Selasa, 22 Mei 2018

Kamboja - Refleksi Perjalanan 2

Di Kamboja saya mengunjungi dua kampung yang letaknya sekitar 7-8 jam naik bus dari Phnom Penh. Mohon jangan tanya nama desanya, karena sangat susah diucapkan, apalagi ditulis mengingat hurufnya keriting-keriting. Kedua desa terletak di Distrik Memot, Provinsi Tboung Khmum, hasil pemisahan dari Provinsi Kampong Cham oleh pemerintah tahun 2013 akibat gejolak politik. Di sebelah timur, Distrik Memot berbatasan langsung dengan Vietnam.




Seperti pada umumnya wilayah perbatasan yang jauh dari ibukota, wilayah Distrik Memot amat berbeda dengan Phnom Penh yang mulai sesak dengan kendaraan dan gedung-gedung modern. Di Memot, rumah-rumah penduduk masih berbentuk rumah panggung dari kayu dengan tangga persis di depan pintu masuk. Di atas adalah tempat semua anggota keluarga berkumpul. Malam hari, tikar, bantal, dan selimut bertebaran di lantai. Siang harinya semua dilipat dan dideretkan berjajar di pinggir tembok, meninggalkan ruang keluarga yang lapang. Jalan-jalan desa masih beralas tanah. Bahkan di desa pertama, jalan provinsi masih berupa tanah. Jika ada truk atau kendaraan besar lewat, sontak debu akan beterbangan seperti efek di adegan film action. Debu-debu akan menyelimuti dedaunan dan sumber atap-atap rumah penduduk di kanan-kirinya.



Masyarakat di kedua desa banyak yang bermatapencaharian sebagai petani, peternak, dan pandai besi. Di depan sejumlah rumah, terlihat tungku dan peralatan untuk menempa logam. Perbedaannya, di desa pertama lebih banyak memproduksi alat-alat pertanian, sedang desa kedua membuat alat pompa air. Di Memot jarang ada sumur, karena daerahnya cukup kering. Air didapatkan dari mengebor jauh ke dalam tanah lalu di permukaannya dipasangi pompa manual. Seseorang harus menggenjot naik-turun tuasnya agar pompa dapat menyedot air yang kemudian ditampung di jerigen. Satu pompa digunakan untuk beberapa rumah. Masyarakat yang lebih kaya biasanya punya pompa sendiri di halaman rumah mereka.

Meski dari segi ekonomi kedua desa tampak mirip, tidak jika kita mencoba berinteraksi dengan anak-anak kecilnya. Di desa pertama yang jauh dari keramaian, hanya segelintir anak-anak yang terlihat. Mereka berada di usia prasekolah hingga SD. Anak-anak yang lebih besar dan pemudanya rata-rata merantau ke kota untuk sekolah atau bekerja. Jadilah kampung itu hanya berisi orang tua dan anak-anak kecil. Para orang tua tak ada yang bisa berbahasa Inggris. Mereka hanya tahu bahasa Cham dan sedikit bahasa Khmer. Anak-anak kecilnya hanya mampu berhitung one sampai ten, menyanyi abc. Sedang di desa kedua, kita akan mendengar anak-anak usia 10 tahun bicara cas-cis-cus bahasa Inggris dan Bahasa Arab ke orang asing. Meski terbatas pada percakapan mudah, setidaknya anak-anak di desa kedua lebih mudah diajak berkomunikasi.



Perbedaan keduanya terletak pada akses pendidikan. Di desa pertama, untuk ke sekolah dasar saja harus menempuh satu satu jam perjalanan naik motor. Jumlah gurunya terbatas dan tak punya fasilitas bahan ajar yang cukup layak, apalagi untuk mengajar Bahasa Inggris. Sedangkan di desa kedua, terdapat 3 sekolah sederhana di satu kampung yang didirikan oleh pihak swasta. Saya terkejut melihat papan nama Muhammadiyah Training Center di bagian selatan desa. Ternyata disitulah anak-anak yang cas-cis-cus Bahasa Inggris itu diajari pengetahuan umum dan bahasa asing.

Pendidikan seperti menggambar garis batas eksklusif yang membedakan kedua kampung. Dari pendidikan, diperkenalkan bahasa sebagai modal memperluas pengetahuan. Tapi sekali lagi, ia juga batas eksklusif. Anak-anak yang bisa berbahasa Inggris itu dengan leluasa menyapa orang asing, bertukar informasi. Sedangkan mereka yang tidak mengerti mengambil langkah semakin ke tepi.

23 Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...