Selasa, 23 Agustus 2016

Lari

Ada banyak kiasan di dunia ini. Mereka hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu. Orang yang peduli akan memahami atau setidaknya berusaha untuk memahami. Sedangkan yang tidak peduli akan melewatinya begitu saja, tak ambil pusing dengan mereka. Kiasan-kiasan itu membawa pesan tertentu dari pembuatnya. Bukan hanya untuk sekadar dilihat, tapi dimengerti.
Orang-orang Jawa terdahulu memiliki banyak sekali kiasan yang diselipkan dalam petuah-petuah mereka. Petuah itu kemudian disampaikan turun-temurun kepada anak cucu hingga generasi-generasi mereka selanjutnya. Bersama dengan itu, kiasan terus-menerus mengalir membawa pesan-pesan yang lestari sejak zaman nenek moyang.
Generasi yang acuh berusaha menepati pesan-pesan yang disamapaikan buyut-buyut mereka. Generasi itu mempelajari dan mempercayai kiasan itu sebagai amanah yang keramat dan wajib ditaati. Generasi yang lain ada yang hanya ikut melaksanakannya sebagai tuah-tuah keramat dan ada pula yang melihatnya sebagai hal konyol atau sirkus kuno yang dipertontonkan di depan zaman yang millennium, yang modern, yang berbasis teknologi masuk akal.

***
“Minggu depan seribu hari meninggalnya bapak, kalian ikut bantu-bantu di rumah, kan?”
Begitu tanya Mbak Asih kemarin malam via telepon, yang sekarang membuatku duduk melamun di balkon kamar kos-kosan hingga larut malam. Pertanyaan yang diajukan Mbak Asih cukup retoris, tak butuh jawaban. Sudah tentu Mbak Asih dan ibu mewajibkan aku dan Ratna untuk pulang dan bantu-bantu segala macam di rumah. Kali sebelumnya aku tak pernah bimbang untuk mematuhi suruhan ibu dan para tetua di keluarga besarku di Jawa Tengah. Biasanya aku dengan sigap sudah berada di rumah tiga atau dua hari sebelum acara peringatan kepergian bapak. Seminggu, empat puluh hari, seratus hari, setahun, dua tahun, tiga tahun, aku selalu hadir dan setiap kali itu pula aku menangis sesenggukan di depan makam bapak sambil berdoa.
Akan tetapi entahlah. Aku merasakan hal yang berbeda kali ini. Sebenarnya setiap kali waktu peringatan, semakin hari semakin tidak nyaman kurasakan. Menjelang seribu hari, berarti sudah tiga tahun lebih bapak pergi mendahului kami, keluarganya. Bapak adalah sosok orang yang sempurna dijadikan contoh bagi bapak-bapak yang lain. Beliau seorang guru SD yang dicintai anak-anak yang menjadi muridnya, teladan bagi koleganya sesama guru, ketua RT yang sudah dipercaya menjabat selama sepuluh tahun, penghulu yang sudah menikahkan hampir seluruh pasangan warga di dusun kami, dan yang terpenting adalah beliau adalah ayah terbaik yang kami punyai. Bapak adalah pusat tata surya, matahari bagi keluarga. Kami setiap saat berputar-putar mengelilinginya, tertahan di tempat edaran kami oleh kharisma dan kebijakan yang dimiliki beliau. Dan ketika pusat itu menghilang, kami planet-planet kecil di sekitarnya hilang kendali, saling bertabrakan, dan menjauh satu sama lain. Momen terdekat antara planet-planet itu adalah pada acara seremonial perigatan kematian bapak. Keluarga besar kami akan berkumpul dan saling menanyakan kabar, lebih meriah dari Idul Fitri bahkan. Begitulah bapak kami tersayang, bapak kami tercinta yang dirasa penting bagi banyak orang.
Sayangnya kali ini aku terancam tidak ikut. Minggu depan adalah saatnya ujian akhir di kampus. Jelas, secara pandanganku pribadi, aku tidak bisa pulang.

