Senin, 30 September 2019

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih sederhana jika dituangkan dalam tulisan. Tetapi semakin mempelajari isu, semakin mencoba melihat dari berbagai sudut pandang melalui diskusi-diskusi dengan kawan-kawan, semakin tidak layak rasanya jika semua dimampatkan dalam tulisan dua-tiga halaman.

Selagi saya gundah memikirkan angle tulisan sambil mencari hiburan, cuplikan drama Korea lawas Queen Seondeok muncul di halaman rekomendasi Youtube. Cuplikan itu mengingatkan saya pada pertarungan dua perempuan paling tangguh dan cerdas sejagat drama Korea: Deokman si Putri Mahkota dan Mishil sang ketua partai oposisi.

Keduanya sama-sama ingin menjadi ratu negeri Shilla dan memiliki cita-cita atas negerinya. Putri Deokman yang baru saja dengan cerdik mengklaim posisinya sebagai Putri Mahkota berhadapan dengan Mishil, yang sudah puluhan tahun berpengalaman menjadi negarawan dan politisi ulung Shilla. Pendekatan keduanya atas hubungan pemerintah dan rakyat jauh berbeda. Mishil mencemooh program kerja pertama Deokman sebagai Putri Mahkota yang hendak membangun sebuah observatorium untuk dikelola secara independen oleh ilmuwan dan bisa digunakan oleh masyarakat umum.

Menurut Mishil, memberikan pengetahuan tentang almanak pada masyarakat tidak akan ada gunanya. 
Pemerintahlah, melalui Pendeta Agung, yang bertugas memberi tahu masyarakat tentang informasi dari bintang-bintang. Pemerintah yang menentukan kapan waktu menanam, kapan waktu panen, melaut, dan sebagainya. Di sisi lain, masyarakat bergantung pada pemerintah untuk hal-hal yang mereka pikir berada di luar kendali mereka seperti mendatangkan hujan, mengobati penyakit, dan sebagainya. Masyarakat cukup tahu dan percaya bahwa pemerintah sedang bekerja keras untuk mereka. Masyarakat belum siap mengelola pengetahuan itu, kata Mishil. Dan ingat, mereka juga punya tendensi untuk menimbulkan kekacauan jika mereka diberi kesempatan. Mereka bisa dikendalikan dengan ilusi bahwa pemerintah (bahasa di drama: penguasa) adalah satu-satunya yang punya akses terhadap hukum dari langit.

Deokman berpikir lain. Masyarakat berhak atas informasi. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak mau tahu tentang mengapa hujan turun, tetapi dengan informasi mereka bisa menentukan sendiri kapan waktu menanam dan bagaimana memprediksi kekeringan tanpa bergantung pada upacara meminta hujan yang dilakukan pemerintah lewat doa-doa Pendeta Agung dan pelayan-pelayannya. Bahwa kerajaan adalah satu-satunya yang memiliki hak istimewa untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa di langit (divine right) adalah ilusi yang dipelihara untuk kepentingan politik, kata Deokman.


Pendeta Agung ini langsung mengingatkan saya pada elit-elit politik yang terlibat dalam perancangan undang-undang. Saya tidak bisa merangkum dengan baik peristiwa aksi mahasiswa dengan tujuh tuntutannya. Peserta aksi dan masyarakat yang mendukungnya memiliki alasan yang berbeda-beda, sesuai informasi yang berhasil masing-masing cerna. Saya kira itu adalah hal yang wajar, karena sepaham saya sebuah gerakan memang tidak dibangun hanya dari satu alasan.

Wajar juga jika tidak semua peserta aksi membaca RUU yang pasal-pasalnya mereka protes. Dan tidak adil jika menganggap bahwa jika sudah membaca RUU, maka kemungkinan tidak akan ikut aksi. Dan lebih tidak adil lagi, menganggap bahwa mereka yang tidak ikut aksi adalah sudah memahami RUU dan memutuskan untuk setuju.

Pemerintah, yang terdiri dari individu-individu yang menjalankan tupoksinya di dalam lembaga masing-masing, punya kewajiban untuk membuka akses informasi terkait peraturan. Akses informasi yang dimaksud tidak terbatas melalui diskusi-diskusi di kampus, tapi pada masyarakat yang berpotensi terdampak. Justru pihak-pihak lain yang memberi informasi tentang kajian RUU seperti Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengemasnya dengan bahasa sederhana dan menyebarluaskannya melalui media-media dan contoh penerapan hukumnya mendapat perhatian lebih besar daripada RUU itu sendiri.

Saya sepakat dengan pernyataan Haris Azhar yang dilontarkan pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC), bahwa permasalahan di Indonesia terkait hukum adalah pada komunikasi. Ada gap, jarak/selisih pengetahuan antara orang-orang yang terlibat dengan perancangan hukum, penegak hukum, dan masyarakat terdampak. Kasus-kasus yang dijadikan contoh oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kanal mereka, reformasikuhp.org, adalah bukti tidak berhasilnya penyampaian kodifikasi hukum ke tataran akar rumput. Sehingga natural saja munculnya reaksi balik dari hendak disahkannya RUU yang problematik.  Jangankan soal substansi, redaksionalnya saja bisa menimbulkan multitafsir. Dalam situasi dimana kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun, kegagalan pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan publik atas komunikasi mendorong terjadinya demonstrasi.

Kanal-kanal komunikasi tentang peraturan perundang-undangan harus dibuka di banyak tempat dan digunakan sebaik mungkin untuk mengedukasi masyarakat tentang hukum. Mungkin benar jika mengikuti kata Mishil bahwa masyarakat tidak peduli dengan pengetahuan-pengetahuan itu sepanjang pemerintah memenuhi kebutuhan mereka di dalam ilusi yang pemerintah ciptakan. Masyarakat mungkin merasa tidak perlu tahu bagaimana RUU dirumuskan, berapa orang yang hadir dalam perumusan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, atau bahkan kenapa rumusan itu diperlukan. Namun masyarakat perlu tahu kewajiban dan hak mereka di ranah hukum. Masyarakat perlu tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membela diri sendiri ketika suatu hari mereka diperkarakan di depan hukum atas hal-hal yang tidak mereka pahami. Apalagi jika sebagian besar masyarakat tidak punya cukup sumber daya untuk mengakses keadilan: menghubungi lembaga bantuan hukum atau menyewa jasa pengacara, misalnya.


Aksi mahasiswa membuka mata banyak orang tentang proses perumusan dan isi perundang-undangan di Indonesia. Saya salah satu dari sekian banyak orang yang terpaksa membaca teks panjang berisi ratusan pasal yang sebagian besarnya baru saya ketahui. Misalnya ada pasal yang mengatur tentang kerumuman dan ancaman pidana jika tidak membubarkan diri dalam tiga kali peringatan. Makanya ketika hendak mengadakan acara ramai-ramai apapun harus minta izin polisi setempat, selain untuk menertibkan juga agar tidak kena pasal. Demikian juga pasal tentang gelandangan dan dukun santet yang menjadi sorotan banyak orang.

