Ada wangi melati di kamarku. Samar-samar terdengar juga
suara musik klasik. Bach-kah? Rachmaninov atau Schubert aku tak tahu. Cuma tahu
Beethoven dan Mozart. Ayah memutarnya di ruang makan. Sebenarnya ayah fans
berat Iwan Fals. Jadi kenapa tidak memutar Iwan Fals saja?
“Mungkin karena ayahmu ingin menjaga jarak,” kata Aris.
Melihatku tidak mengerti, ia melanjutkan, “Maksudku, sedang
nggak ingin diajak ngobrol atau nggak mau ngobrol sama sembarang orang.”
“Kenapa musik klasik?”
“Musik klasik kesannya high
class, bagi yang paham. Bagi yang enggak, ya membosankan. Sedikit yang
tertarik, jadi otomatis itu akan menciptakan jarak antara dia dan orang-orang
tanpa perlu bicara langsung. Tahu kan, apa yang kita lakukan membentuk kesan
terhadap diri kita? Nah itu yang menarik orang mendekat sekaligus bisa
menjauhkan.”
“Sok tahu,” kataku. Aris tertawa saja.
Aku suka melihat Aris tertawa. Kesannya seperti dunia
baik-baik saja. Aris yang bisa menjawab semua pertanyaanku, meski
jawaban-jawabannya hanya berdasar teori kira-kira dan sok tahu yang kepedean. Aris
yang pintar, Aris yang pernah hilang dan kembali lagi. Aris yang sudah
kulupakan dan mengisi pikiranku lagi. Jika aku memutuskan untuk percaya pada
semua yang Aris katakan, boleh saja kan?
“Terus lima tahun nggak ketemu, kamu masih jomblo? Ppfft...”
Aku melempar bantal tepat ke mukanya yang menyebalkan.
“Sori ya, aku memang memilih nggak pacaran, bukan karena
nggak laku!”
“Yaudah nikah aja kalau begitu. Udah umur tuh,” ia mengusap
hidungnya yang kena lemparan bantal.
“Cewek nggak baik kalau nikahnya ketuaan.”
“Boleh aja nikah, tapi belum ada calonnya mau gimana. Kamu
sih pake ngilang segala.”
“Lah memangnya aku mau sama kamu?”
Lemparan bantalku kedua kalinya tidak membuatnya berhenti
tertawa. Mukaku merah. Aris masih brengsek.
***
Kucingku mati. Padahal cuma kucing, tapi melihat tubuh
berbulu hitam-putih itu diam saja dan mulai kaku... Waktu aku berangkat
merantau hampir lima tahun lalu, kucing ini masih kecil sekali. Aku melihatnya
lagi berbulan-bulan kemudian, tambah besar dan besar. Kabarnya ia mengawini
banyak kucing betina tetangga, tapi anak-anak kucing yang lahir tidak ada yang
mewarisi warna bulunya.
Aris suka sekali cerita tentang kucing ini. Dia menamainya
Logan karena kukunya yang panjang-panjang
dan sikapnya yang galak, tidak terjinakkan. Lelaki sejati, katanya waktu
mendengar kucing ini akhirnya mati.
“Apa perlu kuburannya dikasih nama?” tanyaku waktu Aris
sedang membuat patok kayu dan meminta tipe-x.
“Perlu dong. Memangnya kalau kamu meninggal kamu nggak ingin
diingat?”
“Apa mengingat mesti pakai nama?”
“Enggak sih, tapi nama jadi identitas paling simpel yang
menyimpulkan semua tentang sesuatu atau seseorang,” jawab Aris, “termasuk
seekor kucing. Kepanjangan kalau kutulis ‘kucing berbulu hitam-putih yang dari
kecil tinggal dan dirawat oleh keluarga Asih dan suka makan tulang ikan, kadang
nyolong ayam goreng kalau Asih atau
ibunya lupa nutup tudung nasi, blablabla...’ Patoknya nggak muat, Asih.” Ia
terkekeh.
“Tapi kenapa Logan?”
“Karena keren. Masa sih kamu nggak pernah nonton X-Man atau
Wolverine?” Lalu Aris bergaya menyilangkan tangannya yang jemarinya terkepal di
depan dada. Harusnya saat itu aku bilang kalau norak juga ada batasnya.
***
Kalau Aris itu burung, aku adalah selembar daun di ranting
pohon. Kadang kalau cuacanya bagus, Aris akan mampir sebentar ke rantingku lalu
terbang lagi entah kemana. Kalau cuacanya buruk, hujan lebat atau angin hebat,
Aris berteduh di bawah rimbunan pohonku. Aris suka berlama-lama di sini. Aku juga
suka, meskipun aku tahu ia hanya mampir dan tidak pernah membangun sarang.