***
“Aku ra isa bali, Mbak. Mbak kan ngerti minggu ngarep ujian. Masa arep ditinggal…”
Aku sudah menduga jawaban seperti ini yang keluar saat kutanyakan perihal peringatan seribu hari bapak pada Ratna. Dia baru masuk semester kedua di kampus yang sama denganku, di luar kota yang membutuhkan sepuluh jam perjalanan kereta untuk sampai stasiun terdekat dari rumah kami.
“Iya, aku ya ngerti, Na. Tapi emang Mbakyumu kae bakal ngijinna dhewek ora bali? Senajan ujian, Mbakyune mesti maksa…” kucoba untuk mengetes nyali adikku itu. “Mbak Asih bakalan marani ngeneh nggawa tali gantungan, Na.”
Kudengar Ratna mendengus di seberang telepon sana. Kos kami tidak sama karena Ratna bilang ia ingin latihan mandiri. Tapi aku tahu bukan itu alasan sebenarnya. Ratna sedang berusaha menjauh. Rancangan kabur terbesar yang pernah ia buat seumur hidupnya. Awalnya ia menolak kuliah di kampus yang sama denganku dan menempatkannya pada pilihan kedua SNMPTN karena paksaan ibu dan Mbak Asih beserta keluarga besar. Biar ada yang mengawasi, kata mereka. Aku jauh lebih dari tahu apakah Ratna butuh bimbinganku atau tidak. Dan jawabannya, tidak.
“Males Mbak. Aku nggak mau ninggalin ujianku lagi. Waktu peringatan tiga tahun kemarin itu aku nggak ikut satu ujian, masa sekarang justru nggak ikut separuh dari total mata kuliah? Yang bener aja deh. Aku nggak peduli si Asih itu. Aku juga punya hidup sendiri.”
“Na…”
“Aku capek, Mbak! Aku yakin Mbak Ani juga merasakan yang sama denganku, kan, Mbak? Kita mau ujian minggu depan. Aku capek nurutin maunya orang tua di keluarga kita. Tujuh hari atau seratus hari aku masih bisa tolerir, tapi ini seribu, Mbak! Such a nonsense!”
“Ratna! Kamu jangan keterlaluan begitu. Mereka orang tua kita, Na. Dan ini tentang bapak…”
“Terserah. Kalau Mbak Ani mau pulang, pulanglah sendiri. Ratna nggak peduli lagi. Apa Mbakyu pikir bapak banyak menasihati kita untuk ini? Apa selama ini Bapak menunjukkan keinginannya untuk diperlakukan begini? Tradisi ini kan nenek dan ibu saja yang ingin dan berkeras.
Tut tut tut. Adikku satu itu menutup teleponnya dengan kasar. Aku menghela napas. Pulang sendiri? Yang benar saja. Pulang tanpa membawa Ratna artinya sama dengan melemparkan diri ke api neraka keluarga.

