(Pertama kali terbit di https://www.selasar.com/jurnal/32542/Cerpen:-Tanah-yang-Dihuni-Manusia Februari 2016)
Di sebuah desa yang jauh, ada sebuah pemakaman umum tempat
orang-orang yang mati disemayamkan. Di areal pemakaman itu, tinggallah seorang
tukang gali kubur tua bersama istrinya yang renta. Tak ada yang tahu atau
peduli kemana anak-anak mereka, atau bahkan apakah mereka punya anak. Warga
desa hanya tahu keduanya tinggal di sebuah pondok kecil di samping pintu masuk
pemakaman.
Warga desa mengenal Pak Tua sebagai penjaga makam. Mereka hanya
berurusan dengannya jika ada orang yang mati dan perlu tenaga untuk menggali
kubur. Keperluan lain mereka adalah meminta suami-istri itu untuk
membersihkan makam keluarga saat tanggal-tanggal keramat.
Suatu hari, istri Pak Tua mati. Wanita itu kurang gizi dan
barangkali sudah menyerah untuk melanjutkan hidup sebagai istri
tukang gali yang tak punya sumber penghasilan lain. Pak
Tua mengangkat tubuh istrinya dan meletakkannya di atas dipan tempat
mereka tidur. Pak Tua menyelimutinya dengan kain jarit. Lalu, ia keluar
rumah, mencari lahan di pemakaman yang kiranya bisa ia gali malam
itu sebagai pembaringan istrinya.
Di depan pintu pondoknya, di bagian pemakaman sebelah kanan yang
dekat jalan, deretan makam indah berpualam berjejeran; makam-makam leluhur,
keluarga bangsawan, dan pahlawan. Deretan rumah orang mati itu jauh lebih
bagus dari rumah-rumah orang hidup yang ada di sekitar pemakaman, apalagi
pondok Pak Tua dan istrinya. Tak sembarang orang bisa dipendam di bagian kavling
itu, yang katanya diberkati Tuhan. Ia dan istrinya jels tak bisa jadi bagian.
Tukang gali lalu berjalan tergopoh-gopoh ke timur, mencoba
mencari peruntungan di antara deretan palang-palang salib yang berbaris. Di
sana, ia dapati ada sebidang di antara dua makam bayi yang kecil-kecil. Ia
sudah hampir mengayunkan cangkul ke sebidang tanah itu sebelum pada akhirnya ia
berubah pikiran dan berlalu. Meski ia tak taat beragama, ia ternyata masih khawatir juga untuk menyemayamkan istrinya di antara orang-orang yang semasa hidupnya menyembah Tuhan yang berbeda.
Petang makin merayap, menggelap dan Pak Tua belum menemukan
tempat untuk memakamkan istrinya. Ia melewati petakan-petakan tanah
kosong di sisi kirinya yang bukan termasuk area pemakaman umum. Pagar batu
setinggi leher telah dibangun untuk menandai bahwa tanah-tanah itu sudah dibeli
dan jadi milik orang. Para pemilik tanah sepertinya sangat yakin bahwa
mereka dan keluarganya akan mati sehingga mereka menyiapkan lahan
tempat mereka bersama akan membangun rumah masa depan. Seluruh keluarga
barangkali akan dimakamkan di situ, berjejeran. Mungkin agar bisa saling
tolong-menolong, contek-menyontek untuk menjawab soal dari malaikat kubur yang
katanya soalnya susah-susah. Mungkin agar mudah bagi anak-cucu untuk berziarah,
atau mungkin sekadar karena mereka punya uang berlimpah.
Penggali kubur pusing tujuh keliling. Harapan terakhirnya hanya
ada di bagian selatan pemakaman, tempat kebanyakan warga lokal dikuburkan.
Terburu-burulah ia ke sana, meskipun tahu bahwa ia hanya akan kecewa. Hamparan
nisan-nisan keramik dan semen membentang sampai perbatasan kali batas desa.
