Senin, 30 Juli 2018

Cerpen: Tanah yang Dihuni Manusia

(Pertama kali terbit di https://www.selasar.com/jurnal/32542/Cerpen:-Tanah-yang-Dihuni-Manusia Februari 2016)
Di sebuah desa yang jauh, ada sebuah pemakaman umum tempat orang-orang yang mati disemayamkan. Di areal pemakaman itu, tinggallah seorang tukang gali kubur tua bersama istrinya yang renta. Tak ada yang tahu atau peduli kemana anak-anak mereka, atau bahkan apakah mereka punya anak. Warga desa hanya tahu keduanya tinggal di sebuah pondok kecil di samping pintu masuk pemakaman.
Warga desa mengenal Pak Tua sebagai penjaga makam. Mereka hanya berurusan dengannya jika ada orang yang mati dan perlu tenaga untuk menggali kubur. Keperluan lain mereka adalah meminta suami-istri itu untuk membersihkan makam keluarga saat tanggal-tanggal keramat.
Suatu hari, istri Pak Tua mati. Wanita itu kurang gizi dan barangkali sudah menyerah untuk melanjutkan hidup sebagai istri tukang gali yang tak punya sumber penghasilan lain. Pak Tua mengangkat tubuh istrinya dan meletakkannya di atas dipan tempat mereka tidur. Pak Tua menyelimutinya dengan kain jarit. Lalu, ia keluar rumah, mencari lahan di pemakaman yang kiranya bisa ia gali malam itu sebagai pembaringan istrinya.
Di depan pintu pondoknya, di bagian pemakaman sebelah kanan yang dekat jalan, deretan makam indah berpualam berjejeran; makam-makam leluhur, keluarga bangsawan, dan pahlawan. Deretan rumah orang mati itu jauh lebih bagus dari rumah-rumah orang hidup yang ada di sekitar pemakaman, apalagi pondok Pak Tua dan istrinya. Tak sembarang orang bisa dipendam di bagian kavling itu, yang katanya diberkati Tuhan. Ia dan istrinya jels tak bisa jadi bagian.
Tukang gali lalu berjalan tergopoh-gopoh ke timur, mencoba mencari peruntungan di antara deretan palang-palang salib yang berbaris. Di sana, ia dapati ada sebidang di antara dua makam bayi yang kecil-kecil. Ia sudah hampir mengayunkan cangkul ke sebidang tanah itu sebelum pada akhirnya ia berubah pikiran dan berlalu. Meski ia tak taat beragama, ia ternyata masih khawatir juga untuk menyemayamkan istrinya di antara orang-orang yang semasa hidupnya menyembah Tuhan yang berbeda.
Petang makin merayap, menggelap dan Pak Tua belum menemukan tempat untuk memakamkan istrinya. Ia melewati petakan-petakan tanah kosong di sisi kirinya yang bukan termasuk area pemakaman umum. Pagar batu setinggi leher telah dibangun untuk menandai bahwa tanah-tanah itu sudah dibeli dan jadi milik orang. Para pemilik tanah sepertinya sangat yakin bahwa mereka dan keluarganya akan mati sehingga mereka menyiapkan lahan tempat mereka bersama akan membangun rumah masa depan. Seluruh keluarga barangkali akan dimakamkan di situ, berjejeran. Mungkin agar bisa saling tolong-menolong, contek-menyontek untuk menjawab soal dari malaikat kubur yang katanya soalnya susah-susah. Mungkin agar mudah bagi anak-cucu untuk berziarah, atau mungkin sekadar karena mereka punya uang berlimpah. 