Aris tidak pernah cerita kemana ia pergi selama lima tahun
ini. Rahasia, katanya. Biar misterius. Aku tidak memaksanya. Mau melakukan
apapun terserah, bertemu siapapun boleh, asalkan dia ada.
“Kudengar ada calon yang nanyain kamu, Sih,” ucapnya.
“Ganteng?”
Aku menyalakan kipas angin. Walaupun udara agak dingin, aku
tidak suka bau melati di kamarku. Meski sudah beberapa waktu, aku tetap belum
terbiasa.
“Entahlah. Ganteng kan relatif,” jawabku, tanpa bertanya
darimana ia dapat kabar soal itu.
Ia meraih sebuah buku di rak. “Kenapa menolak, Sih? Kamu
cari suami yang seperti apa?”
“Nggak ribet kok. Yang nyambung aja kalau diajak ngobrol.
Yang punya alasan buat segala sesuatu yang dia lakukan. Yang bisa nanggepin
waktu topiknya serius. Suka baca buku atau minimal mau dengerin kalau aku
cerita tentang buku. Yang nggak cerewet, yang bertanggung jawab, yang berwibawa...
Hmm, karakternya kira-kira yang kaya Mr. Darcy di Pride and Prejudice atau Mr.
Lefroy di Becoming Jane?”
“Dan orang yang datang itu nggak seperti itu?”
Aku mengedikkan bahu. “Dari caranya bicara, menjawab
pertanyaan, terkesan demikian.”
“Dan menurutmu kamu ada di level yang lebih tinggi, begitu?”
Aku diam. Tangan Aris
menyusuri rak buku.
“Buku-buku ini, Sih, kamu baca semua?”
“Sebagian.”
“Kalau melihat koleksi ini, siapapun orangnya akan menilai
bahwa kamu anak pintar yang suka membaca buku-buku berat dan diskusi ilmiah.
Padahal kalau mereka mau mengenalmu lebih jauh,” kata Aris membuka laci rak
paling bawah, ”kamu lebih suka baca komik.”
“Membaca tidak menentukan seseorang jadi pintar atau tidak
pintar.”
“Iya, tapi dalam kasusmu menentukan bagaimana seseorang
ingin didefinisikan,” katanya tersenyum menutup kembali laci itu. “Seandainya
kamu nggak punya nama, ketika kamu meninggal, seolah kamu ingin di nisanmu
tertulis ‘perempuan cerdas yang teguh dan mandiri, fans loyalnya Tolstoy, Pram,
George Martin, JK. Rowling, Eka Kurniawan, dan Mangunwijaya.’ Atau sejenisnya.
Mungkin malah ditambah ‘meninggal tanpa sempat menikah karena tidak ada calon
yang dianggap layak.’
“Dengan buku-buku ini kamu ingin menjaga jarak dengan
orang-orang, membangun kesan di mata orang. Seperti ayahmu yang memutar musik
klasik padahal fans Iwan Fals.”
“Bisa jadi,” timpalku. Aku membulatkan tekad untuk akhirnya
berkata, “Seperti aku bilang bahwa kriteria pasangan idealku adalah yang
seperti Mr. Darcy atau Mr. Lefroy, padahal toh yang beneran aku suka itu kamu.”
“....”
“....”
“Aku tahu.”
***
Aku ke kuburan Logan. Tulisan di patoknya masih belum
luntur. Kemarin aku sudah nonton seri X-Man dan Wolverine. Logannya lumayan
ganteng juga. Jadi pose Aris waktu itu adalah pose saat Logan mengeluarkan
pisau logam dari sela-sela jarinya. Keren. Mulai sekarang aku akan lebih banyak
nonton film action ketimbang drama ala Victorian.
Waktu pulang, sudah ada Aris di kamarku. Anak ini
benar-benar tidak tahu malu: masih datang padahal hanya merespon “aku tahu”
saat kemarin aku menyatakan perasaanku. Katanya, jawabannya tidak akan mengubah
apa-apa. Keadaan kami akan tetap seperti ini kecuali aku menyuruhnya pergi.
Aris tahu aku tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Aris selalu benar dan itu
hampir menyebalkan.
Di ruang makan ayahku memutar musik klasik keras-keras. Kali
ini aku kenal. Beethoven. Sering kudengar di kotak-kotak musik yang ada boneka
Barbie menari di tengahnya. Aris salah soal satu hal. Ayahku memutar musik
klasik bukan biar tetangga dengar atau menjaga jarak, tapi karena ibuku
menyukainya. Ayah menyetelnya keras-keras biar ibu tidak dengar, kalau di kamar
ini aku sering ngobrol dan ketawa sama orang yang sudah nggak ada.
Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar