indonesia.
Standardisasi yang saya maksud adalah Standard
Operational Procedure (SOP) untuk hal-hal substansial di Perhimak: standar
kelayakan kegiatan (tujuan, persiapan panitia, pendanaan). Standar persiapan
panitia meliputi mekanisme bidding ketua panitia (termasuk ketua Perhimak juga)
yang baiknya disamakan dari tahun ke tahun.
Saya
memang belum memiliki gambaran hingga detil bagaimana standardisasi ini bisa
dijalankan secara teknis, akan tetapi saya sangat yakin bahwa standardisasi ini
perlu. Jadi siapapun pengurus, gonta-ganti seperti apapun, standar Perhimak
sama. Lebih jauh lagi dengan adanya standardisasi kelembagaan, pengurus akan
lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan. Ini mengefektifitaskan waktu persiapan
panitia karena tidak perlu sengaja rapat untuk menentukan mekanisme dasar
seperti bidding dan pembentukan panitia yang sebenarnya memakan waktu.
Dengan
adanya standardisasi kegiatan, siapapun pengurusnya tidak perlu menunggu
instruksi dari ketua organisasi, bahkan bisa mengingatkan. Peluang inovasi pun
terbuka lebar asalkan tidak menyimpang dari ketentuan baku yang disepakati oleh
seluruh anggota Perhimak aktif. Harapannya, Perhimak akan menjadi organisasi
yang rapi dalam tata lembaganya dan menjadi lembaga yang dewasa dalam kesadaran
berorganisasi para anggotanya.
Saya
menyadari kesulitan yang akan dihadapi jika memaksakan standardisasi ini. Kebiasaan
kultural Perhimak agaknya sulit menjadikan ide ini berjalan baik. Perlu ada
pembiasaan dan dukungan dari tidak hanya pengurus, tapi juga anggota aktif
Perhimak lainnya. Usulan dalam esai ini hanyalah salah satu cara saya untuk
mencoba memberi perbaikan. Bukan berarti Perhimak itu rusak sampai perlu
diperbaiki. Jika di sebuah rumah, atapnya bocor, apa kita akan langsung
menyebut rumah itu sebagai rumah yang rusak? Maka izinkan saya memberikan,
lagi-lagi, analogi.
Kita
ibaratkan Perhimak adalah rumah. Ada yang menjadi orang tuanya, menjadi anak,
menjadi kerabat-kerabat. Ada yang sudah mndiri, maka mereka meninggalkan rumah
sambil sesekali pulang untuk berkunjung. Ada juga yang masih berusaha membantu
apa saja yang bisa dilakukan di rumah itu. Penghuni paling banyak adalah
anak-anak yang bermacam-macam karakternya. Ada yang suka bermanja-manja, ada
yang tidak bisa dinasihati dengan kata-kata yang keras, ada yang hanya mau
bermain dengan anak-anak tertentu, dan ada juga yang tidak suka keramaian maka
ia memilih untuk diam saja membaca buku di sudut rumah. Itu dinamika. Tapi
bahkan sebuah dinamika pun harus diatur. Tidak boleh berisik ketika sudah jam
malam, misalnya, karena akan mengganggu yang lainnya. Contoh lain, ada piket
yang diatur bergiliran, agar semuanya merasakan dan belajar mmerawat rumah
mereka sendiri. Sekali lagi, ini analogi.
Dulu
saya hanya seorang anak di rumah itu, tumbuh bersama anak-anak lain yang seusia
saya. Kami melihat ada kebocoran di atap rumah, jika hujan air menetes dan
merembes masuk membasahi lantai. Awalnya kami hanya melihat, membiarkan
kekak-kakak saya menaruh ember di bawah titik bocor agar tidak membasahi yang
lain. Sedangkan yang kami anggap orang tua di rumah naik ke atap ketika hujan
reda dan mengganti atap yang bocor dengan yang baru. Terkadang kami yang
menaruh ember jika atapnya belum diperbaiki juga. Sekarang kakak-kakak kami
sudah mulai mandiri, satu per satu mencoba peruntungan mereka di luar.
Adik-adik berdatangan dan jadilah kami sebagai “kakak” bagi mereka. Ternyata
sekarang lampu ruang keluarga mati. Saya ingin menjadi orang yang menyalakan
lilin, atau bahkan jika bisa mengganti lampunya dengan yang baru. Ya, sama
halnya seperti orang-orang yang dulu pernah menampung tetesan air dan
memperbaiki atap untuk kami.
Saya suka bagian alinea terakhirnya ^_^
BalasHapus