Kamis, 18 Januari 2018

Selangkah PadaMu, Seribu Langkah Padaku

Beberapa waktu lalu aku bersua dengan teman-teman satu lingkaran dalam kelompok religius (sebut saja halaqah). Saat itu setelah lama tidak saling kontak, aku merasakan sekali ada gap/jarak dalam ilmu agama kami, yang berakibat pada perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam memahami dan melaksanakan syiar. Obrolan kemudian menjadi tidak seimbang ketika persoalan akidah mulai dipertanyakan.

Satu hal yang mereka tidak tahu: aku masih dalam pencarian makna Tuhan. Aku pernah kehilangan motivasi untuk shalat sampai beberapa bulan lamanya, setelah aku tidak bisa menjawab sanggahan seorang kawan tentang keberadaan Tuhan. Aku kembali shalat karena diingatkan bahwa ada kehidupan setelah mati dan ternyata aku takut masuk neraka. Jadilah aku hamba yang oportunis: kalau ada akhirat, kan aku sudah shalat. Kalau akhirat tidak ada, ya sudah tidak ada ruginya. Tapi soal pemaknaan atas Tuhan masih jauh dari kalbu.

Yang teman-temanku yang lain tidak tahu, baru beberapa waktu lalu aku bisa menerima sepenuhnya soal kebenaran Islam. Mengapa harus Islam, mengapa sistem Islam diperlukan. Setelah berinteraksi dengan sejumlah teman-teman lintas iman dan membaca literatur sejarah Islam, aku percaya bahwa Islam telah menciptakan dasar sistem yang sempurna untuk membangun sebuah peradaban. Ia lebih dari sekedar agama atau ritual-ritual peribadatan. Ia lebih dari sekedar ideologi yang menyoal sudut pandang.

Islam adalah sistem yang lengkap, mengatur segala, menjadi pedoman hidup, yang memberi manfaat untuk semesta alam, baik yang percaya akhirat ataupun tidak. Hanya saja perkara iman adalah soal yang benar-benar lain. Sebagai agama, ia memberi jalan untuk mendekat kepada Tuhan. Ia merupakan jalinan sistem ritual dan penghambaan yang berujung pada kepasrahan bahwa segala sesuatu, sekeras apapun manusia mewujudkan sistem yang sempurna bagi diri dan masyarakatnya, tetap Tuhan yang memegang kuasa.

Kepasrahan dan penghambaan inilah yang kurasa masih sulit. Barangkali memang imanku yang masih perlu ditata. Barangkali makna Tuhan bagiku masih dalam pencarian. Siapapun bisa bilang betapa payahnya aku dalam beriman, menyalahkanku soal kemalasan dalam mengikuti halaqah, kecerobohanku membaca buku-buku yang menawarkan pemikiran asing, kecenderunganku mempertanyaan segala perkara yang dititahkan. Namun disinilah adanya aku: membuang bekal yang oleh orangtua diberitahu sebagai “kebenaran” dan mulai mencari bekalku sendiri. Dan dalam perjalanan, aku baru sampai di sini. Aku percaya, pencarian dan proses mengenal Tuhan adalah misi manusia sepanjang hayat.

Jika Tuhan digambarkan begitu besar keMahaanNya, bagaimana aku bisa begitu yakin sudah mengenalNya hanya dengan secuil pengetahuan warisan keluarga? Sungguh para muallaf yang menemukan Islam melalui pencarian adalah manusia-manusia pilihan. Dan sungguh teman-teman yang mengira dirinya sudah menggenggam kebenaran sehingga menolak ilmu-ilmu yang dianggap tidak sejalan adalah manusia-manusia yang kasihan.

Bukankah hikmah adalah salah satu harta umat muslim yang ditebarkan Tuhan? Dan hikmah ada dimana-mana, sebagaimana Tuhan dengan sifat-sifatNya yang Maha. “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepadaNya.

"Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).

Ya Allah ya Rabb, inilah aku yang tengah berusaha sedikit-demi sedikit mengenalmu dengan caraku. Aku adalah hamba yang lemah, yang bahkan sulit merasakan kehadiranmu dalam sendi-sendi kehidupanku. Maka kumohon kiranya Engkau berkenan menjadi pihak yang menyongsongku. Ketika satu langkahku berjalan menujuMu, sudilah Kau berlari seribu langkah kepadaKu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...