Penggali kubur pusing tujuh keliling. Harapan terakhirnya hanya ada di bagian selatan pemakaman, tempat kebanyakan warga lokal dikuburkan. Terburu-burulah ia ke sana, meskipun tahu bahwa ia hanya akan kecewa. Hamparan nisan-nisan keramik dan semen membentang sampai perbatasan kali batas desa. Tulisan-tulisan tanggal dan nama menghiasi nisan-nisan itu sebagai tanda pemiliknya. Nisan-nisan itu berhimpitan, dihuni baik oleh penghuni lama yang dikubur tahun 1800-an maupun yang baru-baru ini bergabung. Bahkan, ada beberapa nisan yang diletakkan untuk menandai bahwa petak tanah di bawah nisan itu sudah ada yang punya. Keramik dan semen antarnisan saling bersenggolan, beberapa hanya menyisakan celah sempit selebar sepasang sandal. 
Menurut cerita, ketika kakek buyut Pak Tua masih remaja, areal pemakaman itu hanya berisi gundukan-gundukan tanah dengan patok kayu di kedua ujungnya. Kemudian datanglah para pendatang dari kota mengisi pekarangan-pekarangan kosong di desa dengan rumah-rumah gedong. Penduduk asli dan pendatang mulai bercampur dan melahirkan keluarga-keluarga baru yang juga membutuhkan tempat tinggal. Areal pemakaman yang luas akhirnya jadi salah satu solusi, selain sawah dan ladang yang membentang. Para pendatang tidak takut menghuni rumah yang bawahnya adalah makam. Hanya saja, mereka tak mau jika makam keluarga mereka bernasib sama seperti yang ada di bawah teras rumah mereka. Maka, dibangunlah nisan di atas makam-makam yang dianggap berharga: agar tak ada yang berani menginjakkan kaki, apalagi membongkarnya. Waktu berganti. Kini, hampir tak ada makam tanpa nisan di atasnya.
Pak Tua tak mampu membeli tanah di luar area pemakaman. Dan tak perlu, karena ia tak punya keluarga besar yang bisa diajak tinggal bersama sesudah mati, kecuali mungkin istrinya. Jangankan berharap untuk dikubur bersisian dengan sang istri, menemukan lahan kosong untuk satu orang saja sangat sulit di pemakaman desa ini. Ia bisa dituntut orang sedesa jika menghancurkan nisan-nisan lama dan menggali tanah di bawahnya. Ia juga tidak yakin nisan mana yang kira-kira sudah tidak ada lagi orang yang berziarah ke sana. Di hadapannya, nisan-nisan keramik itu seolah menatapnya dengan pongah, tahu bahwa tukang gali kubur itu, atau tukang gali yang lain, tak akan berani untuk bahkan sekadar menggoresnya. Semen, keramik, dan pualam itu dengan bangga bertingkah layaknya teras rumah yang mengabarkan manusia macam apa yang menghuni tanah di bawahnya. Dan memastikan bahwa tiada yang berani mengusik penghuni di dalamnya.
Akhirnya di malam dingin itu, Pak Tua menjinjing cangkulnya dan melangkah pulang. Ia tahu dimana istrinya dapat diistirahatkan. Tempat yang orang lain tak akan protes, tak akan mempertanyakan. Dibawanya cangkul itu masuk pondokan. Digesernya dipan tempat istrinya kini terbaring menutup mata. Crak, crak, crak. Ia mulai menghantamkan cangkulnya ke tanah bekas dipan tadinya berada. Tanahnya cukup basah, mudah digali. Entah basah akibat musim hujan atau karena dialiri air mata si penggali. Setelah dirasa cukup dalam, dari tepi atas lubang, ia menurunkan istrinya dengan selembar kain jarik perlahan-lahan. Mereka tak punya kain kafan, maka ia turun kembali ke lubang dan dililitkannya kain jarik itu sehingga membuntal tubuh sang istri sekadarnya.
Crak. Crak. Crak.
Pak tua mengembalikan lagi tanah yang ia gali, yang perlahan menutupi tubuh istrinya dengan sempurna.