Tulisan-tulisan tanggal dan nama menghiasi nisan-nisan itu sebagai tanda
pemiliknya. Nisan-nisan itu berhimpitan, dihuni baik oleh penghuni lama yang
dikubur tahun 1800-an maupun yang baru-baru ini bergabung. Bahkan, ada beberapa
nisan yang diletakkan untuk menandai bahwa petak tanah di bawah nisan
itu sudah ada yang punya. Keramik dan semen antarnisan saling bersenggolan,
beberapa hanya menyisakan celah sempit selebar sepasang sandal.
Menurut cerita, ketika kakek buyut Pak Tua masih remaja,
areal pemakaman itu hanya berisi gundukan-gundukan tanah dengan patok kayu di
kedua ujungnya. Kemudian datanglah para pendatang dari kota
mengisi pekarangan-pekarangan kosong di desa dengan rumah-rumah gedong. Penduduk
asli dan pendatang mulai bercampur dan melahirkan keluarga-keluarga baru yang
juga membutuhkan tempat tinggal. Areal pemakaman yang luas akhirnya jadi salah
satu solusi, selain sawah dan ladang yang membentang. Para pendatang tidak
takut menghuni rumah yang bawahnya adalah makam. Hanya saja, mereka tak mau
jika makam keluarga mereka bernasib sama seperti yang ada di bawah teras rumah
mereka. Maka, dibangunlah nisan di atas makam-makam yang dianggap
berharga: agar tak ada yang berani menginjakkan kaki, apalagi membongkarnya.
Waktu berganti. Kini, hampir tak ada makam tanpa nisan di atasnya.
Pak Tua tak mampu membeli tanah di luar area pemakaman. Dan
tak perlu, karena ia tak punya keluarga besar yang bisa diajak tinggal bersama
sesudah mati, kecuali mungkin istrinya. Jangankan berharap untuk dikubur
bersisian dengan sang istri, menemukan lahan kosong untuk satu orang saja
sangat sulit di pemakaman desa ini. Ia bisa dituntut orang sedesa jika
menghancurkan nisan-nisan lama dan menggali tanah di bawahnya. Ia juga tidak
yakin nisan mana yang kira-kira sudah tidak ada lagi orang yang berziarah ke
sana. Di hadapannya, nisan-nisan keramik itu seolah menatapnya dengan pongah,
tahu bahwa tukang gali kubur itu, atau tukang gali yang lain, tak akan berani
untuk bahkan sekadar menggoresnya. Semen, keramik, dan pualam itu dengan bangga
bertingkah layaknya teras rumah yang mengabarkan manusia macam apa yang
menghuni tanah di bawahnya. Dan memastikan bahwa tiada yang berani mengusik
penghuni di dalamnya.
Akhirnya di malam dingin itu, Pak Tua menjinjing cangkulnya dan
melangkah pulang. Ia tahu dimana istrinya dapat diistirahatkan. Tempat yang
orang lain tak akan protes, tak akan mempertanyakan. Dibawanya cangkul itu
masuk pondokan. Digesernya dipan tempat istrinya kini terbaring menutup mata.
Crak, crak, crak. Ia mulai menghantamkan cangkulnya ke tanah bekas dipan
tadinya berada. Tanahnya cukup basah, mudah digali. Entah basah
akibat musim hujan atau karena dialiri air mata si penggali. Setelah
dirasa cukup dalam, dari tepi atas lubang, ia menurunkan istrinya dengan
selembar kain jarik perlahan-lahan. Mereka tak punya kain kafan, maka ia turun
kembali ke lubang dan dililitkannya kain jarik itu sehingga membuntal tubuh
sang istri sekadarnya.
Crak. Crak. Crak.
Pak tua mengembalikan lagi tanah yang ia gali, yang perlahan
menutupi tubuh istrinya dengan sempurna.
Pak Tua, si penggali kubur, telah selesai dengan tugasnya. Ia
mengembalikan letak dipannya dan mematikan bohlam. Di atas dipan, ia meringkuk
beralas tikar dan memejamkan mata. Tak jauh di bawah, tanah merengkuh siapa
saja yang datang untuk menghuni rahimnya tanpa bertanya nama, keluarga, agama, apalagi jumlah harta.
Annisa Qurani
Annisa Qurani