***
Aku berjalan hampa menyusuri selasar menuju kelas siang hari ini. Pagi tadi, setelah dua hari berlalu, Mbak Ratna kembali menelepon, memastikan kepulangan kedua adiknya yang bengal. Kembali ditekankannya betapa penting acara peringatan tersebut.
Koe wis kelalen marang bapak, Ni? Sudah lupa kamu sama bapak? Besok seribu hari kepergian beliau. Mau jadi anak durhaka kalian? Ibu dan sesepuh menunggu di rumah.”
Makin beratlah hatiku mendengar perkataan kasar Mbakyuku itu. Sesempit itukah definisi durhaka?
Keluargaku memang Jawa tulen. Bukan Jawa peranakan atau pendatang, Bukan juga Jawa abangan. Aku keturunan priyayi, dari darah bapak. Namun bapak sendiri tak pernah memikirkan hal itu. Bapak tak peduli jika orang-orang hormat padanya karena beliau keturunan raja entah siapa yang dulu menguasai kampungku. Bapak hanya, menurut cerita-ceritanya padaku, menjalankan amanahnya sebagai hamba Allah. Untuk berusaha optimal menegakkan syari’atNya. Aku sendiri tak begitu mengerti, hanya saja aku tahu kalau Bapak sejak dulu tidak setuju dengan berbagai ritual yang dilakukan keluarga besar kami. Syirik, kata beliau dulu. Meskipun dalam diam penentangan karena tak mampu berbuat sesuatu menghadapi para sesepuh itu.
“Kalau mau mengubah, mulailah dari yang kecil. Suatu saat yang kecil pun akan jadi besar, sedangkan yang besar akan membusuk dan mati.” Bapakku adalah nomor satu di dunia.
Aku pernah bertanya mengapa ibu tidak seperti bapak, namun jawaban ibuku mebuatku terkejut. “Bapakmu kae sing mbedani, Nduk. Dia yang membuat perbedaan itu sendiri, bukan Ibu.”
Ratna adalah yang paling banyak menghabiskan waktu bersama bapak. Aku sejak SMP sudah tinggal di kos karena sekolahku cukup jauh dari rumah dan kontak dengan Bapak menjadi renggang setelahnya. Apalagi Mbak Asih yang sejak lulus SMP sudah dinikahkan dengan pemuda dusun tetangga yang sama-sama Jawanya. Jarak usiaku dengan Mbak Asih cukup jauh tidak seperti jarak umurku dengan Ratna yang hanya dua tahun. Mungkin karena kedekatannya dengan bapak adalah yang paling singkat waktunya. Dengan ikhlas Mbakyuku itu menjalankan berbagai upacara kematian, kelahiran, penamaan anak, tujuh bulanan kandungan, peringatan kematian, dan sebagainya. Gerah sekali jika melihat semua itu dan membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran bapak.
Yo wis, kalau nggak bisa pulang tiap ada peringatan, minimal pulang waktu peringatan kematian bapakmu. Durhaka kalau kamu nggak pulang, cah!” Pesan ibu waktu aku berangkat ke luar kota untuk kuliah. Pesan yang sama juga disampaikannya kepada Ratna. Bedanya adalah, aku mengangguk dan Ratna hanya diam saja. Mungkin menyimpan banyak kemarahan pada wanita di depannya.

***
Esoknya aku bertemu adikku di masjid kampus. Kebetulan ada acara di sana dengan aku sebagai salah satu panitianya. Dia datang sendiri, mungkin sengaja untuk menemuiku.
“Mbak Ani, sini sebentar.”
Aku menghentikan pekerjaanku merapikan dokumen dan mengikutinya berjalan ke pinggir danau di samping masjid.
“Mbak Ani serius mau pulang?” tanyanya setelah kami duduk nyaman di atas reruputan di pinggir danau. Air danau memantulkan sedikit dari bayangan kami.
“Bingung, Dek. Mbakyumu ini bukan tipe yang bisa melawan orang tua…”
“Tapi Mbakyu nggak setuju, kan? Lha wong syirik gitu kok, Mbak. Kata Bapak…”
“Aku tahu, Na,” kataku memotong protesnya. “Bapak lebih dulu memberitahuku sebelum memberitahumu.”
Kulihat mata Ratna mengerjap dari bayangannya yang dipantulkan air danau. “Maaf, Mbak. Bukan bermaksud menggurui Mbakyu. Ratna kesel, Mbak. Sampai kapan kita terperangkap di tradisi kolot begitu? Jika niatnya untuk sedekah nggak masalah, tapi ini syirik. Mbakyu tahu sendiri lah, gimana mbah kakung, mbah putri, ibu, Mbak Asih, dan sesepuh lain menilai peringatan ini. Semata-mata karena tuntutan tradisi dan kepercayaan mereka kalau bapak nggak akan tenang jika kematiannya tidak diperingati.”
Ratna bernapas sejenak. Tidak kusela, tidak kukomentari. Biar puas dulu dia. “Lebih jauh lagi mbak, mereka percaya peringatan seperti ini akan membawa berkah dari para leluhur. Bah! Aku pun nggak kenal siapa leluhur yang mereka maksud! Seminggu seratus hari masih lumrah, bahkan di masyarakat. Tapi seribu hari? Berapa banyak yang masih melakukannya?”
Air danau bergelombang membentu lingkaran-lingkaran halus ketika Ratna melemparkan kerikil ke dalamnya.
“Aku,” katanya lagi. Masih tidak kusahut. “ Capek, Mbak. Melakukan banyak hal yang nggak disukai, melihat hal yang nggak sesuai nurani. Aku yakin Mbak Ani juga sama. Sama-sama anak bapak.”
Aku menatapnya sejenak, lalu membuang muka. Tidak tahu lagi.