Semakin penting juga bagi masyarakat untuk tidak asal menyoblos kertas suara di pemilihan umum. Yang penting bukan hanya memilih presiden saja, tapi mengenal calon perwakilan di DPR dan DPD berikut kepentingan yang dibawanya sama krusialnya. Saya sendiri sudah lupa di kertas suara DPR pada pemilu 2014 pilih siapa dan bertanya-tanya apakah ia juga salah satu yang terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan kontroversial yang didemo sekarang. Demikian juga pada Pemilu 2019, saya menyesal sudah memilih asal-asalan.

Bahwa orang-orang yang kita pilih untuk mewakili kita di pemerintahan akan berjuang demi semata-mata kepentingan kita adalah sebuah ilusi. Demikian juga ilusi bahwa pembangunan infrastruktur oleh negara adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Kebakaran hutan dan lahan serta konflik di Papua buktinya. Ilusi dibangun atas kepercayaan dan ketidaktahuan. Ketika kepercayaan terhadap wakil-wakil rakyat merapuh, jalanan adalah tempat lampu merah dinyalakan. Aksi mahasiswa adalah peluit peringatan. Kran-kran pengetahuan dibuka ke jalan-jalan.

Mishil bilang, you can’t reign without illusion. Pengetahuan yang diberikan pada rakyat yang tidak siap hanya akan menimbulkan kekacauan. Tapi mereka akan belajar, kata Deokman. Saya belajar.  Democracy is indeed noisy. And the march is never for nothing.

Minggu, 08 September 2019

Pemanfaatan Ruang Publik di Wisata Berbasis Wilayah: Pengalaman Melancong di Seoul, Korea Selatan

Abaikan judul artikel yang kedengarannya cukup berat. Sebetulnya saya hanya mau bercerita sedikit tentang pengalaman liburan di Seoul, ibukota Korea Selatan pada awal Maret lalu yang selalu tertunda. Pasalnya waktu menulis cerita perjalanan, saya kesusahan merangkup sembilan hari petualangan ke dalam satu artikel. Alhasil saya mencoba memecahnya menjadi beberapa tulisan. Salah satunya artikel ini yang saya tulis setelah mengikuti diskusi pariwisata di Roemah Martha Tilaar tentang sudut pandang konsumen terhadap wisata Kebumen.

Saya teringat pengalaman menjadi konsumen di Seoul, sebuah kota yang pariwisatanya sudah dikelola dengan baik dan menjadi salah satu pilar ekonomi nasional. Rasanya agak ajaib juga. Tanpa pemandu, tanpa tujuan yang jelas (itinerary) yang telah disusun sebelumnya, saya dan dua teman saya bisa sangat menikmati seisi kotanya. Saya ingin secara bertahap berbagi cerita tentang pengalaman menjadi turis (boleh kan, sekali-kali lah). Di kesempatan pertama ini, tentang bagaimana kota Seoul mengelola “ruang”. Seringkali ketika berwisata, kita fokus pada objek wisata yang akan dikunjungi, sehingga jika berwisata mandiri (tanpa pemandu atau agen travel wisata) di luar objek wisata, kita (khususnya saya) merasa bingung harus kemana. Di tulisan ini secuplik kisah tentang Seoul yang berhasil membuat pengunjung-pengunjungnya tak perlu merasa seperti anak hilang karena tidak punya tempat khusus yang dituju. Siapa tau bisa jadi inspirasi untuk mengolah daerah sendiri, ya kan, hehehe.

Kombinasi anak start-up, anak government, dan anak yayasan berpetualang di negeri orang

1. Transportasi publik yang murah dan terintegrasi

Bagi anak muda yang (masih) misqueen kaya kami ini, liburan dengan ikut paket tur lengkap dengan pemandu dan fasilitas transportasi jelas di luar pilihan. Mahal, Bu. Ngeteng alias backpacker adalah satu-satunya cara yang memungkinkan untuk jalan-jalan, baik di dalam maupun luar negeri. Nah di Seoul, kami tak perlu khawatir. Ada dua transportasi utama yang digunakan warga Seoul untuk wara-wiri di dalam kota: subway dan bus. Subway adalah kereta listrik yang punya jaringan rumit di bawah tanah yang menghubungkan stasiun-stasiun yang ada hampir di (mungkin istilah di Indonesia) setiap persimpangan jalan besar. Misalnya di SGB Gombong, perempatan Secata, Jl. Potongan dekat pasar, pertigaan Sangkal Putung, dll yang jaraknya masih sangat berdekatan (kira-kira jarak 1-2 menit perjalanan kereta). Stasiun subway bisa terdiri dari banyak pintu dan beberapa lantai ke bawah tanah, tergantung banyaknya lintasan yang dilewati. Di Seoul Station yang dilewati semua jalur subway, misalnya, kalau tidak salah sampai lima atau enam lantai ke bawah tanah. Jaringan subway di Seoul adalah jaringan subway paling rumit ke tiga setelah London dan New York.


Gwangheungchang Subway Station


Eits jangan takut hilang. Kami hanya perlu install Naver Maps dan Kakao Metro yang lengkap memberikan informasi tentang transportasi umum di Seoul. Kedua aplikasi tersebut bisa memberitahu kami berada di titik mana dan harus naik apa saja (termasuk berapa stasiun/halte yang harus dilewati) untuk ke mana.


Saya paling suka naik bus. Bisa lihat-lihat pemandangan sekitar dan mengamati orang-orang di pinggir jalan (bukan intel kok)


Tak jauh dari stasiun subway (di permukaan tanah), pasti ada halte bus. Nah halte bus ini punya papan informasi jalur bus berikut petunjuk transit jika ingin pindah ke jalur lain. Papan informasinya juga mencantumkan waktu kedatangan bus dan nomor busnya. Bagian dalamnya mirip TransJakarta. Tak perlu takut salah naik karena meskipun orang Korea banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris dan kesulitan baca alfabet, semua informasi umum di Seoul ditulis bilingual Korea dan Inggris. Biayanya transportasinya juga murah. Subway kalau tidak salah ingat 1.500 Won dan bus antara 800 sampai 1.200 Won tergantung jaraknya. Bayarnya pakai T-Money (semacam e-money card) untuk digunakan di semua alat transportasi termasuk taksi. Kita tinggal top-up di minimarket atau di ATM yang ada di hampir setiap gang. Ramah turis (misqueen) banget!


Rest area sekaligus photobooth di salah satu pojok stasiun bawah tanah (subway)


2. Ruang terbuka di tengah kota

Ini yang paling bikin betah di Seoul meski kocek kami cekak. Objek wisata di Seoul ada banyak, mulai dari istana-istana yang dibangun di periode Shilla sampai Joseon (yang suka drama saeguk pasti tau dong), museum, Namsan Tower (Monasnya orang Korea), dan lain-lain. Beberapa tempat tiket masuknya tidak murah, hiks. Karena isi dompet minim, kami harus puas dengan rencana jalan-jalan sebatas keliling kota. Tapi ternyata sepanjang jalan pun sudah sangat layak disebut wisata! Trotoarnya cantik-cantik, rapi, dan lebar ramah pejalan kaki. Ada taman-taman kota seperti Haneul Park (Sky Park) yang biasa jadi tempat hiking ringan untuk manula dan keluarga. Di musim semi, Haneul Park sangat indah dengan banyak bunga-bunga warna-warni di puncak bukitnya. Sayang kami ke sana saat perbatasan akhir musim dingin dengan awal musim semi. Tidak berkesempatan melihat salju dan bahkan dedaunan pun belum trubus, jadi hanya dapat dinginnya thok (maklum, tiket pesawatnya kan modal promo hehe).


Duduk-duduk di Haneul Park setelah naik ratusan tangga untuk ke puncak bukit

Di sepanjang pinggiran Sungai Han yang membelah Kota Seoul, terdapat banyak spot untuk olahraga. Tahu kan, seperti alat-alat outbond yang sering kita lihat di halaman Taman Kanak-Kanak. Perosotan, jungkat-jungkit, tangga rintangan, alat aerobik juga ada. Tapi bedanya ini untuk orang dewasa (yang anak-anak juga ada sih). Semua orang boleh pakai dan ada kran air minum juga di dekatnya. Di beberapa titik ada minimarket yang bisa kita mampir untuk sekadar beli cup ramyeon lalu makan sambil duduk-duduk di tangga pinggir sungai sampai bosan. Kami sempat menilik Chonggyecheon Stream, yaitu sungai kecil di pusat kota yang katanya adalah sungai cikal-bakal kota Seoul jaman dulu. Di musim panas, masyarakat membuat festival lampion di tepi aliran sungai yang super jernih dan jadi atraksi wisata juga. Meski tanpa itinerary yang jelas, akhirnya kami bebas saja mengikuti langkah kaki jalan keliling kota tanpa merasa bingung harus melakukan apa.


Di musim semi dan musim gugur, Haneul Park ramai dikunjungi masyarakat lokal yang jogging atau sekedar jalan-jalan di antara kebun bunga. Banyak yang pakai kursi roda juga. Seoul sangat ramah untuk difabel dan manula.

3. Pameran seni dimana-mana

Di atas sudah disinggung tentang kami yang tidak banyak persiapan dalam berwisata (karena lebih sibuk open jastip sih, wkwk). Tapi tanpa perlu ke museum atau tempat-tempat khusus yang tiketnya mahal pun, kami sudah bisa menikmati seni budaya Seoul. Tadi sudah diceritakan tentang transportasi umum di Seoul. Di beberapa titik utama stasiun subway, jarak antar pintu keluar yang dituju bisa jadi sangat jauh (bisa sampai 1 km di stasiun yang melayani banyak jalur). Kebayang nggak sih bosannya seperti apa menelusuri lorong-lorong menuju pintu keluar?


Pemanfaatan tembok lorong stasiun bawah tanah untuk pameran seni

Mengatasi hal ini, lorong-lorong itu disulap menjadi galeri seni yang memajang berbagai hal. Ada lorong yang temanya lukisan seniman-seniman lokal, ada yang foto-foto pembangunan Seoul yang bersejarah, ada narasi tentang peristiwa-peristiwa penting sejak zaman Joseon hingga Perang Korea, dan di sejumlah titik juga dijadikan photobooth. Ketika memperhatikan dengan seksama, kami tahu lebih banyak tentang Korea Selatan melalui instalasi-instalasi semacam ini yang tersebar di berbagai tempat umum. Papan-papan iklan juga ada dimana-mana. Kebanyakan tulisannya pakai hangul jadi kami tidak bisa baca. Tapi jangan salah desain iklannya unik-unik dan (tentu saja ini yang kami lihat) model iklannya oppa-oppa Korea ganteng yang sering kami lihat di drama-drama. Kyaa, ngga pernah sebahagia ini lihat iklan! >.<


Kapan lagi bisa foto sama Chanyeol ~~


4. Optimalisasi pusat informasi turis

Pernah di salah satu hari kami nyasar karena salah ambil pintu keluar stasiun subway, tepatnya di daerah Sinchon, dekat Ewha Woman University. Seharusnya Exit 1 tapi kami keluar di Exit 2 atau 3 yang jaraknya lumayan, harus menyeberang jalan besar yang ramai dan zebra crossnya juga jauh. Karena baru pertama kali, begitu kami keluar di Exit yang salah, petunjuk di Naver Maps langsung berubah karena deteksi otomatis. Nah bingung dong yang tadinya hanya perlu jalan 100 meter jadi empat sampai lima kali lipatnya. Untunglah kami menemukan Touris Center di dekat stasiun. Unnie (mbak-mbak) yang jaga di sana seolah radarnya kenceng banget sampai bisa mendeteksi kami yang sedang bingung. Dengan Bahasa Inggris yang logatnya Korea banget, si Unnie ini menuntun kami ke kantornya yang kecil tapi super cozy. Di sepanjang sisi dinding kantor ada pajangan pigura-pigura yang bercerita tentang peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Sinchon, bersebelahan dengan rak panjang berisi barisan brosur wisata dari semua distrik di Korea Selatan. Setiap distrik menyediakan setidaknya lima bahasa untuk masing-masing brosur: Korea, Inggris, China, Jepang, Arab, bahkan ada juga beberapa yang tersedia dalam bahasa Perancis, Jerman, dan Indonesia!


Pojokan ruang tamu Sinchon Tourist Center

Pusat informasi turis tidak hanya di pusat atraksi wisata yang banyak didatangi seperti Myeongdong, tetapi juga tersebar di banyak tempat yang lebih kecil. Persamaannya adalah letaknya selalu dekat dengan stasiun subway. Fasilitas yang biasa ditemukan adalah ratusan brosur dan peta detail area tempat kantor pusat informasi berada, rest area, toilet, dan beberapa menyediakan prayer room (untuk semua kepercayaan, dan tidak ada mukena atau sajadah apalagi sarung). Sambil menunggu giliran shalat (yang wudhunya harus di toilet stasiun), kami dipersilakan duduk di kursi-kursi di dalam kantor. Di atas meja di depan kami, tersedia beberapa tumpuk benda yang awalnya saya kira semacam snack karena bungkusnya lucu banget. Eh ternyata tisu basah. Unnie penjaga kantor menjelaskan kepada kami seputar wilayah Sinchon dengan bantuan brosur Distrik Sinchon. Setelahnya kami pamitan dan si Unnie memberi banyak tisu basah. Untuk suvenir, begitu katanya. Nggak apa nggak ditawarin minum tapi dapat sangu tisu basah buat oleh-oleh Emak di rumah, batinku.


Barisan kedai lukis on the spot di pelataran Namsan Tower. Per orang/wajah harga jasa lukisnya sekitar 5.000 Won

5. Museum dan atraksi wisata gratis tis

Sepanjang perjalanan kami menggelandang (eh jalan-jalan), selain kebutuhan konsumsi dan transportasi, kami hanya mengeluarkan uang untuk sewa hanbok (baju tradisional Korea) seharga 10.000 Won untuk sewa sejam. Perlu diketahui, jika kita masuk ke Istana Gyeongbukgung dengan memakai hanbok, tiket masuknya gratis. Tapi kalau tidak pakai hanbok bayar tiket masuk 3.000 Won. Oh iya 1 Won saat kami ke sana nilainya sekitar 12 sampai 13 Rupiah. Hitung sendiri ya perkiraan harga dalam rupiahnya. Selain itu, kami hanya mengunjungi objek wisata yang gratisan. Eh jangan salah, banyak banget tempat wisata yang gratisan di Seoul, terutama museum-museum dan tempat wisata yang dikelola pemerintah kota dan negara.


Pakai hanbok free entry ke Istana Gyeongbuk. Tersedia banyak penyewaan kostum tradisional di sekitar lokasi istana. Harga sewa 10.000 sampai 20.000 Won per jam


Kami berkunjung ke Jogyesa Temple. Pas sekali saat itu bertepatan dengan (di Indonesia) Hari Raya Nyepi. Banyak sekali orang datang ke kuil yang bangunannya khas bangunan Korea (mirip seperti Jepang sih) dengan dipasangi banyak sekali lampion kertas bertuliskan aksara China. Karena takut mengganggu orang berdoa, kami hanya sebantar di sana dan mlipir ke seberang jalan. Eh ternyata ada museum di bagian basement sebuah gedung tinggi. Iseng-iseng kami ke sana, bertanya ke petugas yang pakai jas berdasi dan ganteng pula, “Pak, ini beneran museum? Bisa beli tiket dimana?” pake Inggris. Agak lama sampai ahjusshi (Bapak/Om)nya paham kami nanya apa, sampai akhirnya dia menggeleng-geleng dan bilang “Come in, come in, it’s free.” Bagian dalamnya, waah, daebak! Kami berjalan di atas lapisan kaca dan di bawah kami tampak artefak pondasi bangunan jadul yang telah direkonstruksi. Dengan konten yang sekeren ini, tiket masuknya gratisan euy. Ada yang mau berkunjung aja udah seneng, gitu kali ya pikir mereka. Wkwk. Enggak deng. Pemerintah Kota Seoul memang sangat perhatian ke bidang pariwisata sehingga mereka membangun banyak tempat umum yang bisa dikunjungi pelancong meskipun hanya sekedar lewat.



Ewha Woman University yang kampusnya super cantik dengan gedung-gedung bergaya Eropa. Bagian depan univ ada gedung khusus untuk temporary art exhibition

Museum-museum yang bisa dikunjungi gratisan dan sudah kami kunjungi adalah  Gongpyeong Historical Site (yang saya ceritakan di atas), Museum Sejarah Nasional di halaman Istana Gyeongbukgung, Museum di Istana Deoksugung, Museum War Memorial, SMTown Museum (bagian area pamer depan gratis, tapi ke area pameran di dalam bayar cukup mahal), dan  Temporary Exhibition Museum di Ewha Woman University. Di Namsan Tower katanya ada museum juga di bagian observatorium tempat kita bisa naik cable car, tapi kami tidak ke sana karena tiketnya lumayan, 9.000 Won hanya naik sampai ke observatorium saja, belum naik cable car. Jadi kami nrimo hanya duduk-duduk di pelataran Namsan Tower saja. Itu juga sudah bagus kok, sudah bisa lihat pemandangan Kota Seoul dari atas bukit. Kejutannya, ternyata setiap jam 10.00 waktu setempat, di halaman Namsan Tower selalu ada pertunjukan.

Kali ini kami kebetulan dapat atraksi pedang panjang, tarian pedang, dan parodi lawak tradisional (tolong jangan tanya bahasa lokalnya apa, saya lupa). Yang menari pedang ternyata laki-laki pakai pakaian tradisional Korea untuk perempuan (semacam lengger cowok, mungkin?). Gemulai banget tapiii, yaampun cantik! Kami kira setelahnya akan ada semacam topi atau kotak amal, eh, kotak sumbangan yang beredar sebagai ganti menonton penampilan mereka. Tapi ternyata sampai akhir mereka bubar ya bubar saja. Gratis tis tis, untuk tontonan sebagus dan se-menghibur itu. Ah maafkan kami yang terlanjur suuzhon...

Pertunjukan tari pedang tradisional oleh komunitas/klub seni lokal yang difasilitasi pengelola Namsan Tower. Ada pertunjukan setiap harinya pukul 10.00 dan 15.00 waktu setempat


Selama seminggu kami hanya bolak-balik saja di Seoul sambil belanja titipan orang. Kalau ada teman yang tanya habis berapa jalan-jalan ke Korea, saya jawabnya agak bingung. Pasalnya liburan kami bukan liburan biasa. Kami hanya sekedar menclok di satu tempat lalu eksplor wilayah sekitarnya. Kalau gratis kami masuk, kalau bayar, mikir dulu, lalu seringnya skip pergi ke tempat lain. Kami hanya ingin lihat Seoul aslinya seperti apa. Dan ternyata mungkin beginilah rasanya liburan ke sebuah tempat untuk berwisata: ingin merasakan suasana dan denyut masyarakat setempat: berdesakan di subway, mampir ke pasar tradisional (yang ini saya tidak merasakan, hiks), gonta-ganti naik bus, nongkrong di tepi sungai, duduk-duduk di taman, dan sebagainya. Tanpa harus secara khusus ke lokasi tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu, tanpa merasa cemas karena tidak membuat itinerary yang layak.


Bukchon Hanok Village, desa wisata yang menampilkan rumah-rumah tradisional Korea. Gratis, bebas keluar-masuk, tetapi ada sejumlah aturan untuk pengunjung: dilarang bersuara keras, berlarian, masuk/membuka pintu rumah penduduk.


Banyaknya ruang publik yang bisa diakses semua orang, informasi yang ramah pelancong, fasilitas umum yang tersedia di seantero kota, membuat kami benar-benar seperti menjadi bagian dari kota tersebut meskipun hanya beberapa hari saja. Seoul bisa kami rasakan di mana saja. Kami tidak banyak spending untuk objek wisata, tapi dana kami alihkan untuk konsumsi, beli banyak oleh-oleh, dan membuka jasa titip produk-produk khas yang hanya ada di Korea (jadi sama saja kan, intinya kami tetap banyak spending buat jajan). Dan jika ditanya apakah ingin kembali ke sana? Dengan lantang kami bisa menjawab, YA!




Annisa Qurani

Minggu, 04 Agustus 2019

Objektivikasi Islam dalam Kemajemukan Umat

Review bab-bab awal buku “Kekerasan dan Identitas” dan “Identitas Politik Umat Islam”


Abad 17 dan 18 menjadi era munculnya sekulerisme yang memandang agama sebagai masalah individu dan seharusnya dipisahkan dari persoalan negara. Paham sekulerisme lahir dari pengalaman sejarah Barat yang menemukan ketidaksesuaian antara doktrin agama yang diatur gereja-gereja Eropa dengan penemuan-penemuan sains dan perkembangan logika masyarakatnya. Doktrin agama dianggap usang, tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan justru menghambat ilmu pengetahuan. Konflik bermunculan bersamaan menguatnya dukungan dan tuntutan atas penghargaan hak-hak individu atas kebebasan yang sebelumnya dibatasi oleh otoritas keagamaan yang kuat pengaruhnya dalam tata pemerintahan. Kritik-kritik yang dilontarkan pendukung sekulerisme memaksa otoritas keagamaan untuk menyerahkan wewenang mereka di ruang publik dan mundur ke ruang-ruang privat yang mengurusi sebatas individu dan komunitas kecil.

Sekulerisme kemudian menyebar seiring kolonialisme dan berkembang di negara-negara Timur dan dunia Islam. Penekanan sekulerisme pada pemisahan agama dari ruang publik menjadi ancaman nyata bagi agama manapun, khususnya Kristen, Katholik, dan Islam yang dalam sejarah menggunakan kekuasaan negara untuk mengukuhkan doktrin keagamaan. Dalam perjalanannya, Kristen dan Katholik telah perlahan mundur dan menyisakan Islam sebagai agama yang masih memperjuangkan otoritasnya di ruang publik, atau pada konteks tulisan ini adalah urusan politik. Perdebatannya dalam Islam sendiri pun cukup keras sampai memunculkan istilah-istilah pengelompokan fundamentalis, moderat, dan liberal.

Islam memang tidak mengenal sekulerisme karena sejak awal ajarannya melibatkan kehidupan sosial berjamaah (berkelompok) dan membutuhkan pengorganisasian dalam pelaksanaan muamalah (hubungan antarmanusia). Misalnya dalam melaksanakan kewajiban zakat yang, idealnya, memerlukan alat-alat negara untuk mengelolanya (mengidentifikasi warga mana yang sudah terkena wajib zakat, mana yang berhak menerima zakat, pengumpulan dan distribusi zakat, dan sebagainya). Islam memiliki pedoman dalam mengatur hubungan antarmanusia dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik. Karenanya disebut ajaran Islam sebagai ajaran yang kaffah (menyeluruh) dan membutuhkan kehadiran negara sebagai otoritas kekuasaan yang diakui untuk menjalankan ajaran-ajarannya.

Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kaffah menimbulkan celah bagi sekulerisme untuk berkembang. Sangat wajar kiranya jika muncul kekhawatiran atas dominasi Islam baik secara jumlah maupun pengaruh dalam sistem kenegaraan di wilayah yang masyarakatnya plural, heterogen, baik dari segi agama, etnis, budaya, dan sistem kemasyarakatan. Tantangan bagi kaum muslim sendiri adalah menanggapi kekhawatiran tersebut dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana menjadi plural tanpa menjadi sekuler?”

Kemajemukan Umat

Tidak ada identitas tunggal, demikian kata Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas. Secara pribadi, kata Sen, kita semua terkait dengan berbagai macam identitas dalam konteksnya yang berlainan dalam hidup kita masing-masing, terkait dengan latar belakang, lingkungan pertemanan, atau kegiatan sosial kita. Seseorang bisa saja pada saat yang sama adalah, misalnya, seorang warga Indonesia, seorang muslim, seorang pengacara, seorang mahasiswa doktoral, seorang ibu tunggal, seorang anggota komunitas sastra, seorang perempuan berbadan besar yang memakai ukuran XXXL, seorang keturunan Jawa-Bugis, seorang pengidap asma, seorang aktivis pembela hak-hak LGBT, seorang yang alregi debu, dan seorang vegetarian.

Identitas-identitas melekat sebagai ciri bersamaan dengan terbentuknya afiliasi seseorang terhadap suatu kelompok. Masing-masing identitas saling bertukar posisi di tempat yang lebih dominan bergantung pada situasi yang dihadapi orang tersebut, baik disadari atau tidak. Di depan hakim, identitasnya sebagai pengacara akan lebih dominan dibandingkan identitas-identitas lain tanpa menghilangkan pengaruhnya sama sekali. Saat mengambil rapor anaknya di sekolah ia adalah seorang ibu, dan ketika berada di restoran ada bagian identitasnya yang menonjol sebagai seorang vegetarian.

Konteks tersebut berubah-ubah dan setiap identitas yang melekat pada afiliasi selalu memiliki kepentingan yang perlu diakomodasi. Kepentingan inilah yang bisa jadi beririsan dengan identitas lain. Identitas yang sifatnya minor bisa menjadi dominan dan mendorong kohesi homogen jika terdapat hal yang diperjuangkan atau muncul tujuan bersama. Sehari-hari, orang dengan ukuran baju XXXL tidak terhubung satu sama lain. Namun ketika suatu waktu terdapat kebijakan resmi dinaikannya ongkos angkutan umum dan tiket kereta bagi orang-orang berbadan besar, solidaritas antar orang-orang yang merasa berbadan besar akan muncul dan menguat karena ada kepentingan bersama.

Populasi umat Islam sendiri semakin majemuk dalam berbagai bentuk baik vertikal maupun horisontal. Mobilisasi sosial terus berlangsung dan mengubah berbagai macam keadaan yang harus diakomodasi oleh kebijakan. Misalnya meskipun secara angka kesejahteraan meningkat, tetapi ada perubahan dalam mobilisasi sosial. Ada petani-petani muslim yang tidak lagi memiliki lahan, kelas menengah muslim meningkat, pejabat-pejabat muslim naik pangkat ke tingkat pengambil keputusan, ada umat muslim Jawa yang menikah dengan umat muslim Bali dan membangun keluarga dengan etnis berlainan, ada umat muslim yang menjadi dokter, masinis, polisi, tentara, guru, dan sebagainya. Umat muslim ada yang di atas dan ada yang di bawah secara ekonomi dan afiliasi horisontal pun berkembang. Semua bagian umat tersebut berhak atas pelayanan publik dan pelayanan politik yang layak.

Melihat banyaknya afiliasi yang dimiliki individu, ketika isu agama digunakan dalam politik merebak, sangat wajar jika dalam masyarakat reaksinya beragam, bahkan dari kelompok pemeluk agama yang sama. Keragaman reaksi menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat apalagi jika sampai timbul dikotomi dalam keberpihakan politik. Ketika rasa tidak nyaman merebak sampai menimbulkan konflik, agama yang dianggap sebagai sumbernya didorong untuk menyingkir dari dunia politik. 

Objektivikasi Islam

Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa di era demokrasi, Islam membutuhkan “jurus baru” untuk bisa menjalankan ajaran-ajarannya secara menyeluruh. Jurus baru tersebut adalah mengubah pandangan Islam yang ideologis menjadi ilmu, yang sifatnya subjektif menjadi objektif. Ideologi-ideologi menurut Kuntowijoyo terlalu kaku dalam menghadapi kenyataan (realitas objektif). Marhaenisme mengalami kesulitan dalam menghadapi tumbuhnya kelas menengah dan kelas atas. Komunisme tidak mampu menanggulangi ambruknya sistem ekonomi komando. Islam pun terus-menerus ditantang oleh kenyataan atas kemajemukan umat.

Umat yang majemuk beserta masing-masing afiliasinya menciptakan kepentingan yang berbeda sehingga perlu diakomodasi dengan cara yang berbeda pula.  Umat yang berada di golongan ekonomi menengah ke atas dan mendapatkan kesempatan atas pendidikan yang tinggi barangkali bisa dirangkul dengan pendekatan isu-isu yang substansial (politics of the abstract) seperti hukum dan akhlak. Namun bagi kelompok umat yang berada di bawah akan lebih tertarik pada hal-hal yang konkret (politics of the concretes) seperti isu pembangunan.

Hal-hal yang konkret inilah yang menjadi common interest tidak hanya di dalam umat Islam, tetapi juga nonmuslim, karena lebih bersifat objektif. Kemiskinan, misalnya, bagi golongan manapun adalah sebuah permasalahan. Demikian juga banjir, kemacetan, akses pendidikan, dan hal-hal lain yang langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Islam harus bisa menangkap kebutuhan-kebutuhan bersama (common needs) yang timbul dari permasalahan dengan menghadirkan solusi. Namun sayangnya Islam selalu ketinggalan dalam menangani masalah golongan bawah.

Berkaitan dengan realitas objektif inilah, keberadaan Islam sebagai ilmu lebih dibutuhkan daripada keberadaan Islam sebagai ideologi. Islam sebagai ilmu artinya menggunakan pendekatan yang objektif, melihat kenyataan tidak sebagai kebenaran, melainkan kenyataan itu sendiri. Apa yang terlihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh kulit, dan dicium oleh hidung, itulah kenyataan dan terpisah dari asumsi individu pemilik indera. Kemiskinan dan banjir dalam cara pandang subjektif bisa jadi merupakan ujian kesabaran namun itu adalah pandangan pada level individu. Pada level umat, permasalahan kolektif kemiskinan dan banjir adalah sebuah realitas objektif yang harus diselesaikan dengan segera.

Pergeseran Islam dari ideologi ke ilmu mewajibkan perubahan cara pandang dari subjektif ke objektif. Pandangan subjektif hanya berlaku di level individu dan komunitas yang homogen. Untuk bisa mengakomodasi hak-hak publik dan hak politik masyarakat yang heterogen, pandangan objektif perlu diterapkan secara kolektif. Pergeseran cara pandang subjektif ke objektif itu berupa menghilangkan egosentrisme umat, pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme agama.

Pluralisme agama adalah yang paling mudah dirumuskan namun paling sulit dilakukan, demikian Kuntowijoyo menulis dalam bukunya. Pluralisme agama tidak berarti mengakui kebenaran dari semua agama. Ketika kebenaran semua agama diakui, mengapa harus memilih salah satu? Ketika semua agama adalah benar, apakah berarti yang tidak beragama itu salah? Pandangan liberal semacam itu memicu perdebatan yang tidak akan ada habisnya dan sangat tidak produktif. Menurut Kuntowijoyo, kebenaran suatu agama adalah realitas subjektif masing-masing pemeluknya dan tidak bergantung pada pengakuan atau pandangan subjektif dari pemeluk agama lain untuk bisa berfungsi.

Pluralisme yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengakuan secara objektif bahwa setiap dianutnya suatu agama membawa konsekuensi lahirnya kepentingan. Dan kepentingan tersebut dalam konteks warga negara perlu diakomodasi dan dilindungi. Ketika negara memiliki lembaga khusus untuk mengurusi persoalan keagamaan, kita harus melihatnya sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan warga yang membutuhkan negara sebagai alat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam ajarannya. Sekulerisme dalam masyarakat yang beragama justru mencabut hak-hak atas pelayanan negara.

Dengan cara pandang yang objektif dan mengkaji Islam sebagai ilmu, Islam tidak perlu mundur ke ranah privat. Konsekuensinya ketika enggan beranjak dari ruang publik adalah kemauan dan kemampuan umat Islam untuk secara objektif mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang beragam di masyarakat yang plural dengan banyaknya afiliasi-afiliasi yang berbeda. Umat Islam harus membuktikan dan menunjukkan bahwa ajarannya bukanlah ancaman. Langkah pertama tentu saja memahami dan menerima fakta bahwa umat Islam tidaklah hidup sendirian.


Gombong, 5 Agustus 2019

Identitas Buku:

1.     Kekerasan dan Identitas
Amartya Sen, 2006
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Arif Susanto
Edisi kedua, Februari 2016
Penerbit Marjin Kiri



2.     Identitas Politik Umat Islam
Prof. Dr. Kuntowijoyo
Catakan pertama Maret 2018
Penerbit DIVAPress


Tahapan Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Komunitas

(Resume oleh Annisa Qurani, Roemah Martha Tilaar)


"Pengembangan komunitas (community development) adalah aksi kolektif untuk sebuah hasil (result) dan dampak (output) berupa keberdayaan dari sebuah komunitas."

Ada dua unsur penting yang ditekankan pada kalimat di atas. Yang pertama adalah aksi kolekif, artinya menekankan pada kelompok, bukan bersifat individual. Yang kedua adalah berdaya, sebuah kondisi dimana komunitas memahami kondisinya sendiri, mampu membaca masalah, dan mencapai konsensus tentang permasalahan atau kebutuhan bersama.

Penekanan tujuan terbentuknya kemandirian kelompok didorong oleh asumsi bahwa dalam kehidupan sosial atau ruang publik tidak bisa diselesaikan di level individu. Pembentukan kemandirian penting agar kelompok yang bersangkutan tidak bergantung pada pihak lain di luar kelompok untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Berangkat dari asumsi tersebut, prinsip paling penting dalam kegiatan atau program pengembangan komunitas adalah keyakinan bahwa kelompok atau masyarakat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Tugas pelaku program pengembangan komunitas atau pemberdayaan masyarakat yang utama adalah membantu masyarakat untuk mengenali kondisinya sendiri, baik dari segi permasalahan maupun potensi-potensi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pendekatan Partisipatif

Dengan percaya bahwa masyarakat mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri, tugas pelaku pengembangan komunitas secara otomatis sebenarnya dibatasi hanya sampai pada proses fasilitasi. Menjadi fasilitator berarti menjadi pihak yang membantu proses penyadaran masyarakat atas lingkungan di sekitarnya sampai teridentifikasinya kebutuhan bersama (common needs) dan inisiatif untuk melakukan aksi. Dalam menjalankan tugasnya, fasilitator perlu terlebih dulu memahami pendekatan partisipatif.

Secara garis besar partisipatif bisa dipahami sebagai tiga hal: sebagai pendekatan, metode, dan teknik. Partisipatif sebagai pendekatan bersifat konseptual atau prinsipal dan harus menjadi cara berpikir (mindset) fasilitator bahkan sebelum ia turun ke lapangan. Pendekatan partisipatif menjadi oposisi bagi pendekatan top-down yang seringkali tidak bertahan lama dan sifatnya sentralistik karena cenderung tidak melibatkan target program dalam pengambilan keputusan. Common problems dan common needs dinilai dari pandangan luar atau atas sehingga kerap tidak sesuai dengan kondisi nyata yang berlangsung di dalam kelompok masyarakat. Sebaliknya, pendekatan partisipatif mendorong pendekatan yang sifatnya bottom-up, dari bawah ke atas. Masyarakat didorong untuk mengidentifikasi sendiri permasalahan dan kebutuhan mereka, baru kemudian menyampaikan aspirasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Metode partisipatif dipahami sebagai tahapan atau prosedur yang harus dilakukan dalam melaksanakan pendekatan partisipatif. Metode ini kemudian diturunkan ke dalam teknik partisipatif yang merupakan bentuk implementasi di lapangan. Teknik partisipatif meliputi tools yang digunakan untuk mendapatkan hasil (result) dari pendekatan partisipatif.

Pendekatan partisipatif didalamnya ada proses-proses untuk (1) mengorganisasi, (2) mendampingi, (3) menguatkan, dan (4) memberdayakan. Keempatnya sangat penting untuk dilakukan karena dalam pendekatan partisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Masyarakat sendirilah yang harus bergerak mengubah keadaan, bukan pihak lain. Agar kemandirian itu dapat terwujud, harus ada redisribution of power, pembagian kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya dibagi di dalam pihak-pihak elit dalam masyarakat seperti pejabat, tokoh politik, tokoh agama, maupun ketua-ketua organisasi. Kekuasaan harus dibagikan termasuk kepada kelompok-kelompok marginal dengan cara melibatkan mereka, mendorong keaktifan mereka di ruang-ruang publik tempat terbentuknya konsensus. Konsekuensi adanya redistribution of power adalah perlunya peningkatan kapasitas sampai pada level mikro agar pihak-pihak yang terlibat memiliki kemampuan yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kekuasaan yang dimiliki.

Metode RRA dalam Pendekatan Partisipatif

RRA atau Rapid Rural Appraisal adalah metode penelitian atau penilaian desa secara cepat dan tepat. Observasi yang dilakukan menggunakan kelima panca indera. Fasilitator harus menekankan ketidaktahuan optimal dalam melakukan penelitian, artinya datang ke lokasi dengan tangan kosong dan tanpa asumsi apapun. Penelitian dimulai dengan mengenali lingkungan target, misalnya dengan obrolan-obrolan santai di warung bersama penjual dan pembeli atau di tempat-tempat berkumpul lain. Informasi yang perlu digali fasilitator dalam tahapan ini didapatkan melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar 5W + 1H.

Tujuan utama RRA adalah mendapatkan informasi mengenai target program yang meliputi:
  •        Sumber Daya Alam (SDA)
  • 2.       Sumber Daya Manusia (SDM)
  • 3.       Sumber Daya Finansial (SDF)
  • 4.       Sumber Daya Sosial, (SDS) dan
  • 5.       Sumber Daya Buatan atau Infrastruktur (SDB/I)

Kelima informasi tersebut didapatkan dari observasi yang telah disebutkan di atas dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan 5W + 1H. Namun sebenarnya observasi dasar itu juga bertujuan untuk pendekatan awal kepada masyarakat target. Fasilitator datang sebagai dirinya sendiri (bukan utusan pemerintah, lembaga, dan sebagainya) tanpa cara yang intimidatif, apalagi birokratis. Masyarakat cenderung menyeleksi informasi yang mereka berikan ketika mengetahui bahwa si fasilitator adalah perwakilan dari suatu pihak tertentu dan hal itu sangat bertentangan dengan prinsip partisipatif.

Informasi yang lebih dalam didapat dengan melakukan live in atau tinggal bersama. Tahapan live in sangat penting karena dengan tinggal selama beberapa waktu bersama masyarakat dan ikut terlibat dalam keseharian mereka akan membangun kepercayaan dan ikatan antara peneliti dan masyarakat target. Observasi lebih dalam juga bisa dilakukan karena hal-hal yang sebelumnya tidak disampaikan dalam wawancara atau obrolan santai bisa ditemukan dalam proses keseharian masyarakat. Dalam proses ini fasilitator harus peka dalam membaca kondisi sosial yang berlangsung, termasuk membaca sensitivitas hubungan antarmasyarakat. Lamanya live in tidak bisa ditentukan karena tantangan yang dihadapi ketika tinggal bersama bisa berbeda-beda. Live in diakhiri jika informasi yang didapatkan dianggap sudah mencukupi. Artinya, live in bisa berlangsung dari hanya beberapa hari sampai hitungan bulan.

Pada intinya RRA dilakukan untuk mendapatkan gambaran awal tentang permasalahan dan potensi yang dimiliki masyarakat target dan lingkungan yang melingkupinya serta mendapatkan kepercayaan dari mereka. Tahapan RRA akan dilanjutkan dengan PRA atau Participatory Rural Appraisal. Namun sebelum menuju PRA, terdapat tahapan prakondisi yang perlu dilakukan saat RRA:
  • 1.       Sosialisasi kegiatan secara intensif hingga level mikro agar tidak ada bagian masyarakat             yang  tidak terlibat atau tidak terjaring informasinya
  • 2.       Identifikasi dan membangun kontak dengan tokoh kunci (key persons)
  • 3.       Membentuk tim dengan tokoh kunci (key persons)
  • 4.       Membuat kegiatan stimulan-stimulan kecil untuk memancing keterlibatan dan kolektivitas

Adapun output yang dituju dari RRA dalam poin-poin adalah (1) pembangunan kepercayaan, (2) pemahaman tentang kondisi yang didampingi, (3) kontak dengan key persons, (4) terbangun kesadaran isu bersama dalam masyarakat, dan (5) terbentuknya inisiatif untuk berkumpul.

Tahapan PRA (Participatory Rural Appraisal)

Pada tahapan ini, berbeda dengan di RRA yang cenderung menjadi peneliti, pada PRA fasilitator benar-benar menjalankan fungsi fasilitasi. PRA adalah metode pelibatan masyarakat dalam proses kajian kebutuhan kolektif dan inisiasi langkah aksi.

Tahap-tahap fasilitasi bisa diurai dalam poin-poin berikut:
  • 1.       Merumuskan mimpi atau visi
  • 2.       Identifikasi sumber daya desa
  • 3.       Identifikasi dan analisa masalah
  • 4.       Merumuskan tindakan: prioritas, pertahapan kegiatan, indikator, linimasa
  • 5.       Penyusunan anggaran
  • 6.       Tindak lanjut perencanaan

Keenam tahapan dilakukan melalui proses RRA (dilakukan oleh peneliti/fasilitator di awal sebagai prakondisi), pendataan partisipatif, FGD, dan dokumentasi proses dan hasil. Pada pendataan partisipatif dan FGD diperlukan teknik partisipatif untuk membantu masyarakat mengidentifikasi lingkungannya. Teknik-tenik pengkajian wilayah yang bisa digunakan antara lain:

(materi lengkap untuk RRA dan tools PRA bisa diunduh di https://bit.ly/2ZvNPyA oleh Febri Sastiviani Putri Cantika)
  • 1.       Transek

Pemetaan wilayah untuk menggambarkan potensi suatu wilayah lengkap dengan ekosistemnya dengan cara membelah wilayah. Penarikan garis belah pada wilayah tertentu dilakukan dengan memperhatikan topografi dan keseragaman pola-pola demografis serta geografis untuk diidentifikasi potensi masing-masing belahan wilayah dengan menuangkannya ke dalam bagan.
  • 2.       Penelusuran Sejarah

Alat bantu yang bisa digunakan untuk mengetahui asal-usul terbentuknya desa atau tempat tertentu. Caranya dengan mengumpulkan orang-orang dari berbagai kelompok usia, termasuk menghadirkan yang paling tua untuk menjadi narasumber. Tantangan dalam proses ini adalah bias tahun yang diingat oleh narasumber. Solusinya mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa di dalam desa dengan mengaitkannya pada kejadian-kejadian besar di level nasional/global seperti zaman Jepang, kemerdekaan, Gestapu, dan lain sebagainya.
  • 3.       Tren Perubahan dan Kecenderungan

Tujuan penggunaan alat ini adalah mengenali dan melacak perubahan-perubahan yang terjadi di desa berdasarkan kronologi waktu. Tren perubahan dan kecenderungan bisa diaplikasikan untuk topik-topik spesifik, misalnya penggunaan lahan desa, komoditas pertanian, irigasi, dan lain sebagainya yang memiliki ukuran/satuan yang sama. Hasil yang dituangkan dalam matriks kronologis bisa dianalisis dengan cara membandingkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu.
  • 4.       Kalender Musim

Kalender musim digunakan untuk melihat pengaruh musiman pada sumber daya yang berlangsung dalam setahun di dalam masyarakat berikut dampaknya. Musim yang dimaksud bukan hanya tentang musim yang dipengaruhi alam seperti musim tanam, musim panen, dan musim banjir, tetapi juga agenda-agenda sosial seperti musim hajatan, Ramadhan, Agustusan, dan sebagainya yang melibatkan banyak anggota masyarakat. Kalender musim bertujuan membuat skema jadwal tahunan masyarakat sehingga bisa dianalisis distribusi SDM dan finansial di dalam desa. Lebih baik lagi jika kalender musim dicobakan pada kelompok masyarakat yang homogen, misalnya petani, ibu rumah tangga, pelajar, dan sebagainya yang memiliki banyak kesamaan agar hasil analisisnya lebih spesifik.
  • 5.       Kalender/Jadwal Harian

Hampir sama dengan Kalender Musim, namun dalam periode waktu harian yang diukur dengan jam. Alat ini digunakan untuk memetakan aktivitas sehari-hari khususnya anggota keluarga (bapak, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, nenek/kakek, dll). Ini berguna ketika akan melibatkan pihak-pihak tertentu dalam program. Misalnya jika ingin mengundang kaum perempuan yang sudah berumah tangga, maka bisa diidentifikasi pada jam berapa kelompok masyarakat tersebut memiliki waktu yang bisa dialokasikan.
  • 6.       Alur Keluar-Masuk Barang

Digunakan untuk mengetahui jenis barang dan jumlah yang keluar dan masuk desa. Teknik ini bisa menujukkan kemampuan ekonomi masyarakat dan perputaran finansial mereka.
  • 7.       Peta Sketsa Desa

Mengajak masyarakat untuk membuat sendiri peta desa mereka membuka kesempatan bagi mereka untuk memahami desanya sendiri dan membangun keterikatan. Melalui peta sketsa desa, akan diketahui sebaran potensi yang ada dalam desa. Namun yang lebih penting teknik ini mendorong partisipasi aktif semua peserta diskusi dan menciptakan interaksi.
  • 8.       Diagram Venn

Diagram Venn digunakan untuk melihat hubungan kelembagaan di dalam desa. Dari diagram ini akan terpetakan aktor-aktor desa dengan kepentingan masing-masing dan tingkat pengaruhnya dalam keputusan yang diambil di desa. Masyarakat bisa melihat keterkaitan antarlembaga dan ketika kelak akan menyampaikan aspirasi, mereka sudah paham kepada lembaga mana kepentingan mereka saling berkaitan.
  • 9.       Analisis Pohon Masalah

Analisis Pohon Masalah bisa mengidentifikasi masalah utama dari pengelolaan potensi wilayah desa dan mengidentifikasi akar permasalahannya. Masyarakat peserta diskusi didorong untuk menentukan sendiri hal-hal yang dianggap masalah dan menempatkannya dalam bagan daun, ranting, batang, dan akar permasalahan. Di sini keyakinan bahwa masyarakat memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan sangat ditekankan.

Semua tools di atas bisa dilakukan langsung dalam satu pertemuan FGD jika pesertanya mencukupi. Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan diberi tugas untuk mengerjakan tools masing-masing satu tool per kelompok. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil isian matriks kepada seluruh peserta FGD untuk didiskusikan sampai menghasilkan konsensus. Akan tetapi tidak semua tools wajib digunakan. Common problems dan common needs yang telah teridentifikasi di akhir RRA bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan tools yang digunakan.

Alur pendampingan dalam rangka pengembangan komunitas sebenarnya tidak hanya RRA dan PRA. Tahap lanjutannya berupa penguatan kelembagaan, penguatan jejaring, peningkatan kapasitas, pemberian bantuan stimulan, dan monitoring&evaluasi. Jangka waktu masing-masing pendampingan berbeda bergantung pada proses partisipatif yang berlangsung di masyarakat target. Namun secara teknis bisa diukur melalui pertimbangan finansial dan linimasa yang telah ditentukan lembaga peneliti maupun donor.

Tak kalah penting dalam program pendampingan adalah exit plan, yaitu langkah-langkah yang dilalui agar komunitas dampingan sudah cukup berdaya dan program bisa disudahi. Jika target pendampingan partisipatif adalah masyarakat bisa mandiri/berdaya tanpa ketergantungan pihak lain, maka ketika program selesai mereka seharusnya bisa dianggap mampu menjalankan program-program pengembangan komunitas mereka sendiri berdasarkan kebutuhan yang mereka sendiri telah berhasil identifikasikan.


Gombong, 4 Agustus 2019

Sabtu, 16 Maret 2019

Rumah Tangga (Prosa)

Nanti kita bekerja keras sampai lupa bahagia. Lalu kita bangun rumah di gunung tepi laut, yang jauh, yang hanya bisa dikunjungi kalau kangen. Atau waktu kita hampir mati kelaparan.

Hidupku yang berantakan akan bertemu dengan hidupmu di tengah jalan menuju hutan. Kita menyembunyikan diri dari penilaian orang-orang. Kita hujan-hujanan dan berjemur sampai kulit menghitam biar bisa menyatu dengan bayangan pepohonan. Kita menjadi Tarzan, aku tidak keberatan.

Di suatu sore yang terang, kita akan melihat ke bawah. Orang-orang itu cuma semut di bawah kaki kita. Mereka bilang kaya itu punya mobil dan deposito. Kita lebih kaya karena tak terikat pada definisi siapa-siapa. Semut-semut berbaris berisik di jalur aspalnya, kita belajar terbang dari burung. Kita belajar berlari mengejar cuaca.


Nanti kita berbahagia begitu keras sampai lupa bekerja. Kita tidak bisa berhenti. Satu-satunya alasan cerita kita selesai adalah suatu pagi kita bangun lalu mengikuti burung-burung terbang ke surga. Atau di suatu sore kita jalan-jalan dan aku mendorongmu jatuh ke samudera.

Gombong, 17 Maret 2019



Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...