Pak Tua, si penggali kubur, telah selesai dengan tugasnya. Ia mengembalikan letak dipannya dan mematikan bohlam. Di atas dipan, ia meringkuk beralas tikar dan memejamkan mata. Tak jauh di bawah, tanah merengkuh siapa saja yang datang untuk menghuni rahimnya tanpa bertanya nama, keluarga, agama, apalagi jumlah harta.



Annisa Qurani

Cerpen: Anak Kampung Kami

(Pertama diterbitkan di https://www.selasar.com/jurnal/32456/Cerpen-Anak-Kampung-Kami tanggal 6 Februari 2016)
Sepucuk surat Darmin terima dari Pak Pos sore ini. Anak keduanya, kemudian berubah status menjadi anak satu-satunya setelah peristiwa kecelakaan menimpa sang istri dan si sulung, telah sampai dengan selamat di kota. Radha, anak kedua Darmin, beberapa pekan lalu mengatakan hendak merantau. Tujuannya sama seperti beberapa orang pemuda di kampung kami yang terlebih dahulu melakukan hal serupa, mencari peruntungan demi kehidupan yang lebih baik. Aku menepuk pundak Darmin, melempar senyum yang ia sudah tahu artinya.
Bagi orang kampung macam kami, salah satu bentuk keberanian adalah kenekatan untuk merantau ke penjuru negeri. Usaha mendapatkan akses informasi dan transportasi yang membutuhkan syarat lebih dari sekedar uang jajan membuat negeri-negeri di luar gapura batas kampung hanya bisa dibayangkan dalam mimpi. Karenanya, terhadap mereka yang akhirnya berhasil melangkahkan kaki ke dunia antah berantah di luar sana, kami bertepuk tangan sekaligus menyelip doa dalam hati: semoga Allah selalu menyertai.
Terhadap mereka yang merantau, Darmin punya pandangan yang kurang lebih sama denganku, salah satu tetangganya. Mereka yang merantau adalah anak-anak pintar dengan modal terbatas, kebanggaan kampung kami. Karenanya, kami tak keberatan iuran bergenggam-genggam beras untuk ditukar jadi tiket kereta atau biaya masuk universitas. Iuran itu tak perlu dikembalikan dengan sekarung beras atau tunai, cukup dengan kebaikan yang akan menyulap segenggam beras jadi celengan pahala di akhirat.
Kami mendengar anak-anak kampung kami jadi singa di kota, di ujung jalan tol sana. Satu-dua orang bahkan menjadi macan di Asia, di wilayah yang cuma bisa kami lihat di peta. Mereka telah mewujudkan mimpi mereka dengan gagah berani. Mereka tanpa ragu-ragu terus menerjang lurus tiada terganggu masa lalu. Dalam sujud-sujud malam kami, ada sebentuk tulus yang lantas terurai bersama doa. Semoga kepada orang tualah bakti mereka kembali.
Keseharian kami sederhana, biasa saja. Pagi hari, kami yang petani kembali ke sawah, yang pedagang melenggang ke pasar, dan yang pegawai tentu tetap ke kantor dengan semangat. Sorenya, kami duduk-duduk di surau dan patrol bicara tentang padi yang dimakan wereng, menggosipkan anak tetangga yang hamil di luar nikah, membicarakan kepala desa yang katanya memakai uang pajak untuk menraktir para perangkat desanya.
Sekali waktu, kami juga membicarakan obrolan moral semacam lansia-lansia yang memenuhi satu-satunya shaf di surau, bocah A yang katanya kemarin ikut rombongan punk kampung sebelah, dan bocah B yang tiga tahun berturut-turut dikeluarkan dari SD karena ketahuan merokok. Tak sering kami bicara soal uang sekolah yang mahal karena pemerintah sudah menggratiskan pendidikan sembilan tahun. Keluarga yang punya anak sampai SMA biasanya bisa dibilang tak punya masalah keuangan, jadi jarang masuk topik obrolan.
Senyum bangga baru mengembang ketika kami bergosip tentang anak-anak kebanggaan kami yang jadi bos di perusahaan yang namanya susah kami ucapkan. Kami beritahu semua orang yang lewat patrol bahwa dia yang jadi pegawai di perusahaan yang sering muncul di TV adalah anak dari kampung kami. Itu, yang rumahnya sedang dibangun tingkat dua itu yang di pinggir sawah, demikian kami menganggapnya anak kami sendiri. Ya, anak-anak kami yang pintar dan berani telah mengubah kehidupan mereka sendiri.
Aku dan Darmin bergosip ria sampai maghrib tiba. Katanya, Maghrib adalah waktu setan-setan berkeliaran. Karena itu, kami pulang dulu ke rumah atau mampir ke surau. Nanti, selepas Isya, aku dan Darmin berkumpul lagi di warung jamu dekat pasar. Kebetulan, hari ini aku punya firasat baik bahwa nomor togel yang kemarin dibeli akan keluar nanti.


Annisa Qurani

Complete Solitude (Travel Journal in Surumanis Beach)

(first published in https://thecoffeelicious.com/complete-solitude-93532d93adf2 at the date Feb 23, 2016)
By the time you climb down the cliff, you’ll hear a song you’ve never heard. But you know, that song is already your favorite. It’s sung by the wind, and the waves play instrument together with whispering sands when they’re getting in touch with the water.
There’s only one or two people, likely fisherman. They’re busy teasing the fish with worms. The fish are smart enough not taking the bait, seems so, because the fisherman doesn’t look satisfied. Or maybe there’s no fish in these low tide waves. In the middle of this blue, you care not. The place is pretty empty.
Look! There, in front of you, far away at the horizon. Can you draw the line to separate water and the sky above? Don’t bother, because when they’re reflecting each other you have no chance to disturb the unity. The two make the most wonderful stage in the universe where you can show off whatever inside you: happiness, joy, worries, grudges, fear, anything. You’ll hear them ask you to come closer, to dance along the song.
You answer them. You take off your shoes, lift your skirt, and let your feet being teased by little waves. Loose your skirt so your palms can wide open. Try to catch the wind! You can’t though, but just do it. Remember when you try to share your thought to people? They couldn’t grasp it. Now you know why. Your dreams aren’t shaped. They fly anywhere in the clouds inside your mind toward directions even you can’t point them out.
Walk closer to the deeper. It’s okay if your knees get wet. Let the water wash away all the worries and show the answer of your doubts. Let it remind you the time when your mother said she couldn’t understand you anymore, the time when you felt to be complete stranger in your house. Let the water, wind, warm light, and the blue that surrounds you strip you naked. It isn’t hurt to be honest sometimes, is it? It’s not a shame to cry out loud.
When you were much younger, the words “I can’t understand you” was kind of crown to define you as the mysterious one in the class. Your friends would respect you, thinking that you’re in another level, super cool, and would take much times for them to read all the books you’d read only to have the mind like yours. Teenagers loved anything mysterious, like the character in TV series or anime. But as the time went by, you were told to be more tolerant with reality, to differentiate which possible and the opposite. You saw the world as a very big place, tough the same time you felt your own world shrinking.
The time comes when you need someone to understand you.
You’re craving for someone to know that at times, you need to be left alone after having interaction with people for too long. Or when you answer a question with absurd one means you don’t have the answer at all. Or when you are silent, you’re in doubt of what to do or say.
Come here, dear you, lie down to the sand. Have you done pitying yourself? It’s time to grab your pen. Write down everything from the scratch. You can start with describing this place. How does the sky look like? What is the thing the wind whisper to you? If your body is falling down from that cliff, what’s the last thought slipped inside your mind? What’s the word you want to hear the most from people?
Write it all. If you run out of papers, write it on the sand. If the waves erase those words, write them again. Write until you can release the burden in your chest. Write. Shape it. Just like you find this place in searching for solitude, someday, someone will find you in his looking for perfection.
In your way home, tell people to come here. Tell them about the song you heard and the warm breeze slipped between your fingertips. Warn them about the cliff and the high tide that might come. But they need to know those are worth risking for exchange to enjoy the complete solitude we are offering.


Welcome to Surumanis Beach, dear you…



How much price are you willing to pay to let your life go on?

(my first article published on medium.com. The date was Feb 10, 2016)

How can you possibly let go of the past? How much effort do you give? How much price are you willing to pay?

It was a cold January when I first realized that everything that I had could be gone in just seconds. A father that I loved the most, a caring family man, my greatest hero in the world (just can be compared with Batman, maybe), had passed away. I remembered having a conversation with him by phone just a day before, talking about my graduation ceremony in the next month.
No, I didn’t cry when I heard the news that he’d been brought to the hospital after getting hit-and-run accident. I still could stand on my feet and finished my graduation requirements and necessary administrations in the college in the morning before going home. When I got on the bus that evening, I still couldn’t imagine that I would lose him the day after. I meant, it was only accident that many people had and they were okay. After seeing him laid on the bed with closed-eyes, I felt furious, blaming the awful person that left him behind after the accident. Maybe my father was in the fault for crossing the road without noticing, or maybe not. But could you, as a human being, just left someone in the middle of the road, covered with blood?
But the thing I hated the most was… the world was still going on as always, with or without my father in it.
Then after days of doing nothing productive except receiving a lot of guests at home giving their condolences to my family, I decided to move on. I packed my things and just two weeks after the funeral, I got on the train that brought me to Jakarta. I found things that could help me forgeting the pain in the heart and the sadness of losing someone precious. And I succeed.
But my mother didn’t. The next time I went home, mother said that she had the plan to get our house renovated. She wanted everything in the house to be placed the opposite position. The bedroom in the right would have to be moved to the left, the front door in the left side needed to be in the right, and so almost everything else in our house. I couldn’t understand since our house was just fine and nothing really needed to be changed. It was just a waste of money, energy, and time. She said it was for space efficiency. I couldn’t understand. I couldn’t.
I still didn’t agree to the plan she had, until my brother told me what he saw one day: mother took out father’s clothes and put it on the boxes in the early morning just for putting them back again in the cupboard while shedding tears in the middle of the night. She didn’t have the heart to throw them away. By the time brother told me, I knew: the house renovation plan was never about the efficiency. It was the only thing she could think of to redeem her longing for her husband.
Maybe a year is not enough to bring her heart back in shape, even though she does the daily life as fine as usual. My house is in the middle of being renovated right know. Everyday is a busy day with people coming and going visiting our house to see the renovation process. I know, and she knows too, the house being renovated will not be a guarantee to let the past gone.
I think about it almost everyday while making coffee for the workers, hanging out with my childhood friends, having conversation with my siblings: do we really need to go this far to get our heart back in shape? Why can I let it go this easily, while my mother can’t? Is it because the amount of love we have different and hers is bigger than mine? Or is it about the difference of the amount of the time we spent together?
Then I know. I am looking at the old photo album consisted our family members’s photos. There aren’t many photos of the family members and none of them consisted five of us together. We don’t have a family photo. One day we ever planned about going to photo studio to take one, but the plan was canceled because we fought each other in the morning because of usual, small cause and the mood was ruined. We promised to do it next time. Next time. And next time again. As we thought the time would always be ours.
That family photo, in the end, will never exist. And by the time I realize, I know, actually I never get over with the past. I just ran away and chose not to think. I avoid any thought about my father and close my ears everytime people talk about family. I pretend to be okay and always in shape. In the end, I’m just like my mother that can’t let it go. Even worse, because I don’t do anything for the wound to be healed, for the hole to be filled.
Mother faces it head on, willing to pay the high price of money in order to get a lighter step every time entering our house.
— — —
This is my first article on Medium. I am currently working on improving my skill in storytelling. I hope you can get a lesson from it and even if you can’t, I hope you enjoy the story. Connect with me on twitter @quranisa

Selasa, 10 Juli 2018

Pohon Kopi Solusi Pemanfaatan Lahan Hutan Bernilai Ekonomi

(artikel untuk majalah Investasi, terbitan BPMPT Kebumen bulan Juni/Juli 2018)

Tren minum kopi tengah merambah Kebumen. Kafe dan kedai kopi bermunculan. Penikmat kopi instan mulai berkenalan dengan biji kopi asli yang disangrai. Tapi kopi lokal Kebumen sendiri belum banyak dikenal. Bahkan banyak yang belum tahu bahwa kopi bisa tumbuh di Kebumen yang merupakan daerah pesisir. Padahal di sejumlah daerah di Kabupaten Kebumen terdapat kebun kopi yang dikelola petani lokal.

Solusi Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan

Lebih dari  80 ha lahan Perhutani di Kebumen  telah ditanami kopi. Lahan tersebut tersebar di daerah Kaliputih, Kenteng, Somagede, Wonotirto, Lohandu, Karanggayam, dan sejumlah daerah lain. Perhutani telah memberi izin pada LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) setempat untuk mengelola sejumlah petak lahan hutan untuk dikelola. Awalnya kopi hanya menjadi tanaman penyela atau sisipan karena tanaman kopi dapat tumbuh di berbagai kondisi lahan, baik dataran tinggi maupun pesisir.

Meski demikian, untuk menghasilkan biji kopi yang bagus bibit kopi yang akan ditanam perlu menyesuaikan kondisi lahan. Di Kebumen mayoritas kopi yang ditanam adalah dari jenis robusta dan arabica, yang umum dicari di pasaran. Tapi sebenarnya jenis tanah di Kebumen berdasarkan ketinggiannya kurang cocok untuk jenis arabica. Ini membuat LMDH Somagede mulai melakukan spesifikasi  dengan menanam jenis excelsa dan liberica di lahan seluas 26 ha.

Dua hingga tiga tahun setelah penanaman, kopi yang dirawat dengan baik sudah bisa dipanen. Dalam satu tahun, tanaman kopi dapat dipanen hingga dua kali. Satu tanaman umur produktifnya bisa sampai 20 tahun tanpa bongkar-pasang tanaman. Keunggulan ini membuat kopi menjadi tanaman penyangga yang lebih baik dari jagung atau singkong. Pasalnya jagung menyerap lebih banyak zat hara dalam tanah dan singkong memerlukan pencangkulan berulang-ulang untuk penanaman dan panen yang membuat tanah rawan erosi terutama di daerah perbukitan.

Peluang Ekonomi Seiring Perubahan Tren Mengopi

Menurut pengakuan Tetuko dari komunitas Kebumen Mengopi, ketika ia dan teman-teman pertama kali menilik sejumlah kebun kopi di Kebumen, kondisinya sangat tidak terawat. Rata-rata pemiliknya mendapatkan tanaman-tanaman kopi itu sebagai warisan dan tidak dilihat sebagai sumber penghasilan. Biji kopi yang dihasilkan dipanen dan diproses seadanya lalu dijual ke tetangga atau warung-warung kopi di desa dengan harga murah. Sekilo biji kopi hanya dihargai kisaran 15 ribu sampai 20 ribu rupiah, tergantung harga tawar pembeli.

Rendahnya harga dipengaruh oleh kualitas dan jumlah permintaan. Petani kopi perlu mendapatkan pendampingan dalam mengelola lahan, tanaman, dan kontrol kualitas biji. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas biji kopi sehingga bisa memberi keuntungan ekonomi bagi petaninya. Sebabnya, kualitas kopi selain ditentukan oleh kondisi lahan, juga oleh proses pengolahan pascapanen.

Seiring informasi dan edukasi tentang kopi meluas, masyarakat kini sudah lebih paham tentang perbedaan jenis dan kualitas kopi. Penghargaan terhadap biji kopi pun semakin meningkat, dilihat dari semakin banyaknya kedai kopi yang menawarkan kopi yang dibuat langsung dari biji.

“Gelombang pertama dulu kita kenalan dengan kopi sachet,” ujar Tetuko, “lalu muncul kedai-kedai besar yang menawarkan kopi dengan kualitas lebih tinggi. Tapi sekarang orang lebih bisa menghargai kopi dan metode pembuatan pun makin beragam. Orang nggak harus ke Starbucks untuk bisa minum kopi enak tapi bisa bikin sendiri dengan berbagai macam pilihan bean (biji kopi) yang banyak dijual di pasaran.”


Tren tersebut, diiringi dengan semakin mudahnya mendapatkan alat brewing manual dan berkembangnya metode pembuatan kopi, menjadi peluang bagi kopi lokal untuk berkembang. Kebun-kebun yang dikelola pun menjadi peluang wisata agro. Peluang ini didorong oleh berkembangnya wisata Kebumen yang berbasis komunitas lokal seperti LMDH dan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Kelak pengunjung dapat melihat proses panjang yang harus dilalui biji-biji kopi sampai bisa terhidang dalam secangkir pekat kopi yang rasanya nikmat.



Annisa Qurani.

Sebab Pulang adalah Sebuah Keberanian

Menulis tentang hal ini sejujurnya adalah salah satu cara untuk meyakinkan diri terhadap sebuah keputusan yang saya sendiri bisa veto kapan saja. Bisa dibilang jika tulisan ini adalah bentuk pembenaran atas segala yang mungkin akan saya lakukan di masa depan, segala keputusan yang akan saya ambil. Maka mohon maaf jika ada yang menemukan tulisan ini sebagai tulisan yang angkuh, menggurui, dan barangkali juga berpandangan sempit. Umat beragama yang taat meyakinkan diri mereka bahwa agama yang mereka anut adalah paling benar agar tidak mudah goyah dan akhirnya berpindah atau tidak beragama samasekali. Demikian juga saat ini saya memposisikan tulisan ini layaknya pembenaran diri sebagai yang paling tepat, agar nantinya saya tidak lagi goyah atas segala yang telah saya putuskan.


Pulang kampung adalah keputusan besar. Ketika hendak kuliah, hampir pasti saya yakin calon-calon mahasiswa berkeinginan untuk membangun kampung halamannya setelah lulus nanti. Ada banyak cita-cita yang disusun setinggi angkasa dan seluas padang sabana: suatu saat, akan ada yang berubah dengan saya menjadi sarjana. Niat itu mulia, diaminkan seluruh penduduk desa, bahkan tak sedikit mahasiswa yang keberangkatannya diantar oleh tetangga-tetangganya dengan doa-doa mengangkasa dan sedikit iuran uang saku. Maksudnya saya. Ah, betapa hutang itu berat tanggungannya.

Pulang kampung adalah keputusan besar. Kota menjanjikan banyak peluang. Setelah lulus, saya ingat tentang niatan pulang kampung. Namun pada ingatan itu saya membisikkan, "Nanti, cari pengalaman kerja dulu. Mau membangun dengan apa kalau hanya punya ilmu tapi tanpa pengalaman?" Dengan demikian satu-dua tahun berlanjut, luntang-lantung di ibukota demi mencari pengalaman yang saya pikir hanya ibukota yang mampu menyediakan. Setiap kali ingatan tentang kampung halaman terbersit, alibi cari pengalaman selalu efektif untuk menyingkirkannya jauh-jauh ke sudut pikiran.

"Nanti, belum cukup..."
"Setahun lagi, sebentar lagi..."
"Tanggung, sedang ada proyek bagus..."

Saya selalu menemukan alasan untuk terus merantau, sampai akhirnya tiba pada satu titik dimana dalih pengalaman tergantikan oleh pertanyaan, "Memangnya ada apa di kampung halaman?"

Kemampuan dan pengetahuan, meski diam-diam, selalu membutuhkan apresiasi dan tempat pengakuan. Kiranya disitulah keangkuhan bermula. Di kampung halaman tak saya temukan tempat penampungan segala pengetahuan yang saya kira saya sudah punyai. Ketika seseorang merasa tak punya tempat, ia cenderung menyalahkan situasi. Mengapa kampung ini begitu kosong? Mengapa kampung ini begitu tertinggal? Mengapa kampung ini tak menyediakan tempat berkembang?