***
Akhirnya, kereta membawa kami berdua pulang ke Jawa Tengah. Dispensasi dikabulkan dengan syarat kami harus memastikan ini dispensasi terakhir saat ujian. Selanjutnya tidak boleh lagi ada dispensasi.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, mengutuki keluarga kolot kami. Ketika akhirnya Ratna memulai pembicaraan, sudah waktu makan siang dan kami membeli rames dari pedgang yang berlalu lalang. Maklum, ekonomi.
“Ini terakhir kalinya aku ikut upacara, Mbak. Besok-besok aku nggak peduli lagi.”
“Sudah kamu katakan itu sejak setahun lalu kamu masuk universitas.”
“Ya. Aku nggak konsisten, memang. Kali ini beda. Aku pulang karena Mbak Ani. Mereka pasti marah sama Mbakyu jika aku tak ikut. Tapi ini terakhir kalinya aku pulang dengan alasan seperti ini. Aku sudah bertekad.”
Kurasakan kesungguhannya saat mengatakan itu. Aku seperti melihat diriku dua tahun lalu, saat mulai mengenal dunia di luar kampus. Betapa konyolnya percaya pada takhayul seperti memberikan sesajen setiap hari Jum’at atau perayaan khusus di setiap weton (hari dan tanggal kelahiran menurut kalender Jawa). Ruh nenek moyang lah, apapun itu membuatku terpenjara dalam keluarga yang kuno, angkuh pada tradisi mereka yang ditertawakan oleh banyak orang lain. Mereka bangga dengan kepercayaan mereka.
Baru kusadari, bapak bukanlah pusat tata surya keluarga, tapi pusat tata suryaku dan adikku Ratna. Bapak lemah dan menyerah dikendalikan tradisi, Dikendalikan kuasa keluarga. Bukankah melawan dengan diam adalah selemah-lemahnya iman?
Ya. Aku juga lemah, barangkali.

