Kamis, 05 Juni 2014

Konflik Mesir: Antara Zero sum game dan Negative sum game



(ditulis dalam rangka Lomba Esai Nasional Festival Timur Tengah UI 2014. Meraih Juara Harapan 1)

3 Juli 2013 militer Mesir melakukan kudeta terhadap pemerintahan Mesir yang sah, yang dipimpin oleh Mohamed Morsi. Kudeta tersebut dipimpin oleh Jenderal Abdul Fattah Al-Sisi yang tidak lain adalah Panglima Angkatan Bersenjata Mesir sekaligus Menteri Pertahanan di kabinet Morsi.

Perseteruan antara pendukung Morsi dan pendukung militer terjadi dan merambat sampai terjadinya bentrokan kedua pihak. Tercatat 638 orang meninggal akibat bentrokan yang terjadi hingga Agustus 2013 dan korban terluka yang mencapai angka empat ribu orang sepanjang 2013. Data yang dirilis media resmi Ikhwanul Muslimin melansir jumlah korban meninggal mencapai 2.600 orang dan lebih dari sepuluh ribu orang terluka dari kedua belah pihak. Belum lagi dengan rusaknya berbagai fasilitas umum dan teror yang dirasakan masyarakat1

Pemain dalam Konflik Mesir
Konflik yang dianggap menodai praktik demokrasi di Mesir itu diawali oleh ketidakpuasan sejumlah pihak terhadap jalannya pemerintahan Presiden Morsi. Seperti yang dilansir oleh tempo.co pada 1 Agustus 2013 di artikelnya yang berjudul “Berkaca dari Krisis di Mesir”, sejumlah pihak menganggap Morsi tidak membawa perubahan pada kondisi ekonomi Mesir. Selain itu Morsi dianggap terlalu eksklusif dan konfrontatif dalam menjalankan pemerintahan2.
 


Keterlibatan AS dalam konflik Mesir tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ikatan ekonomi yang dimiliki AS dan Mesir tidak bisa diabaikan. Pemerintah AS mengucurkan dana sejumlah 1,3 milliar dolar sebagai bantuan kepada Mesir setiap tahunnya. Dana ini adalah biaya agenda AS yang didukung Mesir seperti pengelolaan Terusan Suez yang menjadi jalur perdagangan dan mengusahakan gencatan senjata antara Hamas di Palestina dengan tentara Israel. Kepentingan AS dalam perdagangan minyak dan persekutuannya dengan Israel bisa terjamin jika kawasan Timur Tengah berada dalam pengaruhnya.

Mark Kirk-IL, senator AS, pernah berkata dalam pidatonya di malam putaran kedua parleman Mesir, 13 Desember 2011. Ia mengatakan bahwa AS akan selalu berusaha untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah karena memiliki agenda-agenda strategis di dalamnya. Salah satunya adalah menahan Mesir agar tidak terlalu dekat dengan Iran karena Iran berada di pihak yang berseberangan dengan AS. AS juga memerlukan Mesir untuk menahan serangan pejuang Palestina Hamas ke Israel sebagai sekutu AS3.

”Amerika Serikat – dan Departemen Luar Negeri kita khususnya – harus melakukan apa yang bisa untuk menjaga Mesir agar senantiasa dalam perdamaian dan berhubungan baik dengan Barat. Kita berada di ambang kekalahan bersejarah dan kehilangan kepentingan Amerika di kawasan ini.”

Itu adalah sepenggal kutipan yang dikatakan Kirk-IL dalam pidatonya mengenai alasan campur tangan AS ke dalam permasalahan di kawasan Timur Tengah, khususnya Mesir. Pidato itu dimuat di Majalah Al-Umm edisi Juli 2013 sebagai penguat argumen bahwa AS berada di balik konflik-konflik yang terjadi di kawasan.


 
3 http://www.alquds.co.id/?p=61757 diakses pada tanggal 15 Maret 2014 pukul 21.05

Kudeta yang dilakukan militer terhadap Morsi pun, menurut pendukung IM, merupakan salah satu akibat dari berpalingnya AS dari sikapnya yang mendukung Morsi. Morsi dianggap tidak bisa memfasilitasi atau mendukung agenda-agenda AS di kawasan sehingga AS memutuskan untuk menarik dukungannya4. Dukungan ini mendorong militer berani untuk mengambil tindakan ekstrim menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketika Obama menyerukan kecamannya terhadap kudeta yang dilakukan militer, kudeta sudah terlanjur terjadi dan seruannya tidak berefek apa-apa selain perwajahan AS yang menyayangkan gagalnya demokrasi di Mesir.

Selain AS, sejumlah negara-negara Arab di kawasan teluk, termasuk yang tergabung dalam Uni Emirat Arab (UAE) pun menyatakan dukungan mereka kepada angkatan bersenjata. Mereka seperti yang dilansir oleh beritasatu.com, bahkan memberikan pujian atas keberhasilan militer melakukan kudeta5. Penyebabnya tidak lain karena efek Arab Spring yang dimulai dengan jatuhnya rezim Husni Mubarak. Negara-negara Arab lainnya merasa tidak nyaman dengan kemunculan Morsi dan IM sebagai tokoh pasca jatuhnya rezim Mubarak. Ada kekhawatiran jika Morsi berhasil menjalankan pemerintahan, pemerintahan mereka di negara masing-masing akan terpengaruh.

Dari sini terlihat bahwa militer, bagaimanapun, masih memegang peran vital dalam pelaksanaan pemerintahan di Mesir. Militer tentu tidak bergerak sendiri. Sebelum melakukan kudeta, pihak militer harus terlebih dahulu memiliki dukungan. Jika tidak, maka seandainya kudeta tersebut tidak didukung, akibatnya kudeta tersebut akan gagal. Dalam peristiwa kudeta di Mesir para pemain memainkan peran masing-masing. Analisis lebih jauh, konflik ini sudah bukan konflik dengan dua pemain dan hasilnya satu kalah satu menang. Jumlah korban yang jatuh, rasa aman yang menjauh dari masyarakat Mesir, dan sejumlah kerugian besar lain di kedua belah pihak membuat kita ragu tentang siapa yang sebenarnya memanangkan konflik ini.

 

 Zero Sum atau Negative Sum Game?
Mari bayangkan ada dua pemain yang sedang bertaruh dalam sebuah permainan. Pemain A dan B mempertaruhkan barang yang sama di meja permainan. Nantinya yang menang akan mendapatkan barang taruhan milik pemain yang kalah. Di akhir permainan, ternyata pemain B menang sehingga pemain A terpaksa menyerahkan barang taruhannya.Pemain B mendapat keuntungan dua kali lipat dari taruhan awal sedangkan pemain A tidak mendapatkan apa-apa, justru kehilangan. Keuntungan pemain B didapatkan dari kerugian pemain A. Tapi sama sekali tidak ada tambahan atau kekurangan dalam taruhan. Jumlah yang dipertaruhkan sama di awal permainan dan di akhir permainan, hanya beralih kepemilikan. Itulah yang disebut zero sum game, yaitu permainan yang jika keuntungan dan kerugian dijumlahkan hasilnya akan sama dengan nol6.

Demikian kiranya analogi yang tepat untuk menggambarkan kondisi Mesir pasca pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Mursi oleh pihak militer yang dipimpin Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi pada 3 Juli 2013. Pihak Mursi adalah pemain A yang telah dikalahkan oleh pemain B yang diperankan militer. Taruhannya tidak lain adalah kekuasaan pemerintahan Mesir berikut rakyatnya. Kekuasaan yang dimenangkan militer adalah sebuah barang taruhan yang direbut dari penguasa yang kalah.

Teori permainan (game theory) pertama kali dikemukakan oleh von Neumann dan Morgenstern pada tahun 1944. Mereka menjabarkan berbagai jenis strategi dalam bidang ekonomi dengan sudut pandang permainan. Penelitian keduanya kemudian banyak dikembangkan oleh peneliti dengan mengambil aspek yang berbeda dan memperluas sudut pandang yang digunakan. Saat ini games theory tidak haanya berlaku di dalam ekonomi saja, melainkan di berbagai bidang lain. Game theory juga digunakan untuk mengkaji permasalahan hubungan internasional yang meliputi pertahanan, aliansi, dan konflik kepentingan antar negara. Correa (2001) dalam jurnalnya yang berjudul Game Theory as an Instrument for the Analysis of International Relations menyebutkan penggunaan teori ini tidak terbatas dan bisa terus dikembangkan untuk menganalisis berbagai hubungan antar negara atau aktor dalam suatu konflik7.

Contoh paling mudah untuk menggambarkan zero sum adalah perjudian. Seperti yang telah digambarkan di awal, dua atau lebih pemain yang saling berlawanan mempertaruhkan taruhan masing-masing. Di akhir permainan tidak semua pemain akan mendapatkan keuntungan. Ada yang menang berkali lipat, ada yang hanya balik modal, dan ada yang rugi: jumlah yang dimenangkan tak sebanding taruhan awal atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.

Jika dilihat dengan sederhana, kubu militer bisa dibilang telah memenangkan babak awal permainan dengan merebut kekuasaan pemerintahan dari penguasa yang sah, yaitu Presiden Mursi. Terlepas dari adanya kemungkinan serangan balik, taruhan telah dimenangkan militer dan Mursi mengalami kerugian. Lantas apakah permainan sudah berakhir? Analogi zero sum game dapat dibenarkan seandainya saja memang hanya dua pihak itu yang bertaruh dan melakukan permainan. Keduanya sama-sama memiliki sesuatu untuk diperebutkan. Hasilnya pun yang satu kalah dan yang lain menang.

Gardner (1995, dalam Correa, 2001) menambah satu pemain lagi dalam teori permainan ini, yaitu bandar. Dalam pendekatan penelitiannya yang menggunakan perjudian sebagai analogi hubungan internasional, Gardner melihat adanya campur tangan pihak ketiga di luar permainan yang ikut mengendalikan arah permainan di meja judi. Bandar ini tidak ikut bermain, melainkan hanya sebagai fasilitator permainan. Bandar adalah satu-satunya yang akan selalu mendapat untung tak peduli siapapun yang memenangkan permainan. Sebabnya adalah karena ia akan mengambil sebagian hasil yang dimenangkan sebagai “bayar jasa” dari pemain yang menang.

Jika menggunakan analogi bandar tadi, maka jumlah yang dimenangkan tidak akan sama dengan jumlah yang dipertaruhkan di awal. Beberapa bagian dari taruhan akan diambil oleh bandar. Beberapa bagian itu tidak akan menjadi milik pemenang dan yang kalah akan tetap kehilangan. Dalam hal ini berlaku teori negative sum game, yaitu hasil yang dimenangkan lebih sedikit daripada taruhan di awal.

 
6 Hector Correa, “Game Theory as an Instrument for the Analysis of International Relations”. Oktober, 2001.

Kesimpulan
Dari sudut pandang yang telah saya paparkan di atas, terlihat bahwa sebenarnya pemain sesungguhnya dari konflik Mesir adalah penguasa yang sah dan militer yang menggulingkannya. AS berperan sebagai bandar atau fasilitator yang mengatur permainan dan mengambil keuntungan dari siapapun yang menang. Konflik di Mesir tidak bisa hanya dilihat dari dua sudut pandang pemain saja, yaitu Mursi dan militer. Peran AS sebagai bandar tidak bisa dilepaskan. Dukungan AS ke pihak manapun akan mempengaruhi peta dukungan negara-negara lain, baik di kawasan Timur Tengah maupun di luar.

Di sisi lain, konflik Mesir merupakan konflik lanjutan dari penggulingan Presiden Husni Mubarak dan telah berkembang menjadi masalah yang kompleks karena melibatkan banyak pihak. Masing-masing pihak memiliki kepentingan masing-masing. Bisa jadi ada lebih dari dua pemain yang tengah bertaruh. Ini juga tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain yang ikut menjadi bandar dalam permainan. Bandar-bandar ini memberi umpan, berkomentar, berusaha tampak terlibat, dan di akhirnya nanti mereka akan mengambil keuntungan dari kerugian para pemain. Skenario yang lebih ekstrim lagi, bandar-bandar ini justru yang menyediakan panggung atau meja taruhan bagi para pemain.

Daftar Pustaka
Hector Correa, “Game Theory as an Instrument for the Analysis of International Relations”. Oktober, 2001.
Jan-Erik Lane, “A Constitutional Approach to Contemporary Political Violence”. University of Freiburg, Freiburg im Breisgau, Germany. 2014
John Hendri, “Riset Operasional”. Universitas Gunadarma, Indonesia. 2009
http://www.alquds.co.id/?p=61757 diakses pada tanggal 15 Maret 2014 pukul 21.05 WIB

UKT: Akses Pendidikan Seluas-Luasnya Bagi Mereka yang Tahu



(ditulis dalam rangka penugasan pembinaan Etos Jakarta edisi April 2014)

Raut wajah para orang tua seketika berubah setelah mendengar bahwa uang pangkal (UP) masuk perguruan tinggi dihapuskan dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) diberlakukan. Mereka adalah orang tua yang hadir dalam seminar yang diselenggarakan Perhimak UI (Perhimpunan Mahasiswa Kebumen Universitas Indonesia) pada 2 Februari 2014 di Kebumen. Kebijakan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 itu ternyata tidak banyak yang tahu.

Sejumlah orang tua yang hadir, yang kebanyakan adalah orang tua yang belum pernah menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang maaf saja, menurut saya, sangat polos.

“Uang pangkal apakah sama dengan uang gedung?” “Kuliah itu bayarnya per bulan atau per semester?” “Kalau ada UKT, apa masih bayar kuliah per bulan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan satu hal, yaitu masih banyak orang tua yang masih buta terhadap mekanisme pembayaran dan prosedur masuknya anak mereka ke perguruan tinggi. Saya menemukan bahwa sosialisasi dari kampus tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan administrasi belum menyentuh masyarakat menengah ke bawah yang masih asing dengan pendidikan di perguruan tinggi.

Tahun 2013 diterapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia. Menurut PERMENDIKBUD No. 55 Tahun 2013, UKT diberlakukan dengan tujuan memberi kesempatan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan dengan biaya yang sesuai kemampuan finansial masing-masing. Saya melihat ini sebagai kesempatan baik bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah untuk mendapatkan kesempatan kuliah di perguruan tinggi. Orang tua atau penanggung biaya tidak lagi diberatkan oleh biaya kuliah berlapis. Sebelumnya untuk bisa kuliah harus membayar uang pangkal, uang semesteran, praktikum, dan wisuda pun ditarik biaya lagi. Dengan adanya UKT, mahasiswa hanya dibebankan biaya pendidikan sekali bayar di tiap semester dengan jumlah menyesuaikan kemampuan finansial.

Di UI sendiri, selain kebijakan UKT, ada mekanisme BOP-B. Mekanisme BOP-B ini memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk mengajukan keringanan biaya kuliah sesuai dengan kemampuan penanggung biaya. UI juga memperbolehkan pencicilan biaya kuliah. Mahasiswa mampu dan kurang mampu di UI membayar biaya dengan jumlah yang berbeda. Sekalipun dalam pelaksanaannya ada yang tidak tepat sasaran, mekanisme ini sangat membantu mahasiswa yang kurang mampu secara finansial. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan diri bagi mereka yang awalnya merasa tidak akan mampu membayar biaya kuliah. Setidaknya mereka akan terdorong untuk mencoba masuk terlebih dahulu, tidak lari ketakutan melihat nominal angka yang tertera sebagai biaya yang wajib dibayar begitu calon mahasiswa diterima di perguruan tinggi.

Mekanisme UKT akan sangat menggiurkan dan melegakan bagi mahasiswa dan penanggung biaya yang tahu tentang kebijakan baru tersebut. Permasalahan yang ada saat ini adalah berapa banyak orang yang tahu tentang kebijakan ini?

Sebuah toko yang menggelar diskon besar-besaran apakah akan banyak dikunjungi jika promosi yang dilakukan hanya sebatas memasang pengumuman di depan pintu toko? Yang berkesempatan mendapatkan diskon itu hanya orang-orang yang lewat di depan toko, tidak sengaja belanja di hari diskon, atau orang yang tahu dari kabar yang tersiar dari orang-orang yang tahu. Kelompok orang yang terakhir, yang tahu dari orang lain, saat datang ke toko sudah kehabisan barang diskon atau toko sudah terlanjur tutup.

Analogi di atas sepertinya tepat menggambarkan kebijakan UKT. Kebijakan UKT secara konseptual menurut saya tidak perlu diperdebatkan lagi. Tinggal bagaimana menyiarkan kebijakan tersebut agar terdengar oleh orang-orang yang menjadi alasan mengapa UKT diadakan, yaitu masyarakat terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah. Seminar yang diadakan Perhimak UI memang hanya contoh kecil yang menunjukkan belum sampainya informasi kepada masyarakat yang menjadi target kebijakan, hanya secuplik contoh kondisi di sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah. Akan tetapi saya yakin akan menjadi contoh besar jika memang dilakukan survei capaian informasi itu di seluruh Indonesia.

Pemerintah dan pihak perguruan tinggi melakukan sosialisasi melalui website, sosial media, surat kabar, dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya. Tidak semua masyarakat bisa mengakses sarana-sarana sosialisasi tersebut. Mereka yang bisa mengaksesnya pun belum tentu semua paham karena memahami sebuah kebijakan bukan sesuatu yang mudah bagi banyak orang. Akibatnya, informasi tersebut menjadi informasi eksklusif yang hanya diketahui dan dipahami oleh sedikit orang.

Dalam hal ini, pelaku kebijakan sama seperti toko yang mempromosikan diskon hanya melalui papan pengumuman di depan pintu masuk toko. Toko tidak mementingkan siapa saja yang akan memanfaatkan diskon yang disediakan, yang penting barangnya terjual habis. Seorang pembeli membeli banyak barang sekaligus tidak menjadi masalah karena memang orientasinya adalah barang terjual sebanyak-banyaknya. Bagaimana dengan UKT di perguruan tinggi? Apakah orientasinya adalah UKT dimanfaatkan sebanyak-banyaknya atau UKT dimanfaatkan oleh sebanyak-banyaknya orang yang menjadi target pelaksanaannya? Bedanya dengan toko, tujuan UKT ini adalah untuk membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah untuk bisa sekolah di perguruan tinggi. Ada faktor sasaran kebijakan yang membuatnya berbeda. Inilah yang membuat sosialisasi informasi yang seadanya tidak bisa diterima. Untuk apa kebijakan dibuat jika masyarakat yang jadi targetnya justru tidak tahu kebijakan tersebut ada?

Pemerintah dan perguruan tinggi tidak bisa hanya mengandalkan humas masing-masing dalam proses sosialisasi ini. Elemen mahasiswa dan media harus dilibatkan dan menjadi jembatan informasi. Media massa mainstream sebaiknya diikutsertakan dengan pemasangan iklan-iklan sosialisasi. Saya teringat pada gencarnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah saat ada kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sosialisasi yang dilakukan sangat gencar dengan memanfaatkan iklan layanan masyarakat di televisi, surat kabar, dan pemasangan baliho-baliho. Informasi tersebut sampai di masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari kota dan pusat pemerintahan. Pihak perguruan tinggi pun sebenarnya bisa melibatkan perhimpunan mahasiswa daerah di kampus untuk melakukan sosialisasi ke calon-calon mahasiswa yang ada di daerah asal masing-masing.

Ada banyak cara untuk menyampaikan informasi ini kepada masyarakat luas jika memang ada niat untuk tidak membiarkan informasi ini menjadi informasi yang eksklusif. Sayang sekali jika kebijakan yang baik tidak diimbangi dengan usaha menyampaikannya ke terget yang dimaksud. Jangan sampai ada lulusan SMA/sederajat yang tidak jadi melanjutkan ke perguruan tinggi karena takut tidak bisa membayar biaya kuliah yang dianggapnya mahal. Kebijakan UKT dibuat untuk membuka akses seluas-luasnya pada seluruh masyarakat, tidak sebatas pada mereka yang sudah tahu.

Hei, Dek...



Dek, apa kabar rumah kita?
Barangkali baju-baju masih bertebaran di setiap sudut
Apa kau sudah menyapu hari ini?
Lihat kembali
Siapa tahu di balik tikar masih ada bungkus permen yang sebelumnya kau sembunyikan

Dek, ummi menanyakanmu pagi ini
Bertanya kabarmu
Bertanya alasan kemarahanmu kemarin dulu
Bertanya kapan kau akan kembali mengajaknya bicara
Bertanya cita-cita, dan barangkali selipan kisah cinta
Seolah kau yang ada di sini, yang jauh dari pandangannya

Dek, alam pikiranmu aku mana tahu
Bukankah aku memang tak pernah bertanya?
Bukankah itu yang kau lihat dariku?
Kakak yang tidak pernah ribut menyuruhmu mandi, ganti baju, atau belajar
Kakak yang menjadi tembok tinggi di hadapanmu, menghalangimu dari kata puji orang-orang
Kakak yang tidak memahami batasnya sendiri dalam usahanya memberi teladan padamu

Dek, ketahuilah, di sini aku membenci setiap dering telepon
“Fais wingi kesuh-kesuh Sa, gara-garane ra kebagian iwak...”
“Sa, Fais ra madang sedina. Jere masakane ummi ra enak, ra seneng...”
“Apa Fais lagi seneng bocah ya, Sa? Ketone bahagia temen, ngguyu-ngguyu nek smsan... Fais wong bocah gagah, ya bakale akeh sing seneng...”
“Ummi ra paham hape apamaning komputer, Sa. Ummi si yakin Fais ra bakal macem-macem, tapi Ummi ya tetep maras...”
“Sa, kanca-kancane Fais deneng ngrokoke banter temen ya? Apa Fais ra bakal tiru-tiru? Ibadahe si apik, Insya Allah wis bisa tanggung jawab marang Gusti Allah. Tapi lingkungane kue Sa...”
“Jan-jane Fais lewih cerdas kat koe Sa. Belajar sitik ya mudeng, cuma ora telaten. Ummi pengin Fais kuliah Sa. Anak lanange Ummi siji-sijine, ra ana gantine...”
“Jajal Sa, dinasihati Fais men sregep sinau, ora nggawe Ummine khawatir. Ummi sih ra nuntut kon rengking siji atau apa, tapi ya sing due kepenginan go maju lah, apa iya arep kaya kiye bae keadaane...”
“Sa, Ummi ra paham karepe adimu apa, ra tau cerita-cerita...”

Dek, apa harus kujabarkan semuanya?
Jika dengan ini belum paham, pakai cara apa lagi aku menasihatimu?
Aku takut dibenci oleh adik-adikku sendiri
Bawel, cerewet, sok tahu, sok tua
Apa yang kupunya di tempatku pulang  selain rumah dan orang-orang penghuninya?
Ummi, Bapak, Fadhillah, Kau, Dek...

Dek, janganlah melihat terlalu jauh
Kau akan merendahkan yang ada di hadapan
Jangan juga melihat terlalu dekat
Kau akan menjadi sesak oleh semua keterbatasan, semua tuntutan, menyiksa dan mengasihani diri
Lihatlah sekeliling, adakah yang tidak ada? Adakah yang tidak perlu?
Tidakkah Allah sudah menyediakan semua agar kita bersyukur?
Dengan bersyukur kita akan merasa cukup
Dengan merasa cukup, kita akan berbahagia karenanya

Dek, apakah sebuah aib bagimu ketika bercerita pada orang tuamu sendiri?
Apakah sebuah retakan bagi harga dirimu ketika ada yang menangis untukmu?
Apakah begitu sulit membagi hatimu dengan orang-orang yang selalu menyebut namamu dalam bincang mereka dengan Rabb mereka?
Dalam setiap sujud, setiap air mata yang tumpah ketika mengingatmu di tengah malam yang tidak kau tahu

Dek, tidak ada yang mengharapkan materi atau penghargaan yang terlihat secara fisik
Ummi dan Bapak tak akan pernah dengan sungguh-sungguh meminta kembali apa yang sudah mereka beri
Sama seperti perjuangan Bapak di TPQ, ikhtiar-ikhtiarnya untuk memperbaiki ummat
Sama seperti peluh-peluh Ummi di pasar, ikhtiarnya untuk menjadi penyeimbang ekonomi keluarga, menopang suami yang tengah mengabdikan diri pada Rabb yang memberi segalanya
Masing-masing punya peran dengan kapasitasnya
Aku, dengan perantauanku, dengan ilmu yang sedikit demi sedikit kutanam hingga nanti dapat kupetik dan kuberikan semuanya untuk menegakkan Dien-Nya
Kau, Dek, kau dan Fadhillah, pilihlah sendiri
Ikhtiar macam apa yang sanggup kalian lakukan
Tanggung jawab apa yang sanggup kalian junjung
Tak ada yang menuntut, tak ada yang memaksa
Kalian temukanlah sendiri

Dek, kau juga tahu kan?
Tak akan kembali sekali waktu yang berlalu

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...