Rabu, 30 Mei 2018

Cerpen: Ingatan

Ada wangi melati di kamarku. Samar-samar terdengar juga suara musik klasik. Bach-kah? Rachmaninov atau Schubert aku tak tahu. Cuma tahu Beethoven dan Mozart. Ayah memutarnya di ruang makan. Sebenarnya ayah fans berat Iwan Fals. Jadi kenapa tidak memutar Iwan Fals saja?

“Mungkin karena ayahmu ingin menjaga jarak,” kata Aris.

Melihatku tidak mengerti, ia melanjutkan, “Maksudku, sedang nggak ingin diajak ngobrol atau nggak mau ngobrol sama sembarang orang.”

“Kenapa musik klasik?”

“Musik klasik kesannya high class, bagi yang paham. Bagi yang enggak, ya membosankan. Sedikit yang tertarik, jadi otomatis itu akan menciptakan jarak antara dia dan orang-orang tanpa perlu bicara langsung. Tahu kan, apa yang kita lakukan membentuk kesan terhadap diri kita? Nah itu yang menarik orang mendekat sekaligus bisa menjauhkan.”

“Sok tahu,” kataku. Aris tertawa saja.

Aku suka melihat Aris tertawa. Kesannya seperti dunia baik-baik saja. Aris yang bisa menjawab semua pertanyaanku, meski jawaban-jawabannya hanya berdasar teori kira-kira dan sok tahu yang kepedean. Aris yang pintar, Aris yang pernah hilang dan kembali lagi. Aris yang sudah kulupakan dan mengisi pikiranku lagi. Jika aku memutuskan untuk percaya pada semua yang Aris katakan, boleh saja kan?

“Terus lima tahun nggak ketemu, kamu masih jomblo? Ppfft...”

Aku melempar bantal tepat ke mukanya yang menyebalkan.

“Sori ya, aku memang memilih nggak pacaran, bukan karena nggak laku!”

“Yaudah nikah aja kalau begitu. Udah umur tuh,” ia mengusap hidungnya yang kena lemparan bantal. 

“Cewek nggak baik kalau nikahnya ketuaan.”

“Boleh aja nikah, tapi belum ada calonnya mau gimana. Kamu sih pake ngilang segala.”

“Lah memangnya aku mau sama kamu?”

Lemparan bantalku kedua kalinya tidak membuatnya berhenti tertawa. Mukaku merah. Aris masih brengsek.

***

Kucingku mati. Padahal cuma kucing, tapi melihat tubuh berbulu hitam-putih itu diam saja dan mulai kaku... Waktu aku berangkat merantau hampir lima tahun lalu, kucing ini masih kecil sekali. Aku melihatnya lagi berbulan-bulan kemudian, tambah besar dan besar. Kabarnya ia mengawini banyak kucing betina tetangga, tapi anak-anak kucing yang lahir tidak ada yang mewarisi warna bulunya.
Aris suka sekali cerita tentang kucing ini. Dia menamainya Logan karena kukunya  yang panjang-panjang dan sikapnya yang galak, tidak terjinakkan. Lelaki sejati, katanya waktu mendengar kucing ini akhirnya mati.

“Apa perlu kuburannya dikasih nama?” tanyaku waktu Aris sedang membuat patok kayu dan meminta tipe-x.

“Perlu dong. Memangnya kalau kamu meninggal kamu nggak ingin diingat?”

“Apa mengingat mesti pakai nama?”

“Enggak sih, tapi nama jadi identitas paling simpel yang menyimpulkan semua tentang sesuatu atau seseorang,” jawab Aris, “termasuk seekor kucing. Kepanjangan kalau kutulis ‘kucing berbulu hitam-putih yang dari kecil tinggal dan dirawat oleh keluarga Asih dan suka makan tulang ikan, kadang nyolong ayam goreng kalau Asih atau ibunya lupa nutup tudung nasi, blablabla...’ Patoknya nggak muat, Asih.” Ia terkekeh.

“Tapi kenapa Logan?”

“Karena keren. Masa sih kamu nggak pernah nonton X-Man atau Wolverine?” Lalu Aris bergaya menyilangkan tangannya yang jemarinya terkepal di depan dada. Harusnya saat itu aku bilang kalau norak juga ada batasnya.

***

Kalau Aris itu burung, aku adalah selembar daun di ranting pohon. Kadang kalau cuacanya bagus, Aris akan mampir sebentar ke rantingku lalu terbang lagi entah kemana. Kalau cuacanya buruk, hujan lebat atau angin hebat, Aris berteduh di bawah rimbunan pohonku. Aris suka berlama-lama di sini. Aku juga suka, meskipun aku tahu ia hanya mampir dan tidak pernah membangun sarang.