***
Seribu hari bukan waktu yang istimewa, kurasa. Saat itu orang-orang yang ditinggalkan mulai bisa menata kembali hidup mereka, sedikit lupa mendoakan orang-orang yang sudah pergi. Karena itu peringatan kematian itu perlu, namun bukan dengan cara yang mengandung syirik seperti ini. Bukankah begitu, Pak? Apakah Bapak tahu jika kami akan melupakan Bapak? Menjadikan Bapak sebagai kenangan masa lalu yang hanya dalam ingatan saja? Seribu hari kepergianmu tak mengubah apa-apa terhadap keluarga ini. Buktinya sekarang juga aku tengah menata berbagai mangkuk tembikar, daun-daunan, dan pedupaan di depan foto besar bapak. Untuk sesajen, kata nenek.
“Nduk,” aku menoleh dan mendapati ibu memanggilku, “…sini sebentar.”
Kuikuti langkah ibu menuju kamar di dekat ruang tamu. Ibu menarik tanganku masuk dan mendudukkanku di tempat tidur. Ibu duduk di depanku.
“Nduk,” panggilnya lagi.
Nggih, Bu.”
“Kamu kok kurus sih? Makan apa kamu di Jakarta?”
“Makan biasa, Bu. Ada apa?”
Ibu menggeleng.”Kalau begitu biar Ibu langsung saja.” Ibu memegang tanganku. “Ibu mau kamu yang memimpin doa buat bapak nanti malam…”
Aku sontak berdiri. “Ibu!”
“Sudah waktunya, Ni, kamu yang giliran mimpin doa. Sebelumnya sudah mbakyumu Asih. Ibu ingin semua pernah pengalaman memimpin doa. Kamu sudah cukup umur untuk itu. Sudah pantas.”
“Ibu tahu aku nggak suka sama semua ini, kan? Aku pun pulang terpaksa karena Ibu memaksa dan sekarang Ibu minta aku melakukan sendiri hal syirik itu?”
Lalu kurasakan panas di pipiku.
“Ibu mukul Ani?” tanyaku perih.
“Anak durhaka kamu nggak mau mendoakan bapakmu sendiri! Jadi seperti ini anak yang Ibu besarkan? Kasihan bapakmu, Nduk!”
“Ibu yang kasihan. Ibu dan Mbak Asih dan semua orang di keluarga kolot ini yang kasihan. Bapak nggak ternah mengharapkan semua ini, Bu. Ani yakin itu.”
Aku keluar dan membanting pintu, tidak mempedulikan Ratna yang melihatku keheranan. Aku masuk kamar dan terdengar pintu dibanting lagi.
“Halo? Saya Ani. Saya pesan tiket kereta untuk berangkat ke Jakarta sore ini. Bisnis, ekonomi, apapun. Ya ya. Terimakasih.”
Kupak barangku. Tidak peduli lagi.
“Mau kemana, Mbak?”
Ratna sudah ada di depan pintu kamarku. “Mbak mau kabur?”
Aku tak menjawabnya, sibuk mengepak buku dan barang-barang yang sudah terlanjur dikeluarkan dari koper semenjak tiga hari aku di rumah ini.
“Mbak tahu apa yang akan Mbak hadapi jika Mbak tetap ngotot kabur?”
“Diam, Ratna.”
“Mereka semua akan menganggap Mbakyu durhaka, nggak mengahragi mereka. Bapak juga. Mbak pasti tahu itu, kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya kamu bilang kita anak Bapak? Bukannya kalau anak Bapak pasti menolak diperintahakan berbuat begitu? Itu syirik, Na! Neraka Jahannam tempat kembalinya orang syirik. Tahu, kamu?”
“Jadi Mbakyu ingin menorbankan aku, Mbak?”
Tak kujawab. Ratna sadar sampai kapan pun pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban. Dia pergi.

***
Kereta kembali membawaku menuju tempat yang jauh dari rumah, dari kekunoan dan kekolotan kampong yang seolah terpisah dari peradaban zaman globalisasi. Masih saja kuingat makian dan amarah Mbak Asih, ibu, dan saudara-saudaraku yang lain ketika aku terlihat menenteng koper keluar rumah. Tak ada yang menahan, hanya mengutuki. Menyebutku tak tahu diri, sok modern, sok Jakarta, dan lainnya. Aku tuli, aku bisu hingga sampai ke stasiun dan handphoneku bordering. Ratna menelepon, tapi tak berkata apa-apa. Dia menunggu.
“Maafkan Mbakyumu ini, Na….”
Dan sambungan terputus.

Separuh diriku kutinggalkan bersama Ratna di belakang sana, kubiarkan diriku mengasihani diri sendiri karena tak mampu berbuat banyak untuk keluarga sendiri. Separuh lagi kubawa ke Jakarta bersama kenangan dan doa-doa tulus untuk bapak. Tanpa sesaji, tanpa ritual, tanpa biaya. Cukup kutitipkan doa untuk bapak melalui malaikat-malaikat baik hati kepada Allah Azza wa Jalla….

(File ketikan cerita ini tertanggal 31 Oktober 2012. Salah satu cerita yang tanpa sengaja dilupa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...