Seonggok jagung di ruangan tak akan menjadi apa-apa jika terkunci bersama sarjana yang ilmunya hanya berasal dari buku.

Pulang kampung adalah keputusan berat. Karenanya saya memilih merantau lagi. Kekecewaan karena tak menemukan tempat dalam masyarakat terus mengiringi setiap keputusan bertahan di ibukota yang keras. Di sini saja, tak ada apa-apa di kampung. Di sana saya tak merasa dihargai, disana tak ada kawan diskusi. Di sana tak ada tempat untuk mengamalkan ilmu pengetahuan. Kesombongan intelektual membunuh niat mulia pelan-pelan. Niat membangun kampung halaman perlahan mati bersamaan menumpuknya tuntutan-tuntutan atas pengakuan dan sambutan nasib baik di kampung halaman.

Barangkali sarjana itu sudah merasa berjuang di masa studinya di kampus. Barangkali ia merasa sudah begitu keras belajar siang-malam, sembari berjualan donat atau kerja sambilan mencukupi kebutuhan uang saku karena beasiswa turun terlambat. Barangkali ia berpikir bahwa setelah semua kerja keras itu, kelulusannya haruslah disambut dengan gempita: kursi jabatan terhormat di tengah kaumnya. Atau barangkali ia hanya berpikir sesederhana jadi tulang punggung keluarga setelah wisuda.

Pulang kampung adalah keputusan berat. Seperti mengalungkan rantai di lehermu, kewajiban-kewajiban dan rutinitas rumah selalu membuatmu sibuk dan berpikir ulang tiap kali ingin pergi. Mendadak semua jadi terasa jauh: tanah rantau, peluang kerja, dan cita-cita berkelana. Semua jadi tak cukup ditempuh dengan sekali naik angkot. Kabar tentang pencapaian-pencapaian teman-temanmu di perantauan akan membuatmu gila dan mengutuki keadaan.
"It's not running away when you're going back home." (Paul Acampora)
Sarjana yang merasa digdaya ini lupa bahwa karena kekosongan di kampung halamannya itulah ia memutuskan untuk pergi dan mencari bekal untuk mengisi. Ia lupa bahwa dialah yang jadi sarjana, bukan tetangga-tetangganya. Bagaimana mungkin seorang sarjana menuntut tetangga-tetangganya menyediakan pekerjaan dengan gaji standar ibukota di tengah-tengah hamparan sawah? Bagaimana bisa seorang sarjana mengharapkan lawan diskusi setara di tengah-tengah sulitnya akses ke sekolah?

Seorang sarjana tidak layak menuntut lebih dari masyarakatnya, terutama jika ia tahu masyarakatnya tak punya kesempatan yang sama atas pendidikan. Justru ia diharapkan menjadi mercusuar perubahan: menunjukkan bahwa yang mustahil menjadi mungkin, yang tak terbayangkan menjadi mudah digambarkan. Seorang terdidik yang sehari-harinya memegang buku harus mampu berdialog dengan petani yang memanggul cangkul dan bergelut dengan lumpur. Tantangannya justru bukan akses kepada pemilik jabatan, melainkan berempati pada mereka yang kesulitan mengikuti berubahnya zaman.

Jika berangkat adalah sebuah keberanian menjemput peluang, maka pulang adalah sebuah keberanian menerima keadaan. Di kereta dari ibukota menuju kampung halaman, di kanan-kiri jendela adalah lorong waktu yang berjalan mundur. Pusat perbelanjaan tergantikan sawah-sawah, gedung-gedung semakin rendah, tatap dingin pejalan kaki berubah jadi senyum ramah. Sepanjang perjalanan, kita akan menyadari di kampung halaman ada begitu luas bidang garapan. Sepanjang perjalanan itu pun, kita akan temukan banyak kawan.

Ketika pulang menjadi tujuan, sungguh segalanya menjadi terasa lebih ringan.



Gombong, 10 Juli 2018
Sebuah refleksi ingatan pascakampus

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...