Aris tidak pernah cerita kemana ia pergi selama lima tahun ini. Rahasia, katanya. Biar misterius. Aku tidak memaksanya. Mau melakukan apapun terserah, bertemu siapapun boleh, asalkan dia ada.

“Kudengar ada calon yang nanyain kamu, Sih,” ucapnya. “Ganteng?”

Aku menyalakan kipas angin. Walaupun udara agak dingin, aku tidak suka bau melati di kamarku. Meski sudah beberapa waktu, aku tetap belum terbiasa.

“Entahlah. Ganteng kan relatif,” jawabku, tanpa bertanya darimana ia dapat kabar soal itu.

Ia meraih sebuah buku di rak. “Kenapa menolak, Sih? Kamu cari suami yang seperti apa?”

“Nggak ribet kok. Yang nyambung aja kalau diajak ngobrol. Yang punya alasan buat segala sesuatu yang dia lakukan. Yang bisa nanggepin waktu topiknya serius. Suka baca buku atau minimal mau dengerin kalau aku cerita tentang buku. Yang nggak cerewet, yang bertanggung jawab, yang berwibawa... Hmm, karakternya kira-kira yang kaya Mr. Darcy di Pride and Prejudice atau Mr. Lefroy di Becoming Jane?”

“Dan orang yang datang itu nggak seperti itu?”

Aku mengedikkan bahu. “Dari caranya bicara, menjawab pertanyaan, terkesan demikian.”

“Dan menurutmu kamu ada di level yang lebih tinggi, begitu?”

 Aku diam. Tangan Aris menyusuri rak buku.

“Buku-buku ini, Sih, kamu baca semua?”

“Sebagian.”

“Kalau melihat koleksi ini, siapapun orangnya akan menilai bahwa kamu anak pintar yang suka membaca buku-buku berat dan diskusi ilmiah. Padahal kalau mereka mau mengenalmu lebih jauh,” kata Aris membuka laci rak paling bawah, ”kamu lebih suka baca komik.”

“Membaca tidak menentukan seseorang jadi pintar atau tidak pintar.”

“Iya, tapi dalam kasusmu menentukan bagaimana seseorang ingin didefinisikan,” katanya tersenyum menutup kembali laci itu. “Seandainya kamu nggak punya nama, ketika kamu meninggal, seolah kamu ingin di nisanmu tertulis ‘perempuan cerdas yang teguh dan mandiri, fans loyalnya Tolstoy, Pram, George Martin, JK. Rowling, Eka Kurniawan, dan Mangunwijaya.’ Atau sejenisnya. Mungkin malah ditambah ‘meninggal tanpa sempat menikah karena tidak ada calon yang dianggap layak.’

“Dengan buku-buku ini kamu ingin menjaga jarak dengan orang-orang, membangun kesan di mata orang. Seperti ayahmu yang memutar musik klasik padahal fans Iwan Fals.”

“Bisa jadi,” timpalku. Aku membulatkan tekad untuk akhirnya berkata, “Seperti aku bilang bahwa kriteria pasangan idealku adalah yang seperti Mr. Darcy atau Mr. Lefroy, padahal toh yang beneran aku suka itu kamu.”

“....”

“....”

“Aku tahu.”

***

Aku ke kuburan Logan. Tulisan di patoknya masih belum luntur. Kemarin aku sudah nonton seri X-Man dan Wolverine. Logannya lumayan ganteng juga. Jadi pose Aris waktu itu adalah pose saat Logan mengeluarkan pisau logam dari sela-sela jarinya. Keren. Mulai sekarang aku akan lebih banyak nonton film action ketimbang drama ala Victorian.

Waktu pulang, sudah ada Aris di kamarku. Anak ini benar-benar tidak tahu malu: masih datang padahal hanya merespon “aku tahu” saat kemarin aku menyatakan perasaanku. Katanya, jawabannya tidak akan mengubah apa-apa. Keadaan kami akan tetap seperti ini kecuali aku menyuruhnya pergi. Aris tahu aku tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Aris selalu benar dan itu hampir menyebalkan.


Di ruang makan ayahku memutar musik klasik keras-keras. Kali ini aku kenal. Beethoven. Sering kudengar di kotak-kotak musik yang ada boneka Barbie menari di tengahnya. Aris salah soal satu hal. Ayahku memutar musik klasik bukan biar tetangga dengar atau menjaga jarak, tapi karena ibuku menyukainya. Ayah menyetelnya keras-keras biar ibu tidak dengar, kalau di kamar ini aku sering ngobrol dan ketawa sama orang yang sudah nggak ada.


Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...